Sabtu, 24 Desember 2011

Mendengarkan Narasi Lain

Baskara T Wardaya SJ
Kompas, 8 Mei 2009

DALAM mengkaji suatu peristiwa historis tertentu yang titik tolaknya adalah kesaksian seorang pelaku sejarah, secara teoretis kita perlu memilah antara ”apa yang terjadi” dengan ”apa yang diingat oleh seorang pelaku sejarah tentang apa yang terjadi”. Perlu memilah antara ”peristiwa” dan ”ingatan akan peristiwa”. Baskara T Wardaya.

Cheng Ho dan Misi Peradaban

Nunung Nurdiah
Lampung Post, 14 Nov 2010

MATA Laksamana Cheng Ho menatap tajam ke samudera yang luas. Tugas dari Dinasti Ming untuk menguatkan pengaruh China di mata bangsa lain, wajib ia tunaikan. Ia membawa begitu banyak sarjana, penulis, dan duta besar untuk ditempatkan di kerajaan yang bakal ia singgahi dalam pelayaran panjangnya nanti. Cheng Ho sudah menyiapkan peti-peti untuk mengangkut kekayaan negara lain yang bakal menjadi bentuk perniagaan yang akan dilakukan Dinasti Ming.

Untuk keperluan itu, Cheng Ho membawa sedikitnya enam puluh dua kapal mahabesar. Satu kapal rata-rata punya panjang 152 meter dengan lebar 52 meter. Jika semua kapal itu sedang berlayar, para sejarawan melukiskan armada besar itu bak kota terapung. Jika dibandingkan dengan kapal Sao Gabriel milik Vasco da Gama, kapal Portugis itu tidak ada apa-apanya. Kapal milik da Gama cuma berpanjang 23 meter dengan lebar 5 meter. Kapal Vasco da Gama cukup ditempatkan di satu geladak dari satu kapal laut milik armada milik anak Haji Ma itu. Kapal milik Cheng Ho juga berlapis-lapis. Ada kapal pemasok, kapal logistik, dan kapal perang. Kapal baochuan dianggap oleh para sejarawan sebagai kapal kayu paling besar yang pernah diluncurkan manusia.

Cheng Ho memulai muhibah baharinya pada 1406 hingga 1407. Bahtera laut itu mulai meninggalkan Nanjing dengan membawa jutaan porselen, rempah-rempah. Cheng Ho menyinggahi banyak negara dan pelabuhan penting di sepanjang pelayaran yang ia daraskan, dan Ma Huan menuliskan setiap detail cerita soal kemahsyuran Cheng Ho—kasim yang sudah dikebiri itu.

Cheng Ho membuka akses buat Ming dalam perdagangan dengan Samudera Hindia sebagai jalur utamanya. Ia juga memberikan hadiah kepada kuil Buddha sebagai wujud toleransi beragamanya yang kental. Di semenanjung Afrika, Cheng Ho juga menerima binatang eksotis khas Benua Hitam, seperti zebra, singa, dan burung unta dari sultan di Aden. Satu-satunya pertempuran darat dilakukan pasukan Dinasti Ming ialah di Sri Lanka saat seorang penguasa pemberontak Buddha di sana menyerang tentara Cheng saat turun ke darat. Di luar itu, Cheng Ho menjadi duta peradaban yang luar biasa. Ia menempatkan manusia pada derajatnya yang tertinggi. Ia juga belajar kearifan lokal dari semua kota yang disinggahi.

Di Indonesia, Cheng Ho menyempatkan diri menuju beberapa gunung berapi. Ia kumpulkan belerang sebagai bahan mentah untuk pembuatan obat, bahan kimia, dan bubuk mesiu yang diracik ilmuwan China. China juga mengimpor hampir separuh komoditas berpengaruh dunia: logam industri, cendana, gading, dan rempah-rempah.

Pelayaran terakhir laksamana muslim ini berakhir di pantai Swahili, Afrika, dengan tambahan perjalanan ke kota suci Mekah.

Cheng Ho memang tak secara fisik ke Mekah. Karena ia seorang Laksamana Dinasti Ming, membuatnya tak dapat berlutut di hadapan takhta raja asing. Ia mengutus “jurnalisnya”, Ma Huan, ke sana. Cheng menunggu di Kalkuta. Itu terjadi pada 1432. Ma Huan melaporkan kepada Cheng Ho: setiap tahun pada hari ke-10 bulan ke-12, kaum muslim dari negeri asing…datang beribadah. Kaum pria memakai baju panjang, sedangkan kaum perempuan memakai penutup kepala sehingga Anda tak bisa melihat wajahnya. Cheng Ho, oleh para sejawaran, diprediksi meninggal dalam perjalanan pulang, dan dimakamkan di laut pada 1431 hingga 1433.

Ia menemukan apa yang ia cari sepanjang hayatnya. National Geographic menulis: bukan seorang prajurit haus darah yang berakhir di medan perang, tetapi seorang visioner perdamaian yang pengabdiannya berakhir di lautan, dalam kabut tipis kebiruan.

Nunung Nurdiah, guru di Bandar Lampung
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/11/buku-cheng-ho-dan-misi-peradaban.html

Antara Kho Ping Ho dan SH Mintardja

Teguh Setiawan
Republika, 14 Nov 2011

KEDUA berutang pada penerjemah Cerita Kungfu, dan keduanya membentuk identitas keindonesiaan masyarakatnya masing-masing.

“Saya menulis untuk mencurahkan hati saya. Dengan menulis, saya bisa melepaskan persoalan penindasan yang ada di dalam batin. Sebagai contoh, dalan kehidupan sehari-hari saya sering menjumpai ketidak-adilan, penindasan, dan kerakusan, tapi saya hanya bisa marah dalam hati.

Untuk mengkritik secara langsung, sung guh saya tidak memiliki keberanian. Lewat Cerita Silat saya bisa mengkritik tanpa harus menyakiti perasaan siapa pun. Saya salah satu tipe pemberontak. Ketika saya muda, karakteristik itu mendominasi. Tentunya semangat membe rontak itu dibutuhkan dalam diri seorang anak muda. Kami harus cukup berani mengatakan apa yang salah dan benar, serta mengubah tatanan yang jelas-jelas salah.”

Asmaraman S Kho Ping Ho

Di Tiongkok, penelitian terhadap Cerita Silat (Cersil) telah dimulai tahun 1925, ketika Lu Xun menulis Sejarah Singkat Novel Tiongkok. Di Indonesia, penelitian terhadap Cersil baru dilakukan tahun 2004, dengan terbentuk nya Masyarakat Tjerita Silat (MTjersil) dan diluncurkannya majalah Rimba Hijau. Sebelum 2004, Leo Suryadinata hanya sekali mengurai Cersil. Saat menjadi penyunting Sastra Peranakan Tionghoa-Indonesia, ia membuat tulisan berjudul Cerita Silat Tionghoa di Indonesia: Sebuah Uraian Ringkas.

Hiang Phek Tauwtoo mempublikasikan tulisan berjudul Perjalanan Tjerita Silat Indonesia di Ruang Baca Koran Tempo edisi 30 Oktober 2005. Empat tahun ke mu dian Aimee Davis meneliti Cersil, dan mempublikasikan dalam bentuk buku Orang Indonesia-Tionghoa: Mencari Identitas. Edward Buckingham mungkin yang paling serius meneliti Cersil di Indonesia.

Ia memfokuskan penelitiannya pada dua penulis Cersil yang melegenda; Asmaraman S Kho Ping Ho dan Singgih Hadi (SH) Mintardja, dan mempublikasikan di Singapore Society of Asian Studies Journal No 34 (Juni 2010) dengan judul The Memetic Evoluction of Indonesians Martian Arts Fiction: Two Case Studies. Buckingham menggunakan teori memetik untuk mengkaji karya-karya Kho Ping Ho (KPH) dan SH Mintardja. Ia berupaya menjelaskan Cersil sebagai produk migrasi literer, yang mempengaruhi pendifinisan identitas Tionghoa-Indonesia.

Evolusi

Cersil sebagai bentuk fantasi heroic, menurut Buckingham, adalah pengembangan tradisi mitos heroism kuno dan legenda asli Indonesia. Tradisi literer heroic berevolusi dan berubah, ketika penduduk Nusantara kemasukan gelombang budaya dari luar; India, Timur Tengah, dan Barat.

Pengaruh terbaru yang bisa dilihat dalam cerita silat adalah wuxia xiaoshuo. Leo Suryadinata dan Claudine Salmon mendokumentasikan semua ini dalam buky Literary Migration, Xu You Nian juga menuliskannya dalam The Literature of Indonesian Born Chinese.

Sebelum Kho Ping Ho berproduksi, Tionghoa Indonesia lebih banyak menikmati karya-karya penulis dari Hongkong dan Taiwan; Jin Yong, Yu Sheng, dan Gu Long. Buckingham menyebut karya-karya ketiganya, yang diterjemahkan Gan KL dan Oey Kim Tiang (OKT), sebagai Cerita Kungfu.

Cerita Kungfu, menurut Buckingham, berevolusi mempengaruhi proses penciptaan apa yang kini disebut Cerita Silat (Cersil). Ketika Cersil muncul, tingkat melek huruf terus meningkat. Hal ini mempercepat perkembangan Cersil dan replikasi memetik Cerita Kungfu. Memes atau seperangkat gagasan, gaya, dan simbol budaya dari wuxia xiaoshuo mengalami transformasi ketika diceritakan kembali, diadaptasi, dan diadopsi oleh pengarang Indonesia. Setelah sekian lama, memes wuxia xiaoshuo muncul kembali dans sepenuhnya telah menjadi literay memeplexe yang bergaung kuat di tengah masyarakat lokal.

Dalam perkembangan Cersil, hanya ada dua nama fenomenal yang mendominasi. Kho Ping Ho yang menggunakan ruang imajiner Tiongkok dan SH Mintardja yang menggunakan ruang imajiner Indonesia (khususnya Jawa). Penting disebutkan gaya KPH, yang ma sih popular sampai saat ini, tidak bisa ditiru. Bahkan KHP mungkin yang paling suk ses. Karya-karyanya lebih banyak terjual, dan dibaca khalayak pribumi dan Indonesia.

Situasi Politik

Tidak mudah memahami mengapa KPH lebih sukses dibanding SH Mintardja.
Buckingham mencoba menjelaskannya dengan lebih dulu mempelajari situasi polisik pasca 1950-an. Setelah penyerahan kedaulatan, dan Belanda angka kaki dari tanah jajahannya, norma-norma memudar dan sebuah masyarakat baru terbentuk, dan secara langsung berdampak pada status komunitas migrant Tionghoa. Tionghoa Indonesia merespon perubahan ini dengan membentuk sejumlah perkumpulan untuk melindungi hak-haknya.

Salah satunya, dan yang mungkin paling berpengaruh, adalah Baperki. Organisasi yang merangkul, dan melebur organisasi-organisasi kecil, dibentuk tahun 1954. Setahun kemudian, Indonesia menandatangani perjanjian dengan Republik Rakyat Cina untuk menghindari dual nationality dan menyelesaikan sejumlah masalah.

Namun setelah konflik separatis Permesta tahun 1958, Indonesia melarang aktivitas Kuo Min Tang (KMT). Akibatnya, pemegang passport nasionalis Cina menjadi penduduk tanpa negara. Dengan dukungan Jenderal AH Nasution, sekelompok Tionghoa menganjurkan asimilasi.

Mereka membentuk Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa. Kelompok lainnya, atas dukungan Partai Komunis Indonesia (PKI), menginginkan integrasi dengan meminta status suku atau minority status, yang memungkinkan mereka mempertahankan tradisi dan bahasa. Pemerintah Soekarno lebih menyukai asimilasi. Mereka menutup sekolah-sekolah Cina, untuk memangkas kapasitas Tionghoa yang berusaha mempertahankan bahasa leluhur.

Semua ini berlangsung sampai kudeta 1965, yang menggulingkan Soekarno. Kelompok penganjur asimilasi menang. Hampir seluruh sekolan Cina yang tersisa ditutup, atau diubah menjadi sekolah pribumi untuk kelas menengah. Akibatnya, kesempatan bagi masyarakat Tionghoa untuk belajar bahasa leluhur mereka benar-benar tertutup.

Situasi politik ini berdampak terhadap evolusi Cersil dan distribusinya. Arus besar pers menyerapa koran-koran Melayu-Tionghoa, yang sekian puluh tahun menjadi alat distribusi Cerita Kungfu. Ketika sentimen anti-Tionghoa — yang konon banyak digerakan militer untuk merenggangkan hubungan Indonesia dan pemerintahan komunis di RRC menguat, pemerintah Soekarno melarang pemuatan Cerita Kungfu secara bersambung di koran-koran berbahasa Indonesia. Dalam situasi seperti ini, Kho Ping Ho memperkaya ceritanya dengan gagasan progresif, dan bahasa yang jauh lebih baik, agar lebih bisa diterima pembacanya. KPH frustrasi dengan terjadinya sentiment anti-Tionghoa. Ia kehilangan rumahnya di Taksimalaya, dibakar massa saat kerusuhan 1963, dan pindah ke Solo.

KPH mengawali kemunculan Cersilyang ditulis secara lokal sebagai lawan karya-karya terjemahan, yang mengisi ceruk pasar Cerita Kungfu yang sudah mapan. Bahkan KPH tidak hanya menyedot pembaca dari kalangan masyarakat Tionghoa, tapi juga pribumi.

“Lewat buku ini, saya ingin menegaskan
bahwa tanah tumpah darah kami
juga memiliki material yang bisa dijadikan
bahan cerita silat.
Sayangnya, saat ini tidak banyak
orang yang bersedia menulis Cerita Silat
dengan materi yang lebih membumi.
Penulis lebih suka mengambil cerita dari
Cina dan meng aplikasikannya. Saya ingin
menciptakan cerita saya dengan ruang
imajinasi lokal.”

SH Mintardja

SH Mintardja mungkin tidak sesukses KPH. Ia memanfaatkan larangan pemuatan Cerita Kungfu secara bersambung di koran-koran, dengan menghadirkan Api di Bukit Menoreh di salah satu koran paling berpengaruh di Yogyakarta. Mintardja menjadi pelaku replikasi memetik horizontal dalam skala nasional.

Penulis Cersil kelahiran 26 Januari 1933 mungkin juga berutang pada Gan KL, OKT, dan penerjemah Cerita Kungfu lainnya. Namun, Mintardja tidak hanya mengambil meme cari Cerita Kungfu, tapi juga memanfaatkan pengetahuannya akan Babad Tanah Jawa, dan tradisi lokal masyarakatnya. Ia menciptakan Mahesa Jenar, sosok dalam Api di Bukit Menoreh, yang hampir mirip dengan Bima – tokoh dalam Mahabharata. Bahkan Mahesa Jenar menjadi memeplex yang hidup sampai saat ini.

Popularitas Mahesa Jenar, menurut Buckingham, menjadi petunjuk bagaimana konseptualisasi kepahlawanan populer berevolusi selama periode itu. Pada Nagasasra Sabukinten, Mintardja mengambil meme Wayang. Bahkan konstruksi buku ini dibuat seperti Bhara tayud ha , terutama pada klimaks. Struktur narasinya berbeda dengan KPH, karena lebih Rajah-Centric. Buckingham mengatakan Rajah Centric adalah kode etik suci politik dan sebagai fokus identitas nasional.

Lebih penting dari semua itu Nagasasra Sabukinten membantu mendefinisikan orang modern Indonesia, yang memiliki jiwa satria. Meme satria berasal dari Hindu Jawa, yang kemudian dicomot Sokarno untuk kode etik pembangunan nasional bagi pegawai negeri. Legenda lokal juga tak luput dari perhatian Mintardja, salah satunya adalah Candi Jongrang. Mintardja. Ia menggunakan pendekatan Mahabharata, tapi dengan gaya bercerita yang menyerupai wuxia xiaoshuo.

Mintardja memiliki pembacanya sendiri, yaitu masyarakat Jawa yang merindukan masa keemasan tanahnya. Lebih dari itu Mintardja, lewat semua cerita silatnya, mengajarkan pembacanya akan sejarah Jawa. Ini sejalah dengan pernyataan Soekarno untuk tidak sekalikali melupakan sejarah.

KPH dan SH Mintardja, menurut Buckingham, dalah sosok yang membentuk identitas masyarakatnya dalam bingkai keindonesiaan. Namun pembentukan itu masih terus berlangsung, dan tidak akan pernah berhenti. Oleh karena itu, karya-karya KPH dan Mintardja menjadi penting untuk terus dibaca generasi kini dan esok. Kesamaan lain dari keduanya adalah menyuarakan semangat antipremanisme, rent seeking, dan feodalisme.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/11/teraju-antara-kho-ping-ho-dan-sh.html

Membincang Puisi Protes

Jusuf AN
http://sastra-indonesia.com/

Dua hal yang penting untuk dikaitkan ketika kita membincang puisi, yakni penyair dan lingkungan yang melingkupinya. Sebuah puisi tentu saja tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal si penyair. Selain kondisi sosial budaya saat menciptakannya, perasaan dan ideologi penyair juga mempengaruhi sebuah puisi yang lahir. Puisi merupakan alat yang digunakan penyair untuk menyuarakan apa yang dilihat dan dirasakannya. Ketika bencana merajalela di mana-mana maka puisi berusaha merekamnya. Ketika kezaliman penguasa membabi buta, maka puisi lahir untuk menggugatnya. Ketika kebebasan berpendapat dibungkam penyair tetap dapat berteriak lewat puisi-puisinya.

Tak pelak, puisi menjadi satu hal yang paling ditakuti oleh para diktator. Bagi pihak penguasa otoriter, puisi bisa menjelma nuklir yang mengancam runtuhnya singgasana emasnya. Penyair dianggap sebagai biang kotoran dan penyakit, serta pemberontak yang keras kepala yang menjadi sasaran untuk disingkirkan. Hal semacam ini bukan lagi rahasia kini. Tentu saja kita akan selalu ingat dengan kekejaman era Orde Baru (Orba) di mana penyair-penyair diancam, dipenjara tanpa pengadilan, diculik, dan hingga kini masih ada yang hilang tak diketemukan.

Tapi kini, zaman pembocoran fakta lewat fiksi sudah berakhir, kata Joni Ariadinata dalam sebuah esainya. Nyaris tak ada lagi yang misteri dari fakta-fakta yang disembunyikan, baik oleh tekanan politis negara maupun tekanan etika. Setiap orang kini adalah sumber berita, berhak mengumbar berita. Tak ada lagi yang rahasia dan patut dirahasiakan. Setiap orang boleh mengatakan apa saja dan membuka peristiwa apa saja.

Begitulah, setelah Orba lengser dan protes dapat dilakukan oleh siapa pun tanpa rasa takut sedikitpun, puisi protes seakan kehilangan gema. Puisi protes tak lagi dianggap sebagai momok menakutkan, tak lagi diperhatikan. Bahkan, menurut Putu Wijaya, dalam Zig-Zag (1996) sekarang raja sudah terbiasa mendengar segala yang jelek-jelek tentang dirinya dengan hati tentram. Karena terbukti itu tidak ada pengaruhnya melainkan justru jadi tambahan punten, karena menunjukkan kemuliaan hati dan tegaknya demokrasi.

Alhasil puisi kritik, protes, perlawanan, atau istilah lain serupa itu tak lagi diperhatikan bukan hanya oleh pembaca, penguasa, melainkan gairah para penyair untuk menulis puisi protes juga mulai melemah. Ini kenapa? Apakah puisi-puisi protes tak lagi dibutuhkan sebuah bangsa yang telah membuka kran “kebebasan berpuisi”? Apakah kezaliman di sekeliling kita telah benar-benar musnah? Ataukah karena penyair mengikuti selera pembaca, yang kini jarang ada yang peduli pada puisi macam itu?

Memang, sebenarnya puisi protes tidak sepenuhnya mati, hanya kehilangan gairah, kehilangan pembaca. Masih ada penyair yang konsisten menulis puisi protes tentang kerusakan alam, politik busuk, dan keterpurukan soal sosial budaya lainnya. Bagaimana pun puisi protes tetap dibutuhkan. Di tengah hiruk-pikuk kritik dan pemberitaan yang deras mengalir dari berbagai media kita tetap membutuhkan suara hati penyair dengan kata-kata yang penuh perenungan. Kita butuh kata-kata segar, pelecut semangat, pengobar keberanian, dan cermin untuk menatap diri kita sendiri.

Puisi protes tentu saja masih terus lahir di tiap sudut bumi ini, demi merekam dan menyikapi peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Konflik yang terjadi antara bangsa Arab-Israel membuat para penyair Palestina terkondisi untuk melahirkan puisi-puisi perlawanan. Mulai dari yang tertua Jabra Ibrahim Jabra (1920-1994), Ghassan Kanafani (1936-1972), hingga Abu Salma, Sami Al-Sharif, Ibrahim Souss, dan Tamim Al-Barghouti dan masih banyak lagi sederet penyair lainnya. Penyair-pernyair tersebut melahirkan puisi bukan lantaran suaranya dikekang, pendapatnya dibungkam, melainkan karena darah kepenyairannya telah kental, sehingga batinnya bergejolak untuk menulis tragedi di sekitarnya. Selain itu, puisi-puisi perlawanan terkadang juga menjadi slogan, khususnya yang lahir di daerah konflik, dapat membangkitkan semangat perjuangan dan keberanian untuk melawan kezaliman.

Marilah, sejenak kita renungkan puisi Abu Salma, penyair berdarah Palestina berjudul ”Kami Akan Kembali” yang saya petik dari artikel A.Rahim Qahhar, sastrawan Sumatra Utara:

Demi cintaku Palestina, bagaimana aku dapat tidur/ Sedangkan spektrum penyiksaan ada di mataku/ Aku menyucikan dunia dengan namamu/ Dan jika kamu tidak suka biarkan aku keluar/ Aku telah dipelihara perasaan penuh rahasia/ Pada hari-hari yang meluncur berbicara tentang/ Persekongkolan dengan musuh dan teman-teman/. Demi cintaku Palestina!/ Bagaimana aku hidup/ Anda jauh dari dataran dan lautan/ Di kaki gunung yang dicelup dengan darah/ Yang memanggil-manggil diriku/ Dan di cakrawala yang muncul mencelup/ Menangis di pantai memanggil diriku/ Dan aku menangis di telinga waktu/ Aliran pelarian yang memanggil diriku/ Mereka menjadi asing di negeri sendiri.

Sungguh, kita yang hidup di Indonesia, tidak hanya akan diajak merenung oleh pencinta negeri Palestina itu, tetapi kita dapat menikmati diksi demi diksi yang Abu Salma rangkai sedemikian rupa sehingga membuat emosi kita terbawa. Inilah salah satu hal yang mungkin patut kita perhatikan: Puisi adalah puisi yang menyimpan tanda, metafora, dan diksi yang tertata. Inilah yang membedakan puisi dengan berita atau artikel. Kalau puisi protes diramu sedemikian rupa sehingga tidak hanya mengkritik (apalagi menghujat) dengan bahasa skripsi, maka saya kira puisi protes akan tetap mendapat tempat, mendapat apresiasi layak dari publik.

Protes Diri Sendiri

Sebenarnya puisi protes atau kritik bisa diartikan lebih luas lagi, yakni protes dan kritik itu tak melulu ditujukan untuk sesuatu yang berada di luar diri si penyair. Di satu sisi kita patut protes manakala melihat kemungkaran, kebiadaban, ketidakadilan di sekeliling kita, tetapi di sisi lain kita juga mesti protes terhadap diri kita sendiri yang terkadang khilaf atau bahkan telah melakukan dosa dan kesalahan besar. Dan ketika si penyair mengkritik kinerja pemerintah yang amburadul, korup, atau boros, atau mengkritik kebiadaban di sekelilingnya, maka sudah sepantasnya penyair tersebut mengoreksi dirinya sendiri, apakah dirinya telah bersikap baik, jujur, dan hemat dan bijaksana selama ini.

Kita tahu, Nabi menyuruh kita untuk sibuk mencari kesalahan diri sendiri sehingga tidak punya waktu lagi dan hingga tidak punya waktu lagi untuk mencari kesalahan orang lain. Sabda Nabi selalu ada benarnya, sebab ketika seseorang telah memperbaiki dirinya, maka ia akan menjadi teladan bagi orang lain. Ketika kita (selalu berusaha) menjadi pribadi yang baik, maka, tanpa menulis puisi, kita sebenarnya telah berupaya untuk membangun negeri ini ke arah yang lebih baik. Lebih-lebih kalau kita menyempatkan waktu menulis puisi. Bagaimana?

12 April 2010
Dijumput dari: http://jusufan.blogspot.com/2010/04/membincang-puisi-protes.html

Bara Sejarah di Solo

Judul: Candik Ala 1965
Penulis: Tinuk R Yampolsky
Penyunting: Joko Pinurbo dan Goenawan Mohamad
Penerbit: Kata Kita
Cetak: 2011
Tebal: 223 halaman
Peresensi: Bandung Mawardi
http://suaramerdeka.com/

NOVEL mengekalkan memori kota N dan biografi manusia. Barangkali ini ambisi kecil di balik penggara pan novel Candik Ala 1965 oleh Tinuk R Yampolsky, seorang perempuan asli Solo yang puluhan tahun berkelana dan mukim di Amerika Serikat. Kerja kata (menulis) mirip cara menguak ingatan, menata peristiwa-peristiwa lampau, dan mengenangkan kota. Novel adalah pilihan demi buaian imajinasi-historis, ikhtiar “mengembalikan“ diri ke dunia asal: Solo.

Pengarang menjelaskan: “Ketika cerita ini dirancang dan kemudian dikerjakan, saya berada lebih kurang sepuluh ribu mil jauhnya dari Solo.“ Jauh jarak ini tak memupus cerita, Tinuk justru merasai “dekat dalam ingatan sejarah“. Kenangan masih bertumbuh, memberi tarikan bagi pengarang menulis cerita, menghadirkan tokoh-tokoh dari masa lalu. Mekanisme kerja ini mirip pembongkaran diri dalam kronik-kronik realitas, mengejawantah sebagai dunia fiksionalitas.

Cerita bergerak pada tokoh Nik, perempuan dari keluarga sederhana, tapi rentan dengan kisruh politik 1965. Nik mengisahkan diri saat usia 7 tahun, memberi kesaksian atas keruwetan politik panas di sebuah kampung di Solo. Kota tak tenang, curiga berseliweran, darah mengucur, dan luka-derita menghinggapi. Solo berubah, kota jadi ruang seteru, ketakutan, dan kematian. Kesaksian ala bocah ini memberi deskripsi naif: politik panas 1965 tak mesti sesak bahasa-bahasa politis dan sarkastik. Pembahasaan seorang bocah cenderung emosional tapi mengandung sentuhan-sentuhan manusiawi, berjarak dengan tirani opini atau nalar politik dogmatik.

Goenawan Mohamad pun mengakui tentang nilai dari model penceritaan dalam Candik Ala 1965: “peristiwa yang menakutkan itu dikisahkan dari mata seorang anak, yang kemudi an tumbuh, di sebuah kampung di Solo: sebuah dunia yang lugu yang dibenturkan dengan pergolakan yang buas.“ Novel ini memang cukup memiliki keunikan ketimbang sekian novel tentang tragedi 1965 dalam nalarimajinasi tokoh-tokoh dewasa atau orangtua.

Nik menjalani “hari-hari membara“ oleh penangkapan orang-orang dalam sangkaan terlibat PKI oleh militer dan aparat negara. Tawur dan perkelahian turut memberi sengatan atas ketidakberesan hidup, peristiwaperistiwa mengenaskan di jalan dan ruang publik. Adu ideologis, arogansi partai, dan klaim-klaim politik membuat keluarga retak, kampung pecah, dan individu-individu terjerat stigmatisasi. Agenda pembersihan kota dari orang-orang terlibat PKI justru membuat Nik takut, bingung, dan trauma. Geger ini juga menimpa keluarga Nik, seorang kangmas mesti pergi meninggalkan Solo demi keselamatan. Politik melahirkan intrik dan sengit.

Memori atas tragedi 1965 ditamsilkan dengan metafor candik ala, dijadikan judul sugestif. Masyarakat Jawa akrab dengan metafor ini, dilantunkan bocah-bocah sebagai seruang dan ingatan kosmis. Kita simak lirik dalam tembang dolanan bocah “Candik Ala“: Wayah sore wis surup srengengene. Sisih kulon katon langite. Candik ala ora kena pada sembrana. Jare ndak cilaka diuntal Bathara Kala. Tanda-tanda alam telah mengisahkan politik, tragedi, dan getir manusia. Alam jadi rujukan untuk manusia reflektif dan eling.

Biografis

Latar tragedi 1965 itu diimbuhi dengan peristiwa banjir, 1966. Tokoh Nik mengenangkan, tahun-tahun itu sebagai dukacita. Anggapan awam mengakui Solo sedang mendapati kutukan, anutan dalam nalar-imajinasi Bathara Kala. Politik dan bencana bisa dikembalikan ke kosmologi Jawa, dipahami dalam pasrah dan eling. Episode gelap itu pelan pelan bergerak seiring pertumbuhan usia Nik dan transformasi sosial, politik, kultural di Solo. Politik belum melegakan sebab rezim Orde Baru pun hadir dalam represi, instruksi, dan teror. Nik memahami itu mengacu pada situasi-situasi politik masa lampau.

Suguhan cerita dalam novel ini memang tidak hendak merepotkan pembaca untuk mengerti dunia batin tokoh, deskripsi teritorial Solo, atau situasi politik Indonesia. Pengarang lumayan lihai mengisahkan tanpa pelik-pelik bahasa, lancar dan informatif. Pembaca dengan latar geografi dan biografi di Solo mungkin lekas meresapi cerita, bergantung intimitas dengan sekian tempat, suasana, tokoh dalam novel dan fakta. Cerita bergerak di Jagalan, Balai Kota, Baluwarti, Jalan Slamet Riyadi. Novel ini juga menghadirkan tokohtokoh seniman kondang di Solo: Wiji Thukul, (Sosiawan) Leak, Suprapto Suryodarmo. Suasana Solo masih bisa diakrabi dalam deretan-deretan kalimat sugestif dan metaforik.

Lakon hidup Nik berubah bersama segala hal itu dan nubuat nasib. Nik masuk dalam dunia seni panggung: tari. Perempuan lugu ini merasai cinta, membuat pemberontakan kecil atas nilai-nilai konservatif di keluarga, mengangankan utopia kebebasan. Tokoh Nik pun bersinggungan dengan politik, seni, dan kultur modernitas. Seni adalah jalan hidup, politik susah dielakkan, dan kebebasan mesti diejawantah dalam kemauan dan pamrih. Nik pelanpelan mengenali dunia dalam sekian dilema, berbeda dengan masa kecil saat ada di jerat intrik politik. Nik hendak menemui nasib, mendefinisikan diri tanpa paksaan atau trauma.

Pemakaian judul Candik Ala 1965 cukup memberi pikat atas kemauan cerita, pergolakan diri tokoh dan kota. Candik ala berarti langit warna kuning kemerahan menjelang senja. Suasana itu representatif untuk menguak tragedi 1965 di Solo, kota dengan gelimang sejarah kekuasaan Jawa.

Judul itu juga bisa jadi tamsil atas biografi tokoh Nik, seorang perempuan dengan pasang surut konflik politik, seni, dan cinta. Novel ini telah mengingatkan, mengundang pembaca untuk menggerakkan diri ke masa lalu dan menghampiri masa sekarang dengan buaian imajinasi-historis.

16 Oktober 2011

9 Pencerita yang Dibunuh Ceritanya Sendiri

Fahrudin Nasrulloh *
__Radar Mojokerto, 18 Des 2011

Mojokerto mulai bergerak lagi. Mojokerto coba diongkosi lagi. Oleh mereka-mereka yang masih bersetia menulis, dan satu-dua-tiga yang baru muncul belakangan. Sastra tampaknya tak pernah mati dari kondisi apa pun yang bahkan telah banyak mencekik para pelakunya untuk lebih jauh mengarus dalam dunianya yang semakin tak jelas. Tak jelas dalam arti bahwa rambahan estetika di dalamnya adalah pertarungan yang tiada habis dalam upaya bereksplorasi. Sekarang makin terasa dunia sastra lewat media yang makin tak terbatas, misalnya dalam jagat internet, karya lahir dan ditulis oleh ribuan penyuka mulai yang sekedar iseng-isengan sampai yang serius seriusan. Apakah ada karya monumental yang muncul seiring demokratisasi sastra yang kian tak terbatas itu? Media koran tak lagi menjadi sentral, meski pertarungan untuk menembuskan karya ke sana tetap jadi pertaruhan. Itu tak penting kiranya. Yang pasti, sastra sudah menjadi bagian yang tidak lebih asing lagi di masyarakat, untuk tidak mengatakan sastra masih saja tetap terasing dari masyarakatnya. Buktinya, apresiasi sastra sudah banyak masuk ke sekolah, kampus, dan komunitas di daerah baik di kota maupun di kabupaten.

Membicarakan kota dan karya, cukup menarik bila kita menilik kembali Mojokerto beserta gerak sastranya dalam 5 tahun belakangan ini. Tahun 2007 sampai 2009 di Mojokerto masih dapat terasakan gerak sastranya, dan posisi apresiasi sastra yang paling menonjol adalah puisi. Banyak penyair yang bermunculan, selain yang tua-tua, sebagaimana yang disebutkan dalam pengantar kumpulan cerpen Tentang Kami Para Penghuni Sorter (2011) ini. Kemudian bisa kita cermati dalam 2010 sampai akhir 2011, kegiatan sastra nyaris senyap di Mojokerto, kecuali beberapa peristiwa sastra yang membuntut dalam agenda bulanan di Festival Bulan Purnama Wringin Lawang di Trowulan yang dihelat oleh Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto. Dalam 2 tahun itu pula, geliat sastra dalam tubuh Dewan Kesenian Mojokerto (kota) hampir tak terdengar.

Baiklah, itu cerita lumayan romantik dan agak tidak perlu jika dipanjang-panjangkan di sini. Kita langsung menuju rumah buku cerpen ini. Ada apa saja di sana dan apa yang terjadi.

Cerpenis dalam antologi ini banyak diisi oleh cerpenis asal Pacet, Mojosari, atau Bangsal, wilayah selatan Mojokerto. Sementara wilayah Mojokerto lainnya banyak dihuni penulis yang menekuni puisi. Latar sosial apakah yang tercermin dalam cerpen-cerpen mereka? Mereka menulis itu didorong oleh apa? Ini hal mendasar. Jelas riwayat mereka beda-beda, dengan niat, kondisi yang mempengaruhi, dan latar kreatif masing-masing.

Persoalan klasik menulis cerpen yang utama menurut saya adalah bagaimana sebuah cerita mampu berdaya hidup dan bergerak menceritakan dirinya sendiri di hadapan pembaca. Posisi penting pencerita bisa diistilahkan sebagai “si pelempar batu”, yang padanya hal-hal yang bersifat teknis semustinya terlebih dulu dapat ditanggulangi. Butuh ketajaman sorot mata, dan tindakan yang tepat-guna pada sasaran, karena cerpen itu ya cerita yang singkat, yang simpel, kalau perlu sekali dibaca bisa meng-KO pembaca. Contoh entengnya, paragraf pertama yang ditulis diupayakan tidak membikin bosan, sebab pasti pembaca akan segera melemparkannya ke tong sampah. Karena ini soal “dunia dalam” pada diri si pencerita, wilayah psikologis yang berpusaran di kerak otak ini bisa bercabang-cabang dan melantur ke mana-mana.

“Ini kan soal gimana mengatasi psiko-diri sesaat sebelum hendak menulis cerita, bukan?” Ini yang saya sebut sebagai “medan penanggulangan kreatif si personal”. Dan memang, di kedalaman sana, penanggulangan itu tak selesai-selesai yang justru pada titik kulminasi tertentu makin menguat bersama kegentingan yang dengan sendirinya akan terus merusak kegelisahan apa pun. Semua itu bisa dibikin jelas tampaknya, pada hal sepele sebenarnya, bagaimana sih ide cerita itu hendak diceritakan? Ini akan dengan sendirinya memberi corak pada tema, tokoh, dan konflik yang dibangun sekaligus benarkah sudah menarik, menohok, seperti kilatan, cara bercerita yang demikian yang ditawarkan? Dari situ, dan lewat beberapa cerpen dalam buku ini, kita bisa melongok, oh, adakah sesuatu yang sudah dipertimbangkan matang-matang bahwa cerita ini cerita itu telah benar-benar menjadi sebuah cerita? Ataukah sekedar berita? Atau semacam “kesan” akan peristiwa yang pernah tersaksikan saja dan karenanya dipertanyakan sudahkah pembaca menemukan “pokok cerita” di sana? Kita bisa tilik kembali cerpen-cerpen ini: “Catatan Seorang Tuna Netra” oleh Atina Nabila, “Doa Istri Tukang Semir Sepatu” oleh Jack Effendi, “Negeri Dongeng” karya Nasrulloh Habibi, “Purnama Di Tepi Sungai Brantas” karangan Rais Muhammad KS, dan “Payung” oleh Mochammad Asrori.

Perkara gaya bercerita yang berlarat, terkesan dipanjangkan, seolah deskripsi yang dipaparkan membutuhkan yang lebih dan lebih agar pembaca nyaman dan jenak kadang justru memunculkan rasa bosan dan memutungkan pembaca untuk merampungkan cerita. Tema kerapkali menempati posisi yang perlu diperhitungkan, misalnya apa yang dinilai lebih dari sebuah cerpen jika cerita yang ditawarkan itu sesuatu yang tak jauh dari keumuman atau yang sudah biasa kita dengar atau dari kenyataan yang begitu jamak dialami khalayak. Maka dalam cerpen jika semua komposisi vital pembentuk dan pengokoh sebuah cerpen tidak digarap dengan pendalaman serius maka selanjutnya hanya akan menghadirkan hal-hal yang “permukaan” saja. Tak menembus ke inti cerita. Ke konkrit cerita.

Kekonkritan cerita sebagai gagasan yang tidak muluk-muluk bisa kita temui dalam cerpen Hardjono W.S. “Penghuni Sorter”. Ini tentang Mak Pah tukang warung kopi yang suaminya mati secara tragis lantaran soal warisan lalu ia dibunuh keponakan sendiri. Sejak kejadian itu, Mak Pah tetap bertahan berjualan untuk mempertahankan hidupnya. Meski ini cerita yang bisa kita dapati dalam berita kriminal di koran atau televisi, namun tetap asyik dibaca karena cara berceritanya yang tidak bertele-tele. Cerpen “Rebiin” dari Akhmad Fatoni, untuk sekilas tampak menyisakan problem dalam merumuskan ide dasar konflik yang dibangunnya, juga logika bercerita, namun teka-teki si tokoh suami dengan ketidak-percayaannya pada omongan si istri bahwa adiknyalah yang sesungguhnya mengguna-gunainya itu tidak menemukan korelasi logis yang realistis kenapa kekeraskepalaan itu bertahan dan modus si adik yang disangka (atau dituduh?) tersebut terjadi begitu saja. Kita bisa terpancing untuk mengulur tanya: Jangan-jangan, jangan-jangan: terjadi keliru tuduh? Atau termakan hasutan? Atau membiarkan itu terjadi untuk tujuan lain, tujuan siapa? Tiga tokoh di sini, menurut saya, jika saya menggunakan pola investigatif ala Agatha Christie: masing-masing menyimpan “motif gelap” yang susah ditebak endingnya. Bila menurusi alur logika ini, Fatoni boleh jadi telah membuat sekian seri tentang Rebiin ini.

Cerpen “Tentang Kami” karya Jr. Dasamuka ini jelas realis. Sebuah rencana pembunuhan kepada kakaknya sendiri yang berupaya secara terang-terangan dan kasar ingin merebut kekasih si tokoh. Aroma dendam menguar pekat di sini. Cerpen “Yang Dibunuh Cerita-Cerita” karya Dadang Ari Murtono juga bercorak realis yang lebih masuk ke dalam. Pola tutur yang terkesan melantur-lanturkan emosi dijalin dengan logika bahasa yang padu dan baluran metaforik yang cukup menyentuh, kadang terasa boros kata. Antara sosok si tokoh yang dilematis, bahkan sangat-sangat paranoid, dengan kekasihnya (yang berseru: “Maka kuambil urat-urat kaki dan tanganmu. Lumpuhlah. Berhentilah mencipta tragedi dalam hidup kami.”), dengan kawan-kawannya, yang diilustrasikan bahwa pada detik-detik kematian si tokoh karena kanker darah unsur dramatik begitu kental. Kesadaran alam lain dalam cerita Dadang itu menubuh dan menembusi ruang-waktu secara retrospektif yang ulang-alik: pada ungkapan di saat-saat si tokoh sebelum mati, setelah mati, dan aku lirik pencerita yang memungkasi di akhir cerita:

Kawan-kawan dan tetangga-tetangganya bersumpah ia tersenyum dan terlihat teramat bahagia ketika diketemukan meninggal dalam kamarnya yang pengap asap rokok dan sempit itu. Tak ada yang tahu apa yang menyebabkan ekspresi wajahnya seperti itu. Tak ada yang tahu bila segala yang pernah ia tulis, segala cerita yang pernah ia karang, segala tokoh-tokoh yang ia lahirkan, bergantian mnjenguknya. Dan ia tak lagi merasa berhutang pada apa-apa dalam cerita-cerita itu, pada tokoh-tokoh dalam cerita-cerita itu.

Adakah ini cerita yang disamarkan tentang peristiwa riil diri Dadang sendiri yang sebenarnya? Kemungkinan itu bisa benar, dengan kenyataan umum bahwa setiap karya merupakan cerminan diri pengarangnya, tentu saja, dengan kadar yang tak bisa diukur prosentasenya. Dalam kumpulan cerpen ini tema personal dengan berbagai sisikmelik problematiknya lebih mengemuka ketimbang tema sosial.

Walakhir, kelemahan-kelemahan juga rambahan estetik dalam menulis cerpen memang kompleks. Membuat cerita yang sederhana tapi berisi juga rumit, dan semua itu adalah bagaimana pandangan hidup dan sikap dalam proses kreatif itu tidak dihinggapi oleh hal-hal yang bersifat instant dan watak megalomaniak, misalnya ingin cepat dimuat media, tak mengindahkan revisi berkali-kali, menghindari mendiskusikan karya dengan teman terdekat, ingin cepat diantologikan jadi buku, mengejar target sayembara cerpen, watak manipulatif, miskin bacaan, ingin cepat terkenal, tak menghargai pendapat orang lain, malas riset (ini yang banyak diabaikan), dan bla-bla-bla yang kesemuanya itu adalah soal-soal lawas yang jadi penyakitnya penulis saat ini yang disadari atau tidak membuat karya-karya sastra kita mengalami kesumpekan. Dan sastra kita cuma jadi “sastra sepintas lalu”, “yang biasa-biasa saja” sebagaimana yang disitir Budi Darma dalam buku esai sastranya Solilokui.

Dan semoga sajalah, semua cerita yang telah selesai ditulis dan kini dibaca oleh siapa pun itu, mampu hidup dan memberi nyala api, bukan epidemi. Apakah itu yang kita doa-harapkan? Atau, biarin saja, semua cerita yang tertuliskan itu kuasa membunuh penulisnya setiap waktu, untuk kemudian bangkit lagi lalu membikin tularan-tularan cerita yang lebih-lebih sinting lagi.
____________________
*) Fahrudin Nasrulloh, cerpenis, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang.

Inong Tanpa Sekat; Membaca Karya Tulisan dan Akting Bengkel Sastra UNJ

Anjrah Lelono Broto *)
__Radar Mojokerto, 4 Des 2011

“Seharusnya kesadaran akan seni dan berkesenian dapat menempat pada ruang dan waktu yang terus musti ditanamkan.”(Agus Riadi).
Tanpa iringan musik Gambang Kromong khas Betawi atau pun ceceran riang senandung Lagu Kicir-Kicir, Teater Kopi Hitam Indonesia (TKHI) menapakkan kaki di tanah Si Pitung yang sekarang menjadi ibukota tanah air tercinta. Di bawah bimbingan inginan sederhana untuk men’silahturakhim’kan repertoar “Inong; Dongeng Rumah Jalang”, awak TKHI mengucap salam kekerabatan berkesenian dan berkebudayaan kepada kawan-kawan komunitas Bengkel Sastra Universitas Negeri Jakarta (Bengsas UNJ) di jantung ladang kerja kreasinya, Rawamangun.

Repertoar “Inong; Dongeng Rumah Jalang” yang beberapa waktu lalu dipergelarkan dengan konsep pementasan panggung arena terbuka di Surabaya (dalam rangkaian agenda Festival Seni Surabaya, FSS 2011), masih setia memempercayai Gandis Uka (Siti Mafruchah) sebagai pemeran tokoh Inong, Cucuk Espe sebagai Sandek, Farid ‘Doelkhamdie’ Khuzaini sebagai tokoh Silay, penulis sendiri sebagai tokoh Madranu, serta Wahyu Hidayat, Roy Zikin, dan Agus ‘Srufuet’ di barisan pemusik.

Ketetapan komposisi ini dilandasi spirit bahwa proses teater adalah sebuah kegiatan yang menyenangkan, sehingga akan terasa menyakitkan apabila satu kerja kreatif berteater diwujudkan dalam satu kali pementasan semata. Spirit ini pulalah yang menjadi mata air bagi inginan sederhana TKHI untuk men’silahturakhim’kan repertoar “Inong; Dongeng Rumah Jalang” karya dan sutradara Cucuk Espe dan musiknyab dicompose oleh Farid ‘Dhoelkamdhie’ Khuzaini ini ke beberapa kota, seperti Jakarta, Madiun, Solo, dan Yogyakarta dalam tajuk pentas keliling.

Nir Sekatisme Bengsas

Sebagaimana pesan mendasar dalam repertoar “Inong; Dongeng Rumah Jalang” yang mengungkap kegetiran subordination position kaum perempuan, TKHI membutuhkan penawar hati bagi kerja kreatif selanjutnya dan selanjutnya, di Jakarta. Metropolitian karakter Jakarta tentu saja menawarkan beragam penawar hati yang menggoda-menggiur bagi pegiat seni di jajaran awak TKHI yang masih menunduk dalam strata ‘dhalang sing dhurung sepira bangkit’ (meminjam kosakata Kartolo Cs).

Lalu dimana sisi menggoda-menggiurnya Bengsas, hingga TKHI jatuh hati dan memilihnya sebagai suami dalam lakon ‘kawin kontrak’ ala pergelaran seni pertunjukkan teater? Mengingat, Bengsas bukanlah komunitas yang fokus bergelut-menggeliat dalam bidang seni pertunjukkan teater.

Kesejatian Bengsas sebagai unit kegiatan mahasiswa (UKM) di bawah payung Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni UNJ, merupakan komunitas yang unik. Meski makna yang diusung dalam nama komunitas ini adalah “sastra”, ternyata komunitas yang berdiri di tahun 2008 ini memiliki tiga divisi yang umumnya dipandang dalam perspektif dikotomis oleh mayoritas pegiat seni tanah air. Selama ini berkembang pemahaman bahwa ketika seorang pegiat seni nawaitu bergelut-menggeliat di salah satu cabang seni, maka seakan haram hukumnya baginya untuk menyentuh wilayah cabang seni yang lain. Tiga divisi tersebut adalah (a) penulisan kreatif, (b) teater, dan (c) film.

Komunitas yang dimotori oleh salah satu dewi penyair tanah air, Helvi Tiana Rosa, ini memberikan ruang seluas-luasnya bagi anggota Bengsas untuk berproses dalam bidang tulis-menulis, baik esay, puisi, cerpen, novel, naskah drama, hingga skenario film. Keluasan ruang yang menjadi wilayah Divisi Penulisan Kreatif ini, menuai melimpahnya hasil karya yang kemudian diterjemahkan ke bahasa pemanggungan oleh anggota komunitas lainnya di Divisi Teater dan Divisi Film. Alur sinergi kerja kreatif yang dikembangkan dalam rahim Bengsas ini juga acapkali berbalik, terkadang repertoar teater ataupun produksi film yang justru menjadi hulu bermuaranya tulisan kritik, analisis, maupun karya sastra lainnya yang bersifat saduran.

Konstruksi sinergitas lintas cabang seni inilah yang melahirkan keunikan bagi karakter kerja kreatif di komunitas yang secara yuridis formal menamakan dirinya sebagai “Bengkel Sastra, dimana fokus dalam cabang seni sastra semata yang kaprah diterima publik sebagai sebuah keniscayaan. “Adalah sebuah kejahatan berupa pembajakan identitas andaikata seorang penulis, sastrawan, atau pegiat seni tulis-menulis menyentuh wilayah yang bukan maqam-nya. Persepsi seperti inilah yang kemudian membelenggu, padahal proses kreatif dalam seni, bahkan dalam hidup itu sendiri, menganjurkan pembebasan yang logis. Sangatlah logis apabila kita juga memberi ruang kawan-kawan di Bengsas untuk menulis, berakting, dan memperhatikan perspektif kamera,” tutur Ferdi, salah satu tetua Bengsas yang terkenal dengan joke-jokenya.

Keunikan sinergitas lintas cabang seni inilah yang membuat TKHI dengan repertoar “Inong; Dongeng Rumah Jalang” memilih Bengsas sebagai labuhan hati ketika menyandarkan sauh di Ibukota Jakarta.

Menjadi Aktor

Bisalah jadi hulu yang dipilih oleh kawan-kawan Bengsas berbeda dengan awak-awak TKHI. Akan tetapi pada kenyataanya, ketika kami bertemu-sua dengan repertoar “Inong; Dongeng Rumah Jalang” sebagai petanda silahturakhim, penulis merasai degup-denyutan nadi yang seirama. TKHI yang menempatkan “teater” di jujuran nama team work berkesenian dan berkebudayaan ternyata juga menyentuh wilayah-wilayah cabang seni yang lain. Selama ini, awak TKHI setiap minggu selibat dengan kru radio Suara Pendidikan Jombang (SPFM) dalam acara “Talkshow Belajar Sastra”. Artinya, awak TKHI juga melakonkan lakuan yang sama dengan lakuan kawan-kawan Bengsas.

Dalam upaya juang menjadi aktor yang baik ala Grotowsky, awak TKHI mencoba mampu sentuhi wilayah di luar panggung, dimana komunikasi antara pelakon di atas panggung dengan penonton dikonstruksi tanpa sekat pemisah. Di satu sisi, pengertian penonton pun mengalami perluasan makna menjadi publik itu sendiri, sehingga berkarya kreatif dalam cabang-cabang seni yang lain merupakan kelaziman, bukan kezaliman.

Pada lap seperti inilah, inginan untuk membangun kesadaran akan seni dan berkesenian dapat menempat pada ruang dan waktu yang terus musti ditanamkan, sebagaimana pernyataan Bpk. Agus Riadi di awal tulisan ini bukanlah semata gagasan yang musykil untuk diwujudkan.
____________
*) Awak Teater Kopi Hitam Indonesia

Senin, 19 Desember 2011

Menelanjangi Pendidikan Indonesia

Hasnan Bachtiar *
http://sastra-indonesia.com/

TIDAK perlu malu untuk memberikan kritik yang konstruktif pada fakta pendidikan Indonesia yang rapuh. Tidak pula mesti ditutup-tutupi segala dampak buruk yang mengiringinya. Hal yang wajar untuk curiga bahwa segala keajegan proyek pendidikan bangsa, barangkali mesti ditelanjangi untuk mengungkap kebenaran-kebenaran yang berserak.

Paradigma pendidikan kita perlu disangsikan jika berniat untuk mengangkat martabat di hadapan dunia. Apa itu memang benar, ataukah hanya bias angan-angan kosong? Bak buih, yang tampil di permukaan adalah standarisasi pendidikan, demi meraup serpihan pengakuan internasional yang sebenarnya mitos belaka. Apakah ini angan palsu yang mesti ditinjau ulang?

Tren paradigma pendidikan kini adalah standarisme, suatu rujukan agung dari segala praktik pendidikan. Namun faktanya, cita keajegan manusia yang terstandar menjadi penyebab kemerosotan. Alur pikir yang dianggap baik, malah menjebak pada tindak penghancuran sesama manusia.

Ujian Nasional (Unas) misalnya, mencipta irrasionalitas masal, menjauhkan diri untuk menuntut ilmu kemanusiaan dan membuat kelas-kelas sosial. Unas senyatanya sama sekali tidak memberikan sumbangsih bagi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, kecuali hanya berdiri di atas ketidakberdayaan para lakon pendidikan, sebagai pemasung yang legal.

Mari kita hayati bersama-sama tiga fenomena tersebut. Pertama, bisa kita saksikan secara langsung bahwa guru dan murid yang terjangkit beban standarisasi ini, lebih suka istigosah dan berdoa berlama-lama daripada belajar dengan rajin. Banyak orang mengalami gangguan kejiwaan, ketakutan-ketakutan dan kekhawatiran kegagalan, yang pada akhirnya membiarkan dirinya lari pada metafisika yang tidak wajar.

Kedua, menilik lebih jauh materi yang diajar-ujikan di dalam Unas, tidak lebih dari sekedar ajaran-ajaran paten positivisme. Mengajarkan segala hal dengan landasan uji matematis-logis yang alpa karakter moral, etika, kebangsaan, berbahasa yang baik dan benar, dan estetika keindonesiaan.

Peserta didik dituntut standar untuk dapat “menghafal” nilai-nilai kehidupan atau bahkan “menghitung” kebajikan-kebajikan, yang sejatinya mesti dihayati dan diamalkan. Sulit untuk menerima dengan akal sehat bahwa, matematika diterapkan untuk pendidikan kewarganegaraan, atau bahkan uji empiris pada pendidikan bahasa Indonesia.

Ketiga, standarisasi membikin kasta-kasta di tengah masyarakat. Mereka yang berkasta tinggi, tentu saja memiliki standar yang tinggi pula. Kelas tinggi berarti memiliki fasilitas lengkap, teknologi canggih, akses yang luar biasa, ditunjang dengan keuangan yang hebat, dan lain sebagainya.

Sebaliknya, tiada standar bagi mereka yang miskin, belajar di kolong jembatan dan lebih sering bertarung dengan penggusuran, kelaparan, kekerasan dan kesibukan pelik para papa, dari pada sekedar menyediakan waktu untuk belajar atau membaca buku.

Di luar tiga fenomena besar di atas, Unas yang terlanjur digulirkan secara sadar menciptakan watak, mental dan tradisi kecurangan, manipulasi dan permakluman yang menjijikkan. Anak-anak sekolahan mengalami gagap keberanian untuk menghadapi tantangan soal-soal ujian, menyontek menjadi kegemaran, jual-beli soal-jawaban menjadi komoditas, dan yang menyakitkan, para guru rela bermuka tembok untuk memaklumi segala kondisi kualitas “otak” para murid penimba ilmu yang compang camping. Ironis memang, tapi faktanya demikian.

Memandang masalah-masalah ini, sangat perlu untuk dicurigai siapa di balik kebijakan pendidikan bangsa kita? Siapa subyek pemilik tangan-tangan suci, yang menegakkan aturan kependidikan, sehigga harus dibayar mahal dengan harga dekadensi masa depan anak bangsa?

Entahlah siapa, tetapi yang jelas, Indonesia kekurangan pedagog yang memihak umat manusia. Sudah sekian lama, Indonesia hanya sibuk mengurus instrumen atau standar tertentu, namun menyisihkan karakter, kualitas akal budi dan kekuatan moral. Sulit menemukan pemikir pendidikan yang berani mempertanyakan mitos kependidikan.

Inilah saatnya, harus ada para pemberani yang turut dalam demitologisasi atau membongkar prosesi pembangunan mitos pendidikan Indonesia. Tidak ada alasan, selain menghentikan standarisasi pendidikan yang berbasis pada hitungan-hitungan formal tapi lalai akan karakter dan moral.

Pembaruan paradigma pendidikan sangatlah mendesak. Tidak ada banyak waktu demi kemaslahatan seluruh rakyat, untuk segera menata kembali kebijakan pendidikan agar melampaui jenjang-jenjang sosial dan segala tindak yang anti kemanusiaan.

Sebagai penutup gagasan ini bahwa, Indonesia memerlukan pembaharu yang berkemajuan, pedagog kritis dan para begawan pendidikan yang peduli kepada seluruh rakyat. Alternatif lainnya, jikalau tiada yang berkehendak, biarkan saja manusia-manusia bangsa mati sia-sia dalam kenaifan karena jerat kuasa standar mitos pendidikan.

23 April 2011
*) Penulis adalah guru pengabdi di SD Aisyiyah, Malang dan Peneliti Filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM.

PANGGUNG PENCERITAAN SUWUNG

Sebuah novel perjalanan hidup yang penuh intrik emosional dan mimpi
Beni Setia
http://sastra-indonesia.com/

KONSTRUKSI pementasan wayang kulit bertumpu pada kelir–layar–, di mana si penonton ada di sebelah luar dan menikmati serta mengapresiasi tampakan dari bayangan wayang yang dimainkan dalang dan diproyeksikan oleh terang blencong–lampu minyak. Bila dirinci, di zona batas: hadir wayang yang aktualistik dimainkan dalang, ada wayang yang siap untuk dimainkan kalau pembabakan dan kebutuhan cerita memaksanya tampil, dan sekaligus ada wayang-wayang yang hanya jadi pajangan dan tidak akan dimainkan–berjejer di kiri dan kanan arena cerita yang ditandai oleh batang pisang buat menegakkan wayang, di antara kelir dan blencong. Sedang di zona dalam: ada dalang–realisasi Yang Maha Kuasa, yang mengatur cerita serta pusaran nasib wayang–, dan sinden serta nayaga yang membuat ilustrasi dramatika cerita bagi konflik batin dari wayang yang dimainkan teraksentuasikan. Sekaligus pembabakan seperti itu membuat kita leluasa menarik makna simbolistik dari fenomena: wayang itu manusia yang harus menjalani peranan seperti apa skenario yang ditentukan dalang, sekaligus dalang itu Yang Maha Kuasa, sedangkan para penonton merupakan komunitas yang mengamati dan mengapresiasi–kita bisa menonton sebagai si sesama manusia dari zona depan kelir, atau si yang ruhaniah sebangsa jin atau malaikat dari zona dalam, ada di belakang dalang, bersama sinden dan nayaga.

Dalam pagelaran wayang golek konstruksi itu tetap ada meskipun faktor kelir, layar pemisah antara dua dunia sudah tak ada, tapi wilayah yang ditandai batang pisang tempat wayang dimainkan dalang–setelah gunungan dicabut dan diakhiri pembabakannya ketika gunungan yang ditegakkan kembali–merupakan wilayah batas di antara (dunia) manusia dan (dunia) dewani, sekaligus bagaimana semua pihak itu–yang riil manusia dan si yang rohaniah–menonton, mengapresiasi, serta memaknai lakon yang disandang oleh wayang terpilih dengan skenario yang diatur dalang.

Fenomena hamparan si batang pisang untuk menegakkan wayang, (pohon) gunungan yang dicabut, wayang yang dihadirkan serta ada berinteraksi dengan sesama wayang lain itu wilayah khusus. Sebuah zona yang disitandai spotlight, sehingga semua mata tertuju padanya. Peran dari panggung sangat dominan–di sandiwara klasik layar yang memisahkan si yang menonton dari si yang ditonton senantia hadir, sedangkan teater modern tak memakai layar meski terkadang masih ada pergantian babak, sedangkan pentas teater tradisi yang memakai konsep teater arena menempatkan si penonton di seputar dan di dalam panggung yang melebar. Panggung itu media yang ada mempertemukan si yang ditonton dan si yang menonton, yang mempertemukan apa-apa yang diceritakan dengan mengongkritkannya lewat adegan dan tokoh yang bersiinteraksi sesuai perkembangan cerita dengan si yang datang mengapresiasi sehingga penonton bisa menarik runtutan utuh cerita, memahami keutuhan pesan cerita, serta menyimpulkan apa makna yang disampaikan di panggung–sehingga sang sutradara serta penulis cerita, yang di khazanah wayang terkadang diperankan oleh seorang dalang, jadi terlupakan.

Terlebih ketika cerita itu tak dihadirkan dalam konstruksi utuh tiga dimensi manusia dan properti panggung, atau dua dimensi manusia dan properti riil keseharian dalam ujud film seluloid atau digital. Ketika panggung yang merupakan satu inisiatif (rekayasa) sadar perluasan dan pengkongkritan dari dunia artifisial wayang di atas batang pisang, atau teks lakon menjadi manusia utuh yang menempati ruang khusus serta kongkrit itu dihilangkan dalam manifestasi seni tutur cerita lisan. Sehingga si pendengar cerita otomatis ”dipaksa” untuk memunculkan–oleh kebutuhan agar berkuasa mengerti dan memahami cerita–dan menghadirkan ruang pertemuan serta dikursus yang diisi pembayangan imajiner dari si tokoh serta lokasi yang sesuai rangsangan cerita. Ruang subyektif di antara teks cerita dan yang mengapresiasi penceritaan. Sebuah dunia kanak ketika di sebelum terlelap ibu, ayah, kakek, nenek, dan siapa saja bercerita di tepi pembaringan. Sebuah dunia rekaan di ambang lelap yang bisa terbawa ke dalam mimpi.

***

DI empat puluh tahunan yang lalu, di Bandung, saya mengalami perayaan membaca yang bersipat komunal. Pertama, ketika ritual syukuran panen, dengan pembacaan cerita lisan seusai gabah yang telah kering dijemur akan dimasukkan ke dalam lumbung–meski ceritanya amat baku dan tehnik bercerita yang juga baku. Kedua, saat tradisi syukuran itu berkurang sebab jenis padi yang ditanam bukan lagi dari padi jenis asli lokal, yang harus dikemas di dalam kepang segenggam kumpulan malai bergabah yang sukar rontok, tetapi padi jenis baru yang gampang rontok karenanya segera dirontokkan lantas dijemur dalam ujud bulir-bulir lepas–yang kemudian dikemas dalam karung. Lumbung padi kehilangan fungsi. Pencerita lisan klasik kehilangan pasar. Tapi ledakan buku hiburan bahasa Sunda, yang biasanya berseri sampai 10-20 jilid itu, menghasilkan anomali komunitas perayaan membaca yang serupa–di teras ketika petang dengan semua anggota keluarga menyimak pembacaan buku itu oleh seorang anggota keluarga. Meski monoton, tanpa intonasi serta jeda, tapi semua konsentrasi dan menyimak cerita yang disampaikan penulis lewat mulut si pembaca. Momentum yang asyik yang selalu diperlihatkan oleh tetangga–saat itu saya sudah masuk zona membaca serta asyik membaca buku apa saja sendirian.

Tapi perayaan membaca semacam itu amat menarik, dan selalu mengingatkan pada masa oralitas cerita dari masa kanak-kanak yang intim dan intens dengan orang tua–saya memiliki malam yang asyik, ketika menjelang lelap ibu atau bapak mendongeng, bahkan melisankan cerita klasik yang dihiasi tembang dari buku dan kemudian buku-bukunya itu ditertemukan di lemari. Jauh sebelum saya mengenal tradisi reading naskah, ketika suatu kelompok teater sedang ada mempersiapkan satu pementasan, atau perfoming baca puisi ataupun baca cerpen.. Meski ujud konstruksi panggung, ikon antara si yang menceritakan kisah dengan fokus seorang tokoh–simbolik wayang atau riil manusia rekaan–dengan si yang menyimak cerita, yang menyimpulkan makna dari lelaku sadar apresiasi dan resepsi itu menghilang dan/atau sengaja dihilangkan. Dalam membaca buku–sisi lebih jauh dari menyimak oralitas suatu perayaan pembacaan buku–dunia antara itu sama sekali hilang, tak dihadirkan secara kongkrit. Tidak ada si yang membacakan dan tidak ada pihak yang mendengarkan, semua itu kini dilakukan sendiri dengan teks yang bisu dan penulis yang tak pernah ramah menampakkan diri–tidak peduli biografinya selalu disertakan di buku. Sekaligus membaca buku itu (kini) membutuhkan kesepekatan: bahwa pengetahuan dari si yang menulis buku dan si yang membaca buku itu seimbang serta sebanding, sehingga ketika si penulis menceritakan A maka spontan si pembaca telah ada dan siap mempunyai pengetahuan tentang A–yang kadang tidak pernah ada dijelaskan si penulis buku.

Dunia panggung, zona tempat apa yang diceritakan dihadirkan oleh si penulis buku untuk yang membaca buku tetap ada meski kini agak bergeser semakin subyektif di dalam angan dan benak si pembaca buku–di mana semua yang biasanya telah dikonstruksi si dalang dalam pentas wayang atau sutradara dalam pentas drama harus direkonstruksi secara personal.

Semua kecamuk cerita itu–atau paparan argumentatif atau wewaler filosifis–hanya ada di benak si pembaca, sangat tak lengkap dan blank sehingga si pembaca harus kreatif melengkapi semua tuturan serta narasi si penulis buku secara subyektif–sebagai inisiatif personal. Dunia pemaknaan dari yang diceritakan tidak lagi bersitumpu pada cerita yang dikongkritkan di panggung, tapi yang kuasa dibayangkan dan dilengkapi di dalam benak –sehingga butuh banyak wawasan untuk mengkongkritkannya. Semuanya jadi personal, dan tidak heran kalau kita sering kesulitan menentukan: di mana posisi kita sebagai yang membaca buku di depan yang menulis buku, yang menghadirkan tokoh yang aneh dalam serangkai peristiwa asing dengan lokasi nun tidak bisa dikenali. Aneh. Tidak tertangkap oleh daya imajinasi dan lanturan fantasi, karenanya tak bisa diterima oleh pembayangan–tapi keanehan wayang kulit serta film kartun bisa aman diterima sebagai dunia alternatif. Itu barangkali akibat dari hilangnya tampilan riil panggung yang manusiawi tiga dimensi atau simbolistika dua dimensi. Ternyata kita butuh sesuatu yang disepakati bersama, dan bukan melulu hanya subyektif dikonstruksi teramat personal–bahkan meski dengan sadar membebaskan energi rekonstruksi dari pembacaan sambil mematikan sang penulis seperti yang disarankan oleh Roland Barthes.

***

ITU sisi ekstrim dari penceritaan, saat pencerita yang kini menulis teks membiarkan si pembaca membangun “panggung” pembayangan cerita secara subyektif, di mana dari titik itu mereka kuasa melakukan penafsiran dan pemaknaan personal. Celakanya, bandul ekstrimitas itu belum juga berhenti–kini mereka melangkah lebih ekstrim lagi. Bukan lagi cerita tidak ”berpanggung” lengkap yang dihadirkan bagi para pembacanya, tapi justru si pembaca itu yang ditarik dan dihadirkan di dalam cerita–bahkan cerita yang hanya terjadi dalam benak si tokoh dan bukan di panggung kehidupan. Mungkin orang biasa menyebut itu sebagai genre novel ”arus kesadaran”, mungkin juga ”monolog interior”. Tetapi ada yang riil dan ada yang tidak riil, fakta riil dan lintasan imajinasi si tokoh hadir serta harus dibaca dan dimaknai langsung oleh si pembaca. Kita bisa melihat itu di dalam novel Putu Wijaya, Telegram–apa yang sedang terjadi dan yang telah usai di masa lalu berkelindan dengan yang diangankan dan tidak ada pernah terjadi di masa lalu, masa kini serta nanti, diaduk-aduk dalam satu paragraf, sesuatu yang membuat Budi Darma kebingungan lantas berkesimpulan: apa yang dianggap sebagai tokoh oleh Putu Wijaya itu tidak pernah utuh sebagai tokoh esa dari awal sampai akhir, sebab bisa jadi yang ini di sini dan si itu di situ. Inkonsisten. Selalu imikri–mulah-malih berubah-berganti.

Tapi masalahnya bukan bagaimana tokoh itu harus tetap konsekuen–sesuai tuntutan penokohan klasik–tapi bagaimana tokoh itu mengalami satu kejadian serta berpindah ke peristiwa lain dengan konsekuensi ia harus memakai kostum serta karakter yang berbeda. Tidak ada yang linear ada berawal serta pasti berakhir–semua pusaran dari hal-hal yang fragmentaristik dan bermakna sebagai episode. Dan semua itu terjadi serta hadir sebagai cerita yang terjadi di dalam benak si tokoh. Dan Suwung adalah cerita yang terjadi dalam benak seorang Ra Hasti Dewantari. Seorang anak di luar nikah dari wanita pribumi yang diperkosa oleh bajingan/brandalan berkulit putih di Surabaya, sehingga eksistensi sebagai si berdarah campuran membuatnya diolok-olok warga pribuminya, ia terasing dan karena itu terpaksa dibawa mengungsi oleh pamannya ke pedalaman Jawa–yang justru karena aktivitas politiknya membuat ia harus menjauhi wilayah yang dikontrol oleh administrasi polisi kolonial Belanda. Dengan teman seide pamannya Ra Hasti Dewantari ”babat alas”, mendirikan kampung yang selalu bersiap siaga menunggu munculnya mata-mata Belanda atau pasukan Belanda yang masih terus memburu mereka. Menetap serta bersembunyi di enclave yang entah ada di mana di antara Babat-Jombang, atau Bojonegoro-Nganjuk, di sebuah kampung (rekaan) terpencil di tepi sungai yang masih kental diselimuti alam gaib, tapi segera menjadi kampung suwung yang ditinggalkan penduduknya karena pembukaan jalur jalan baru oleh si pemerintah kolonial Belanda–yang menghubungkan jalur tengah Jawa antara Lamongan-Bojonegoro-Ngawi atau Blora dengan jalur selatan Jawa di antara Surabaya-Jombang-Madiun, melengkapi jalur Jombang-Malang, Nganjuk-Kediri-Blitar, dan seterusnya. Kolone itu menghasilkan satu kampung baru di tepi jalan baru di bawah kampung lama, dan menjadi pusat kehidupan yang lebih ramai dari kampung lama yang semakin suwung–yang dipilih oleh paman Ra Hasti Dewantari sebab merupakan buronan politik kolonial.

Kemudian Ra Hasti Dewantari menikah dengan si pelaut seberang, yang kapalnya kandas dan kehabisan bekal, lego jangkar di lepas pantai utara pesisir Jawa, yang ketika merintis mencari bekal di kampung lewat muara sungai ia memasuki alam siluman yang membuatnya pontang-panting lari. Terus berlari di hutan sampai tersesat ke kampung Ra Hasti Dewantari. Kematian si paman, pengalaman traumatis kelaparan serta luka berburu si paman (= phobia akan warna merah yang menghantuinya di seumur hidup), kampung yang makin suwung akibat keberadaan kampung baru, perkawinan yang diiringi kesulitan ekonomi yang membuat si suami memilih kembali ke tanah asal buat berniaga atau hanya mencari (modal) warisan di sebarang–dengan meninggalkan si Ra Hasti Dewantari yang sedang hamil–membuatnya tidak bisa menjejak di kenyataan riil dan memaksanya lari ke dalam angan-angan. Kondisi traumatik di antara bahagia punya anak, kesulitan ekonomi yang memuncak dan kerinduan pada suami yang jauh dan tidak pernah bersikirim kabar membuat Ra Hasti tak hidup dengan fakta dan berada di alam riil, membuatnya memilih suwung (= kosong) dengan bersibuk dengan angan-angan, sehingga mengalami kejadian riil, peristiwa imajiner, dan lanturan mistik secara tumpang tinding tanpa (ia) kuasa untuk memilah-milah dan membedakan. Ia bukan si subyek yang terbuka pada segala obyek di luar dirinya, tapi menjadi si obyek yang gelagapan menerima serbuan banjir (subyek) hal-hal yang riil, hal-hal yang imajiner dan fantastis, lanturan alam bawah sadar dan tonjokan dari alam gaib. Gelagapan serta dipenjarakan oleh penampakan obyek yang jadi subyek–bahkan Subyek dengan S besar.

Seiring dengan itu semua kejadian dan peristiwa berhenti di momen saat melahirkan dan punya anak, setelah itu ia berada di antara terkelucak punya anak dan membayangkan hidup yang berbeda–bahkan ia disergap bayangan kehadiran manusia gaib serta kejadian mistis. Waktu telah berhenti, kesadarannya tidak menjejak dan dibimbing oleh kenyataan riil, malahan kini terbuka kepada apa-apa yang tampak, apa-apa yang dibayangkan serta diangankan, dan apa-apa yang terlahir dari alam gaib dimensi lain. Ketiganya memsibaur, sementara kenyataan tetap berjalan seperti apa adanya, dan karena itu Ra Hasti Dewantari jadi terasing dari realitas karena kesadarannya telah diblokir dari kenyataan yang bergulir sesuai perubahan waktu. Kesadaran terhenti di momen kampung suwung, dan ia tak bisa menerima bahwa kampung sudah tak suwung lagi. Ia juga tak menyadari kalau suaminya telah pulang karena yang ia tahu: suaminya tak ada di rumah–dan lelaki yang kemudian tertangkap ada di rumah adalah si orang lain yang selamanya dianggap orang lain, seperti ia membayangkan dan percaya Natalia itu hilang, seperti ia juga membayangkan dirinya menjadi orang lain tak peduli ketika menjadi orang lain itu ia diganggu oleh penampakan manusia lain dari alam gaib. Ia terus bermain peran, sambil dipaksa buat mengempatinya dengan sangat bersungguh-sungguh sehingga (kesadaran) suwung tidak bisa jejak di alam nyata–seperti yang dengan lantang diteriakkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dalam sajak ”Herman”. Lepas dari apresiasi kalau semuanya (kenyataan) itu berjalan sesuai kodratnya Ra Hasti Dewantari memilih tak ingat apa-apa dengan selalu ingin melupakan segalanya. Salto mortale ke dalam angan-angan.

Suwung ini bercerita tentang apa yang terjadi di dalam benak dari si seseorang yang memutuskan untuk memunggungi kenyataan karena beban hidup yang mengelucaknya–sekaligus ia menghayati angan sebagai kebenaran, tak peduli ketenangan angan itu selalu diintervensi oleh alam gaib. Satu saat ia disadarkan oleh kenyataan: suaminya meninggal, anaknya (Natalia) sukses berkarier, dan harta peninggalan suaminya melimpah. Tapi apa itu suatu kebenaran? Tapi apa itu riil? Ra Hasti Dewantari tak bisa memastikannya–dan karenanya ia memilih untuk melupakan semuanya. Untuk kembali ke rumah sakit, untuk kembali ke ketenangan artifisial dari perawatan. Sejarah personal Ra Hasti Dewantari itu telah selesai, dan tidak seorangpun yang tahu bahwa ia menyelesaikannya dengan lari ke dalam labirin angan-angan–meski tak nekad lari ke dalam kegelapan kematian. Tapi apa bedanya? Sekaligus apa yang dilakukan Negara untuk membendung upaya pembunuhan ide dan nyawa dari yang kesulitan ekonomi di tengah kemiskinan yang mengelucakkan rakyat kecil di pedalaman? Apa Negara selalu memilih absen–Suwung bercerita tentang masa kolonial serta di masa pasca kolonial yang melahirkan kemakmuran di dalam ujud pembangunan yang merubah raut fisik lokasi–pada setiap persoalan eksistensial si rakyat kecil karena ihwal mereka itu dianggap terlalu sepele dan hanya menyita waktu untuk ria menunjukkan mercu suar citra kepemimpinan gemilang suatu rezim? Tidak ada jawaban, meski rentetan pertanyaan akan terus memanjang dengan titik tolak dari penggambaran si seseorang menjadi stress dan suwung oleh cekaman kemiskinan yang tak tertahankan dan tak tertanggungkan. Di titik itu arti (kilasan samar) sosio-politik dari Suwung yang amat personal ini.
***

Dijumput dari: http://lina-kelana.blogspot.com/2011/12/suwung-sebuah-novel-perjalanan-hidup.html

Dosa-dosa Demokrasi

Yasraf Amir Piliang
Pikiran Rakyat, 19 April 2009

SETELAH kejatuhan rezim otoriter Orde Baru pada 1998, “sistem demokrasi” dilihat sebagai satu-satunya harapan yang dapat membawa bangsa ini menuju masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Akan tetapi, setelah lebih dari satu dekade masa transisi, yang tumbuh di kalangan masyarakat adalah pandangan pesimistis atau skeptis terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Sistem demokrasi lebih dilihat sebagai “masalah” ketimbang “solusi”, “ekses” ketimbang “pencerahan”, “disorder” ketimbang “order”.

Demokrasi malah diasosiasikan dengan aneka bentuk kekerasan massal, kekacauan publik, demonstrasi anarkistis, tindak kejahatan, ketiadaan hukum, matinya etika, runtuhnya tabu dan ketakpedulian sosial yang akut. Demokrasi dijadikan raison d`etre bagi orang atau kelompok tertentu untuk memaksakan kehendak, melampiaskan hasrat, mengutamakan ego, merayakan ekspresi bebas, perilaku menyimpang, dan perbuatan amoral. Demokrasi, ironisnya, justru menjadi “kendaraan” menuju “anarkisme”.

Akan tetapi, menolak demokrasi bukanlah sebuah ajakan bijak pula. Karena sejauh ini tak ada pilihan ideologis lain yang lebih menjanjikan. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana membangun “optimisme” secara nasional tentang kekuatan demokrasi dalam membangun masyarakat sejahtera. Bagaimana menafsir ulang demokrasi sebagai kekuatan “pengubah”, “progresif”, “dinamis”, dan “transformatif”, sehingga ketimbang dianggap sebagai “duri” di dalam tubuh bangsa, ia semestinya dilihat sebagai “energi perubahan” ke arah yang lebih baik.

**

MEMANG, proses demokratisasi pada kenyataannya telah meninggalkan berbagai “dosa” kolektif, yang malah mengancam integrasi bangsa. Pertama, ketakmampuan merumuskan batas-batas “kebebasan” dan “kedaulatan” (sovereignty) dalam kerangka demokrasi. Di dalam rezim Orde Baru, negara tampil terlalu “kuat” (strong state), sementara masyarakat terlalu “lemah” (weak society). Akan tetapi, di dalam era reformasi, terjadi pembalikan relasi kedaulatan, di mana negara terlalu lemah, sementara masyarakat terlalu kuat, sehingga “kebebasan” tak mampu “dikelola” dengan efektif oleh negara melalui regulasi. (Joel S. Migdal, Strong Societies and Weak States, 1988).

Di pihak lain, pada tingkat komunitas politik-yaitu partai politik-kebebasan lebih diartikan sebagai “kebebasan eksperimentasi politik” dan “komunikasi politik”, dengan mengabaikan tanggung jawab sosial dan pendidikan warga. Sehingga, demokrasi “meruntuhkan maknanya sendiri”, yang menggiring ke arah “demokrasi nihilistik”, yaitu permainan bebas “citra politik”, yang tercabut dari kompleksitas persoalan negara, bangsa, dan kemasyarakatan yang sesungguhnya.

Ruang politik disarati oleh jutaan citra politik manipulatif, yang menggiring pada “desubstansialitas politik”, yaitu terabaikannya aneka persoalan substansial, di balik gemerlap kemasan citra politik. “Rekayasa citra” (political imagineering) mengambilalih “rekayasa sosial” (social enggineering), di mana solusi-solusi sosial yang riil direduksi menjadi retorika-retorika visual, yang sugestif dan manipulatif. Desubstansialitas demokrasi menggiring pada “ketercabutan politik” dari realitas masyarakatnya sendiri.

Selain itu, demokrasi yang minim regulasi, menggiring ke arah kondisi “melampaui” (hyper), yaitu segala sesuatu yang bergerak ke arah “berlebihan”, “keterlaluan” atau “ekstrimitas”. Ketika dalam proses demokratisasi tak mampu dibangun batas dan norma yang jelas, maka segala sesuatu bertumbuh ke arah titik ekstrim: “kebebasan” yang berlebihan, tuntutan “hak” (right) yang melampaui kapasitas, “tindakan” yang bergerak melewati hukum, sehingga demokrasi dipenuhi oleh beban berlebihan dan ekses. Di sini, demokrasi menjelma menjadi “hiper-demokrasi” (hyper-democracy), yaitu demokrasi yang bertumbuh “melampaui” batas-batas alamiah dan idealnya, sehingga ia kehilangan esensi, makna, dan tujuannya sendiri (Jean Baudrillard, Fatal Strategies, 1990). “Hiperdemokrasi” adalah kondisi pertumbuhan elemen-elemen demokrasi (partai, organisasi, aturan, citra, komunikasi, informasi, atribut, simbol) yang melampaui batas rasionalnya, sehingga ia kehilangan konteks, makna, dan tujuannya bagi demos itu sendiri, yaitu kedaulatan warga.

Pemilihan umum legislatif yang lalu merupakan cermin dari kondisi “hiper-demokrasi” itu, di mana pertumbuhan kebebasan (membuat partai, menjadi caleg, melakukan komunikasi politik, memilih) tidak sebanding dengan kemampuan otoritas negara dalam membuat, merumuskan, menyosialisasikan, dan menegakkan aturan atau regulasi politik, sehingga menimbulkan kondisi political chaos yang belum pernah dialami sebelumnya.

**

MASALAH sentral dalam proses demokratisasi adalah bagaimana merumuskan batas, kadar, tingkatan, serta konteks “kebebasan” (freedom), sebagai prinsip sentral demokrasi. Ketimbang menjadi prinsip pembangun, kebebasan itu sering justru menjadi “duri” dalam tubuh demokrasi itu sendiri. Di sini, perlu reinterpretasi terhadap “makna” kebebasan dalam konteks demokrasi kita: apakah kebebasan itu pada tingkat “individual” atau “sosial”? Apakah ia “tanpa batas” atau “terbatas”? apakah ia bersifat “absolut” atau “relatif”?

Yang pasti, di dalam sistem demokrasi versi apapun, tidak ada yang disebut “kebebasan penuh”. Pemahaman terhadap “keterbatasan kebebasan” inilah yang tidak dibangun di dalam proses demokratisasi selama ini.

Dinamika demokrasi mengikuti prinsip ayunan “pendulum”, antara “kebebasan” (individu, komunitas, masyarakat) dan “regulasi” (negara). Semakin minimal regulasi, semakin maksimal kebebasan, dan sebaliknya. Sistem demokrasi mencari titik “keseimbangan ideal” di antara dua gaya pendulum ini. Akan tetapi, dalam proses demokratisasi selama ini, “keran” kebebasan dibuka tanpa otoritas regulasi yang kuat, sehingga menimbulkan aneka ekses baik pada tingkat individu, komunitas politik (partai) dan masyarakat.

Demokrasi kini menjadi panggung pertunjukan “kebebasan” (bertindak, berbicara, protes, manipulasi, persuasi, berekspresi) tanpa ada respek terhadap aneka regulasi dan aturan. Akibatnya, penyusunan aneka rancangan undang-undang (jabatan, profesi, buruh, pornografi, pendidikan, media) cenderung diterima secara negatif, karena dianggap membatasi kebebasan individual dan kelompok. Padahal, kekuatan demokrasi adalah pada aturan bersama.

Proses demokratisasi yang berlangsung dapat diartikan sebagai pergerakan budaya politik ke arah “individualisme”. Politik yang berwatak “individualisme” menjadikan individu sebagai “inisiator” dalam kompetisi perebutan kekuasaan, yang membangun “kepercayaan” masyarakat melalui “politik pencitraan” (politic of image). Media komunikasi dimanipulasi untuk menciptakan “citra diri”, sebagai cara menggiring persepsi dan preferensi politik masyarakat. Di masa depan, tampaknya perlu semacam “reposisi” subjektivitas ini, agar tidak terjadi asimetri politik.

Demokrasi yang direduksi menjadi “permainan citra” akan menciptakan “demokrasi tak efektif”, karena aktivitas demokrasi terkonsentrasi pada pembangunan kekuasaan melalui “permainan citra”, dengan mengabaikan realitas sosial. Demokrasi tidak mempunyai fondasi dan legitimasi kuat di dunia “riil”, karena figur politik sering tidak mempunyai kompetensi, kemampuan, dan kapasitas seperti yang dilukiskan melalui citra. (Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, 2004). Di sini, tugas masa depan adalah: bagaimana menciptakan “demokrasi yang efektif”?

**

UNTUK menghasilkan “demokrasi yang efektif”, dengan citra yang baik, dan pandangan yang optimistik, diperlukan upaya “reinterpretasi demokrasi”. Perlu upaya “pengayaan demokrasi” secara konseptual, dengan mengambil pelajaran dari “etika kekuasaan” yang berbasis kearifan lokal dan indigenous knowledge, yang bergerak ke arah pendulum yang sebaliknya.

Pertama, “etika de-individualisme”. Di dalam sistem nilai lokal, individu tidak menjadi entitas otonom dan “titik sentral” kekuasaan. Komunitas yang menjadi “inisiator” dalam mendorong seorang individu menjadi pemimpin, berdasarkan “kepercayaan” (trust) yang dibangun, ditempa dan “diuji” di dalam “praksis” sosial keseharian. Seorang individu tidak mencari-cari “kuasa”, tetapi komunitas yang membangunnya. Melalui “nilai-nilai komunitas” inilah “budaya malu” dibangun, kompetensi dipentingkan, rasa tanggung jawab diutamakan, dan prestasi sosial dijunjung tinggi.

Kedua, “etika ketulusan”, yaitu memberi tanpa pamrih. Proses demokratisasi sejauh ini telah membangun watak “politik ketaktulusan”, di mana orang memberi bantuan (dana, sarana, barang, infrastruktur), semata karena kepentingan politik, yaitu agar dipilih dalam pemilu. Akibatnya, pilihan politik yang diberikan juga tak tulus. Padahal, nilai-nilai kearifan lokal mengajarkan kita tentang etika memberi, semata dilandasi “moral kebaikan” (good will), dan kebaikan ini menjadi modal kepercayaan, tanpa perlu direkayasa.

Ketiga, “etika merayakan keutamaan” (virtue). Demokrasi yang berbasis individu dan citra lebih merayakan penampakan luar (appearance) ketimbang kedalaman isi, manipulasi citra ketimbang kompetensi, simulasi ketimbang realitas. Padahal, budaya lokal mengajarkan cara menilai seseorang berdasarkan “keutamaan” yang ia perlihatkan: kecerdasan, kecakapan, tanggung jawab, bukan tumpukan materi dan uang. Demokrasi yang tanpa basis keutamaan, hanya menjadi medan perebutan kekuasaan melalui tumpukan materi dan gemerlap citra.

Keempat, “etika dialogisme” (ethics of dialogism), yaitu etika saling bertukar dan memahami secara mutual (mutual understanding). Demokrasi sejauh ini cenderung bersifat eksploitatif, yaitu mengambil (dari rakyat), tanpa memberi (pendidikan warga). Nilai-nilai dialogisme yang bersifat lokal di sini dapat dijadikan pondasi untuk membangun semacam “demokrasi dialogis” (dialogical democracy), di mana ada “pertukaran gagasan” (ideological exchange) antara elite politik dan komunitasnya, bukan “retorika satu arah”, yang berkembang selama ini.

Kelima, “etika kejujuran”. Virtualitas demokrasi, yang menggantungkan diri pada politik pencitraan, sejauh ini telah menciptakan watak “politik ketakjujuran”, di mana komunikasi justru menjadi ajang manipulasi ketimbang kehendak akan “kebenaran” (truth). Demokrasi berbasis kejujuran tak mengandalkan pada citra, tetapi pada akumulasi tindak dan karya. Komunikasi politik adalah sarana semata untuk menyampaikan pesan politik, bukan sarana penciptaan “kesadaran palsu” (false consciousness) .

Demokrasi yang dibangun di atas pondasi “kearifan lokal” dan indigenous knowledge, dapat menjadi demokrasi dengan fundamental dan legitimasi yang kuat, karena hidup di dalam “ruang politik riil”, bukan “imagologi virtual”. Sistem demokrasi dibangun di atas pondasi mutual checking antara pemerintah, komunitas, dan aktor-aktor politik, sehingga aneka “perilaku menyimpang” dalam politik dikoreksi secara mutual. Hanya melalui demokrasi dialogis berbasis lokal itulah, dapat diciptakan sebuah masyarakat politik yang cerdas, kritis, dan penuh optimisme di masa depan.***

* YASRAF AMIR PILIANG, Pemikir di Forum Studi Kebudayaan (FSK), FSRD, Institut Teknologi Bandung.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/04/dosa-dosa-demokrasi.html

Dicari (Lagi): Kritikus Sastra Riau

Hary B. Kori’un
Riau Pos, 7 Nov 2010

SAYA berada di Ubud (Bali) ketika menyusun buku Sastra, Jati Diri, dan Kemiskinan Kreatif (Esai Pilihan Riau Pos 2010). Sebuah pekerjaan rutin yang harus diselesaikan secara mobile, karena keterbatasan waktu. Ketika teman-teman sesama penulis yang diundang ke Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2010 asyik berkelana mengikuti iven demi iven atau jalan-jalan keliling Bali di luar jadwal sebagai pembicara, saya harus berada di kamar hotel, berkutat dengan laptop. Sebab, menyelesaikan tiga buku dalam waktu hanya satu pekan, memang memerlukan energi lebih. Dan ketiga buku tersebut nyaris saja benar-benar gagal terbit ketika laptop saya jebol hardisk-nya di hari pertama. Untung saja cerpenis asal Lubuklinggau, Benny Arnas, dengan baik hati meminjamkan laptop-nya. Dan untungnya lagi, file-file naskah di-back-up dalam flashdisk, sehingga selamatlah semuanya.

Persoalan lainnya muncul ketika membaca file-file tersebut, ternyata penulis esai di Riau Pos dalam setahun ini didominasi oleh beberapa nama saja. Nama Dr Junaidi (FIB Unilak), Agus Sri Danardana (Balai Bahasa Riau), Musa Ismail (SMA 3 Bengkalis), Marhalim Zaini (AKMR/FIB UGM), dan UU Hamidy (kritikus senior) termasuk yang paling sering menulis esai budaya untuk Riau Pos. Di belakang mereka ada nama Riki Utomi (Selatpanjang), Joni Lis Efendi (FLP Riau), Gde Agung Lontar (sastrawan), Eko Sujadi (mahasiswa UIN Suska), Husnu Abadi (penyair senior Riau), dan kemudian beberapa penulis yang datang dari luar Riau seperti Esha Tegar Putra dan Romi Zarman (Padang), Aris Kurniawan dan Iwan Gunadi (Tangerang), Misran (Bandung), Suryadi (Leiden), atau Sunaryono Basuki Ks (Singaraja/Bali). Plus Masteven Romus (perupa), dan Samson Rambah Pasir (Batam), praktis, hanya nama-nama itulah yang karyanya dianggap “mewakili” untuk masuk dalam buku ini.

Kalau dilihat dari ketebalan buku yang mencapai 304 halaman, sebenarnya jumlah tersebut tak banyak karena beberapa penulis ada yang tulisannya lebih dari satu. Bahkan Junaidi, Agus Sri Danardana, Marhalim Zaini dan Musa Ismail, tulisannya mencapai 3-7 judul. Ini berbeda dengan dua buku sebelumnya, yakni Krisis Sastra Riau (2007) dan Sastra yang Gundah (2009) yang lebih beragam, baik dari sisi nama penulis maupun keragaman tema. Namun, sebagai sebuah buku yang akan menjadi pencatat sejarah sastra di Riau, tak ada masalah serius siapapun dan berapapun judul si penulis dalam buku tersebut. Yang mungkin agak menjadi sebuah pertanyaan (mungkin sudah klasik), adalah betapa Riau masih kekurangan orang-orang yang mau membaca karya sastra (budaya) dan menuliskannya kembali dalam bentuk kritik atau esai. Memang, belakangan ada Joni Lis dan Riki Utomi yang agak produktif di luar nama-nama lama yang masih mendominasi, tetapi tak diikuti oleh penulis yang lain. Munculnya nama Agus Sri Danardana, lumayan memberi warna di antara nama-nama lama yang jumlahnya sedikit itu.

Kondisi ini berbeda dengan membanjirnya penulis cerpen dan puisi –setidaknya yang masuk ke redaksi Riau Pos setiap pekannya. Jika dibandingkan dengan banyaknya buku sastra yang terbit di Riau atau secara nasional, jumlah ini sangat kecil, karena para penulis esai tersebut tidak semuanya menulis tentang telaah sastra, tetapi sangat beragam. Marhalim misalnya, selain menulis esai sastra, dia juga banyak mengulas tentang teater. Agus Sri Danardana juga banyak menulis tentang kebahasaan ketimbang sastra. Hal yang sama juga dilakukan oleh UU Hamidy, Junaidi, Musa Ismail, Joni Lis atau yang lainnya. Dari sekian nama tersebut, yang betul-betul datang dari dunia akademis hanya Junaidi, UU Hamidy, dan Sri Agus Danardana (jika Balai Bahasa boleh dianggap akademis). Yang lainnya, kebanyakan justru para penulis genre sastra sendiri: Marhalim, Musa, Riki, Gde Agung, Joni, Aris Kurniawan… (ini di luar nama Hasan Junus yang setiap pekan menulis di kolom sastra “Rampai” dan Yusmar Yusuf yang menulis kolom budaya “Perisa”).

Dulu, dalam beberapa tulisan, saya pernah “mempertanyakan” kalangan akademisi di Riau yang sepertinya enggan untuk “mengamalkan” ilmunya dengan menulis esai sastra dan budaya, padahal ada empat universitas di Riau yang sangat representatif karena memiliki fakultas/jurusan/program studi yang mengarah ke sana. Misalnya FKIP Unri, FIB Unilak, FKIP UIR dan UIN Suska. Akademisi dari perguruan tinggi yang tak memiliki fakultas yang berhubungan dengan sastra dan bahasa, bolehlah tak disebutkan dan tak memiliki “tanggung jawab” untuk itu, tetapi mereka yang tumbuh dan berkembang di sana, baik mahasiswa maupun pengajarnya, sebenarnya sangat mungkin untuk meluangkan waktunya membaca karya dan kemudian membuat kritik atau esai sederhana dengan jumlah karakter yang terbatas dan pendek.

Memang, menulis esai atau kritik berbeda dengan menulis karya fiksi. Harus memiliki waktu untuk membaca karya, memiliki pemahaman teori (meski sedikit), dan memahami filsafat (meski sedikit) untuk bisa “membaca” apa yang tersirat, dan pemahaman literatur lainnya di luar teks sastra. Hal itu perlu agar ketika mengulas sebuah karya tidak hanya membuat ringkasan cerita, tetapi juga bisa memberi bandingan dengan karya lainnya, punya literatur tentang sisi teoritisnya dan pemahaman kedalaman makna.

Buku ini, seperti buku yang diterbitkan Yayasan Sagang lainnya, diharapkan bisa memberi motivasi kepada para penulis esai/kritik untuk terus menulis, dan mengajak para penulis baru untuk mau terjun dalam genre yang satu ini, agar dunia sastra kita terus bergairah.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/11/dicari-lagi-kritikus-sastra-riau.html

“Ekstrem Tengah” itu Bernama LESBUMI

Akhiriyati Sundari
Majalah BASIS, Nomor 09-10, Tahun ke-59, 2010

Perbincangan tentang Nahdhatul Ulama (NU) dalam banyak literatur yang beredar sejauh ini masih didominasi oleh pergulatannya dalam lingkup politik dan sosial-keagamaan. Ranah kebudayaan, dalam hal ini wacana budaya, justru sedikit sekali tampak dalam tulisan-tulisan para peneliti.

Sebuah hal yang ironis, mengingat NU adalah organisasi massa keagamaan yang paling lekat pada wilayah kebudayaan, sekurang-kurangnya melalui representasi subkultur bernama pesantren sebagai basis wilayah yang sangat kaya khazanah budayanya, atau jika menilik sejarah NU yang rekat dengan “kaum tradisional” sebagai salah satu “kubangan budaya”. Segmentasi budaya yang semestinya bisa menjadi wilayah pergulatan/perebutan wacana paling seksi, seakan tak tampak dalam diskursus NU oleh para peneliti tentang NU. Buku bertajuk LESBUMI; Strategi Politik Kebudayaan, karya Choirotun Chisaan?perempuan muda NU—ini mencoba menjawab “ruang kosong” (kalau tak boleh dikatakan tak ada) diskursus NU dalam ranah “polemik kebudayaan” tersebut.

Lesbumi [Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia] adalah wujud “formalisasi budaya” yang didirikan pada awal tahun 1960-an di bawah naungan Partai Nahdhatul Ulama [Partai NU] ketika NU menjadi partai politik. Kehadirannya yang lalu menampakkan diri pada posisi in between, disebabkan oleh dua momen bersejarah yang fenomenal, yakni momen budaya dan momen politik. Momen budaya, bersebab kelahiran Lesbumi sebagai lembaga yang memang angslup (tenggelam) di genangan budaya, berusaha menjawab kebutuhan akan pendampingan kelompok-kelompok seni budaya di lingkungan Nahdhiyyin [entitas NU] serta kebutuhan akan modernisasi budaya [faktor intern]. Ada pun fenomena momen politik, bersebab kelahiran Lesbumi berada dalam situasi “demokrasi terpimpin”, ditandai dengan terbitnya Manipol USDEK [Manifesto Politik/Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia] Soekarno, pengarusutamaan Nasakom [Nasionalisme, Agama, dan Komunis] dalam tata kelola kehidupan sosio-politik dan sosio-budaya di Indonesia, serta perkembangan Lekra yang kian menampakkan kedekatan hubungan dengan organisasi politik PKI [faktor esktern].

Posisi lembaga kebudayaan ini menjadi signifikan hadir di tengah-tengah dinamika perdebatan kebudayaan kala itu, tatkala perebutan wacana menubuh di hampir semua lembaga kebudayaan yang ramai-ramai berafiliasi dengan partai politik. Tercatat ada LKN [Lembaga Kebudayaan Nasional/PNI], Lesbumi [NU], HSBI [Himpunan Seni Budaya Islam/Masyumi], LKIK [Lembaga Kebudayaan Indonesia Katolik/Partai Katolik], Lesbi [Lembaga Seni Budaya Indonesia/Partindo], Lembaga Kebudayaan dan Seni Muslim Indonesia [Laksmi/PSII], Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam [Leksi/Perti], dan lain-lain. Menariknya, produk seni lembaga-lembaga tersebut dipublikasikan melalui media massa masing-masing partai politik. Hingga kerap memicu timbulnya “polemik” politik dalam domain kebudayaan. Suasana saat itu digambarkan sebagai suatu keadaan di mana terjadi “turbulensi” di berbagai sektor kehidupan. Tak mengherankan jika wilayah kebudayaan saat itu lalu tampil lebih sebagai political act.

Ditengarai, pada tahun-tahun itu, iklim sosial politik internasional ikut masuk ke dalam negeri sehingga turut menjentikkan virusnya di Indonesia yang notabene tengah bergeliat dalam proses nation-building. Ini memperlihatkan betapa gandrungnya segenap elemen sosial-politik dalam wacana kebudayaan terhadap ide-ide besar yang ramai bertarung. Masing-masing menampilkan diskursus wacana tersendiri, saling berebut pengaruh, berebut massa.

Membincang Lesbumi, sebagaimana tersebut dalam buku ini, tak bisa sepi begitu saja dari pengaruh kuat situasi sosial politik yang “memanas” akibat polemik yang mengerucut pada dua kutub. Di satu sisi adalah Lekra [Lembaga Kebudayaan Rakyat] yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia [PKI] dengan memanifestasikan seni untuk rakyat/seni bertendensi [engagee] melalui jargon “politik adalah panglima”. Di sisi yang lain adalah Manifes Kebudayaan [Manikebu] yang tidak berafiliasi pada partai politik dan mengusung semboyan seni untuk seni. Keduanya terlibat polemik yang cukup serius pada waktu itu, meski banyak pengamat menandai friksi yang dimainkan amatlah cantik karena masih dalam bingkai wacana dan “perang pena”. Tak pelak, suasana cukup esktrem tercipta kala itu dengan hanya memunculkan “dua kubu/ kutub” dalam “perdebatan politis” yang mengambil domain kebudayaan. Dalam konteks inilah Lesbumi lahir, sebagaimana ditera banyak pihak sebagai counter responses atas karibnya Lekra dan PKI ini.

Setali tiga uang dengan Lesbumi, di kalangan NU sendiri, sebagaimana pola umum reaksi terhadap PKI, tak ada kiprah PKI yang tak ditandingi. “PKI membanggakan massanya, NU mengerahkan jama’ahnya. PKI menggerakkan Gerwani, NU menggerakkan Muslimat, PKI memiliki Pemuda Rakyat, NU menggerakkan Pemuda Ansor sebagai bansernya, PKI memiliki BTI, NU menggerakkan Pertanu, PKI mengaktifkan SOBSI, NU membentuk Sarbumusi, PKI mendirikan Lekra, NU mendirikan Lesbumi,” tutur Saifuddin Zuhri. PKI menciptakan nyanyian “Genjer-Genjer” yang amat populer sebagai “lagu kebangsaan”-nya, NU menciptakan “Salawat Badar” sebagai instrumen paling khas dari “lagu wajib”.

Ditanyakan oleh penulis dalam buku ini, mengapa dalam jagad perbincangan kebudayaan negeri ini seakan Lesbumi “lenyap”, padahal fakta historis telah mencatatnya? Lesbumi muncul dalam waktu yang amat singkat, kurang dari satu dekade sebelum akhirnya prahara politik paling ganas menutup “panggung polemik budaya”. Lesbumi lahir sebagai “alternatif” kalau tak boleh dikatakan sebagai “budaya tanding” diskursus kebudayaan waktu itu. Lesbumi menghindari dua titik ekstrem “politik aliran” dengan mengambil jarak dan menempati posisi “ekstrim di tengahnya”. Agaknya, hal ini tak bisa dipungkiri sebagai konsekuensi logis dari ruh Lesbumi yang menginduk pada Partai NU lalu menganut asas “moderat” sebagai aplikasi dari garis ideologi tawasuth Ahlussunnah wal Jama’ah.

Dalam produk budayanya, Lesbumi secara kultural menegaskan diri pada kebudayaan “humanisme religius”, sebuah pandangan kebudayaan yang berlandaskan pada “ketauhidan” [teologis] dan “kemanusiaan” [humanis] dalam spektrum yang lebih luas. Hal ini dimaksudkan untuk “menunaikan amanat Islam”. Pandangan kebudayaan ini khas Indonesia, yang muncul sebagai gejala baru dalam kehidupan kesenian dan kebudayaan Indonesia. Lebih jauh, upaya Lesbumi ini merupakan usaha mendefinisikan “agama” sebagai unsur mutlak dalam nation and character building demi tercapainya tujuan revolusi, yakni masyarakat adil makmur lahir batin yang diridhoi Allah SWT. Religiositas dalam konteks Lesbumi menjadi tendensi, bukan hanya dalam ekspresi dan produksi seni budayanya, melainkan juga aktivitas-aktivitas yang menggerakkannya. Penegasan ini merupakan manifestasi “ekstrim tengah” dari kebudayaan beraliran realisme sosialis sebagaimana dianut oleh Lekra dan humanisme universal sebagaimana dianut kelompok Manikebu [dua aliran yang kerap disebut sebagai “ekstrem kiri” dan “ekstrem kanan”].

Kenyataan di atas dapat dibaca sebagai pembeda signifikan bahwa Lesbumi serius melakukan “perlawanan” terhadap Lekra yang kian ofensif sebagai mainstream kebudayaan kala itu. Seperti terekam dalam “Surat Kepercayaan” yang ditulis oleh Asrul Sani, satu dari tiga orang pendiri Lesbumi selain Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail. Bagi Lesbumi, yang terpenting adalah gaya pribadi seniman yang dipergunakan untuk mengungkap sesuatu yang hendak disampaikan kepada masyarakat. Yang kedua, Lesbumi tidak menolak isme apapun dalam kesenian, artinya isme dalam kesenian tidak penting sama sekali. Juga, bagi Lesbumi, agama adalah kesatuan yang merupakan pengikat dan memberi bentuk batin kesatuan kebudayaan. Inilah yang disebut pula sebagai proses “moderasi” yang dipakai Lesbumi. Sayangnya, proses moderasi yang dibangun Lesbumi dengan waktu yang bisa dibilang cukup singkat untuk sebuah gerakan kebudayaan—baik moderasi di tengah-tengah politik aliran kebudayaan maupun moderasi di tingkatan intern antara kaum seni dan kaum Nahdhiyyin—belum beroleh hasil yang optimal karena bumi pertiwi yang sedang “hamil tua” akhirnya benar-benar “melahirkan” sebuah tragedi kemanusiaan 30 September 1965 hingga memutuskan upaya tersebut.

Yang menarik dari buku ini, selain sebagai referensi mengulas Lesbumi dalam konteks polemik kebudayaan, adalah menawarkan perspektif yang berbeda—sekaligus baru—tentang NU. Bagaimana NU bergulat mencari desain relasi agama dan politik sekaligus dalam perspektif kebudayaan, kelahiran Lesbumi, berikut sekian proses yang melingkupinya, sejatinya merupakan penanda kemodernan penting bagi tubuh NU. Modern karena justru kontradiktif dari anggapan umum bahwa NU adalah organisasi “tradisional”. Modern, justru karena ia berhasil melepaskan diri dari partai modernis—Masyumi, sebelum dinyatakan terlarang—tempat bernaung sebelumnya. Kemudian NU berupaya memodernisasi diri melalui jagad politik dan budaya secara bersamaan. Modern, jika dilihat dari cita rasa yang tampak dari personifikasi tiga pendiri Lesbumi berikut produk seni yang dihasilkannya yaitu sastrawan angkatan ’45, pekerja film, dan teater [ranah seni yang mewah dan modern untuk ukuran kala itu]. Modern, jika modern disenyawakan dengan berani berbeda, berani mengambil tempat tersendiri, tak larut dalam kanonisasi yang berporos hanya pada dua arus utama, lalu menegaskan diri berdiri sendiri menjadi “ekstrem tengah”.

Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=456779000981

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae