Yasraf Amir Piliang
Pikiran Rakyat, 19 April 2009
SETELAH kejatuhan rezim otoriter Orde Baru pada 1998, “sistem demokrasi” dilihat sebagai satu-satunya harapan yang dapat membawa bangsa ini menuju masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Akan tetapi, setelah lebih dari satu dekade masa transisi, yang tumbuh di kalangan masyarakat adalah pandangan pesimistis atau skeptis terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Sistem demokrasi lebih dilihat sebagai “masalah” ketimbang “solusi”, “ekses” ketimbang “pencerahan”, “disorder” ketimbang “order”.
Demokrasi malah diasosiasikan dengan aneka bentuk kekerasan massal, kekacauan publik, demonstrasi anarkistis, tindak kejahatan, ketiadaan hukum, matinya etika, runtuhnya tabu dan ketakpedulian sosial yang akut. Demokrasi dijadikan raison d`etre bagi orang atau kelompok tertentu untuk memaksakan kehendak, melampiaskan hasrat, mengutamakan ego, merayakan ekspresi bebas, perilaku menyimpang, dan perbuatan amoral. Demokrasi, ironisnya, justru menjadi “kendaraan” menuju “anarkisme”.
Akan tetapi, menolak demokrasi bukanlah sebuah ajakan bijak pula. Karena sejauh ini tak ada pilihan ideologis lain yang lebih menjanjikan. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana membangun “optimisme” secara nasional tentang kekuatan demokrasi dalam membangun masyarakat sejahtera. Bagaimana menafsir ulang demokrasi sebagai kekuatan “pengubah”, “progresif”, “dinamis”, dan “transformatif”, sehingga ketimbang dianggap sebagai “duri” di dalam tubuh bangsa, ia semestinya dilihat sebagai “energi perubahan” ke arah yang lebih baik.
**
MEMANG, proses demokratisasi pada kenyataannya telah meninggalkan berbagai “dosa” kolektif, yang malah mengancam integrasi bangsa. Pertama, ketakmampuan merumuskan batas-batas “kebebasan” dan “kedaulatan” (sovereignty) dalam kerangka demokrasi. Di dalam rezim Orde Baru, negara tampil terlalu “kuat” (strong state), sementara masyarakat terlalu “lemah” (weak society). Akan tetapi, di dalam era reformasi, terjadi pembalikan relasi kedaulatan, di mana negara terlalu lemah, sementara masyarakat terlalu kuat, sehingga “kebebasan” tak mampu “dikelola” dengan efektif oleh negara melalui regulasi. (Joel S. Migdal, Strong Societies and Weak States, 1988).
Di pihak lain, pada tingkat komunitas politik-yaitu partai politik-kebebasan lebih diartikan sebagai “kebebasan eksperimentasi politik” dan “komunikasi politik”, dengan mengabaikan tanggung jawab sosial dan pendidikan warga. Sehingga, demokrasi “meruntuhkan maknanya sendiri”, yang menggiring ke arah “demokrasi nihilistik”, yaitu permainan bebas “citra politik”, yang tercabut dari kompleksitas persoalan negara, bangsa, dan kemasyarakatan yang sesungguhnya.
Ruang politik disarati oleh jutaan citra politik manipulatif, yang menggiring pada “desubstansialitas politik”, yaitu terabaikannya aneka persoalan substansial, di balik gemerlap kemasan citra politik. “Rekayasa citra” (political imagineering) mengambilalih “rekayasa sosial” (social enggineering), di mana solusi-solusi sosial yang riil direduksi menjadi retorika-retorika visual, yang sugestif dan manipulatif. Desubstansialitas demokrasi menggiring pada “ketercabutan politik” dari realitas masyarakatnya sendiri.
Selain itu, demokrasi yang minim regulasi, menggiring ke arah kondisi “melampaui” (hyper), yaitu segala sesuatu yang bergerak ke arah “berlebihan”, “keterlaluan” atau “ekstrimitas”. Ketika dalam proses demokratisasi tak mampu dibangun batas dan norma yang jelas, maka segala sesuatu bertumbuh ke arah titik ekstrim: “kebebasan” yang berlebihan, tuntutan “hak” (right) yang melampaui kapasitas, “tindakan” yang bergerak melewati hukum, sehingga demokrasi dipenuhi oleh beban berlebihan dan ekses. Di sini, demokrasi menjelma menjadi “hiper-demokrasi” (hyper-democracy), yaitu demokrasi yang bertumbuh “melampaui” batas-batas alamiah dan idealnya, sehingga ia kehilangan esensi, makna, dan tujuannya sendiri (Jean Baudrillard, Fatal Strategies, 1990). “Hiperdemokrasi” adalah kondisi pertumbuhan elemen-elemen demokrasi (partai, organisasi, aturan, citra, komunikasi, informasi, atribut, simbol) yang melampaui batas rasionalnya, sehingga ia kehilangan konteks, makna, dan tujuannya bagi demos itu sendiri, yaitu kedaulatan warga.
Pemilihan umum legislatif yang lalu merupakan cermin dari kondisi “hiper-demokrasi” itu, di mana pertumbuhan kebebasan (membuat partai, menjadi caleg, melakukan komunikasi politik, memilih) tidak sebanding dengan kemampuan otoritas negara dalam membuat, merumuskan, menyosialisasikan, dan menegakkan aturan atau regulasi politik, sehingga menimbulkan kondisi political chaos yang belum pernah dialami sebelumnya.
**
MASALAH sentral dalam proses demokratisasi adalah bagaimana merumuskan batas, kadar, tingkatan, serta konteks “kebebasan” (freedom), sebagai prinsip sentral demokrasi. Ketimbang menjadi prinsip pembangun, kebebasan itu sering justru menjadi “duri” dalam tubuh demokrasi itu sendiri. Di sini, perlu reinterpretasi terhadap “makna” kebebasan dalam konteks demokrasi kita: apakah kebebasan itu pada tingkat “individual” atau “sosial”? Apakah ia “tanpa batas” atau “terbatas”? apakah ia bersifat “absolut” atau “relatif”?
Yang pasti, di dalam sistem demokrasi versi apapun, tidak ada yang disebut “kebebasan penuh”. Pemahaman terhadap “keterbatasan kebebasan” inilah yang tidak dibangun di dalam proses demokratisasi selama ini.
Dinamika demokrasi mengikuti prinsip ayunan “pendulum”, antara “kebebasan” (individu, komunitas, masyarakat) dan “regulasi” (negara). Semakin minimal regulasi, semakin maksimal kebebasan, dan sebaliknya. Sistem demokrasi mencari titik “keseimbangan ideal” di antara dua gaya pendulum ini. Akan tetapi, dalam proses demokratisasi selama ini, “keran” kebebasan dibuka tanpa otoritas regulasi yang kuat, sehingga menimbulkan aneka ekses baik pada tingkat individu, komunitas politik (partai) dan masyarakat.
Demokrasi kini menjadi panggung pertunjukan “kebebasan” (bertindak, berbicara, protes, manipulasi, persuasi, berekspresi) tanpa ada respek terhadap aneka regulasi dan aturan. Akibatnya, penyusunan aneka rancangan undang-undang (jabatan, profesi, buruh, pornografi, pendidikan, media) cenderung diterima secara negatif, karena dianggap membatasi kebebasan individual dan kelompok. Padahal, kekuatan demokrasi adalah pada aturan bersama.
Proses demokratisasi yang berlangsung dapat diartikan sebagai pergerakan budaya politik ke arah “individualisme”. Politik yang berwatak “individualisme” menjadikan individu sebagai “inisiator” dalam kompetisi perebutan kekuasaan, yang membangun “kepercayaan” masyarakat melalui “politik pencitraan” (politic of image). Media komunikasi dimanipulasi untuk menciptakan “citra diri”, sebagai cara menggiring persepsi dan preferensi politik masyarakat. Di masa depan, tampaknya perlu semacam “reposisi” subjektivitas ini, agar tidak terjadi asimetri politik.
Demokrasi yang direduksi menjadi “permainan citra” akan menciptakan “demokrasi tak efektif”, karena aktivitas demokrasi terkonsentrasi pada pembangunan kekuasaan melalui “permainan citra”, dengan mengabaikan realitas sosial. Demokrasi tidak mempunyai fondasi dan legitimasi kuat di dunia “riil”, karena figur politik sering tidak mempunyai kompetensi, kemampuan, dan kapasitas seperti yang dilukiskan melalui citra. (Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, 2004). Di sini, tugas masa depan adalah: bagaimana menciptakan “demokrasi yang efektif”?
**
UNTUK menghasilkan “demokrasi yang efektif”, dengan citra yang baik, dan pandangan yang optimistik, diperlukan upaya “reinterpretasi demokrasi”. Perlu upaya “pengayaan demokrasi” secara konseptual, dengan mengambil pelajaran dari “etika kekuasaan” yang berbasis kearifan lokal dan indigenous knowledge, yang bergerak ke arah pendulum yang sebaliknya.
Pertama, “etika de-individualisme”. Di dalam sistem nilai lokal, individu tidak menjadi entitas otonom dan “titik sentral” kekuasaan. Komunitas yang menjadi “inisiator” dalam mendorong seorang individu menjadi pemimpin, berdasarkan “kepercayaan” (trust) yang dibangun, ditempa dan “diuji” di dalam “praksis” sosial keseharian. Seorang individu tidak mencari-cari “kuasa”, tetapi komunitas yang membangunnya. Melalui “nilai-nilai komunitas” inilah “budaya malu” dibangun, kompetensi dipentingkan, rasa tanggung jawab diutamakan, dan prestasi sosial dijunjung tinggi.
Kedua, “etika ketulusan”, yaitu memberi tanpa pamrih. Proses demokratisasi sejauh ini telah membangun watak “politik ketaktulusan”, di mana orang memberi bantuan (dana, sarana, barang, infrastruktur), semata karena kepentingan politik, yaitu agar dipilih dalam pemilu. Akibatnya, pilihan politik yang diberikan juga tak tulus. Padahal, nilai-nilai kearifan lokal mengajarkan kita tentang etika memberi, semata dilandasi “moral kebaikan” (good will), dan kebaikan ini menjadi modal kepercayaan, tanpa perlu direkayasa.
Ketiga, “etika merayakan keutamaan” (virtue). Demokrasi yang berbasis individu dan citra lebih merayakan penampakan luar (appearance) ketimbang kedalaman isi, manipulasi citra ketimbang kompetensi, simulasi ketimbang realitas. Padahal, budaya lokal mengajarkan cara menilai seseorang berdasarkan “keutamaan” yang ia perlihatkan: kecerdasan, kecakapan, tanggung jawab, bukan tumpukan materi dan uang. Demokrasi yang tanpa basis keutamaan, hanya menjadi medan perebutan kekuasaan melalui tumpukan materi dan gemerlap citra.
Keempat, “etika dialogisme” (ethics of dialogism), yaitu etika saling bertukar dan memahami secara mutual (mutual understanding). Demokrasi sejauh ini cenderung bersifat eksploitatif, yaitu mengambil (dari rakyat), tanpa memberi (pendidikan warga). Nilai-nilai dialogisme yang bersifat lokal di sini dapat dijadikan pondasi untuk membangun semacam “demokrasi dialogis” (dialogical democracy), di mana ada “pertukaran gagasan” (ideological exchange) antara elite politik dan komunitasnya, bukan “retorika satu arah”, yang berkembang selama ini.
Kelima, “etika kejujuran”. Virtualitas demokrasi, yang menggantungkan diri pada politik pencitraan, sejauh ini telah menciptakan watak “politik ketakjujuran”, di mana komunikasi justru menjadi ajang manipulasi ketimbang kehendak akan “kebenaran” (truth). Demokrasi berbasis kejujuran tak mengandalkan pada citra, tetapi pada akumulasi tindak dan karya. Komunikasi politik adalah sarana semata untuk menyampaikan pesan politik, bukan sarana penciptaan “kesadaran palsu” (false consciousness) .
Demokrasi yang dibangun di atas pondasi “kearifan lokal” dan indigenous knowledge, dapat menjadi demokrasi dengan fundamental dan legitimasi yang kuat, karena hidup di dalam “ruang politik riil”, bukan “imagologi virtual”. Sistem demokrasi dibangun di atas pondasi mutual checking antara pemerintah, komunitas, dan aktor-aktor politik, sehingga aneka “perilaku menyimpang” dalam politik dikoreksi secara mutual. Hanya melalui demokrasi dialogis berbasis lokal itulah, dapat diciptakan sebuah masyarakat politik yang cerdas, kritis, dan penuh optimisme di masa depan.***
* YASRAF AMIR PILIANG, Pemikir di Forum Studi Kebudayaan (FSK), FSRD, Institut Teknologi Bandung.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/04/dosa-dosa-demokrasi.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar