Senin, 19 Desember 2011

“Ekstrem Tengah” itu Bernama LESBUMI

Akhiriyati Sundari
Majalah BASIS, Nomor 09-10, Tahun ke-59, 2010

Perbincangan tentang Nahdhatul Ulama (NU) dalam banyak literatur yang beredar sejauh ini masih didominasi oleh pergulatannya dalam lingkup politik dan sosial-keagamaan. Ranah kebudayaan, dalam hal ini wacana budaya, justru sedikit sekali tampak dalam tulisan-tulisan para peneliti.

Sebuah hal yang ironis, mengingat NU adalah organisasi massa keagamaan yang paling lekat pada wilayah kebudayaan, sekurang-kurangnya melalui representasi subkultur bernama pesantren sebagai basis wilayah yang sangat kaya khazanah budayanya, atau jika menilik sejarah NU yang rekat dengan “kaum tradisional” sebagai salah satu “kubangan budaya”. Segmentasi budaya yang semestinya bisa menjadi wilayah pergulatan/perebutan wacana paling seksi, seakan tak tampak dalam diskursus NU oleh para peneliti tentang NU. Buku bertajuk LESBUMI; Strategi Politik Kebudayaan, karya Choirotun Chisaan?perempuan muda NU—ini mencoba menjawab “ruang kosong” (kalau tak boleh dikatakan tak ada) diskursus NU dalam ranah “polemik kebudayaan” tersebut.

Lesbumi [Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia] adalah wujud “formalisasi budaya” yang didirikan pada awal tahun 1960-an di bawah naungan Partai Nahdhatul Ulama [Partai NU] ketika NU menjadi partai politik. Kehadirannya yang lalu menampakkan diri pada posisi in between, disebabkan oleh dua momen bersejarah yang fenomenal, yakni momen budaya dan momen politik. Momen budaya, bersebab kelahiran Lesbumi sebagai lembaga yang memang angslup (tenggelam) di genangan budaya, berusaha menjawab kebutuhan akan pendampingan kelompok-kelompok seni budaya di lingkungan Nahdhiyyin [entitas NU] serta kebutuhan akan modernisasi budaya [faktor intern]. Ada pun fenomena momen politik, bersebab kelahiran Lesbumi berada dalam situasi “demokrasi terpimpin”, ditandai dengan terbitnya Manipol USDEK [Manifesto Politik/Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia] Soekarno, pengarusutamaan Nasakom [Nasionalisme, Agama, dan Komunis] dalam tata kelola kehidupan sosio-politik dan sosio-budaya di Indonesia, serta perkembangan Lekra yang kian menampakkan kedekatan hubungan dengan organisasi politik PKI [faktor esktern].

Posisi lembaga kebudayaan ini menjadi signifikan hadir di tengah-tengah dinamika perdebatan kebudayaan kala itu, tatkala perebutan wacana menubuh di hampir semua lembaga kebudayaan yang ramai-ramai berafiliasi dengan partai politik. Tercatat ada LKN [Lembaga Kebudayaan Nasional/PNI], Lesbumi [NU], HSBI [Himpunan Seni Budaya Islam/Masyumi], LKIK [Lembaga Kebudayaan Indonesia Katolik/Partai Katolik], Lesbi [Lembaga Seni Budaya Indonesia/Partindo], Lembaga Kebudayaan dan Seni Muslim Indonesia [Laksmi/PSII], Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam [Leksi/Perti], dan lain-lain. Menariknya, produk seni lembaga-lembaga tersebut dipublikasikan melalui media massa masing-masing partai politik. Hingga kerap memicu timbulnya “polemik” politik dalam domain kebudayaan. Suasana saat itu digambarkan sebagai suatu keadaan di mana terjadi “turbulensi” di berbagai sektor kehidupan. Tak mengherankan jika wilayah kebudayaan saat itu lalu tampil lebih sebagai political act.

Ditengarai, pada tahun-tahun itu, iklim sosial politik internasional ikut masuk ke dalam negeri sehingga turut menjentikkan virusnya di Indonesia yang notabene tengah bergeliat dalam proses nation-building. Ini memperlihatkan betapa gandrungnya segenap elemen sosial-politik dalam wacana kebudayaan terhadap ide-ide besar yang ramai bertarung. Masing-masing menampilkan diskursus wacana tersendiri, saling berebut pengaruh, berebut massa.

Membincang Lesbumi, sebagaimana tersebut dalam buku ini, tak bisa sepi begitu saja dari pengaruh kuat situasi sosial politik yang “memanas” akibat polemik yang mengerucut pada dua kutub. Di satu sisi adalah Lekra [Lembaga Kebudayaan Rakyat] yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia [PKI] dengan memanifestasikan seni untuk rakyat/seni bertendensi [engagee] melalui jargon “politik adalah panglima”. Di sisi yang lain adalah Manifes Kebudayaan [Manikebu] yang tidak berafiliasi pada partai politik dan mengusung semboyan seni untuk seni. Keduanya terlibat polemik yang cukup serius pada waktu itu, meski banyak pengamat menandai friksi yang dimainkan amatlah cantik karena masih dalam bingkai wacana dan “perang pena”. Tak pelak, suasana cukup esktrem tercipta kala itu dengan hanya memunculkan “dua kubu/ kutub” dalam “perdebatan politis” yang mengambil domain kebudayaan. Dalam konteks inilah Lesbumi lahir, sebagaimana ditera banyak pihak sebagai counter responses atas karibnya Lekra dan PKI ini.

Setali tiga uang dengan Lesbumi, di kalangan NU sendiri, sebagaimana pola umum reaksi terhadap PKI, tak ada kiprah PKI yang tak ditandingi. “PKI membanggakan massanya, NU mengerahkan jama’ahnya. PKI menggerakkan Gerwani, NU menggerakkan Muslimat, PKI memiliki Pemuda Rakyat, NU menggerakkan Pemuda Ansor sebagai bansernya, PKI memiliki BTI, NU menggerakkan Pertanu, PKI mengaktifkan SOBSI, NU membentuk Sarbumusi, PKI mendirikan Lekra, NU mendirikan Lesbumi,” tutur Saifuddin Zuhri. PKI menciptakan nyanyian “Genjer-Genjer” yang amat populer sebagai “lagu kebangsaan”-nya, NU menciptakan “Salawat Badar” sebagai instrumen paling khas dari “lagu wajib”.

Ditanyakan oleh penulis dalam buku ini, mengapa dalam jagad perbincangan kebudayaan negeri ini seakan Lesbumi “lenyap”, padahal fakta historis telah mencatatnya? Lesbumi muncul dalam waktu yang amat singkat, kurang dari satu dekade sebelum akhirnya prahara politik paling ganas menutup “panggung polemik budaya”. Lesbumi lahir sebagai “alternatif” kalau tak boleh dikatakan sebagai “budaya tanding” diskursus kebudayaan waktu itu. Lesbumi menghindari dua titik ekstrem “politik aliran” dengan mengambil jarak dan menempati posisi “ekstrim di tengahnya”. Agaknya, hal ini tak bisa dipungkiri sebagai konsekuensi logis dari ruh Lesbumi yang menginduk pada Partai NU lalu menganut asas “moderat” sebagai aplikasi dari garis ideologi tawasuth Ahlussunnah wal Jama’ah.

Dalam produk budayanya, Lesbumi secara kultural menegaskan diri pada kebudayaan “humanisme religius”, sebuah pandangan kebudayaan yang berlandaskan pada “ketauhidan” [teologis] dan “kemanusiaan” [humanis] dalam spektrum yang lebih luas. Hal ini dimaksudkan untuk “menunaikan amanat Islam”. Pandangan kebudayaan ini khas Indonesia, yang muncul sebagai gejala baru dalam kehidupan kesenian dan kebudayaan Indonesia. Lebih jauh, upaya Lesbumi ini merupakan usaha mendefinisikan “agama” sebagai unsur mutlak dalam nation and character building demi tercapainya tujuan revolusi, yakni masyarakat adil makmur lahir batin yang diridhoi Allah SWT. Religiositas dalam konteks Lesbumi menjadi tendensi, bukan hanya dalam ekspresi dan produksi seni budayanya, melainkan juga aktivitas-aktivitas yang menggerakkannya. Penegasan ini merupakan manifestasi “ekstrim tengah” dari kebudayaan beraliran realisme sosialis sebagaimana dianut oleh Lekra dan humanisme universal sebagaimana dianut kelompok Manikebu [dua aliran yang kerap disebut sebagai “ekstrem kiri” dan “ekstrem kanan”].

Kenyataan di atas dapat dibaca sebagai pembeda signifikan bahwa Lesbumi serius melakukan “perlawanan” terhadap Lekra yang kian ofensif sebagai mainstream kebudayaan kala itu. Seperti terekam dalam “Surat Kepercayaan” yang ditulis oleh Asrul Sani, satu dari tiga orang pendiri Lesbumi selain Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail. Bagi Lesbumi, yang terpenting adalah gaya pribadi seniman yang dipergunakan untuk mengungkap sesuatu yang hendak disampaikan kepada masyarakat. Yang kedua, Lesbumi tidak menolak isme apapun dalam kesenian, artinya isme dalam kesenian tidak penting sama sekali. Juga, bagi Lesbumi, agama adalah kesatuan yang merupakan pengikat dan memberi bentuk batin kesatuan kebudayaan. Inilah yang disebut pula sebagai proses “moderasi” yang dipakai Lesbumi. Sayangnya, proses moderasi yang dibangun Lesbumi dengan waktu yang bisa dibilang cukup singkat untuk sebuah gerakan kebudayaan—baik moderasi di tengah-tengah politik aliran kebudayaan maupun moderasi di tingkatan intern antara kaum seni dan kaum Nahdhiyyin—belum beroleh hasil yang optimal karena bumi pertiwi yang sedang “hamil tua” akhirnya benar-benar “melahirkan” sebuah tragedi kemanusiaan 30 September 1965 hingga memutuskan upaya tersebut.

Yang menarik dari buku ini, selain sebagai referensi mengulas Lesbumi dalam konteks polemik kebudayaan, adalah menawarkan perspektif yang berbeda—sekaligus baru—tentang NU. Bagaimana NU bergulat mencari desain relasi agama dan politik sekaligus dalam perspektif kebudayaan, kelahiran Lesbumi, berikut sekian proses yang melingkupinya, sejatinya merupakan penanda kemodernan penting bagi tubuh NU. Modern karena justru kontradiktif dari anggapan umum bahwa NU adalah organisasi “tradisional”. Modern, justru karena ia berhasil melepaskan diri dari partai modernis—Masyumi, sebelum dinyatakan terlarang—tempat bernaung sebelumnya. Kemudian NU berupaya memodernisasi diri melalui jagad politik dan budaya secara bersamaan. Modern, jika dilihat dari cita rasa yang tampak dari personifikasi tiga pendiri Lesbumi berikut produk seni yang dihasilkannya yaitu sastrawan angkatan ’45, pekerja film, dan teater [ranah seni yang mewah dan modern untuk ukuran kala itu]. Modern, jika modern disenyawakan dengan berani berbeda, berani mengambil tempat tersendiri, tak larut dalam kanonisasi yang berporos hanya pada dua arus utama, lalu menegaskan diri berdiri sendiri menjadi “ekstrem tengah”.

Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=456779000981

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae