Baskara T Wardaya SJ
Kompas, 8 Mei 2009
DALAM mengkaji suatu peristiwa historis tertentu yang titik tolaknya adalah kesaksian seorang pelaku sejarah, secara teoretis kita perlu memilah antara ”apa yang terjadi” dengan ”apa yang diingat oleh seorang pelaku sejarah tentang apa yang terjadi”. Perlu memilah antara ”peristiwa” dan ”ingatan akan peristiwa”. Baskara T Wardaya.
Dalam kaitan dengan ini tak kalah penting adalah memilah antara pemaparan berdasar ingatan yang dilakukan oleh seorang pelaku sejarah tentang apa-yang-terjadi, dan tinjauan deskriptif-analitis yang dilakukan oleh seorang sejarawan atas apa-yang-terjadi.
Bekal pemilahan seperti itu diperlukan untuk mencermati buku yang ditulis Soemarsono, seorang pelaku sejarah dalam Peristiwa Madiun 1948. Oleh narasi resmi, apa yang terjadi di Madiun pada tahun 1948 disebut sebagai sebuah ”pemberontakan”.
Menurut narasi ini, pemberontakan dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia melawan pemerintah pusat Republik Indonesia. Selanjutnya dikatakan, pemberontakan itu dilancarkan karena para anggota partai tersebut ingin ”merebut kekuasaan” dengan cara mendirikan ”negara Soviet” di Madiun dan sekitarnya.
Masih menurut narasi resmi, tentara pemerintah bereaksi dengan bergerak cepat guna memadamkan pemberontakan. Dalam waktu relatif singkat, pemberontakan dipadamkan dan pemimpin-pemimpinnya dihukum mati.
Karena disampaikan oleh pihak ”pemenang”, dengan mudah pemahaman menurut narasi resmi macam itu menyebar ke masyarakat sebagai narasi dominan dan cenderung dianggap sebagai kebenaran tunggal, apalagi penjelasan demikian tentu terasa masuk akal dan mudah dicerna, bahkan kalau beberapa bagiannya masih patut dipertanyakan.
Dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno apa yang terjadi pada tahun 1948 itu disebut sebagai ”Peristiwa Madiun 1948”, oleh pemerintahan Orde Baru istilahnya diubah menjadi ”Pemberontakan Madiun 1948”.
Sebagai konsekuensinya, oleh Orde Baru tindakan eksekusi atas mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan kawan-kawan dipandang ”logis”, ”sah” atau mungkin bahkan ”sudah seharusnya”.
Ini juga dibutuhkan sebagai bagian dari perangkat legitimasi kekuasaan Orde Baru itu sendiri, khususnya dalam tindakan-tindakan anti-kirinya.
Akibat
Paparan menurut narasi resmi tersebut ternyata sangat berbeda dengan apa yang dapat kita baca dari buku ini yang menekankan pada ingatan seorang pelaku sejarah atas apa-yang- terjadi. Sebagai salah seorang pelaku langsung dari apa-yang- terjadi di Madiun pada akhir tahun 1948 itu Soermarsono berusaha menuturkan kembali apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, dan apa yang ia alami. Hasilnya adalah narasi lain yang berbeda dari narasi resmi.
Ada dua argumentasi pokok yang muncul dari narasi Soemarsono ini. Pertama, Peristiwa Madiun sama sekali bukan merupakan pemberontakan apalagi perebutan kekuasaan. Dengan tegas Soemarsono mengatakan, pada tahun 1948 di Madiun tidak ada coup d’tat (perebutan pemerintahan nasional) maupun coup de la ville (perebutan pemerintahan kota). Pun tak ada maksud memisahkan diri dari pemerintahan RI di bawah Presiden Soekarno. Soemarsono tetaplah seorang pengagum Bung Karno hingga hari ini.
Apa yang terjadi di Madiun lebih merupakan reaksi saja atas provokasi-provokasi yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang ia sebut sebagai bagian dari ”teror putih” yang sedang merajalela saat itu.
Teror putih itu, menurut dia, sengaja dilancarkan dengan maksud untuk menggilas gerakan-gerakan kiri prorakyat, khususnya para pendukung Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Berbagai tindakan politis yang diambil oleh dia dan kawan-kawannya lebih merupakan langkah-langkah darurat guna membela diri serta upaya untuk menyelamatkan situasi. Hal ini terbukti dengan surat yang dikirim oleh para pemimpin di Madiun kepada pemerintah pusat di Yogyakarta dengan bunyi ”meminta instruksi lebih lanjut”.
Jika maunya berontak, kata Soemarsono, tentu tidak akan ada permintaan akan instruksi lebih lanjut ke pemerintah pusat seperti itu.
Kedua, Peristiwa Madiun lebih merupakan akibat daripada sebab. Pangkal penyebab dari semua yang terjadi itu adalah apa yang disebut sebagai Red-Drive Proposal, sebuah dokumen rahasia berisi rencana yang disusun oleh para petinggi Pemerintahan Kabinet Hatta bersama wakil-wakil dari Amerika Serikat untuk menghabisi kekuatan kiri di Indonesia.
Konteks
Di mata Soemarsono, pidato Bung Karno pada tanggal 19 September 1948 malam memang keras dan emosional, tetapi hal itu terjadi karena Bung Karno sedang ”digunakan” oleh pemerintahan waktu itu, yang notabene sangat anti-kiri dan sedang berniat untuk menghantam unsur-unsur kiri di Tanah Air.
Pidato tanggapan dari Musso pada malam yang sama juga dipandang sebagai keras dan emosional, tetapi hal itu dilakukan karena Musso sedang marah sebab dituduh memberontak, padahal tidak.
Di tengah situasi demikian, sebenarnya pertentangan yang ada masih bisa diselesaikan dengan baik, yakni dengan pencarian suatu solusi politik yang damai. Apa boleh buat, sebelum solusi damai itu ditemukan sudah telanjur ada pihak-pihak tertentu yang buru-buru ingin menggunakan kekerasan militer untuk menyelesaikan masalah.
Di tengah ketegangan yang terjadi di Madiun itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman sempat mengirim seorang utusan khusus dari Yogyakarta guna menilik situasi di sana dan sesampai di Madiun memang didapatinya bahwa tidak ada pemberontakan. Antara sang utusan dan Soemarsono berlangsung percakapan dan relasi yang sangat baik karena keduanya memang telah lama saling mengenal.
Anehnya, sekembalinya dari Madiun ternyata utusan tersebut tidak memberi laporan yang sebenarnya kepada pihak yang mengutusnya. Akibatnya, pemerintah pusat di Yogyakarta memandang apa yang terjadi di Madiun sebagai sebuah perebutan kekuasaan dan memutuskan untuk menggunakan kekerasan guna menguasai kembali kota tersebut. Nama utusan itu Letkol Soeharto.
Meskipun telah dituduh merebut kekuasaan, para pemimpin di Madiun tetap ingin menunjukkan diri bahwa bagi mereka musuh utama bukan Pemerintah RI atau saudara sebangsa melainkan Belanda.
Itulah sebabnya ketika dikejar-kejar oleh tentara pemerintah mereka lari ke arah garis demarkasi dengan Belanda di Jawa Tengah bagian utara. Maksudnya adalah untuk berperang melawan Belanda di sana. Termasuk di antara para pemimpin itu adalah mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin. Ironisnya, justru ketika sedang berada di garis depan dan menyiapkan diri untuk bertempur melawan Belanda itulah mereka ditangkap untuk kemudian dieksekusi tanpa melalui proses hukum.
Kuatnya ingatan
Tecermin dalam buku ini betapa kuatnya ingatan Soemarsono sebagai seorang pelaku sejarah. Ia tidak hanya mampu mengingat dan menuturkan kembali mengenai apa yang terjadi pada tahun 1948 di Madiun, melainkan juga mengenai jatuh-bangun perjuangan dia dan kawan-kawannya dalam merebut dan mempertahankan Republik Indonesia di awal kemerdekaan. Dengan jelas dan dengan nuansa keterlibatan pribadi yang tinggi, ia tuturkan kembali bagaimana ia berjuang sejak zaman Jepang, dalam Pertempuran Surabaya bulan November 1945, kegiatannya setelah itu, serta apa yang terjadi dalam hidupnya kemudian.
Tak lupa ia ceritakan pula bagaimana atas keterlibatannya dalam berbagai peristiwa itu ia justru ”diganjar” dengan masa pengasingan selama 14 tahun dan hukuman penjara Orde Baru selama 9 tahun. Bahkan, setelah itu ia harus tinggal di negeri asing, hingga sekarang.
Guna memahami narasi-narasi tentang Peristiwa Madiun secara lebih utuh, perlulah kiranya melihat apa yang terjadi waktu itu di dalam konteks yang lebih luas. Misalnya konteks Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet, yang keduanya memiliki kepentingan besar di Indonesia.
Juga konteks pertentangan antara tentara eks-KNIL dan laskar-laskar rakyat hasil didikan Jepang. Tinjauan dengan melibatkan konteks lebih luas seperti ini penting karena olehnya kita bisa terbantu untuk melihat permasalahan secara lebih utuh dan pada tempatnya. Apalagi, mengingat bahwa narasi resmi disampaikan dengan dorongan kepentingan kekuasaan, sementara narasi pelaku sejarah lebih merupakan tuturan atas apa yang terjadi, tetapi sejauh yang dialami dan diingat oleh pelaku tersebut.
Pemahaman akan konteks lebih luas diharapkan akan membantu menjembatani keduanya. Pada titik inilah tinjauan deskriptif-analitis dari sejarawan menjadi penting. Sekaligus, pada titik ini pulalah buku ini mengandung kelemahan.
Apa pun kelemahannya, oleh buku ini kita disadarkan kembali bahwa baik kelompok-kelompok ”kanan” maupun kelompok-kelompok ”kiri” waktu itu sebenarnya sedang sama- sama ingin mengusir Belanda dari Indonesia dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan itu masing-masing pihak mengharapkan dukungan internasional. Bedanya, yang satu mengharapkan dukungan itu datang dari Blok Barat, sedangkan kelompok lain berharap dari Blok Timur.
Namun, jelas sekali bahwa baik mereka yang berada di ”kanan” maupun yang berada di ”kiri” sedang sama-sama ingin memperjuangkan kepentingan bersama dan bukan kepentingan-kepentingan pribadi.
Satu hal yang juga terasa kuat dari buku ini adalah tak dapat diragukannya komitmen dan dedikasi Soemarsono sebagai pelaku sejarah dalam usahanya memperjuangkan kepentingan bangsanya sejak muda hingga masa tuanya.
Kiranya komitmen dan dedikasi serupa juga dimiliki oleh banyak orang lain dari generasinya Soemarsono, entah mereka yang berada di ”simpang kiri” ataupun di ”simpang kanan” sejarah Indonesia. Kita berharap, komitmen dan dedikasi serupa juga dimiliki oleh para pejuang rakyat dari generasi-generasi selanjutnya, termasuk generasi sekarang ini.
__________________
*) Baskara T Wardaya SJ, Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP)/ Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/05/pelaku-sejarah-mendengarkan-narasi-lain.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar