Sabtu, 24 Desember 2011

9 Pencerita yang Dibunuh Ceritanya Sendiri

Fahrudin Nasrulloh *
__Radar Mojokerto, 18 Des 2011

Mojokerto mulai bergerak lagi. Mojokerto coba diongkosi lagi. Oleh mereka-mereka yang masih bersetia menulis, dan satu-dua-tiga yang baru muncul belakangan. Sastra tampaknya tak pernah mati dari kondisi apa pun yang bahkan telah banyak mencekik para pelakunya untuk lebih jauh mengarus dalam dunianya yang semakin tak jelas. Tak jelas dalam arti bahwa rambahan estetika di dalamnya adalah pertarungan yang tiada habis dalam upaya bereksplorasi. Sekarang makin terasa dunia sastra lewat media yang makin tak terbatas, misalnya dalam jagat internet, karya lahir dan ditulis oleh ribuan penyuka mulai yang sekedar iseng-isengan sampai yang serius seriusan. Apakah ada karya monumental yang muncul seiring demokratisasi sastra yang kian tak terbatas itu? Media koran tak lagi menjadi sentral, meski pertarungan untuk menembuskan karya ke sana tetap jadi pertaruhan. Itu tak penting kiranya. Yang pasti, sastra sudah menjadi bagian yang tidak lebih asing lagi di masyarakat, untuk tidak mengatakan sastra masih saja tetap terasing dari masyarakatnya. Buktinya, apresiasi sastra sudah banyak masuk ke sekolah, kampus, dan komunitas di daerah baik di kota maupun di kabupaten.

Membicarakan kota dan karya, cukup menarik bila kita menilik kembali Mojokerto beserta gerak sastranya dalam 5 tahun belakangan ini. Tahun 2007 sampai 2009 di Mojokerto masih dapat terasakan gerak sastranya, dan posisi apresiasi sastra yang paling menonjol adalah puisi. Banyak penyair yang bermunculan, selain yang tua-tua, sebagaimana yang disebutkan dalam pengantar kumpulan cerpen Tentang Kami Para Penghuni Sorter (2011) ini. Kemudian bisa kita cermati dalam 2010 sampai akhir 2011, kegiatan sastra nyaris senyap di Mojokerto, kecuali beberapa peristiwa sastra yang membuntut dalam agenda bulanan di Festival Bulan Purnama Wringin Lawang di Trowulan yang dihelat oleh Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto. Dalam 2 tahun itu pula, geliat sastra dalam tubuh Dewan Kesenian Mojokerto (kota) hampir tak terdengar.

Baiklah, itu cerita lumayan romantik dan agak tidak perlu jika dipanjang-panjangkan di sini. Kita langsung menuju rumah buku cerpen ini. Ada apa saja di sana dan apa yang terjadi.

Cerpenis dalam antologi ini banyak diisi oleh cerpenis asal Pacet, Mojosari, atau Bangsal, wilayah selatan Mojokerto. Sementara wilayah Mojokerto lainnya banyak dihuni penulis yang menekuni puisi. Latar sosial apakah yang tercermin dalam cerpen-cerpen mereka? Mereka menulis itu didorong oleh apa? Ini hal mendasar. Jelas riwayat mereka beda-beda, dengan niat, kondisi yang mempengaruhi, dan latar kreatif masing-masing.

Persoalan klasik menulis cerpen yang utama menurut saya adalah bagaimana sebuah cerita mampu berdaya hidup dan bergerak menceritakan dirinya sendiri di hadapan pembaca. Posisi penting pencerita bisa diistilahkan sebagai “si pelempar batu”, yang padanya hal-hal yang bersifat teknis semustinya terlebih dulu dapat ditanggulangi. Butuh ketajaman sorot mata, dan tindakan yang tepat-guna pada sasaran, karena cerpen itu ya cerita yang singkat, yang simpel, kalau perlu sekali dibaca bisa meng-KO pembaca. Contoh entengnya, paragraf pertama yang ditulis diupayakan tidak membikin bosan, sebab pasti pembaca akan segera melemparkannya ke tong sampah. Karena ini soal “dunia dalam” pada diri si pencerita, wilayah psikologis yang berpusaran di kerak otak ini bisa bercabang-cabang dan melantur ke mana-mana.

“Ini kan soal gimana mengatasi psiko-diri sesaat sebelum hendak menulis cerita, bukan?” Ini yang saya sebut sebagai “medan penanggulangan kreatif si personal”. Dan memang, di kedalaman sana, penanggulangan itu tak selesai-selesai yang justru pada titik kulminasi tertentu makin menguat bersama kegentingan yang dengan sendirinya akan terus merusak kegelisahan apa pun. Semua itu bisa dibikin jelas tampaknya, pada hal sepele sebenarnya, bagaimana sih ide cerita itu hendak diceritakan? Ini akan dengan sendirinya memberi corak pada tema, tokoh, dan konflik yang dibangun sekaligus benarkah sudah menarik, menohok, seperti kilatan, cara bercerita yang demikian yang ditawarkan? Dari situ, dan lewat beberapa cerpen dalam buku ini, kita bisa melongok, oh, adakah sesuatu yang sudah dipertimbangkan matang-matang bahwa cerita ini cerita itu telah benar-benar menjadi sebuah cerita? Ataukah sekedar berita? Atau semacam “kesan” akan peristiwa yang pernah tersaksikan saja dan karenanya dipertanyakan sudahkah pembaca menemukan “pokok cerita” di sana? Kita bisa tilik kembali cerpen-cerpen ini: “Catatan Seorang Tuna Netra” oleh Atina Nabila, “Doa Istri Tukang Semir Sepatu” oleh Jack Effendi, “Negeri Dongeng” karya Nasrulloh Habibi, “Purnama Di Tepi Sungai Brantas” karangan Rais Muhammad KS, dan “Payung” oleh Mochammad Asrori.

Perkara gaya bercerita yang berlarat, terkesan dipanjangkan, seolah deskripsi yang dipaparkan membutuhkan yang lebih dan lebih agar pembaca nyaman dan jenak kadang justru memunculkan rasa bosan dan memutungkan pembaca untuk merampungkan cerita. Tema kerapkali menempati posisi yang perlu diperhitungkan, misalnya apa yang dinilai lebih dari sebuah cerpen jika cerita yang ditawarkan itu sesuatu yang tak jauh dari keumuman atau yang sudah biasa kita dengar atau dari kenyataan yang begitu jamak dialami khalayak. Maka dalam cerpen jika semua komposisi vital pembentuk dan pengokoh sebuah cerpen tidak digarap dengan pendalaman serius maka selanjutnya hanya akan menghadirkan hal-hal yang “permukaan” saja. Tak menembus ke inti cerita. Ke konkrit cerita.

Kekonkritan cerita sebagai gagasan yang tidak muluk-muluk bisa kita temui dalam cerpen Hardjono W.S. “Penghuni Sorter”. Ini tentang Mak Pah tukang warung kopi yang suaminya mati secara tragis lantaran soal warisan lalu ia dibunuh keponakan sendiri. Sejak kejadian itu, Mak Pah tetap bertahan berjualan untuk mempertahankan hidupnya. Meski ini cerita yang bisa kita dapati dalam berita kriminal di koran atau televisi, namun tetap asyik dibaca karena cara berceritanya yang tidak bertele-tele. Cerpen “Rebiin” dari Akhmad Fatoni, untuk sekilas tampak menyisakan problem dalam merumuskan ide dasar konflik yang dibangunnya, juga logika bercerita, namun teka-teki si tokoh suami dengan ketidak-percayaannya pada omongan si istri bahwa adiknyalah yang sesungguhnya mengguna-gunainya itu tidak menemukan korelasi logis yang realistis kenapa kekeraskepalaan itu bertahan dan modus si adik yang disangka (atau dituduh?) tersebut terjadi begitu saja. Kita bisa terpancing untuk mengulur tanya: Jangan-jangan, jangan-jangan: terjadi keliru tuduh? Atau termakan hasutan? Atau membiarkan itu terjadi untuk tujuan lain, tujuan siapa? Tiga tokoh di sini, menurut saya, jika saya menggunakan pola investigatif ala Agatha Christie: masing-masing menyimpan “motif gelap” yang susah ditebak endingnya. Bila menurusi alur logika ini, Fatoni boleh jadi telah membuat sekian seri tentang Rebiin ini.

Cerpen “Tentang Kami” karya Jr. Dasamuka ini jelas realis. Sebuah rencana pembunuhan kepada kakaknya sendiri yang berupaya secara terang-terangan dan kasar ingin merebut kekasih si tokoh. Aroma dendam menguar pekat di sini. Cerpen “Yang Dibunuh Cerita-Cerita” karya Dadang Ari Murtono juga bercorak realis yang lebih masuk ke dalam. Pola tutur yang terkesan melantur-lanturkan emosi dijalin dengan logika bahasa yang padu dan baluran metaforik yang cukup menyentuh, kadang terasa boros kata. Antara sosok si tokoh yang dilematis, bahkan sangat-sangat paranoid, dengan kekasihnya (yang berseru: “Maka kuambil urat-urat kaki dan tanganmu. Lumpuhlah. Berhentilah mencipta tragedi dalam hidup kami.”), dengan kawan-kawannya, yang diilustrasikan bahwa pada detik-detik kematian si tokoh karena kanker darah unsur dramatik begitu kental. Kesadaran alam lain dalam cerita Dadang itu menubuh dan menembusi ruang-waktu secara retrospektif yang ulang-alik: pada ungkapan di saat-saat si tokoh sebelum mati, setelah mati, dan aku lirik pencerita yang memungkasi di akhir cerita:

Kawan-kawan dan tetangga-tetangganya bersumpah ia tersenyum dan terlihat teramat bahagia ketika diketemukan meninggal dalam kamarnya yang pengap asap rokok dan sempit itu. Tak ada yang tahu apa yang menyebabkan ekspresi wajahnya seperti itu. Tak ada yang tahu bila segala yang pernah ia tulis, segala cerita yang pernah ia karang, segala tokoh-tokoh yang ia lahirkan, bergantian mnjenguknya. Dan ia tak lagi merasa berhutang pada apa-apa dalam cerita-cerita itu, pada tokoh-tokoh dalam cerita-cerita itu.

Adakah ini cerita yang disamarkan tentang peristiwa riil diri Dadang sendiri yang sebenarnya? Kemungkinan itu bisa benar, dengan kenyataan umum bahwa setiap karya merupakan cerminan diri pengarangnya, tentu saja, dengan kadar yang tak bisa diukur prosentasenya. Dalam kumpulan cerpen ini tema personal dengan berbagai sisikmelik problematiknya lebih mengemuka ketimbang tema sosial.

Walakhir, kelemahan-kelemahan juga rambahan estetik dalam menulis cerpen memang kompleks. Membuat cerita yang sederhana tapi berisi juga rumit, dan semua itu adalah bagaimana pandangan hidup dan sikap dalam proses kreatif itu tidak dihinggapi oleh hal-hal yang bersifat instant dan watak megalomaniak, misalnya ingin cepat dimuat media, tak mengindahkan revisi berkali-kali, menghindari mendiskusikan karya dengan teman terdekat, ingin cepat diantologikan jadi buku, mengejar target sayembara cerpen, watak manipulatif, miskin bacaan, ingin cepat terkenal, tak menghargai pendapat orang lain, malas riset (ini yang banyak diabaikan), dan bla-bla-bla yang kesemuanya itu adalah soal-soal lawas yang jadi penyakitnya penulis saat ini yang disadari atau tidak membuat karya-karya sastra kita mengalami kesumpekan. Dan sastra kita cuma jadi “sastra sepintas lalu”, “yang biasa-biasa saja” sebagaimana yang disitir Budi Darma dalam buku esai sastranya Solilokui.

Dan semoga sajalah, semua cerita yang telah selesai ditulis dan kini dibaca oleh siapa pun itu, mampu hidup dan memberi nyala api, bukan epidemi. Apakah itu yang kita doa-harapkan? Atau, biarin saja, semua cerita yang tertuliskan itu kuasa membunuh penulisnya setiap waktu, untuk kemudian bangkit lagi lalu membikin tularan-tularan cerita yang lebih-lebih sinting lagi.
____________________
*) Fahrudin Nasrulloh, cerpenis, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae