Akhiriyati Sundari
Majalah BASIS, Nomor 09-10, Tahun ke-59, 2010
Perbincangan tentang Nahdhatul Ulama (NU) dalam banyak literatur yang beredar sejauh ini masih didominasi oleh pergulatannya dalam lingkup politik dan sosial-keagamaan. Ranah kebudayaan, dalam hal ini wacana budaya, justru sedikit sekali tampak dalam tulisan-tulisan para peneliti.
Sebuah hal yang ironis, mengingat NU adalah organisasi massa keagamaan yang paling lekat pada wilayah kebudayaan, sekurang-kurangnya melalui representasi subkultur bernama pesantren sebagai basis wilayah yang sangat kaya khazanah budayanya, atau jika menilik sejarah NU yang rekat dengan “kaum tradisional” sebagai salah satu “kubangan budaya”. Segmentasi budaya yang semestinya bisa menjadi wilayah pergulatan/perebutan wacana paling seksi, seakan tak tampak dalam diskursus NU oleh para peneliti tentang NU. Buku bertajuk LESBUMI; Strategi Politik Kebudayaan, karya Choirotun Chisaan?perempuan muda NU—ini mencoba menjawab “ruang kosong” (kalau tak boleh dikatakan tak ada) diskursus NU dalam ranah “polemik kebudayaan” tersebut.
Lesbumi [Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia] adalah wujud “formalisasi budaya” yang didirikan pada awal tahun 1960-an di bawah naungan Partai Nahdhatul Ulama [Partai NU] ketika NU menjadi partai politik. Kehadirannya yang lalu menampakkan diri pada posisi in between, disebabkan oleh dua momen bersejarah yang fenomenal, yakni momen budaya dan momen politik. Momen budaya, bersebab kelahiran Lesbumi sebagai lembaga yang memang angslup (tenggelam) di genangan budaya, berusaha menjawab kebutuhan akan pendampingan kelompok-kelompok seni budaya di lingkungan Nahdhiyyin [entitas NU] serta kebutuhan akan modernisasi budaya [faktor intern]. Ada pun fenomena momen politik, bersebab kelahiran Lesbumi berada dalam situasi “demokrasi terpimpin”, ditandai dengan terbitnya Manipol USDEK [Manifesto Politik/Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia] Soekarno, pengarusutamaan Nasakom [Nasionalisme, Agama, dan Komunis] dalam tata kelola kehidupan sosio-politik dan sosio-budaya di Indonesia, serta perkembangan Lekra yang kian menampakkan kedekatan hubungan dengan organisasi politik PKI [faktor esktern].
Posisi lembaga kebudayaan ini menjadi signifikan hadir di tengah-tengah dinamika perdebatan kebudayaan kala itu, tatkala perebutan wacana menubuh di hampir semua lembaga kebudayaan yang ramai-ramai berafiliasi dengan partai politik. Tercatat ada LKN [Lembaga Kebudayaan Nasional/PNI], Lesbumi [NU], HSBI [Himpunan Seni Budaya Islam/Masyumi], LKIK [Lembaga Kebudayaan Indonesia Katolik/Partai Katolik], Lesbi [Lembaga Seni Budaya Indonesia/Partindo], Lembaga Kebudayaan dan Seni Muslim Indonesia [Laksmi/PSII], Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam [Leksi/Perti], dan lain-lain. Menariknya, produk seni lembaga-lembaga tersebut dipublikasikan melalui media massa masing-masing partai politik. Hingga kerap memicu timbulnya “polemik” politik dalam domain kebudayaan. Suasana saat itu digambarkan sebagai suatu keadaan di mana terjadi “turbulensi” di berbagai sektor kehidupan. Tak mengherankan jika wilayah kebudayaan saat itu lalu tampil lebih sebagai political act.
Ditengarai, pada tahun-tahun itu, iklim sosial politik internasional ikut masuk ke dalam negeri sehingga turut menjentikkan virusnya di Indonesia yang notabene tengah bergeliat dalam proses nation-building. Ini memperlihatkan betapa gandrungnya segenap elemen sosial-politik dalam wacana kebudayaan terhadap ide-ide besar yang ramai bertarung. Masing-masing menampilkan diskursus wacana tersendiri, saling berebut pengaruh, berebut massa.
Membincang Lesbumi, sebagaimana tersebut dalam buku ini, tak bisa sepi begitu saja dari pengaruh kuat situasi sosial politik yang “memanas” akibat polemik yang mengerucut pada dua kutub. Di satu sisi adalah Lekra [Lembaga Kebudayaan Rakyat] yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia [PKI] dengan memanifestasikan seni untuk rakyat/seni bertendensi [engagee] melalui jargon “politik adalah panglima”. Di sisi yang lain adalah Manifes Kebudayaan [Manikebu] yang tidak berafiliasi pada partai politik dan mengusung semboyan seni untuk seni. Keduanya terlibat polemik yang cukup serius pada waktu itu, meski banyak pengamat menandai friksi yang dimainkan amatlah cantik karena masih dalam bingkai wacana dan “perang pena”. Tak pelak, suasana cukup esktrem tercipta kala itu dengan hanya memunculkan “dua kubu/ kutub” dalam “perdebatan politis” yang mengambil domain kebudayaan. Dalam konteks inilah Lesbumi lahir, sebagaimana ditera banyak pihak sebagai counter responses atas karibnya Lekra dan PKI ini.
Setali tiga uang dengan Lesbumi, di kalangan NU sendiri, sebagaimana pola umum reaksi terhadap PKI, tak ada kiprah PKI yang tak ditandingi. “PKI membanggakan massanya, NU mengerahkan jama’ahnya. PKI menggerakkan Gerwani, NU menggerakkan Muslimat, PKI memiliki Pemuda Rakyat, NU menggerakkan Pemuda Ansor sebagai bansernya, PKI memiliki BTI, NU menggerakkan Pertanu, PKI mengaktifkan SOBSI, NU membentuk Sarbumusi, PKI mendirikan Lekra, NU mendirikan Lesbumi,” tutur Saifuddin Zuhri. PKI menciptakan nyanyian “Genjer-Genjer” yang amat populer sebagai “lagu kebangsaan”-nya, NU menciptakan “Salawat Badar” sebagai instrumen paling khas dari “lagu wajib”.
Ditanyakan oleh penulis dalam buku ini, mengapa dalam jagad perbincangan kebudayaan negeri ini seakan Lesbumi “lenyap”, padahal fakta historis telah mencatatnya? Lesbumi muncul dalam waktu yang amat singkat, kurang dari satu dekade sebelum akhirnya prahara politik paling ganas menutup “panggung polemik budaya”. Lesbumi lahir sebagai “alternatif” kalau tak boleh dikatakan sebagai “budaya tanding” diskursus kebudayaan waktu itu. Lesbumi menghindari dua titik ekstrem “politik aliran” dengan mengambil jarak dan menempati posisi “ekstrim di tengahnya”. Agaknya, hal ini tak bisa dipungkiri sebagai konsekuensi logis dari ruh Lesbumi yang menginduk pada Partai NU lalu menganut asas “moderat” sebagai aplikasi dari garis ideologi tawasuth Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dalam produk budayanya, Lesbumi secara kultural menegaskan diri pada kebudayaan “humanisme religius”, sebuah pandangan kebudayaan yang berlandaskan pada “ketauhidan” [teologis] dan “kemanusiaan” [humanis] dalam spektrum yang lebih luas. Hal ini dimaksudkan untuk “menunaikan amanat Islam”. Pandangan kebudayaan ini khas Indonesia, yang muncul sebagai gejala baru dalam kehidupan kesenian dan kebudayaan Indonesia. Lebih jauh, upaya Lesbumi ini merupakan usaha mendefinisikan “agama” sebagai unsur mutlak dalam nation and character building demi tercapainya tujuan revolusi, yakni masyarakat adil makmur lahir batin yang diridhoi Allah SWT. Religiositas dalam konteks Lesbumi menjadi tendensi, bukan hanya dalam ekspresi dan produksi seni budayanya, melainkan juga aktivitas-aktivitas yang menggerakkannya. Penegasan ini merupakan manifestasi “ekstrim tengah” dari kebudayaan beraliran realisme sosialis sebagaimana dianut oleh Lekra dan humanisme universal sebagaimana dianut kelompok Manikebu [dua aliran yang kerap disebut sebagai “ekstrem kiri” dan “ekstrem kanan”].
Kenyataan di atas dapat dibaca sebagai pembeda signifikan bahwa Lesbumi serius melakukan “perlawanan” terhadap Lekra yang kian ofensif sebagai mainstream kebudayaan kala itu. Seperti terekam dalam “Surat Kepercayaan” yang ditulis oleh Asrul Sani, satu dari tiga orang pendiri Lesbumi selain Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail. Bagi Lesbumi, yang terpenting adalah gaya pribadi seniman yang dipergunakan untuk mengungkap sesuatu yang hendak disampaikan kepada masyarakat. Yang kedua, Lesbumi tidak menolak isme apapun dalam kesenian, artinya isme dalam kesenian tidak penting sama sekali. Juga, bagi Lesbumi, agama adalah kesatuan yang merupakan pengikat dan memberi bentuk batin kesatuan kebudayaan. Inilah yang disebut pula sebagai proses “moderasi” yang dipakai Lesbumi. Sayangnya, proses moderasi yang dibangun Lesbumi dengan waktu yang bisa dibilang cukup singkat untuk sebuah gerakan kebudayaan—baik moderasi di tengah-tengah politik aliran kebudayaan maupun moderasi di tingkatan intern antara kaum seni dan kaum Nahdhiyyin—belum beroleh hasil yang optimal karena bumi pertiwi yang sedang “hamil tua” akhirnya benar-benar “melahirkan” sebuah tragedi kemanusiaan 30 September 1965 hingga memutuskan upaya tersebut.
Yang menarik dari buku ini, selain sebagai referensi mengulas Lesbumi dalam konteks polemik kebudayaan, adalah menawarkan perspektif yang berbeda—sekaligus baru—tentang NU. Bagaimana NU bergulat mencari desain relasi agama dan politik sekaligus dalam perspektif kebudayaan, kelahiran Lesbumi, berikut sekian proses yang melingkupinya, sejatinya merupakan penanda kemodernan penting bagi tubuh NU. Modern karena justru kontradiktif dari anggapan umum bahwa NU adalah organisasi “tradisional”. Modern, justru karena ia berhasil melepaskan diri dari partai modernis—Masyumi, sebelum dinyatakan terlarang—tempat bernaung sebelumnya. Kemudian NU berupaya memodernisasi diri melalui jagad politik dan budaya secara bersamaan. Modern, jika dilihat dari cita rasa yang tampak dari personifikasi tiga pendiri Lesbumi berikut produk seni yang dihasilkannya yaitu sastrawan angkatan ’45, pekerja film, dan teater [ranah seni yang mewah dan modern untuk ukuran kala itu]. Modern, jika modern disenyawakan dengan berani berbeda, berani mengambil tempat tersendiri, tak larut dalam kanonisasi yang berporos hanya pada dua arus utama, lalu menegaskan diri berdiri sendiri menjadi “ekstrem tengah”.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=456779000981
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar