Sabtu, 24 Desember 2011

Mendengarkan Narasi Lain

Baskara T Wardaya SJ
Kompas, 8 Mei 2009

DALAM mengkaji suatu peristiwa historis tertentu yang titik tolaknya adalah kesaksian seorang pelaku sejarah, secara teoretis kita perlu memilah antara ”apa yang terjadi” dengan ”apa yang diingat oleh seorang pelaku sejarah tentang apa yang terjadi”. Perlu memilah antara ”peristiwa” dan ”ingatan akan peristiwa”. Baskara T Wardaya.

Dalam kaitan dengan ini tak kalah penting adalah memilah antara pemaparan berdasar ingatan yang dilakukan oleh seorang pelaku sejarah tentang apa-yang-terjadi, dan tinjauan deskriptif-analitis yang dilakukan oleh seorang sejarawan atas apa-yang-terjadi.

Bekal pemilahan seperti itu diperlukan untuk mencermati buku yang ditulis Soemarsono, seorang pelaku sejarah dalam Peristiwa Madiun 1948. Oleh narasi resmi, apa yang terjadi di Madiun pada tahun 1948 disebut sebagai sebuah ”pemberontakan”.

Menurut narasi ini, pemberontakan dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia melawan pemerintah pusat Republik Indonesia. Selanjutnya dikatakan, pemberontakan itu dilancarkan karena para anggota partai tersebut ingin ”merebut kekuasaan” dengan cara mendirikan ”negara Soviet” di Madiun dan sekitarnya.

Masih menurut narasi resmi, tentara pemerintah bereaksi dengan bergerak cepat guna memadamkan pemberontakan. Dalam waktu relatif singkat, pemberontakan dipadamkan dan pemimpin-pemimpinnya dihukum mati.

Karena disampaikan oleh pihak ”pemenang”, dengan mudah pemahaman menurut narasi resmi macam itu menyebar ke masyarakat sebagai narasi dominan dan cenderung dianggap sebagai kebenaran tunggal, apalagi penjelasan demikian tentu terasa masuk akal dan mudah dicerna, bahkan kalau beberapa bagiannya masih patut dipertanyakan.

Dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno apa yang terjadi pada tahun 1948 itu disebut sebagai ”Peristiwa Madiun 1948”, oleh pemerintahan Orde Baru istilahnya diubah menjadi ”Pemberontakan Madiun 1948”.

Sebagai konsekuensinya, oleh Orde Baru tindakan eksekusi atas mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan kawan-kawan dipandang ”logis”, ”sah” atau mungkin bahkan ”sudah seharusnya”.

Ini juga dibutuhkan sebagai bagian dari perangkat legitimasi kekuasaan Orde Baru itu sendiri, khususnya dalam tindakan-tindakan anti-kirinya.

Akibat

Paparan menurut narasi resmi tersebut ternyata sangat berbeda dengan apa yang dapat kita baca dari buku ini yang menekankan pada ingatan seorang pelaku sejarah atas apa-yang- terjadi. Sebagai salah seorang pelaku langsung dari apa-yang- terjadi di Madiun pada akhir tahun 1948 itu Soermarsono berusaha menuturkan kembali apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, dan apa yang ia alami. Hasilnya adalah narasi lain yang berbeda dari narasi resmi.

Ada dua argumentasi pokok yang muncul dari narasi Soemarsono ini. Pertama, Peristiwa Madiun sama sekali bukan merupakan pemberontakan apalagi perebutan kekuasaan. Dengan tegas Soemarsono mengatakan, pada tahun 1948 di Madiun tidak ada coup d’tat (perebutan pemerintahan nasional) maupun coup de la ville (perebutan pemerintahan kota). Pun tak ada maksud memisahkan diri dari pemerintahan RI di bawah Presiden Soekarno. Soemarsono tetaplah seorang pengagum Bung Karno hingga hari ini.

Apa yang terjadi di Madiun lebih merupakan reaksi saja atas provokasi-provokasi yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang ia sebut sebagai bagian dari ”teror putih” yang sedang merajalela saat itu.

Teror putih itu, menurut dia, sengaja dilancarkan dengan maksud untuk menggilas gerakan-gerakan kiri prorakyat, khususnya para pendukung Front Demokrasi Rakyat (FDR).

Berbagai tindakan politis yang diambil oleh dia dan kawan-kawannya lebih merupakan langkah-langkah darurat guna membela diri serta upaya untuk menyelamatkan situasi. Hal ini terbukti dengan surat yang dikirim oleh para pemimpin di Madiun kepada pemerintah pusat di Yogyakarta dengan bunyi ”meminta instruksi lebih lanjut”.

Jika maunya berontak, kata Soemarsono, tentu tidak akan ada permintaan akan instruksi lebih lanjut ke pemerintah pusat seperti itu.

Kedua, Peristiwa Madiun lebih merupakan akibat daripada sebab. Pangkal penyebab dari semua yang terjadi itu adalah apa yang disebut sebagai Red-Drive Proposal, sebuah dokumen rahasia berisi rencana yang disusun oleh para petinggi Pemerintahan Kabinet Hatta bersama wakil-wakil dari Amerika Serikat untuk menghabisi kekuatan kiri di Indonesia.

Konteks

Di mata Soemarsono, pidato Bung Karno pada tanggal 19 September 1948 malam memang keras dan emosional, tetapi hal itu terjadi karena Bung Karno sedang ”digunakan” oleh pemerintahan waktu itu, yang notabene sangat anti-kiri dan sedang berniat untuk menghantam unsur-unsur kiri di Tanah Air.

Pidato tanggapan dari Musso pada malam yang sama juga dipandang sebagai keras dan emosional, tetapi hal itu dilakukan karena Musso sedang marah sebab dituduh memberontak, padahal tidak.

Di tengah situasi demikian, sebenarnya pertentangan yang ada masih bisa diselesaikan dengan baik, yakni dengan pencarian suatu solusi politik yang damai. Apa boleh buat, sebelum solusi damai itu ditemukan sudah telanjur ada pihak-pihak tertentu yang buru-buru ingin menggunakan kekerasan militer untuk menyelesaikan masalah.

Di tengah ketegangan yang terjadi di Madiun itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman sempat mengirim seorang utusan khusus dari Yogyakarta guna menilik situasi di sana dan sesampai di Madiun memang didapatinya bahwa tidak ada pemberontakan. Antara sang utusan dan Soemarsono berlangsung percakapan dan relasi yang sangat baik karena keduanya memang telah lama saling mengenal.

Anehnya, sekembalinya dari Madiun ternyata utusan tersebut tidak memberi laporan yang sebenarnya kepada pihak yang mengutusnya. Akibatnya, pemerintah pusat di Yogyakarta memandang apa yang terjadi di Madiun sebagai sebuah perebutan kekuasaan dan memutuskan untuk menggunakan kekerasan guna menguasai kembali kota tersebut. Nama utusan itu Letkol Soeharto.

Meskipun telah dituduh merebut kekuasaan, para pemimpin di Madiun tetap ingin menunjukkan diri bahwa bagi mereka musuh utama bukan Pemerintah RI atau saudara sebangsa melainkan Belanda.

Itulah sebabnya ketika dikejar-kejar oleh tentara pemerintah mereka lari ke arah garis demarkasi dengan Belanda di Jawa Tengah bagian utara. Maksudnya adalah untuk berperang melawan Belanda di sana. Termasuk di antara para pemimpin itu adalah mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin. Ironisnya, justru ketika sedang berada di garis depan dan menyiapkan diri untuk bertempur melawan Belanda itulah mereka ditangkap untuk kemudian dieksekusi tanpa melalui proses hukum.

Kuatnya ingatan

Tecermin dalam buku ini betapa kuatnya ingatan Soemarsono sebagai seorang pelaku sejarah. Ia tidak hanya mampu mengingat dan menuturkan kembali mengenai apa yang terjadi pada tahun 1948 di Madiun, melainkan juga mengenai jatuh-bangun perjuangan dia dan kawan-kawannya dalam merebut dan mempertahankan Republik Indonesia di awal kemerdekaan. Dengan jelas dan dengan nuansa keterlibatan pribadi yang tinggi, ia tuturkan kembali bagaimana ia berjuang sejak zaman Jepang, dalam Pertempuran Surabaya bulan November 1945, kegiatannya setelah itu, serta apa yang terjadi dalam hidupnya kemudian.

Tak lupa ia ceritakan pula bagaimana atas keterlibatannya dalam berbagai peristiwa itu ia justru ”diganjar” dengan masa pengasingan selama 14 tahun dan hukuman penjara Orde Baru selama 9 tahun. Bahkan, setelah itu ia harus tinggal di negeri asing, hingga sekarang.

Guna memahami narasi-narasi tentang Peristiwa Madiun secara lebih utuh, perlulah kiranya melihat apa yang terjadi waktu itu di dalam konteks yang lebih luas. Misalnya konteks Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet, yang keduanya memiliki kepentingan besar di Indonesia.

Juga konteks pertentangan antara tentara eks-KNIL dan laskar-laskar rakyat hasil didikan Jepang. Tinjauan dengan melibatkan konteks lebih luas seperti ini penting karena olehnya kita bisa terbantu untuk melihat permasalahan secara lebih utuh dan pada tempatnya. Apalagi, mengingat bahwa narasi resmi disampaikan dengan dorongan kepentingan kekuasaan, sementara narasi pelaku sejarah lebih merupakan tuturan atas apa yang terjadi, tetapi sejauh yang dialami dan diingat oleh pelaku tersebut.

Pemahaman akan konteks lebih luas diharapkan akan membantu menjembatani keduanya. Pada titik inilah tinjauan deskriptif-analitis dari sejarawan menjadi penting. Sekaligus, pada titik ini pulalah buku ini mengandung kelemahan.

Apa pun kelemahannya, oleh buku ini kita disadarkan kembali bahwa baik kelompok-kelompok ”kanan” maupun kelompok-kelompok ”kiri” waktu itu sebenarnya sedang sama- sama ingin mengusir Belanda dari Indonesia dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa.

Dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan itu masing-masing pihak mengharapkan dukungan internasional. Bedanya, yang satu mengharapkan dukungan itu datang dari Blok Barat, sedangkan kelompok lain berharap dari Blok Timur.

Namun, jelas sekali bahwa baik mereka yang berada di ”kanan” maupun yang berada di ”kiri” sedang sama-sama ingin memperjuangkan kepentingan bersama dan bukan kepentingan-kepentingan pribadi.

Satu hal yang juga terasa kuat dari buku ini adalah tak dapat diragukannya komitmen dan dedikasi Soemarsono sebagai pelaku sejarah dalam usahanya memperjuangkan kepentingan bangsanya sejak muda hingga masa tuanya.

Kiranya komitmen dan dedikasi serupa juga dimiliki oleh banyak orang lain dari generasinya Soemarsono, entah mereka yang berada di ”simpang kiri” ataupun di ”simpang kanan” sejarah Indonesia. Kita berharap, komitmen dan dedikasi serupa juga dimiliki oleh para pejuang rakyat dari generasi-generasi selanjutnya, termasuk generasi sekarang ini.
__________________
*) Baskara T Wardaya SJ, Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP)/ Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/05/pelaku-sejarah-mendengarkan-narasi-lain.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae