Minggu, 20 November 2011

Hakikat Bahasa, Mantra, dan Tanggung Jawab

(Tanggapan atas buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri)
Mahmud Jauhari Ali
http://pustakapujangga.com/2011/10/the-truth-of-language-mantra-and-responsibility/

Apakah yang terbayang di benak Anda ketika membaca judul saya di atas? Wujud bahasakah? Dukun yang sedang membaca mantra? Seorang lelaki yang sedang menunaikan tanggung jawabnya? Atau apa?

Hari itu, di sebuah ruang belajar, saya pernah menyimak sebuah pertanyaan singkat, “Apakah bahasa itu?” Mungkin Anda juga pernah mendengarnya. Mungkin juga tidak. Mengenai pertanyaan tersebut, banyak orang menjawabnya dengan kalimat sederhana, “Bahasa ialah alat komunikasi.” Pertanyaannya sekarang adalah, benarkah bahasa itu memang alat komunikasi?

Sebelum kita masuk ke wilayah yang lebih jauh menyangkut hakikat bahasa, dan juga menanggapi buku karangan Nurel Javissyarqi yang judulnya saya tuliskan di atas itu, saya katakan terlebih dahulu, bahwa saya bukanlah seorang linguis atau pun sastrawan hebat. Dalam hal ini saya hanyalah seorang penulis yang ingin menuliskan apa yang saya ketahui saja.

Baiklah, kembali ke pertanyaan apakah bahasa, sekilas tidak salah jika bahasa diartikan sebagai alat komunikasi. Mengapa? Sebab, fungsi utama bahasa memanglah sebagai alat penyampai pesan dari pembicara kepada penyimak, atau dari penulis kepada pembaca. Namun, apakah argumen itu sudah kuat dalam kajian yang mendalam untuk menjadi landasan dalam pendefinisian bahasa?

Saya yakin semuanya akan sepakat bahwa fungsi utama bahasa ialah sebagai alat komunikasi. Akan tetapi, fungsi tidaklah sama dengan batasan atau definisi, bukan? Jadi, jika ditanya apa salah satu fungsi bahasa, jawabannya yang benar ialah alat komunikasi. Dengan demikian, “alat komunikasi” bukanlah definisi bahasa, melainkan salah satu fungsi bahasa saja.

Nah sebenarnya pertanyaan apakah bahasa ini menyangkut hakikat bahasa itu sendiri. Ketika kita mendengar kata “bahasa”, yang muncul di dalam otak kita ialah “kata”, “frasa”, “klausa”, “kalimat”, dan seterusnya. Kata dan lainnya itulah bahasa di tiap-tiap tatarannya. Secara mudah, baik kata maupun yang lainnya itu sebenarnya ialah lambang bunyi. Dan, lambang bunyi tersebut merupakan wadah makna yang menghubungkan antara lambang seperti kata dengan rujukannya. Misalnya, kata mata merupakan wadah makna yang berbunyi ‘indra di tubuh makhluk hidup untuk melihat’. Makna ini menghubungkan kata mata dengan rujukannya berupa benda bulat yang melekat di bagian wajah tubuh makhluk hidup untuk melihat.

Jadi, ketika kita mendengarkan orang mengucapkan, “Selamat pagi!”, berarti kita mendengarkan orang mengucapkan bahasa. Atau, saat ada seorang anak kecil mengucapkan kata “Enak.”, dia telah mengucapkan bahasa, yakni bahasa Indonesia.

Jika kita cermati dengan saksama,“Selamat pagi!” dan “Enak.”, semuanya memiliki aturan atau bersistem. Perhatikan saja, “Selamat pagi!” tidak diucapkan dengan pagi selamat dan “Enak.” tidak diucapkan kane, anek, neak, atau kena. Ini membuktikan bahwa bahasa itu bersistem dan sistem itu berlaku secara konvensional oleh suatu kelompok manusia atau masyarakat bahasa. Sebut saja salah satu kelompok manusia yang saya maksud itu ialah warga Indonesia. Saya, Anda, dan lainnya termasuk di dalam kelompok manusia itu yang sepakat secara konvensional atas bahasa Indonesia, baik kata dan lainnya.

Dengan demikian, kiranya sudah dapat kita tangkap apakah bahasa yang sejatinya merupakan hakikat bahasa itu sendiri, yakni sistem lambang bunyi yang arbitrer (mana suka) dan secara konvensional digunakan untuk kepentingan manusia, seperti berkomunikasi, bekerja sama, dan membangun bangsa dalam suatu masyarakat bahasa.

Dalam kaitannya dengan masyarakat bahasa ini, dikenal istilah kreativitas linguistik. Contoh nyata dari kreativitas itu ialah, huruf-huruf latin yang jumlahnya tak sampai seratus buah, bisa dibuat kata, kalimat, paragraf, dan lainnya yang tak terhingga jumlahnya. Buku-buku berhuruf latin yang jumlahnya sangat banyak di dunia ini pun, sejatinya juga dibentuk dari huruf-huruf dengan jumlah yang tak terlalu banyak itu. Bayangkan saja, seorang penyair memanfaatkan huruf latin untuk dibentuk menjadi kata, larik, bait, hingga menjadi banyak puisi yang terhimpun dalam buku antologi puisi. Begitupun nenek moyang kita dulu, dari huruf-huruf, mereka membuat banyak mantra. Ya, mantra yang memiliki makna dan maksud untuk ditujukan kepada roh dan lainnya.

Tentunya agar bisa membuat karya semacam puisi mutahkhir atau pun mantra, dibutuhkan kompetensi bahasa termasuk mengerti makna dari kata yang digunakan pembuatnya untuk menghasilkan karya bermutu.

Nah, menghubungkan perihal bahasa di atas itu dengan buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri karangan Nurel Javissyarqi (terbitan Pustaka Pujangga, Mei, 2011), menurut saya sangat menarik. Sejauh mana kemenarikan itu? Silakan ikuti bahasan saya berikut ini.

Kata-Kata harus Bebas dari Pengertian

Dalam buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan SCB, Nurel Javissyarqi terkesan langsung menghubungkannya dengan mantra. Hal ini sesuai dengan SCB dalam kata-katanya yang ingin mengembalikan kata kepada mantra. Menurut SCB, mantra tak bermakna sebagai bagian dari pemikiranya untuk melepaskan kata dari pengertian. Dan, pada buku itu terlihat jelas Nurel menolak penyataan SCB bahwa kata harus bebas dari pengertian tersebut.

Nurel beropini bahwa mantra itu sendiri mengandung makna agung untuk ditujukan kepada roh dan lainnya. Dengan kata lain, mantra tanpa makna tidak akan mujarab. Lalu apakah persoalannya sekarang sudah tuntas sampai di situ? Ternyata tidak. Sebab, muncul pertanyaan baru, apakah benar mantra tanpa makna seperti kata SCB? Ataukah memang memiliki makna seperti yang dikatakan Nurel?

Untuk menjawab dua pertanyaan pilihan itu tentu kita selayaknya kembali kepada apa sebenarnya hakikat bahasa. Kata, sesuai dengan ilmu linguistik yang saya paparkan di atas, merupakan wadah makna. Tentunya, makna, maksud, dan pengertian tidak bisa dilepaskan dari kata itu sendiri. Mengapa?

Sebab, kata tanpa makna, maksud, atau pengetian, menjadikan kata itu kosong. Serupa dengan kaleng bekas wadah kue kering yang sudah habis kita makan. Misalnya kata pintu, jika dilepaskan dari maknanya, kata itu tidak akan berfungsi apa-apa. Itu sama saja dengan wujud-wujud seperti lopi, meka, juha, dan lainnya yang tanpa makna dan tanpa fungsi apa-apa. Coba renungkan, apakah lopi, meka, juha bisa kita gunakan untuk meyampaikan pesan? Tidak bukan? Sebaliknya, jika makna, maksud, atau pengertian yang dilepaskan dari kata, semuanya itu akan kehilangan wadahnya. Dan, ujung-ujungnya akan dicari wadah atau kata lain untuk mewadahi makna yang dilepaskan dari kata awalnya.

Wadah makna itu sangat penting sebagai penamaan dalam komunikasi. Sebagai gambaran singkat, dulu orang belum bisa membuat komputer sehingga orang-orang tidak mengenal kata computer. Kemudian dengan kegigihan orang, terciptalah benda baru yang bisa digunakan untuk mengetik, mendesain gambar dan sebagainya. Untuk mewadahi atau menamai ciptaan baru manusia itu, dicarilah dan dipilihlah secara artbirter (mana suka) dengan nama computer. Pertanyaannya, apa jadinya jika kata dan makna dipisahkan satu sama lainnya?

Nah, selain kata, sebenarnya sesuatu di luar lingual atau nonverbal pun memiliki makna. Tidak percaya? Perhatikan ilustrasi berikut.

Siang itu Fajar membujuk Hena makan di warung sederhana di ujung kampus. Fajar sudah berusaha keras membuat pacarnya yang super elit itu mau mengikuti kehendaknya. Tapi sayang, Hena diam saja. Beberapa waktu Hena masih diam dan tak lama kemudian Fajar menyerah. Ya, dia berhenti membujuk pacar kesayangannya yang cantik itu. Mereka pun akhirnya makan siang seperti biasanya di rumah makan yang mewah dengan harga selangit.

Dari ilustrasi itu kita bisa mengetahui makna dari diamnya Hena, yakni ‘tidak mau makan di warung makan sederhana di ujung kampus mereka’. Dengan diam itu, Fajar menyerah dalam bujuk rayunya. Diam termasuk nonverbal, tapi memiliki makna. Apalagi dengan bahasa verbal? Tentu memiliki makna, bukan.

Melihat fakta emperis dan pembahasan di atas, jelaslah bahwa kata tidak bisa dilepaskan dari makna, maksud, dan pengertian. Dengan kata lain, kata yang merupakan lambang selalu akan menjadi wadah dari makna, maksud, dan pengertian yang menghubungkan dengan rujukannya, baik benda maupun konsep. Jika demikian, kata-kata dalam mantra pun sebenarnya memiliki makna. Perhatikanlah mantra berikut ini.

Bahasa Arab dan Banjar …………………….Bahasa Indonesia

Bismilahirrahmanirahim……………Dengan nama Allah Tuhan
…………………………………………….Yang Maha Pengasih
…………………………………………….lagi Maha Penyayang
Kecuali pandira ini bagarak………Kecuali bendera ini bergerak
Maka maling kawa bagarak………Maka pencuri bisa bergerak
Barakat La ilahaillah………………..Berkat tiada Tuhan malainkan Allah
Muhammadarasulullah……………..Muhammad adalah utusan Allah

Tak ada satu kata pun yang tak bermakna dalam mantra di atas bukan? Dan, pembuatnya mampu membuat mantra itu dengan ditunjang kompetensi bahasanya termasuk dalam hal makna dari kata-kata yang digunakannya itu. Kalau pun ada kata-kata yang hanya bunyi saja di dalam mantra, itu mengandung maksud tertentu yang dimengerti oleh si pembuatnya untuk ditujukan kepada roh dan lainnya. Dan, pembuat mantra harus memiliki komptensi bahasa dulu baru bisa membuat mantra.

Intinya, antara kata dan makna tidak bisa dilepaskan. Dan, makna itu sangatlah penting. Karena itulah, ada ilmu semantik yang membahas soal makna dan wadahnya. Untuk kata-kata yang terkesan hanya bunyi tanpa makna dalam mantra, dikaji khusus dalam semantik maksud.

Kata Pertama adalah Mantra

Di bagian terdahulu dari tulisan ini sudah saya katakan bahwa dalam masyarakat bahasa ada istilah kreativitas linguistik. Seorang penyair misalnya, memanfaatkan huruf latin untuk dibentuk menjadi kata, larik, bait, hingga menjadi banyak puisi. Begitupun nenek moyang kita dulu, dari huruf-huruf, mereka membuat banyak mantra. Tentunya agar bisa membuat karya semacam puisi mutakhir atau pun mantra, dibutuhkan kompetensi bahasa termasuk mengerti makna dari kata yang dia gunakan untuk membuat karya bermutu.

Jadi, nenek moyang kita membuat mantra dengan berdasarkan kompetensi bahasa. Di sini jelas, sebelum membuat mantra, nenek moyang kita sudah mengenal kata dan mengetahui maknanya. Bisa dikatakan, sebelum mantra diciptakan, terlebih dahulu harus ada kata dengan kandungan maknanya. Atau dengan kata lain, kata dan makna lebih dahulu ada sebelum adanya mantra. Dengan demikian, tentunya tidak mungkin yang belakangan diciptakan—mantra—menjadi awal dari yang sebelumnya telah ada (kata dan makna).

Nah inilah yang dipersoalkan oleh Nurel dalam bukunya yang berkover warna dominan merah itu. Secara terang-terangan, Nurel menolak pernyataan SCB bahwa kata pertama ialah mantra. Saya pun secara objektif tidak sependapat dengan pernyataan SCB tersebut. Mengapa? Karena, sudah jelas bahwa mantra itu diciptakan setelah ada kata. Jadi, kata pertama bukanlah mantra. Kalau benar penyataan SCB itu bahwa kata pertama ialah mantra, lalu misalnya di dunia ini kata yang pertama ialah makan, apakah kata makan itu mantra? Tentunya kata makan bukanlah mantra. Melainkan, kata makan bisa menjadi kata untuk membuat mantra.

Penyair Tidak Bisa Dimintai Pertanggungjawabannya

Siapakah penyair itu?
Apakah dia wali Tuhan di bumi? Rasul yang membawa wahyu? Atau Tuhan itu sendiri?

Ada yang mengatakan bahwa penyair disebut juga sastrawan. Nah, kata sastrawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan lema yang tergolong nomina dengan beberapa makna di dalamnya. Makna-makna itu adalah ’ahli sastra’, ’pujangga’, ’pengarang prosa dan puisi’, ’(orang) pandai-pandai’, dan ’cerdik cendekia’.

Batasan itu secara umum memasukkan penyair ke dalam golongan sastrawan. Dan, setinggi apapun penyair hingga dia dimasukkan dalam kaum sastrawan, tidak serta merta membuatnya bebas dari tanggung jawab. Penyair tetaplah manusia. Dia tak bisa menjelma malaikat atau lainnya. Semua manusia, termasuk penyair akan mempertanggungjawabkan segala amalnya. Jika salah, dia dihukum dan jika benar dia akan mendapatkan ganjaran yang baik. Jangankan kata dalam bentuk puisi tertulis atau diujarkan di atas panggung, bisikan hati penyair yang belum menjelma kata-kata dan perbuatan lainnya pun dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan kelak.

Dalam tataran manusia saja, perkataan siapa pun selalu menimbulkan efek. Bisa negatif, bisa pula perkataan kita berdampak positif bagi orang lain. Jika berdampak negatif, bukan hanya di akhirat kita mempertanggungjawabkannya, tetapi di dunia kita juga harus mempertanggungjawabkan perkataan itu. Bahkan, bisa jadi pertanggung jawabannya dengan kehilangan nyawa atau kematian.

Sehubungan dengan dunia puisi, SCB menyatakan penyair tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Dan, pernyataannya itu ditolak oleh Nurel Javissyarqi. Menurut Nurel, penyair tidak bisa disamakan dengan Tuhan. Saya pun secara objektif dan sesuai penjelasan di atas itu, menolak pernyataan SCB tersebut.

Berkaitan dengan efek, pernyataan SCB itu dapat menimbulkan kebebasan tingkat tinggi. Bayangkan saja, jika penyair tidak dimintai pertanggungjawabannya, tentu penyair akan sesukanya menggunakan kata. Kata-kata yang tak patut dikatakan semisal yang porno, kotor, dan lainnya pun akan menjadi halal dikatakan oleh penyair. Sebab, penyair tidak mempertanggungjawabkan kata-katanya. Ini kekebasan yang sangat tidak diharapkan. Apabila hal ini dikaitkan dengan Licentia peotica dalam sastra pun, kurang sejalan. Licentia poetica pun yang ideal memiliki batasan agar tidak melampaui batas kewajaran, termasuk memperhatikan aspek tanggung jawab dalam berkarya.

Penyair yang baik, selayaknya memperhatikan setiap kata yang digunakannya untuk membuat puisi sebelum dipublikasikan ke tengah masyarakat. Ini penting untuk menghindarkan tafsiran-tafsiran yang tidak diharapkan.

Nah, ketiga hal di atas itulah yang menurut saya merupakan inti dari buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri karangan Nurel Javissyarqi, sang pengelana dari bencah Tanah Jawa itu. Dan, hanya inilah secuil tulisan yang dapat saya sampaikan. Sejatinya kebenaran hanya milik Tuhan dan jika ada yang tak sejalan dengan pemikiran saya di atas, itu hal wajar. Salam takzim dari saya di Tanah Borneo!

Kalimantan Selatan, 8 Juni 2011
Sumber: http://tulisanbaru-mahmud.blogspot.com/2011/06/hakikat-bahasa-mantra-dan-tanggung.html

Sang ‘Mata Kiri’ yang Mengembara

Sutardji Calzoum Bachri / Wawancara
Republika, 19 Agustus 2007

Untuk membuat janji wawancara dengan Sutardji Calzoum Bachri, ternyata tak mudah. Saat pembicaraan awal Senin (13/8) lalu untuk minta kesediaannya, dia menyediakan waktu Rabu (15/8) malam, dua hari berselang. Tapi sebelum pembicaraan melalui telepon genggam itu terputus, ia mengingatkan agar menelepon kembali sebelum waktu yang sudah ditetapkan.

Rabu itu, sebagaimana kesepakatan awal, telepon genggamnya yang berulang kali dihubungi tak pernah tersambung. Dari seberang memang terdengar nada sambung, tapi tak ada sahutan.

Namun, Asrizal Nur, rekan dekatnya, meyakinkan pada komitmen Sutardji, meski tidak seperti pada pembicaraan sebelumnya untuk menelepon lebih dulu. ”Datang saja. Dia pasti ke TIM (Taman Ismail Marzuki),” kata Asrizal Nur, ketua Yayasan Panggung Melayu, lembaga yang baru saja sukses menggelar Pekan Presiden Penyair, sebuah hajatan menghormati 66 tahun perjalanan hidup Sutardji.

Asrizal, yang saat itu berada di Pekanbaru meyakinkan, janji yang sudah disepakati dengan Sutardji tidak akan bergeser. Asrizal membuktikan ‘kedekatannya’ dengan Presiden Penyair Indonesia itu. Rabu malam di TIM –sebagaimana waktu yang disebutkan sebelumnya– telepon genggam Sutardji sudah on. Saat kembali dihubungi, terdengar suara, seakan meyakinkan bahwa ia memang memahami telah membuat janji untuk wawancara. ”Ya, tapi saya mau shalat dulu,” ucapnya.

Pria kelahiran Rengat, Riau Daratan, 24 Juni 1941 itu tampak berjalan menyusuri lorong kecil menuju masjid yang berada di bagian belakang pusat kesenian itu, beberapa saat setelah pembicaraan terakhir terputus. Dengan tas ransel yang menggantung di bahu kanan, Sutardji berjalan menunduk, menyeruak di balik cahaya lampu yang temaram.

Usai shalat Maghrib, penyair yang tidak merampungkan kuliahnya di Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran Bandung, ini kembali dengan langkah yang sama. Ketika jalan beriringan, Sutardji mengajak masuk ke sebuah warung di dalam kompleks kesenian tersebut. ”Kau bikin kopi yang enak,” pintanya kepada penjaga warung, sembari menanggalkan jaket dan topinya, dua benda yang akrab membalut tubuh lelaki berusia 66 tahun itu. Ia duduk di sebuah kursi, tas ranselnya diletakkan di kursi yang lain. Kopi pesanannya yang datang beberapa saat berselang segera ia aduk dengan sendok. Dia seolah ingin memastikan minuman itu pas sesuai kehendaknya. Lalu ia membuka pembicaraan dengan sebuah kalimat mengingatkan, ”Saya tidak mau bicarakan soal yang ramai dibicarakan.”

Sutardji, agaknya, tak ingin terlibat dalam perdebatan yang berkembang di kalangan seniman dan budayawan belakangan ini. Ia juga minta agar tidak ditanya soal-soal yang dianggapnya tidak ‘penting’ seperti sumber penghasilan sebagai seorang seniman dan penyair. ”Tidak usahlah yang gitu-gitu,” katanya kepada Burhanuddin Bella bersama fotografer Amin Madani. Maka, setelah kalimat-kalimat itu, wawancara yang berlangsung di sebuah rumah makan dimulai.

Acara Pekan Presiden Penyair yang diselenggarakan dalam rangka ulang tahun Anda ke-66 cukup meriah dan terbilang sukses. Tapi Anda sendiri, kabarnya, jarang merayakan ulang tahun. Bagaimana ceritanya hajatan besar itu bisa terselenggara?
Saya diberi tahu tiga bulan sebelum penyelenggaraan. Ternyata dia (Asrizal Nur) sudah punya rencana sejak lama.

Apa pertimbangan Anda sehingga mau menerima tawaran itu?
Saya lihat track record-nya, bagus. Dia orangnya mampu (bekerja), jadi saya mau. Dia sudah membuat acara-acara besar dan bukan (tipe) yang mencari uang. Tentu saya tanya kawan-kawan tentang dia.

Acara itu sukses, dihadiri banyak penyair dalam dan luar negeri. Bagaimana perasaan Anda atas kesuksesan itu?
Senanglah. Itu suatu acara yang menurut hemat saya bukan hanya penghargaan terhadap kepenyairan saya tetapi terutama sebagai suatu upaya untuk memberikan penghormatan terhadap perpuisian Indonesia pada umumnya.

Anda tampaknya kian religius. Sejak kapan?
Puisi-puisi saya sejak dulu sudah religius. Puisi-puisi saya dalam O, Amuk, Kapak (buku-buku buku kumpulan puisinya), itu religius. (Dia lalu membaca ulang beberapa bait-bait dalam puisi tersebut).

Anda akrab dengan julukan Presiden Penyair Indonesia. Bagaimana ceritanya sampai muncul julukan itu?
Itu awalnya waktu saya mau baca puisi. Dengan ‘pede’ (percaya diri) aku menyebut diri Presiden Penyair Indonesia. Jadi, itu karena percaya diri saja. Tapi, tentu saja orang melihat sendiri (karya-karya saya).

Apakah Anda tidak risih disebut begitu?
Ndaklah.

Di berbagai media massa, Anda menyebut diri mau menjadi Tuhan. Bisa dijelaskan maksudnya?
Kita mau mendekati sifat-sifat Tuhan, seperti sifat-sifat Tuhan yang Maha Penyayang, Maha Pemurah. Kita hanya mungkin bisa satu persen, tapi kita kan berusaha mendekati sifat-sifat itu.

Masa kepenyairan yang melebihi separuh dari usianya itu melahirkan pandangan sarat makna terhadap penyair dan karyanya. Puisi, bagi Sutardji, penting dilihat dari sisi manusia sebagi individu. Puisi bisa meninggikan dan meluhurkan martabat manusia. Yang penting dari sisi sosial, puisi bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan sejarah. ”Dilihat dari sisi kenyataan maupun secara teoretis puisi bisa menjadi unsur yang menciptakan sejarah, sebagaimana firman Tuhan menciptakan sejarah jagat raya,” ucapnya.

Dia lalu menjelaskan pemahaman itu dengan mengutip teks Sumpah Pemuda, sebagai teks puisi. Selama ini, urai Sutardji, teks Sumpah Pemuda selalu dilihat sebagai teks atau dokumen sosial politik. Tapi kalau kita ingin mencermati dari sudut puisi maka segera terlihat, ia juga bisa dianggap sebuah teks puisi yang utuh. Syarat yang diharuskan pada puisi ada terkandung penuh padanya.

Sebagaimana halnya puisi, seluruh isi teks Sumpah Pemuda itu adalah imajinasi atau mimpi, sesuatu yang tidak ada atau belum ada dalam kenyataan. ”Kami putera-puteri Indonesia berbangsa satu, bangsa Indonesia. Waktu itu, 1928, belum ada dalam kenyataan putera-puteri Indonesia. Yang ada pemuda Jawa, pemuda Sumatera, pemuda Sulawesi, dan seterusnya. Juga belum ada Indonesia, yang ada dalam kenyataan Hindia Belanda,” ujarnya.

Demikian pula dengan ‘Kami putera-puteri Indonesia berbahasa satu, bahasa Indonesia’. Waktu itu belum ada bahasa Indonesia. Yang ada dalam kenyataan adalah bahasa-bahasa daerah dan bahasa Melayu sebagai lingua-franca.

Teks Sumpah Pemuda itu, kata dia, menampilkan mimpi atau imajinasi dengan bahasa ringkas hemat, padat, kuat menyaran makna, dengan irama dan pengulangan kata-kata bagaikan mantera. ”Mantera Sumpah Pemuda inilah yang memukau para pembaca atau pendengarnya yang kemudian merealisasikannya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan agar mimpi dalam Sumpah Pemuda menjadi kenyataan,” ujarnya.

Sutardji juga mengaku terkagum-kagum dengan Alquran terutama dalam surat Al Shu’ara. Bagi dia, surat itu secara tepat mendefinisikan profesi penyair: ”Mereka mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya.” Memang, ulas Sutardji, pada kenyataannya penyair yang serius selalu mengembarakan perasaannya dan selalu konsentrasi pada penciptaan karya puisi dan bukan pada realisasinya atau pada upaya mengerjakan mimpinya itu –puisinya– agar menjadi kenyataan.

Profesi penyair, lanjut dia, adalah menciptakan sajak dan bukan mengerjakan sajak atau merealisasikan sendiri puisinya menjadi kenyataan. Tugas terakhir ini dibebankan pada pembacanya. Pada para pembacalah terjadi realisasi dari puisi itu berupa perasaan, empati, simpati, dan sebagainya. Berikutnya realisasi psikologis ini mungkin berkembang menjadi realisasi konkret di dunia nyata berupa tindakan-tindakan yang terinspirasi dari sajak tersebut.

Di usia Anda seperti ini yang kini sudah 66 tahun, apakah ada keinginan kembali ke daerah asal?
Maulah. Tapi, saya bisa bikin apa, ya. Di sini kan banyak teman, banyak yang bisa diperbuat.

Kabarnya, –bila Tuhan memanggil– Anda ingin dimakamkan di Riau, daerah asal Anda?
Saya ingin dimakamkan di Riau Kepulauan, tempat saya besar.

Kenapa bukan Riau Daratan, tempat kelahiran Anda?
Di sana (Riau Kepulauan) ada makam orangtua saya.

Anda tidak ingin pensiun sebagai penyair?
Sejak memutuskan jadi penyair, orang sudah pensiun.

Anda kok masih merokok. Tidak ada masalah dengan kesehatan?
Adalah (Ia terdiam sejenak).

Membebaskan Kata dari Makna

Predikat maestro perpuisian Indonesia tampaknya telah pantas disematkan padanya. Membandingkan dengan Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono menempatkan Sutardji Calzoum Bachri sebagai ‘mata kiri’ dan Chairil Anwar sebagai ‘mata kanan’ kesusastraan Indonesia. Namun, dalam dialog sastra di Kafe Penus, kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), beberapa waktu lalu, kritikus sastra Maman S Mahayana menilai Sutardji lebih besar dibandingkan dengan Chairil Anwar.

Sutardji mengawali karier kepenyairannya di Bandung. Ketika itu ia masih tercatat sebagai mahasiswa FISIP Universitas Padjadjaran, pertengahan 1960-an. Bersama mahasiswa lain, ia aktif sebagai redaktur di Indonesia Express dan Duta Masyarakat, koran yang masa itu dikenal sering membuat tulisan-tulisan kreatif dan kritis menentang pemerintah.

Sajak-sajaknya juga banyak dimuat di Majalah Horison dan Harian Sinar Harapan Jakarta. Karya-karyanya sempat mengejutkan dunia sastra Indonesia di era tahun 1970-an karena ia menyodorkan puisi-puisi yang lain, berbeda dengan karya-karya sejenis masa itu. Bila penyair lain mengungkapkan kata-kata dalam karya, Sutardji oleh banyak kalangan dianggap membebaskan kata dari makna. Bait-bait puisinya bak mantera. Belakangan ini ia kemujdian dikenal sebagai penyair mantera. Itu tecermin dalam antalogi O, Amuk, dan Kapak yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan, 1981.

Tidak heran bila pada 1975, Harry Aveling menerjemahkan dan menerbitkan sajak-sajaknya dalam kumpulan berjudul Arjuna ini Meditation. Judul kumpulan puisi terjemahan Harry, boleh jadi, tidak keliru. Pada seminar internasional yang diselenggarakan dalam Pekan Presiden Penyair, Juli lalu, karya-karya Sutardji dibedah dan dikaji oleh sejumlah sastrawan, dalam dan luar negeri. Sebutlah misalnya, Prof Dr Koh Young-Hun (Korea), Dr Maria Emelia Irmler (Portugal), Dr Muhammad Zafar Iqbal (Iran), Dr Harry Aveling (Australia), Dr Haji Hasyim bin Haji Abdul Hamid (Brunei), Suratman Markasan (Singapura), Dr Asmiaty Amat dan Dr Dato Kemala (Malaysia), serta Prof Dr Suminto A Sayuti (UNY) dan Dr Abdul Hadi WM (UI).

Salah satu kesimpulan dalam seminar itu menempatkan sajak-sajak berestetika mantera Sutardji umumnya sangat religius dan bahkan sangat sufistik.

Abdul Hadi WM bahkan menganggap nilai-nilai religiusitas sajak-sajak penyair ini sangat penting untuk diaktualisasikan guna mengimbangi kecenderungan budaya yang sangat sekuler dewasa ini.

Jejak langkah kepenyairan lelaki yang menikahi Mariam Linda, tepat di Hari Pahlawan 10 November 1982 ini, tak sebatas di dalam negeri yang ditandai dengan raihan berbagai penghargaan. Misalnya, hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1997-1998) dan Anugerah Sastra Chairil Anwar Dewan Kesenian Jakarta (1998).

Kiprah penyair ini juga bergema di luar negeri. Ia adalah peraih South East Asia Writer Awards di Bangkok, Thailand (1979); pernah memperoleh kesempatan membacakan puisi-puisinya di Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda; mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika, 1975, dan menerima Anugerah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara), Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 2006.

Maka, tak salah bila Maman S Mahayana menyebutkan, ”Sutardji dapat dianggap sebagai salah satu tonggak terpenting perjalanan sejarah sastra Indonesia,” ujar Maman. Dia memang maestro.

Dijumput dari: http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=VQVXUAJQVVdS

Acep Zamzam Noor dan Tasikmalaya

Soni Farid Maulana
Pikiran Rakyat, 17 Mei 2009

TASIKMALAYA adalah kota yang tengah berubah. Kota yang semula tenang dari denyut kehidupan sosial-politik dan budaya itu, kini denyarnya sampai ke mana-mana. Denyut itu paling tidak dalam konteks tersebut digerakkan penyair Acep Zamzam Noor lewat gerakan Partai Nurul Sembako (PNS) yang dengan keberaniannya sering mengkritisi kehidupan sosial-politik, maupun jalannya pemerintahan di Kota Tasikmalaya dengan memasang berbagai spanduk yang kata-katanya sering panas dibaca orang.

Misal sebuah spanduk yang pernah dipasang PNS di beberapa sudut Kota Tasikmlaya, ada yang berbunyi: “Anda ingin jadi pegawai negeri? Siapkan dana Rp 30 juta. Hubungi (0265) 336450, 330171, 330983!” Nomor-nomor telepon tersebut silakan Anda cek sendiri, nomor punya siapa. Berkaitan dengan itu, meskipun pakai nama partai, PNS bukan merupakan partai politik yang kemaruk dengan kekuasaan.

PNS adalah semacam lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang penyadaran sosial-politik maupun sosial-budaya, dalam pengertian seluas-luasnya. Sementara itu, dalam bidang kesenian, Acep menghidupkan Kota Tasikmalaya lewat berbagai acara seni dan budaya yang diproduksi oleh Komunitas Azan, dan Sanggar Sastra Tasik (SST). Tentu saja di luar tiga komunitas tadi, masih ada komunitas-komunitas seni lainnya, baik yang hidup di dalam kampus maupun di luar kampus.

Kesenian dengan demikian dalam konteks tersebut, tidak hanya menunjukkan fungsi estetikanya di masyarakat, akan tetapi telah pula menunjukkan fungsi sosial. Untuk itu, tak aneh kalau penyair Rendra pernah mengatakan, seni tidak semata-mata untuk seni, tetapi juga untuk masyarakat. Seni dan masyarakat harus saling menghidupi, dan bukannya jadi parasit.

Nah, Acep Zamzam Noor dan teman-temannya di Tasikmalaya dalam berkesenian bergerak dalam konteks yang demikian, tidak mau jadi parasit. Untuk itu, tak ada proposal yang dilayangkan Acep kepada pemerintah setempat. Adakalanya dana untuk berkesenian dicarinya sendiri. Lepas dari itu, kehidupan kesenian di Tasikmalaya pada 1980-an, termasuk kehidupan sosial-politik yang berdenyut di dalamnya, tidak seramai sekarang.

Pada 1980-an, Kota Tasikmalaya tidak punya Gedung Kesenian sebagaimana sekarang, yang kondisi gedungnya konon tidak terawat. Namun demikian, gedung tersebut masih tetap dipakai sebagai tempat kegiatan para seniman di Tasikmalaya dalam berekspresi, baik dalam bidang pementasan teater, pameran seni rupa, maupun acara pembacaan puisi. Hal itu dikatakan Acep Zamzam Noor, dalam percakapannya dengan penulis beberapa waktu lalu.

Waktu itu di Tasikmalaya ada tiga kelompok teater yang menghidupkan seni dan budaya, yakni Sanggar Epos, Teater Prasasti, dan Teater Awal. Salah seorang aktivis teater Prasasti yang hingga kini masih bergiat dalam menghidupkan seni dan budaya di Kota Tasikmalaya adalah Saeful Badar. Ia merupakan salah seorang motor penggerak Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST), di samping Eryandi Budiman yang hijrah ke Bandung.

**

BERUBAHNYA dinamika kehidupan seni dan budaya, serta dinamika sosial-politik yang melingkupi Kota Tasikmalaya dewasa ini, pada satu sisi tidak bisa dilepaskan dari pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di dalamnya. Berkaitan dengan itu, tak aneh bila berbagai benturan kepentingan yang mengatasnamakan rakyat kerap terjadi. Bahkan bukan hanya itu, pada bulan puasa tahun kemarin, kita pernah membaca berbagai berita di berbagai media massa, ada sejumlah tukang baso yang dagang siang hari diobrak-abrik massa. Padahal pada 1980-an, tak ada kejadian semacam itu. Tanda pesatnya Tasikmalaya dalam bidang ekonomi pada sisi yang lain, bisa dilihat dari bermunculannya hotel-hotel baru dan tempat penginapan baru, serta pusat-pusat perbelanjaan baru yang besar.

Dalam konteks yang demikian, secara perlahan-lahan Kota Tasikmalaya menjadi kota yang keras secara sosial. Untungnya di tengah-tengah situasi semacam itu, masih ada sanggar-sanggar seni yang berpihak pada kemanusiaan, daya spritualitas, dan estetika dalam mengembangkan diri sebagai manusia yang cerdas. Apa sebab? Karena di Tasikmalaya, dewasa ini, tidak tumbuh dalam satu kebudayaan yang dibawa oleh satu agama, tetapi juga tumbuh dalam keragaman kebudayaan, yang dibawa oleh agama-agama lainnya. Paling tidak, selain pemeluk agama Islam, di Tasikmalaya ada pemeluk agama Kristen, Buddha, dan Hindu. Dan Acep dalam kaitan itu sering menyuarakan gerakan pluralisme dalam berkebudayaan.

Di tengah-tengah kondisi sosial-politik, dan denyut kebudayaan semacam itulah, Acep Zamzam Noor memicu teman-temannya untuk terus tumbuh, menulis, dan menulis. Tak heran bila dalam sepuluh tahun terakhir banyak penyair baru yang lahir dari Kota Tasikmalaya. Karya-karya mereka kini tersebar ke mana-mana. Selain itu, beberapa dari penyair yang pernah mengembangkan Kota Tasikmalaya pun sudah ada yang pindah kota, seperti Intan, Iman Abda, dan Ratna Ayu Budhiarti.

Hal yang sangat menarik dilakukan Acep Zamzam Noor dalam memicu teman-temannya berkreasi. Acep tidak pernah memosisikan dirinya sebagai guru, selain sebagai teman bicara dan dialog. Oleh karena itu, tak aneh bila apa yang ditulis Acep sangat lain dengan penulis yang datang kemudian yang kerap bertanya kepada Acep Zamzam Noor. Salah seorang penyair perempuan yang cukup berbakat dan memukau karya-karyanya adalah Nina Minareli. Sayangnya, ia entah ke mana saat ini. Lepas dari itu, puisi-puisi yang ditulis Acep Zamzam Noor pun menarik pula untuk diapresiasi. Salah satu karyanya bisa kita baca di bawah ini, yang ditulis dalam bentuk kwatrin.

Kenangan

Aku melukis tubuhmu
Dengan cahaya pagi
Tubuhmu memanjang
Seperti air kali

2003.

“Saya ingin menghidupkan Kota Tasikmalaya selain dikenal sebagai kota santri, juga kota puisi,” kata Acep Zamzam Noor. Untuk itu, tak aneh bila Acep dan kawan-kawannya yang bergabung dalam Komunitas Sanggar Sastra Tasikmalaya, pernah menyelenggarakan pertemuan penyair, baik tingkat Jawa Barat maupun Tingkat Nasional, dengan dana pas-pasan. Selain itu, berkali-kali pula menyelenggarakan lomba baca puisi untuk tingkat Jawa Barat.
***

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/05/acep-zamzam-noor-dan-tasikmalaya.html

Masih Ada Jalan untuk Bangsa yang Gagal

Hasnan Bachtiar*
http://sastra-indonesia.com/

Bagaikan dalam cerita lama bencana di bumi ini/ Sekeping taman surga taman dalam pelukan, menjadi neraka dunia/ Banyak anak bangsa menjadi durhaka, menjarah segalanya/ Bumipun menghilang barokahnya.

Demikianlah petikan dari syair Bimbo tatkala menangisi pilunya negeri ini: Indonesia. Sedemikian getir penderitaan bangsa sehingga tiada daya dan upaya untuk sekedar membersihkan kembali toreh dosa-dosa yang mengotori sejarah.

Silang sengkarut politik kebangsaan, merubah hakikat sejatinya menjadi politik kebangsatan. Melacurkan diri, kehormatan, intelektualitas, kesadaran, dan bahkan kemanusiaan demi meraih hal yang fana, seperti kekuasaan, pengakuan, harta dan moralitas palsu. Korupsi, kolusi, nepotisme, penguasaan, dominasi, hegemoni dan eksploitasi menjadi pola-pola yang lumrah sebagai tindak laku birahi anak bangsa yang tiada tertahan.

Apa yang terjadi dengan Indonesia kerana ulah orang bangsa sendiri? Agama telah mati, tuhan dan ilahi tak dihiraukan lagi, kemiskinan, kelaparan, dehumanisasi, pendidikan yang merosot, moralitas manusia yang tersungkur dalam jurang, infrastruktur kenegaraan yang rapuh, trend dan mode yang konsumeristik, gaya hidup yang bebas sebebas-bebasnya, kriminalitas tanpa batas dan seribu ketragisan lainnya.

Apa pasal bumi yang pernah dijuluki taman surga ini menjadi neraka? Karena tanah gemah ripah loh jinawi telah musnah, hilang barokah. Seluruh kehidupan penuh dengan gejolak syahwat ketubuhan yang tiada kendali. Manusia kini menjelma menjadi iblis yang lebih dari iblis sebenarnya. Sangat kejam. Banyak orang bernyawa lupa jika hidup hanya sementara. Tiada satupun yang pernah menghitung-hitung untuk masa depan manusia lainnya.

Kiranya para pendiri bangsa ini diundang untuk hadir sekedar memperingati bahwa bangsa Indonesia ini pernah ada, niscaya mereka akan menangis sejadi-jadinya. Betapa umat yang dulunya menjunjung Pancasila, menanam benih di tanah nusantara, kini telah punah.

Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Tjokroaminoto, Ki Hajar Dewantoro, Agus Salim, lalu Hasjim Asyari, Ahmad Dahlan, dan seluruh arwah penggede bangsa akan sedih tiada tara, padahal mereka yang telah menata cita bangsa demi masa depan kemerdekaan kemanusiaan.

Benarlah dugaan Soedjatmoko (1988) bahwa tatkala orang bangsa tiada pernah lagi berpijak pada bumi dan kemanusiaan, lalu mengabaikan masa depan negerinya, bersiaplah untuk menjadi negeri yang gagal. Kini benar, negeri ini gagal.

Adakah keadilan sosial, kesejahteraan, kemanusiaan dan demokrasi hadir di negeri ini? Tiada pernah. Karena itu, jangan sungkan untuk mengakui bahwa negeri ini gagal. Tidak ada wakil rakyat yang memiliki rakyat, pula tidak ada rakyat yang memiliki wakil. Yang ada bahwa pemodal telah membeli suara rakyat dan rakyat rela hati nurani kebangsaannya terbeli hanya untuk beberapa lembar rupiah.

Presiden dan para menteri bukanlah pemikul amanah rakyat, dewan perwakilan rakyat atau legislatif juga tiada pernah bersuara untuk rakyat, para ksatria keadilan atau pejabat yudikatif juga alpa untuk teguh dan istiqomah menegakkan keadilan hingga langit runtuh. Seluruh sistem, struktur, proses, bahkan kultur berbangsa dan bernegara jauh panggang dari api dengan kebenaran. Matilah apa yang disebut dengan demokrasi.

Agama, para ulama, orang-orang saleh, intelektual universitas, bahkan beberapa jiwa spesial yang menyatakan diri hidup selibat, murah sekali dibeli oleh kekuasaan. Semuanya semu dan bertopeng. Tiada lagi spiritualitas, intelektualitas, humanitas, kecuali hanya pura-pura, dan sebagian adalah trend yang menjadi kebutuhan infotainmen. Siapa yang paling diuntungkan? Semuanya untung dan semuanya rugi sekaligus, kecuali para pemilik modal (kapitalis).

Bagaimana kita menjadi bangsa yang hidup kembali dari mati? Selama matahari, masih terbit dari timur, selama badan ini masih bisa digerakkan dan selama kemauan masih dapat dinyalakan, selama doa-doa tetap menjadi dorongan, maka selalu ada harapan, selalu ada jalan. Mari kita coret kata putus asa dari kamus kehidupan kita, jangan sesali apapun juga, jangan salahkan siapapun juga. Mari kita hapus kata tidak bisa, dari buku harian kita. Demikianlah kata Bimbo. Para pembaca, marilah kita mulai di bulan Ramadhan yang penuh barokah ini.

01 Agustus 2011
*) Penulis adalah anak bangsa, bekerja di Center for Religious and Social Studies

Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair

Sutardji Calzoum Bachri
http://www.infoanda.com/Republika 9 Sep 2007

Ketika Tuhan merindu memimpikan dirinya agar dikenal dan lepas dari kegelapan rahasiaNya, Ia berfirman: Kun faya kun. Maka jadilah alam semesta ini.

Manusia sebagai bagian dari alam semesta serta alam semesta yang terkandung di dalam dirinya adalah bagian dari mimpi Tuhan, seperti yang dikatakan oleh Sufi besar Syeh Muhyiddin Muhammad ibn Arabi. Dari mimpinya, dari imajinasiNya, Tuhan melalui kata-kata kun faya kun, menciptakan sejarah jagat raya berikut sejarah manusia di dalamnya.

Manusia sebagai mahluk imajinasi Tuhan pada gilirannya menciptakan pula imajinasi. Para penyair sebagai mahluk yang profesinya menciptakan imajinasi atau mimpi — meskipun posisinya jauh di bawah Tuhan — memiliki kesejajaran seperti Tuhan. Penyair menciptakan imajinasinya, mimpinya, lewat kata kata sebagaimana Tuhan menciptakan mimpinya lewat firman.

Peran penyair menjadi unik, karena — sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya — secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.

Adalah menakjubkan Aquran, dalam QS As-Syuaara secara tepat mendefinisikan profesi penyair, “Mereka mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya.”

Memang, pada kenyataannya penyair yang serius selalu mengembarakan perasaannya, feeling dzaug-nya, pada lembah-lembah dasar dari duka suka kemanusiaan dan selalu konsentrasi pada penciptaan karya puisi dan bukan pada realisasinya atau pada upaya mengerjakan mimpinya itu –puisinya — agar menjadi kenyataan.

Profesi penyair adalah menciptakan sajak, dan bukan mengerjakan sajak atau merealisasikan sendiri puisinya menjadi kenyataan. Tugas terakhir ini dibebankan pada pembacanya. Pada para pembacalah terjadi realisasi dari puisi itu berupa perasaaan-perasaan, empati, simpati dan sebagainya dan berikutnya realisasi psikologis ini mungkin berkembang menjadi realisasi kongkrit di dunia nyata berupa tindakan-tindakan yang terinspirasi dari sajak tersebut.

Karena profesi para penyair cenderung tidak mengerjakan apa yang dikatakannya, maka ada ruang bagi penyair untuk cenderung bisa tergoda untuk bebas tidak mempedulikan pertangungjawaban terhadap karya-karyanya.

Ruang bebas itulah yang diberi peringatan oleh Tuhan agar kebebasan yang dimiliki penyair selalu dikaitkan pada iman (“kecuali para penyair yang beriman”), yang pada hemat saya jika ditafsirkan secara duniawi bisa berarti para penyair serius yang selalu melandaskan dirinya pada Kebenaran dalam meningkatkan atau mengembalikan martabat manusia sebagai mahluk termulia di bumi.

Dalam fungsinya sebagai karya yang ingin melandaskan dirinya pada Kebenaran dan martabat manusia yang luhur itulah puisi menjadi penting. Penting dilihat dari sisi manusia sebagi individu, puisi bisa meninggikan dan meluhurkan martabat manusia, dan penting dari sisi sosial puisi bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan sejarah. Dilihat dari sisi kenyataan maupun secara teoritis puisi bisa menjadi unsur yang menciptakan sejarah, sebagaiman firman Tuhan menciptakan sejarah jagat raya.

Untuk menjelaskan hal ini saya ingin menampilkan teks Sumpah Pemuda sebagai teks puisi. Selama ini teks Sumpah Pemuda selalu dilihat sebagai teks atau dokumen sosial politik. Tetapi, kalau kita ingin mencermati dari sudut puisi maka segera terlihat ia juga bisa dianggap sebuah teks puisi yang utuh. Syarat yang diharuskan pada puisi ada terkandung penuh padanya.

Sebagaimana halnya puisi seluruh isi teks Sumpah Pemuda itu adalah imajinasi atau mimpi, sesuatu yang tidak ada atau belum ada dalam kenyataan.

Kami putera puteri Indonesia berbangsa satu bangsa Indonesia. Pada waktku itu, tahun 1928, belum ada dalam kenyataan putera puteri Indonesia. Yang ada pemuda Jawa, pemuda Sumatera, pemuda Sulawesi dan seterusnya. Juga belum ada Indonesia. Yang ada dalam kenyataan Hindia Belanda.

Kami putera puteri Indonesia berbahasa satu bahasa Indonesia. Pada waktu itu belum ada bahasa Indonesia. Yang ada dalam kenyataan adalah bahasa-bahasa daerah dan bahasa Melayu sebagai lingua-franca.

Begitulah teks Sumpah Pemuda itu menampilkan mimpi atau imajinasi dengan bahasa ringkas hemat, padat, kuat menyaran makna, dengan irama dan pengulangan kata-kata bagaikan mantera.

Mantera Sumpah Pemuda itulah yang memukau para pembaca atau pendengarnya yang kemudian merealisasikannya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan agar mimpi dalam Sumpah Pemuda menjadi kenyataan.

Suatu puisi besar atau suatu kumpulan puisi dari beberapa penyair bisa memberikan sumbangan untuk menciptakan sejarah bagi perbaikan mutu kemanusiaan atau bangsa.

Sejak tahun 1970-an sejumlah besar penyair dan sastrawan serta seniman lainnya menampilkan karya-karya yang sarat dengan sub kultur, dengan akar budaya, warna budaya daerah masing-masing yang mereka akrabi. Berbagai khazanah kultur lokal dan tradisi digali, diolah dan dijadikan dasar untuk pengucapan-pengucapan puisi mereka.

Begitulah kita menemukan sajak-sajak yang bernafaskan dan beraroma kultur-kultur daerah setempat, yakni nilai-nilai tradisi lokal yang diakrabi para penyair untuk pengucapan ekspresi dirinya.

Para penyair mengidentifikasikan diri-puisinya dengan daerah tempat mereka berasal atau yang sangat diakrabinya secara pribadi yang membentuknya menjadi manusia. Benang merah perpuisian tidak lagi dipersatu-hubungkan dengan indidualisme-universal seperti halnya Chairil Anwar tetapi oleh unsur-unsur daerah yang mereka akrabi.

Perpuisian tahun 70-an itu pada hemat saya bisa dilihat sebagai koreksi dan sumbangan kreatif terhadap tafsiran kesatuan dari teks puisi Sumpah Pemuda yang pada waktu itu penafsirannya cenderung homogen dan defensif serta kurang mempertimbangkan warna-warni kultur lokal.

Perhatian yang melimpah terhadap nilai-nilai dari kultur lokal atau daerah yang ditampilkan sejak tahun 70-an itu hanya mendapat apresiasi atau respons di sekitar para peminat sastra kesenian saja. Padahal, gejala-gejala yang menonjol pada perpuisian tahun 70-an itu bisa merupakan ilham atau isyarat untuk menciptakan sejarah baru bagi otonomi daerah.

Namun, dalam kenyataannya maraknya perkembangan otonomi daerah baru terjadi setelah lebih dari dua dasawarsa dari maraknya perhatian terhadap nilai-nilai daerah yang muncul dalam perpuisian kita. Ini sedikit banyak menunjukkan bahwa keputusan dan kebijakan-kebijakan para penguasa politik sering mengikuti respons terhadap kebutuhan atau tekanan politik dan kurang atau lamban merespon aspirasi kultural.

Pada hemat saya, jika kita benar-benar hendak merealisasikan suatu kehidupan politik yang kultural, para politikus sebaiknya mencermati sastra, puisi, sebagai inspirasi atau sebagai dorongan untuk menciptakan keputusan dan kebijakan sosial maupun politik, bukan sebagai kuda tunggangan sebagaimana tak jarang terjadi pada momen-momen menjelang Pilkada.

Puisi bisa memberikan inspsirasi untuk kehidupan politik yang sehat seperti yang diingatkan oleh mendiang presiden AS John F Kennedy, “Jika politik bengkok puisi yang meluruskan.”

Tetapi, tentu itu hanya berlaku bagi para politikus yang memiliki tanggung jawab dan kepekaan terhadap aspirasi hati nurani bangsanya yang sering tercerminkan pada puisi-puisi yang baik, bernas dan bermutu dari para penyairnya.

Dari orasi budaya dalam acara Pekan Presiden Penyair.

Sabtu, 19 November 2011

Rintih Gadis dari Balik Tirai

Ahmad Zaini *
http://sastra-indonesia.com/

Sayup terdengar hembusan angin malam. Gemerisiknya menimbulkan bunyi irama mendesah di tengah keheningan malam. Aku tersadar dari kantuk di malam itu. Mata penat kubuka perlahan menatap sekeliling yang hanya terlihat temaram lampu yang menyala tak sempurna. Tanganku merayap menggapai dinding yang catnya mulai mengelupas. Kasap pasir yang tak berselimut semen membuat telapak tangan sedikit tergores.

DARI DAN KE …

Bambang Kempling *
http://sastra-indonesia.com/

Mimpi masih berlanjut setelah itu.

Suatu perbincangan pada suatu sore masih saja mengiang di telinganya sepanjang hari yang dilalui kini. Apakah hal yang tampak selalu di depan mata, telah menjelmakan racun pada setiap lembut udara yang dihirupnya? Ataukah semacam tabir bagi kebanggaan jalan yang pernah dilalui?

Sore itu, selesai rintik hujan dan di barat matahari kuning keemasan hampir terhimpit di antara gedung-gedung tua tertiraikan pohon-pohon akasia, ketika sepasang kekasih duduk berhadapan di bawah tiang bendera yang menjulang di tengah lapangan rumput, ketika dia dan seorang temannya melintas di antara mereka tanpa begitu peduli, ketika mereka lalu menyapa,

“Hallo!!”

Ketika sapaan itu tak ada sahutan sama sekali. Ketika sang perempuan menyebulkan senyum kecil yang manis sekali, lalu bertanya pada sang kekasih:

“Kemana mereka?”

“Entah!” jawab sang kekasih.

Di perempatan jalan mereka berhenti, ketika seorang pengendara motor melambaikan tangan tanpa menoleh lalu mengencangkan laju motornya, ketika percakapan itu terjadi:

“Seekor nyamuk sekarat di atas sehelai kertas putih lantas mati. Begitu mengagumkan ia dalam mengakhiri kebebasannya dengan bermula dari kebahagiaan tanpa beban kelaparan. Tapi dengan begitu, mungkin dan bahkan sangat mungkin, ia justru sangat menderita karena tidak sempat menikmati keinginan-keinginan yang akan terjadi sesudahnya,” temannya mencoba membuka kebisuan.

“Hidup tidaklah sesederhana itu kawan. Adalah tidak salah kalau saya tiba-tiba memilih keputusan yang benar-benar menyakitkan, yaitu pulang. Tidak seperti nyamuk itu, sebab kami ternyata bukan kawan yang baik untuk mati bersama-sama. Kalau hal ini kau anggap menuju kematian? Tunggu dulu! Siapa sebenarnya yang telah merintis jalan itu bahkan cenderung untuk mempertahankannya?”

“Stop!! Saya hanya berbicara tentang nyamuk, bukan untuk berdebat tentang pilihan kita.”

“Apologi kuno!! aku berangkat.”

“Kita belum selesai bicara!”

“Kita tidak akan pernah bisa menyelesaikan pembicaraan! aku berangkat pulang!”

“Sudah kau pikirkan masak-masak?”

“Busyet! kita sehari-hari di sini terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mimpi-mimpi..”

“Tunggu dulu.., paling tidak dengarkan perkataanku kali ini!”

“Otakku capek.”

“Apa perlu kita saling berkabar?”

“Kita titipkan pada angin.”

“Itu klise!”

“Ya… pada embun.”

“Sama saja!”

“Kalau begitu tidak usah!”

“Adakah ini keberartian jalan?”

“Simpan kalimatmu untuk nama jalan ini?”

Masih di perempatan jalan itu, di bawah jajaran pohon palem yang menjulang, berpacu dengan matahari mereka berjabatan. Dia berjalan ke timur mengejar bayangannya yang meliuk-liuk di atas rerumputan sepanjang pinggir jalan.

Bagaikan sesosok tubuh tunggal, terasa ada yang hilang dari diri mereka yang lelah dengan harapan-harapan.

“Hai…! tidak kau ucapkan sepatahpun kata pepisahan?” teriak sang kawan.

“Kita bukanlah sepasang kekasih sobat!” jawabnya dari kejauhan dan akhirnya menghilang di kelokan.

Sang kawan berjalan ke utara menyusuri jalan sempit berlawanan dengan arah air sungai kecil yang mengalir di bawahnya.

“Kenapa pulang selalu menjadi masalah?” kalimat itu terulang bersekian juta kali di kepalanya, bagaikan kekhusukan dzikir sepanjang perjalanan beriringan dengan denyut nadi, langkah kakinya sendiri, langkah kaki orang-orang yang bersimpangan, guguran daun-daun sepanjang jalan, laju mobil angkutan, teriakan kenek-kenek bus, obrolan penumpang, sapa orang tuanya sesampainya di rumah, bantingan pintu kamar, ngorok tidurnya.

Pagi-pagi benar ketika bangun tidur, dia menyambut pagi dengan umpatan keras. “Bangsaaat…kubunuh kau!!”

Ibunya yang baru serekaat melaksanakan sholat subuh, membatalkan sholatnya, cepat-cepat menghampirinya. “Ada apa?” tanyanya.

“Cicak…”

“Kenapa dengan cicak?”

“Mukaku dikencingi!”

“Oh…alaaah, begitu saja kok mengumpat! Sana sholat! biar bening hatimu.”

Dengan berang dia beranjak dari kamar menuju kamar mandi, membasuh muka dan bagian-bagian tubuh yang layak tersiram air wudlu lalu segera pergi. Ibunya yang belum selesai sholat tak sempat bertanya.

Matahari sudah membentuk bayangan panjang bagi lalu lalang orang-orang di pasar. Keramaian yang sudah sejak tadi, sebagai satu tanda tentang harapan-harapan. Tapi dia bukanlah seperti kebanyakan dari mereka. Kemarahan yang iseng mengantarkannya ke salah satu toko mainan,“Pistol ini berapa?” tanyanya pada penjaga.

“Baru benah-benah Mas!” jawab perempuan penjaga.

“Busyet!! Pistol ini!!”

“Untuk adiknya?”

“Saya bertanya harganya!? Adapun ini nanti untuk saya atau nenek saya, itu bukan urusanmu! Yang penting saya beli! Titik!!” sahutnya kesal.

Wajah penjaga toko tiba-tiba pucat dan gemetar mendengarnya, segera ia memberikan mainan yang dikehendakinya sekaligus menunjukkan harganya. “Kok sekarang jadi gitu?” desisnya.

Bagaikan remaja belasan tahun dia mengendarai motornya, para tetangga yang kebetulan bangun pagi pada ngedumel lantas segera memasang tanda tanya dan tanda seru yang besar di atas kepalanya: “Ada apa?!” atau “Kok?!” Pengedumel-pengedumel itu serta-merta berkerumun untuk merumuskan tentang sebab dan musabab dari “Ada apa?!” dan “Kok?!”. Hasilnya, tidak lebih dari satu rumusan tanda tanya dan tanda seru yang semakin besar menindih setiap kepala mereka. “Nihil!” Celotehnya.

Sesampai di kamar, cicak di atap semakin banyak, bahkan ada yang asyik bercumbu. Dia segera mengeluarkan pistol mainannya, menembakinya satu persatu. Satu persatu cicak itu terjatuh: ada yang mengenai kepalanya, ada yang ekornya hingga putus dan seakan-akan hidup memisahkan diri dari induk tubuh, menjentik-njentik di lantai sementara sang induk tubuh terus melanjutkan kehidupannya. Tetapi dia tetap tidak akan memberikan hak untuk itu. Ketika dilihatnya ada sepasang yang bercumbu dia jadi tertawa sekeras-kerasnya,

“Ha…ha…ha… Keterlaluan..! Dan inilah ganjaran bagi yang tak tahu diri!!”

Tas!!

Tas!!

“Kena kau…! Mampus kau…!” teriak girangnya.

Di balik pintu kamar ibunya yang masih bermukena setelah menyelesaikan sholat dhuha mengelus dada, meneteskan air mata. “Apa ada yang salah dari doa saya?” tanyanya dalam hati.

Kabar tentang itu segera terdengar sampai di setiap sudut kampung. Peristiwa yang teramat ganjil dalam pikiran-pikiran sederhana mereka dengan santernya menjadi topik setiap pembicaraan di warung-warung, di toko-toko kelotong, di pasar-pasar, di jalan-jalan, di hampir semua tempat orang-orang biasa bergerombol termasuk di tempat ibadah. Sepanjang hari itu topik tidak pernah berubah bahkan cenderung berkembang menjadi pro dan kontra, dan masalah pro dan kontra ini di suatu warung kopi dua orang nyaris saling melempar cangkir kopi kalau tidak segera dilerai dengan geram oleh pemiliknya:

“Kalau berani saling melempar dengan cangkirku, maka kursi ini nanti akan kulempar ke kalian, biar sekalian hancur!!” bentak pemilik warung itu.

Sudah tiga hari dia tidak keluar kamar, kecuali untuk buang air kecil atau makan, lampu kamar dibiarkan menyala terang. Yang dilakukan selama itu kalau tidak ada cicak dia membaca, kalau tidak membaca ya menulis, kalau tidak membaca dan menulis dia bernyanyi keras atau berdeklamasi, kalau semuanya tidak dia tidur mendengkur.

Hari keempat dia mulai jenuh dengan rutinitas perang melawan cicak, maka diputuskannya untuk menempelkan foto-foto dirinya di dinding dan sudut kamar sebagai bidikan barunya. Tidak tanggung-tanggung kali ini senjatanya tidak dengan pistol mainan, tapi dengan senapan angin yang dimiliki. Mula-mula yang dibidik matanya kemudian jidat sampai seluruh bagian tubuhnya. Kalau tidak mengenai sasaran dia berteriak menyumpahi ketololannya.

Hari berikutnya, dia tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba mengamuk menghancurkan semua benda-benda dalam kamar, menyobeki semua buku-bukunya, menempelengi kepalanya , bernyanyi keras-keras, berdeklamasi keras-keras, dan menangis keras-keras.

Melihat keadaan yang dianggap ganjil, seluruh keluarganya berkumpul untuk membicarakan sikap dan tindakan yang tepat. Dan hasilnya segera mengirimnya ke rumah sakit jiwa.

Seminggu di rumah sakit jiwa dia lepas, pulang naik taxi. Di depan rumah dia berteriak keras, “Saya tidak gila! saya tidak butuh rumah sakit jiwa! tidak butuh dokter! yang saya butuhkan hanya kebebasan untuk menjalani pilihan hidup saya! Pilihan hidup yang didasari oleh kebebasan cara berpikir! Apakah kemudian dengan demikian lantas dengan enaknya kalian menempatkan saya pada ketidakmampuan akal sehatku untuk menjalani hidup? Percuma saya sekolah! Percuma saya belajar psikologi, sastra, dan filsafat! Kalau kemudian dengan pengabdianku kepada kehidupan yang baru kurintis terlalu cepat dianggap sinting! Tidak adakah bentuk penghargaan lain kecuali tuduhan yang tidak beradab ini? Hari ini saya pergi!”

Selesai mengucapkan itu, dia langsung pergi. Sementara sang supir taxi masih linglung, salah seorang dari keluarganya menanyakan tentang upahnya, setelah dibayar dalam kelinglungannya buru-buru tancap gas. Di perjalanan kembali bertemu dengan bekas penumpangnya tadi, karena takut ditumpangi lagi supir itu semakin tancap gas sampai laju taxinya tak terkendali dan di tikungan jalan nyelonong ke sebuah toko kelontong hingga ringsek, sedang sang supir luka parah. Banyak orang berkerumun, ketika dia sang bekas penumpang tadi lewat tidak menoleh sedikitpun.

“Sombong!! Takabur!! Sok..!!” bisik seseorang kepada seseorang yang kebetulan menyaksikan dia.

*

Tiga tahun sudah peristiwa itu terjadi, dan selama waktu itu, dia telah hampir menyinggahi seluruh kota di negri ini, menjalani hidup sebagai manusia kelas pinggiran, bermukim di rumah-rumah kardus bawah jembatan dan pinggiran jalan kumuh. Untuk makan dia mencari uang dengan mengais dan menjual barang-barang bekas yang dari gundukan sampah pinggir kota. Anehnya selama bermukim di setiap permukimannya, dia hanya dikenal oleh yang lain sebagai ‘entah’ dan mengenal yang lain pun dengan ‘entah’ saja.

“Kamu siapa dan dari mana?” suatu ketika salah seorang wanita bertanya kepadanya, langsung wanita itu diringkusnya lantas disetubuhi, anehnya wanita itu tidak berontak. Esoknya, tepat tengah malam dan bulan bundar terang menyinari perkampungan kardus itu, wanita itu dengan berkain sarung masuk ke rumah kardusnya, dia tidak terkejut dan langsung meringkusnya setelah mendengar pertanyaan yang sama. Begitulah yang terjadi di hari-hari berikutnya apabila wanita itu bertanya. Lama-lama pertanyaan itu sudah terlalu basi bagi bibir manisnya, tapi tetap saja diringkus bahkan sampai menjalani hidup selayaknya sebuah rumah tangga yang aneh dengan tanpa kata-kata. Percintaannya terjadi hanya dengan isyarat-isyarat. Dan dengan isyarat pula, ketika pada suatu pagi dia tiba-tiba memutuskan untuk pergi sebelum wanita itu bangun, ditulisnya pesan singkat dengan arang di salah satu dinding kardus.

“lewat terang bulan yang menerobos di persinggahan ini

aku kabarkan pilar rahasia dari percintaan kita

pada langit terang bila tak ada hujan

luka dan tangis adalah sia-sia

sia-sia

pergiku adalah beruntai-untai kisah panjang

yang tak kan pernah terungkap

Akhirnya hanya pada angin aku bersimpuh.

Hanya pada angin.”

Semula wanita itu tidak terkejut melihat dia sudah tidak di sampingnya, tetapi keadaan menjadi lain ketika ditemuinya tulisan itu.

“Siapa yang kucintai ini?” desisnya, sambil mengusap air mata yang tiba-tiba berurai. Tangisnya semakin menjadi, semakin menjadi setiap dibacanya tulisan yang tepat dihadapannya. Seharian wanita itu menangis, seharian wanita itu membacanya.

*

Beberapa hari kemudian, di suatu tempat yang jauh, di sebuah warung kopi, dia seperti sedang menunggu seseorang. Para pengunjung warung kopi tampak sudah akrab sekali dengannya, sesekali mereka terlibat dalam kelakar dan basa-basi juga saling mengabarkan sesuatu. Seseorang dengan tubuh kerempeng sambil membawa buku tebal melongokkan wajah dari balik jendela, dengan tertawa ia menyambut kedatangannya, “Aku tadi dengar kalau kau datang, bagaimana pulangmu?” sambutnya.

“Busyet!” jawabnya.

November 2003
____________________
*) Bambang Kempling lahir di Lamongan, 17 April 1967 dengan nama lengkap Bambang Purnomo Setyo. Menyelesaikan Pendidikan terakhir di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UMM tahun 1992. Semasa mahasiswa aktif di berbagai kegiatan berkesenian diantaranya Teater MELARAT, Kelompok Musik Seteman Ngobrol IQr.
Sekarang aktif di KOSTELA (KOMUNITAS SASTRA DAN TEATER LAMONGAN). Publikasi cerpen-cerpennya hanya terbatas di kalangan CANDRAKIRANA KOSTELA dan antologi cerpen pilihan “Pada Sebuah Alamat” oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unisda Lamongan. Sedangkan untuk puisi-puisinya bisa ditemui di Antologi Tunggalnya KATA SEBUAH SAJAK 2002, Majalah Indupati, Antologi Bersama Teman-teman KOSTELA “Rebana Kesunyian”, “Imajinasi Nama”, Antologi bersama “Permohonan Hijau” yang diterbitkan oleh Festival Seni Surabaya tahun 2003, “Bulan Merayap” (DKL 2004), “Lanskap Telunjuk” (DKL 2004), “Duka Atjeh Duka Bersama (DKJT 2005), dan tabloit Telunjuk.
Baginya menulis adalah sebagai bentuk ‘dialog’ yang harus dilakukan. Bersama teman-teman KOSTELA, ia akan terus menulis sepanjang masih bermakna.
Alamat surat: KOSTELA, Jln Raya Karanggeneng No.107 Cuping, Madulegi, Sukodadi, Lamongan. Tlp. (0322) 393042. HP. 081 332 002 807

Pembunuhan di Surat Kabar Minggu

Denny Mizhar
http://sastra-indonesia.com/

Sebenarnya aku tak suka melihat mereka mengolok-olok kawanku yang sudah berani lantang menolak tuduhan yang dikecamkan mereka padanya. Aku melihat kawanku suka menyendiri sejak ia mendapat cibiran dari orang-orang yang sering nongol di hari minggu di koran pagi. Kawanku juga sering berpapasan dengan mereka. Entah bertegur sapa atau saling cemberut sebab potret wajah bergantian terlihat di surat kabar minggu, aku tak melihatnya jelas, aku hanya mendegar cerita dari orang-orang saja. Sebab aku sebenarnya tidak suka koran minggu. Aku suka buku. Buku-buku yang aku beli dari toko buku yang tersedia kopi. Sambil minum kopi aku menikmati buku. Aku tuang huruf-hurufnya di cangkir dan aku mengaduknya bersama kopi. Terlarut, mataku menyeruput.

Aku dan kawanku terakhir bertemu ,sebelum ia pergi tak kembali dan tak mau dipotret lagi di koran minggu pagi. Ketika kawanku hendak menaiki kereta. Aku menyesal tidak membuat benteng agar kawan tak pergi. Aku menjadi penasaran padanya kenapa naik kereta dan tak kembali.

“Kau berubah”

“Jangn sok tahu”

“Ya.. sudah”

“Apa pedulimu”

Kawanku naik kereta, tangannya berlahan melepas genggaman tanganku. Tidak biasa ia menjadi dingin menjawab pertanyaan-pertayanku. Apakah kawanku sudah menjadi beku. Kebekuan dari mulut-mulut ceriwis yang mengumpatnya berkali-kali di koran minggu, mungkin saja. Atau barang kali sebab semalam ,sebelum kepergiannya ia mengigau

“akan ku bunuh kalian”

Aku dengan iseng memegang jemari kakinya tepat di jempolnya

“Jangan.. itu dosa”

“Aku sudah tak kenal dosa”

“Apa kamu bertuhan”

“Kadang-kadang, kalau butuh pertolongan”

“Apa yang ingin kau harapkan dari tuhan”

Kawanku terbangun dan tersenyum.

“Aku mengingau ya”

“Iya”

“Tentang apa”

“Tentang pembunuhan”

“Aku tak mau membunuh, tapi setiap kali aku ingat mereka. Tuhan memberi pedang padaku dan menyuruhnya memenggal”

“Bagaimana kau menemuinya”

“Tuhan memeberi peta”

“Mana petanya”

“Rahasia, seperti nasib tak ada yang tahu. Peta itu seperti itu”

“Ah, aku tak mengerti kata-katamu”

“Jangan.. jangan sampai kau mengerti aku. Kau akan aku bunuh. Seperti mereka yang akan aku bunuh”

Kawanku berdiri mengambil pisau di dapur. Menodongkan padaku. Aku takut, tapi hal ini biasa. Kawanku memang unik. Keunikannya adalah suka menakuti. Tapi waktu itu lain. Wajahnya yang merah menyala. Aku menghilangkan ketakutanku dan tersenyum padanya.

***

Pada suatu hari minggu, aku tak sengaja melihat koran minggu yang tergeletak di meja sebuah warung kopi tempatku melepas lelah dan membunuh waktu di kala hari libur kerja. Aku melihat wajah kawanku. Wajah yang jelas bersama orang-orang yang hendak dibunuhnya. Tetapi kawanku kali ini meringkuk dengan tangannya diikat tali. Kawanku tak dapat bergerak, aku melihat wajahnya begitu sedih. Sesedih aku yang ditinggalkan begitu saja di rumah yang saban hari kita gunakan untuk bertemu dan kadang kala menginap di rumah tersebut berdua. Tak banyak yang tahu pertemuanku dengannya. Hanya perempuan tua pemilik rumah saja. Perempuan tua yang menyediaakan makanan dan membawahkan sebongkok kayu. Kayu yang kita gunakan membuat api unggun di belakang rumah. Ah, kenapa kawanku sampai tangannya harus di tali. Wajah-wajah yang mengikatnya tampak bersorak ria. Di bawah foto tersebut bertulis PENGHAKIMAN BUAT ORANG YANG MENGGAMBAR NEGERI LAIN. SEDANGKAN PENGGAMBAR TAK PERNAH PERGI KENEGERI TERSEBUT.

Aneh-aneh saja berita hari ini. Aku membalik, dari halaman pertama ke halaman ke dua. Ah, ngeri sekali. Wajah kawanku hilang, hanya tinggal telinga dan mata. Kenapa mereka menghapus pipi, bibir, hidung dan rambutnya. Apa kesalahan kawanku memang tak bisa diampuni. Siapa sebenarnya mereka. Atau jangan-jangan mereka iri kepada kawanku. Aku tidak tahu, tanya masih aku simpan. Tapi sampai kapan tanya ini aku simpan, pada siapa aku harus berikan tanya ini. Hingga jawaban dapat aku temui.

Kembali aku membuka halaman demi halaman koran minggu pagi. Sampailah aku pada halaman terakhir koran tersebut. Tidak ada wajah siapaun. Hanya tulisan dengan huruf kapital TUHAN TELAH DI BUNUH OLEH PENIRUAN TAK BERALASAN DAN GAMBAR-GAMBAR YANG SERUPA TAPI TAK SAMA MENGGAMBAR NEGERI LAIN TANPA SINGGAH.

Aku menghela nafas. Memesan kopi. Ada perempuan tua yang biasa menyediakan makanan buatku ketika menginap di rumah tempat aku dan kawanku bertemu. Perempuan tua itu banyak mebeli bunga. Kira-kira buat apa bunga itu. Kemabali pertanyaanku menyapa dapa kesadaranku. Aku bergegas menjegatnya dan menanyakan untuk apa bunga sebanyak yang ia bawa. Aku memanggilnya.

“Mbok, buat apa bunga itu?”

“Le.. masak kamu tidak tahu”

“Apa Mbok?”

“Kamu itu teman macam apa!”

“Kenapa Mbok?”

“Kawanmu yang biasa denganmu main ke rumah di mana?”

“Pergi Mbok”

“Jangan berlagak tidak tahu kamu Le”

“Apa Mbok?”

Sambil melangkahkan kaki meninggalkan aku

“Baca saja koran hari ini”

Aku berdiri tak dapat bergerak, serasa tercengang mendengar perkataan perempuan tua yang tinggal di rumah tempat aku dan kawanku bertemu.

Apa kawanku sudah mati. Apa benar koran hari ini. Wajah kawanku ada dari halaman depan dan beberapa halaman kemudian. Apa foto=foto di koran hari ini adalah gambaran penghakiman pada Kawanku.

Aku mengambil buku dalam tasku. Aku melangkah kembali ke warung tempat aku memesan kopi. Sepi, tidak biasanya. Ke mana orang-orang di sini. Apa mereka takut karena kawanku kalah.

Aku tidak salah lagi. Kawanku punya masalah besar dalam hidupnya. Bunga yang di bawa perempuan tua tadi adalah bunga untuk kematian kawanku. Tapi kemana orang-orang yang biasanya suka meminta traktir kawanku. Sembunyi kemana mereka. Aku menyeruput kopi, sisanya aku guyurkan pada koran hari ini. Koran minggu. Juga bukuku yang aku ambil dari tas. Semua sudah basah oleh kopi. Berita kematian dan kopi tanpa gula sama rasanya. Tuhan di bununya, kawanku di bunuh, wajah-wajah yang sering ada di koran minggu. Orang-orang (mungkin) sembunyi, takut di bunuh oleh wajah-wajah yang mebunuh kawanku. Sebab orang-orang pernah memuja wajah kawanku ketika hanya wajah kawanku terpampang di koran minggu.

Aku menyesal, harusnya aku dapat mencegahnya. Aku menyesal tak menyimpan gambar tentang negeri lain yang digambar kawanku. Aku menyesal. Aku merasa terbunuh di koran minggu. Aku dan kawanku adalah satu.

Malang, 2011

Jumat, 18 November 2011

Ironi dan Ilusi Jawa

Bandung Mawardi
Kompas, 22 Jan 2011

BAHASA menjadi penentu Jawa. Mantra kekuasaan kolonial membuat Jawa terbuka untuk dibongkar-dibentuk. Jawa sebagai pengetahuan juga memungkinkan para Javanalog mengurusi Jawa dalam intimitas dengan politik kolonial. Jawa mirip adonan ganjil dari ulah ”tuan” dan ”tukang masak” dalam geliat modernitas abad XX dan utopia mendikte nostalgia. Kisah pelik ini kerap terlupakan oleh klaim-klaim kultural dan afirmasi identitas eksklusif.

Solo merupakan ruang fenomenal untuk membentuk Jawa. Kekuasaan tradisional dan modern hidup dalam ketegangan kultural-politik. Raja merasa memiliki otoritas secara simbolis dan riil untuk mengantarkan rakyat mencapai utopia. Pemerintah kolonial Belanda melalui agen dan institusi intensif memaknai Jawa dalam jeratan bahasa, sastra, seni, ilmu pengetahuan, arsitektur, politik, pakaian, ekonomi, dan gaya hidup.

Gelagat perubahan dikisahkan dengan apik oleh Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997). Intervensi kolonial tampak dari pembentukan Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) sejak abad XIX. Lembaga ini bermetamorfosis menjadi ruang eksperimen dan pembakuan Jawa melalui perangkat pengetahuan dengan pengesahan akademik di Universitas Leiden, Belanda. Bahasa Jawa model Solo pun menjadi ukuran baku.

Ironi bahasa

Legitimasi kultural oleh Javanalog dari Belanda dan pemerintah kolonial mengakibatkan Jawa abad XX adalah bentukan fenomenal. Shiraishi secara eksplisit memberi konklusi: ”Javanalog Belanda-lah yang ’menemukan’, ’mengembalikan’, dan membentuk serta memberikan makna terhadap masa lalu Jawa.” Konsekuensi dari takdir ini adalah kajian Jawa terpusat di Leiden. Orang Jawa belajar Jawa untuk menemukan ”harta karun” justru harus pergi ke sarang Javanalog di Belanda.

Ki Padmasusastra (1843- 1926) juga membenarkan ironi kultural itu dengan contoh bahasa. Tokoh ini terlibat dan sadar risiko. Ki Padmasusastra lantang mengungkapkan bahwa telah berlangsung ironi ketika pengelolaan bahasa Jawa dilakukan oleh ahli linguistik Belanda atau elite sarjana di bawah restu politik kolonial. Bahasa sebagai operasionalisasi kekuasaan dan kultural telah luput dari orang Jawa sendiri. Kolonial menjadi tuan. Bahasa bisa digunakan untuk menundukkan Jawa biar tak mengekspresikan resistensi atau revolusi.

Proyek membentuk Jawa mendapati sokongan dari keraton, priayi, dan elite politik. Anak-anak dari Raja dikirim belajar ke Belanda dengan risiko membenarkan ulah kolonial. Institusi pendidikan, media massa, penerbitan, dan perpustakaan menjadi agen sistematis.

Agenda yang menafikan

Jawa terus bergerak sampai hari ini dengan lupa dan luka. Bahasa Jawa tertinggal. Sastra Jawa tanpa sapaan. Tradisi Jawa dalam balutan ilusi kolonial merana. Keprihatinan ini pun secara intensif dilaporkan pada negara, lalu disodorkan pada publik agar menjadi beban.

Agenda-agenda untuk penyelamatan atau menghidupkan kembali Jawa digulirkan dengan modal besar, kebijakan politik, dan seruan. Salah satu agenda besar adalah rutinitas pelaksanaan Kongres Bahasa Jawa yang tidak memperlihat geliat kemajuan.

Rekomendasi dari perhelatan prestisius ini sedikit sekali teraplikasi atau mengindikasikan pencerahan pikiran. Karena beberapa kesalahan mendasar, seperti ditempatkannya sastra Jawa hanya sebagai wacana pinggiran atau catatan kaki. Peminggiran peran ini menciptakan resistensi di kalangan para pekerja sastra Jawa. Mereka yang kemudian merancang Kongres Sastra Jawa, dengan modal seadanya dan dengan perhatian nol dari penguasa. Negara menjadi salah satu pelupa terbesar, dengan mengabsenkan sastra Jawa dari perhatiannya.

Dan kritik pantas terus diajukan karena nasib bahasa dan sastra Jawa masih sekarat. Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah tampak setengah hati. Penerbitan buku-buku sastra Jawa macet. Kejawaaan pun terimpit oleh keindonesiaan dan kosmopolitanisme. Jawa terkapar dalam sandiwara penyelamatan para birokrat dan kaum akademisi.

Bandung Mawardi, Pengelola Balai Sastra Kecapi Solo
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/01/teroka-ironi-dan-ilusi-jawa.html

MENGUAK TRADISI MENULIS PESANTREN

K.H. A. Azis Masyhuri
http://sastra-indonesia.com/

Indahnya Menuangkan Gagasan dalam Tulisan

“Menulis adalah sebuah eksotisme, bahkan membuat segala sesuatu menjadi indah”. Begitulah kata Tahar Ben Jelloun. Dan memang aktifitas menulis pada dasarnya merupakan salah satu pilihan berkreatifitas yang cukup menantang dalam rangka aktualisasi diri bagi mereka yang bergelut dengan dunia pengetahuan dan intelektualitas. Termasuk di dalamnya masyarakat pesantren, yang sejak awal sejarahnya memang memfokuskan diri pada kajian keislaman. Dalam konteks ini, setidaknya ada dua alasan penting mengapa aktifitas menulis menjadi hal yang menarik.

Pertama, realitas menunjukkan bahwa tradisi lisan masih tetap dominan, terutama sekali terjadi pada masyarakat pesantren. Masih kuatnya tradisi lisan daripada tradisi tulis ini menjadikan pesantren terasa miskin dengan karya-karya dan publikasi-publikasi ilmiah. Meskipun, tentu saja, tidak bisa kita nafikan bahwa masih ada masyarakat pesantren, baik kiai maupun santri, yang tetap mempunyai perhatian besar terhadap hal ini.

Namun demikian, kalau kita cermati lagi secara sungguh-sungguh, tampak sekali bahwa pesantren yang pada awalnya memiliki perhatian terhadap dunia tulis menulis dan pemikiran ini masih kurang memadai. Dalam artian, jumlah mereka yang begitu banyak jauh tidak berimbang dibandingkan karya-karya tulis yang dilahirkan.

Semestinya dunia pesantren menjadi lumbung berbagai pemikiran dan karenanya pula seharusnya menjadi lumbung kreatifitas. Ini diwujudkan dengan memperbanyak bermunculannya pemikiran-pemikiran. Jika itu terjadi maka pesantren akan menjadi ajang tukar pikiran, debat dan polemik, hal yang sangat kondusif bagi perwujudan masyarakat ilmiah.

Untuk menuju arah itu, kegiatan yang paling relevan dilakukan adalah dengan membudayakan tradisi menulis di kalangan masyarakat pesantren.

Kedua, iklim pesantren sekarang ini masih membatasi santri untuk berkreatifitas optimal, khususnya lagi dalam aktifitas mengasah kepekaan dan kepedulian sosial politik mereka. Kendala ini memang ideologis sifatnya, karena pesantren memang sengaja diciptakan untuk mempertahankan tradisi, menjunjung tinggi ulama dengan berbagai regulasinya.

Hal lain yang juga menarik adalah menurut pengakuan beberapa intelektual, menggeluti dunia tulis menulis ini juga menjadi jenjang yang harus ditempuh oleh seorang intelektual. Dan rasanya memang betul, tidak ada seorang intelektual yang akan dikenal pemikirannya oleh banyak orang, tanpa ia menuliskan ide-idenya dan mempublikasikannya. Bagaimana mungkin seorang intelektual akan teruji intelektualnya kalau belum pernah melemparkan ide-idenya kepada publik.

Memang cara ini bukanlah satu-satunya, akan tetapi sepertinya cara ini cukup efektif untuk mensosialisasikan suatu gagasan sekaligus mengaktualisasikan diri.

Menghidupkan Tradisi Menulis di Pesantren

Tak seperti dipahami orang awam yang kadang membatasi masyarakat pesantren sekadar sebagai agamawan, mereka ternyata juga penulis andal dan bahkan mampu melahirkan karya-karya yang monumental. Tidak hanya tentang agama, tapi juga mahir menulis tentang sastra, anekdot, cerita dan persoalan-persoalan sosial budaya.

Jangan tanya soal shalawat dan madaih nabawiyah (pujian kepada nabi) mereka gudangnya. Dari Qosidah Al Burdah karya Al Bushir, yang sangat imajinatif dan puitis, hingga beraneka prosa dan puisi maulid, terutama karya Ja’far Al Barzanji. Malah ada karya genuine yang mereka gubah sendiri, seperti Shalawat Badar karya Kiai Ali Mansur Tuban yang amat populer dan menjadi shalawat wajib bagi kaum sarungan.

Tentu saja tak boleh dilewatkan karya berupa tembang, cerita, dan anekdot yang juga banyak ditulis oleh para kiai. Siapa yang tak kenal dengan syair ‘Tombo Ati’ yang amat populer itu. Begitu populernya karya ini nyaris jadi bacaan wajib di surau-surau di pedalaman Jawa. Belum lagi lir-ilir gubahan Sunan Kalijogo yang tak kalah kesohor.

Belakangan, tidak sedikit para kiai yang biasa berceramah menyusun sendiri tembang jawa yang dirangkaikan bacaan shalawat dan digunakan sebagai selingan dalam pengajian. Soal cerita dan anekdot, Kiai Bisri Musthofa mungkin biangnya. Ayah Kiai Mustofa Bisri ini mengumpulkan banyak sekali anekdot dalam buku berjudul Kasykul. Kiai Abdurrahman Ar Roisi juga menerbitkan belasan jilid kumpulan cerita yang diberi judul ’30 Kisah Teladan’.

Keakraban dengan bahasa Arab, menyebabkan karya intelektual yang lahir dari tangan para santri/kiai tak lepas dari rumpun bahasa semit ini. Dari sebelas judul karya Kiai Hasyim Asy’ari yang pernah saya baca, misalnya, hanya empat buah yang menggunakan bahasa Jawa bertulisan Arab Pego. Sisanya berbahasa Arab.

Menantu Kiai Siddiq, yaitu Kiai Abdul Hamid Pasuruan, tak kalah kreatif. Ia mensyairkan Sullam At Taufiq – sebuah kitab fikih sufistik yang bercorak ghozalian dan menjadi mainstream pemahaman Islam Sunni Indonesia – dalam 553 bait. Selain itu, ia juga menyairkan 99 nama Allah yang dikenal dengan Al Asma’ Al Husna. Masih banyak lagi contoh lain yang bila diungkap satu persatu, akan membuat tulisan ini jadi terlalu panjang.

Di sini, terbaca jelas bahwa para masyarakat pesantren terdahulu tak cuma agamawan, melainkan juga penulis handal di bidang sastra, budaya dan lainnya, sehingga kiai dahulu juga disebut budayawan dan sastrawan. Tidak berlebihan jika Eric Wolf menyebut peran kiai sebagai “cultural broker” alias agen budaya yang menjembatani perubahan akibat pengaruh luar terhadap dunia pesantren dan komunitas Muslim tradisional yang relatif tertutup. Selain lewat pendidikan gaya pesantren, peran itu mereka implementasikan melalui proses kreatif di jalur budaya. Kiai dahulu memiliki apresiasi yang tinggi terhadap budaya serta mampu melahirkan karya-karya bermutu. Tradisi menulis seolah menjadi rutinitas sehari-hari setelah mengajar santri. Tiada hari tanpa mengajar dan menulis, mungkin itu motto hidup kiai di masa lalu.

Tapi, sayangnya tradisi menulis dan kerja-kerja budaya kiai telah hilang dan tidak (kurang) diwarisi oleh para santri sekarang. Apalagi, beberapa tahun belakangan, terlalu banyak aktivitas di luar yang mereka geluti, terutama di kancah politik. Sebagian besar potensi dan energi terkuras di medan perebutan kekuasaan. Proses kreatif yang dulu mampu menghasilkan karya-karya monumental tak ada lagi, sehingga tradisi menulis kiai mandek atau bahkan telah mati.

Kenyataan tersebut memunculkan ironi. Banyak lulusan pesantren yang beralih profesi dari ‘cultural broker’ menjadi ‘political broker’ alias makelar politik yang (maaf) ujung-ujungnya duit. Padahal, kekuasaan dan uang seringkali melenyapkan akal budi, menumpulkan hati nurani dan pada akhirnya menghentikan proses kreatif masyarakat pesantren.

Maka, tak mengherankan bila pesantren belakangan ini cenderung kering dari sentuhan buku atau tulisan, karena para kiai dan ustadz tidak lagi produktif menulis buku. Memang ada beberapa nama yang pantas disebut, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari, jauh dibanding jumlah kiai yang jadi politisi.

Kini tak banyak lagi kiai atau gus atau ustadz ayng memiliki malakah (naluri berekspresi), apalagi ikhtira’ untuk menciptakan karya. Bahkan tingkat apresiasi mereka terhadap tradisi menulis bisa dibilang sangat rendah. Ini merupakan sebuah ironi.

Mungkin ‘para masyarakat’ pesantren kini telah lupa, atau boleh jadi memang tak tahu akan ungkapan yang begitu populer dari mantan Presiden AS, John F. Kennedy, “jika politik mengotori, maka buku mencucinya”. Pergeseran kecenderungan dari menulis buku ke politik ini merupakan kenyataan pahit yang patut disesali.

Semoga bermanfaat,
Denanyar, Jombang, 25 Juni 2008

Sastra Lisan Adat Lio

Marlin Bato
http://www.kompasiana.com/watuneso

Sastra Lisan adalah ungkapan jiwa dalam wujud bahasa secara langsung melalui percakapan. Dalam khazanah kesusastraan suku Lio di Flores, tradisi sastra lisan, baik yang berbentuk syair maupun prosa, merupakan corak kekhasan tersendiri yang terbangun melalui relasi lajur sejarah yang panjang. Di dalam tradisi masyarakat Lio, secara simultan meniscayakan terjadinya dialektika budaya yang saling mengisi dan melengkapi. Ekpresi estetik tradisi sastra lisan adat Lio dalam bentuk mantra, tembang, cerita rakyat, hikayat-hikayat, dongeng atau pun syair pantun dan lain-lain yang berkembang menjadi serangkaian manifestasi dialektika dari berbagai unsur budaya seperti peradaban melayu kuno, peradaban bangsa Hindia, peradaban bangsa Portugis dan kolonial Belanda yang tentunya turut mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kesusastraan dalam masyarakat Lio. Saat ini juga arus modernisasi dan globalisasi semakin deras mengalir mengubah pola pikir dan kehidupan masyarakat Lio, maka saat ini, hal yang sangat dirasakan adalah “mengecilnya” peranan sastra lisan di tengah kehidupan ata Lio (orang Lio). Lalu dibalik itu tentunya bahasa dan sastra Lio perlahan terancam punah . Tak berlebihan kemudian akan menghilangnya seperangkat sistem kebudayaan lokal yang dipunyai oleh sebuah “keluarga” (etnik) Lio yang ada di Flores. Sebagai suku terbesar di pulau Flores, tentunya Ata Lio (orang Lio) memiliki sejumlah sastra lisan yang disebut Sua, Bhea, Sodha, Nungunange, Nangi, Senaneke dan lain sebagainya.

1. “Sua” adalah suatu ungkapan yang menggunakan bahasa lazim sehari-hari, baik diucapkan secara langsung maupun melalui sesajen yang dipersembahkan kepada para leluhur. Hingga saat ini ‘Sua’ masih kerap dilakukan pada ritual adat orang Lio. Kendati orang Lio pada umumnya sudah banyak yang mengenal agama yang dibawahkan oleh bangsa Portugis dan Belanda, namun ata Lio (orang Lio) masih berpegang teguh pada kepercayaan lokal yang diturunkan oleh adat sehingga penyembahan yang bersifat animisme dan dinamisme masih juga dapat ditemui hampir di seluruh komunitas ata Lio. Oleh karena itu, dalam setiap penyembahan yang dilakukan tentu selalu diselingi ungkapan adat yang disebut ‘Sua’. Dari beberapa sumber ‘Sua’, terdiri dari beberapa macam yaitu;

- . Suasasa: Dalam perspektif masyarakat Lio, Suasasa adalah Ungkapan bahasa khiasan sebagai bentuk permohonan untuk mencapai maksud tertentu. Misalnya pemohonan untuk melindungi diri dari godaan atau gangguan orang-orang sekitar atau dari roh-roh jahat.

Contoh-contoh Suasasa adalah sebagai berikut;

Sere pe watu ae sabu,
Ture Jegha Mage Nggebha,
Nggoro rusa Detu kua,
Wewa Loghe Nusa Toe,
Sere Kuma,
Mage oto watu mopo,
Mai ka bou pesa mondo gha ina,
Nira tolo sai ana mamo miu,
We’e ana mamo muri bheri,
Mbana leka jala eo mapa,
Leta leka wolo eo lera,
Suru sai gepa gena,
Leka tana keta watu ngga.

Ungkapan ini dimaksudkan untuk memanggil roh-roh yang bersemayam di batu, air, bukit, pohon, tugu batu dilaut dan lain-lain supaya berkumpul serta menyantap sesajen yang dipersembahkan. Hal ini dilakukan tentu dengan pengharapan untuk melindungi diri agar terhindar dari bahaya dan godaan serta dianugerahi rejeki yang melimpah di tanah (tempat tinggal) yang sejuk dan nyaman.

-. Suasomba dalam bahasa Lio kerap disebut juga dengan kata ‘Oasomba’ atau juga disebut Oapenda. Suasomba/Oasomba/oapenda adalah Suatu ungkapan yang mengandung kutukan dan sumpah serapa kepada orang – orang yang dianggap bersalah, supaya kehilangan kekuasaan dan cepat atau lambat segera lenyap dari muka bumi. Suasomba atau Oasomba biasanya diucapkan secara spontan dan langsung oleh pemohonnya. Kendati demikian Suasomba atau Oasomba juga kerap dilakukan melaui ritual sesajen kepada Leluhur di batu pemujaan dll.

Contoh-contoh Suasomba/Oasomba adalah:
- Ungkapan: ‘Mbana-mbana mata, Lora-lora bopa’. Sepenggal ungkapan ini mempunyai makna kutukan sangat dasyat yang dimaksudkan agar orang yang dikutuk tersebut cepat lenyap dari muka bumi.
- Ungkapan: “Tebo ko gole do keli, gela moke ko di gole do keli. Lo ko lepo do wolo, kapa ngebo ko di lepo do wolo. Ina menga tana neku eo tema, ina menga watu neku eo moda”. Kalimat ini mengandung makna peralihan kekuasaan dari si A kepada si B karena berbagai alasan mendasar sehingga si A dianggap sudah tidak mampu mempertahankan eksistensinya. Kalimat ini biasanya diungkapkan oleh orang Lio setelah memenangkan peperangan.

2. “Bhea” Adalah Ungkapan untuk membangkitkan spirit yang menujukan kebesaran dan keperkasaan seseorang. Bhea biasanya diucapkan oleh ketua adat pada saat ritual adat atau siapapun pada saat sebelum dan sesudah melakukan peperangan. Contoh:
- Bhea babo Woda Boko dari Lise: “Aku Woda Boko, Kamba dui nia longgo”. Ungkapan ini sebagai syair kebanggaan untuk menunjukan kesaktian supaya siapapun yang mendengarnya akan gentar.
- Bhea babo Marilonga dari Watunggere: “Aku Marilonga eo topo doga, Tu’a ngere Su’a, Maku ngere watu, Te iwa Le, Weru iwa Nggenggu, Ae bere iwa sele”. Ungkapan ini berati Menggambarkan bahwa Mari Longa adalah Sosok yang sangat Kuat dan perkasa serta tidak mudah menyerah seperti halnya besi dan Batu yang tidak goyah walaupun ancaman datang bertubi – tubi bahkan badai menghadang sekalipun.
- Bhea babo Tani Du’a dari Lise: “Ndeto Peto Au Ila, Ndeto Pate Ndeto, Au Ila Poka Au”. Kalimat ini adalah Ungkapan yang menunjukan kebesaran dan keperkasaan.- Bhea babo Toda Wiwi Ria Dari Mbengu: “Aku Toda Wiwi Ria, Wolo pe ghale Aku tengu keku ka, Wolo pe gha Aku tengu tego ka”. Ungkapan ini mengandung makna kecerdikan dari babo Toda Wiwi Ria yang mengalah untuk sebuah kemenangan (Keselamatan).

3. Sodha
Sodha merupakan nyanyian yang memberi semangat atau spirit tarian adat Gawi dan dipimpin oleh seorang Pesodha (penyair). Sodha diiringi syair-syair yang mengangkat fakta kehidupan lingkungan sekitar dan nyanyian sejarah suku Lio serta ajaran moral (morality doctrine) yang dapat juga disebut kitab suci lisan adat Lio. Selain itu Sodha juga dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk ungkapan untuk mengkritisi pola kehidupan masyarakat dan mengingatkan agar tetap menghormati, melaksanakan norma-norma masyarakat sebagaimana diatur oleh adat. Berikut ini contoh sepenggal Sodha yang sering didengarkan hingga kini.

Oooo…lau ee, lau leka te’u meko mesu, lau hego mora medhu.
Oooo… lau ee, lau leka hale mbo’a mbole, lau kube raga dhoga.
Oooo… lau ee, lau leka ngana raga deke, lau ndere’ joru mere’.
Kau rubhu tedho ra, kami joka kau beu bewa,
ghawa leka pu’u su’a, ghawa leka puse tana, ghawa leka mila mera’.
Nu kau no’o rubu, lela sai no’o angi, bere kau no’o ae, mbawa sai no’o fata,
kau rubhu tedho ra, mera ghawa puse tana.

Jaji pore mena gomo ae hiwa ghale tau uli dole, re’e, weta gena meke seke nara roke kobe lima kepe kele.
Jaji nika menga kira kobe, to uli dole no’o ko’o fai mode, re’e nara gena TBC, weta gha napa ae lura bere.

Pada syair yang pertama diatas dimaksudkan sebagai penolak bala untuk menjauhkan penyakit serta roh-roh jahat yang sedang menghantui seseorang. Sedangkan syair kedua mengisahkan sepasang pria dan wanita yang sudah mengikrar janji akhirnya batal menikah pada hari yang telah ditentukan karena terjangkit TBC (tuberculosis)

4. Nungunange
Nungunange adalah dongeng yang menceritakan seputar cerita-cerita rakyat (Legend) dan tentang binatang (Fabel) ataupun cerita yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat (Mithe).
A. Contoh-contoh cerita rakyat (legend) masyarakat Lio misalnya;
- Tiwu nake deru (asal mula danau)
- Bobi No’o Nombi (asal mula padi) dan lain-lain.
B. Contoh-contoh dongeng tentang binatang (fabel) dalam masyarakat Lio misalnya;
- Watu no’o Wawi (Batu dengan Babi),
- Ro’a no’o Beku ( Monyet dengan Musang) dan lain – lain.
C. Contoh-contoh cerita yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat adalah;
- Koja kesu (Pohon kenari yang angker)
- Ata polo (Suanggi atau hantu jadi-jadian) dan lain sebagainya.

Adapun cerita tentang kenyataan kehidupan leluhur bersifat fiksi dengan memberikan petuah yang menyentuh nilai-nilai kehidupan paling dalam. Nungunange biasanya diceritakan oleh para orang tua kepada anak balita berupa cerita rekaan namun mengandung petuah sebagai nasihat agar sang anak taat kepada orang tua.

5. Ke/Nangi
Ke/Nangi dalam tradisi di Lio adalah suatu situasi ungkapan kesedihan melalui tangisan atas musibah yang menimpa seseorang, anggota keluarga, kerabat yang dicintai.
Ke/Nangi terdiri atas dua macam yaitu; Nanginore dan Nangi pa’a suri.

- Nanginore adalah Sebuah tangisan untuk mengungkapkan perasaan sedih namun tidak disertai syair kehidupan. Nanginore dapat terjadi pada saat ketika sedang kesakitan, kematian ataupun rasa haru dan lain-lain.

- Nangi pa’asuri adalah Sebuah tangisan yang menggugah hati dan dapat mempengaruhi pikiran dan perasaan orang lain jika dilakukan dalam keadaan sunyi seperti tengah malam atau subuh. Dilantunkan dengan nada yang memiliki alur serta bahasa-bahasa adat yang dalam. Nangi Pa’asuri biasanya hanya dapat dilakukan pada saat kehilangan (kematian) seseorang anggota keluarga. Sehingga untuk mengenang amal baik orang yang meninggal tersebut, dilantunkan untaian syair nyanyian oleh ‘Ata Nangi’ (yang menangisi) untuk mengiringi kepergian arwah orang meninggal tersebut. Nangi Pa’asuri hanya dapat dilakukan para wanita tua dan hanya orang-orang tertentu saja seperti hal-nya ‘Ata Sodha” yang hanya dilakukan oleh kaum Pria.

Berikut ini contoh Nangi Pa’asuri;

Aeeeeeeee……Mu, Tia, Nandu, nara Leo, Ma aji lo’o Fera peke dowa miu no’o longgo.
Miu Holo lima esa mawe roa bowa beta, Fera bowa beta nia bopa leda.
Aeeeeeee…. Tiwa, Jose Fera nara miu walo mena Gana susa Fera gha gena bore baja. Jene kai ale tana Fera kau gena apa, Fera talu bala aku ndate raka.

Syair ini menjelaskan (hikayat) kisah hidup manusia setelah meninggal sehingga alur yang diceritakan bersifat nyata sesuai dengan perjalanan hidup manusia.

6. Sena neke
Sena neke merupakan salah satu sastra dalam bentuk Pantun yang bersifat fiksi dan non fiksi. Sena neke hingga kini masih dapat ditemui di setiap komunitas-komunitas suku Lio di Flores. Pengungkapan sena neke biasanya terjadi antara dua individu atau secara bersama-sama yang berbeda presepsi sehingga bahasa yang dilontarkan berupa sindiran dengan maksud sebagai penghinaan ataupun bersifat candaan seperti halnya pantun berbalas pantun.

Contoh Sena neke (sindiran) sebagai bentuk penghinaan:
-Bou mondo ngere ro’a loka. (berkumpul seperti kera/monyet besar)
-Nia ngere fara banga. (muka seperti arang)
-Wiwi so’o dea lea (Mulut besar)
-Gare tei ngere au moda loda (penipu ulung)

Contoh Sena neke (sindiran) yang bersifat guyonan dalam menyanjung seseorang:
-Weta eo jemu momo, rupa kau mbombe ngere boka rose. (seorang wanita cantik)
-Bego ga’i ngere weka kea (Bersukaria)

Selain penjelasan-penjelasan diatas, Sena neke juga dapat dilantukan melalui syair nyanyian seperti ‘Sodha’ namun harus berbalas pantun antara Ata sodha (penyair) dengan Ata gawi (penari gawi).

Dengan menyimak keragaman budaya yang dimiliki oleh orang Lio, penulis tentu bertanya-tanya dalam diri; Adakah Manusia-manusia yang mendiami berbagai wilayah komunitas, persekutuan atau (Clan) klen di Flores tengah (Suku Lio) merasa peduli dengan peradabannya sendiri ? Berbagai jenis sastra lisan yang mungkin saja belum dikenal luas oleh masyarakat Lio ini dapat dimanfaatkan untuk mencegah atau mengatasi persoalan dalam masyarakat Lio sendiri. Apabila makna ungkapan-ungkapan di atas sungguh-sungguh dijiwai oleh penuturnya atau pendengarnya, maka ini dapat menjadi harapan agar mentalitas modernisasi dan globalisasi yang dianut oleh masyarakat dapat diubah. Nilai-nilai luhur yang masih relevan untuk zaman ini bertaburan di mana-mana laksana mutiara. Hanya insan yang tidak memahami nilai mutiara saja yang akan membiarkan barang berharga ini berceceran dan jatuh ke tangan orang lain.

Sastra lisan suku Lio sebagai bagian dari sastra daerah tetap relevan untuk masa kini dan masa depan karena mengandung nilai-nilai yang tak lekang oleh waktu. Oleh karena itu, para pemilik sastra lisan dan pemerintah daerah maupun pusat diharapkan selalu bergandengan tangan dalam upaya pelestarian sastra lisan suku Lio, yang turut memberikan sumbangsih bagi perkembangan sastra daerah dan Indonesia. Sastra yang bersifat lisan pun akan melahirkan intan dan permata tak ternilai. Sesuatu harapan untuk melestarikan kekayaan istiadat akan menjadi hampa dan tentu tak akan pasti tanpa kepedulian masyarakat itu sendiri.

Sekian !!!!

*) Marlin Bato (Pemerhati Budaya)
Sumber Informasi Lisan:
Jhony Logho, Wenslaus Tani, Kornelis. W. Gatu
-Rekaman CD dan Tape decoder,
-Dokumen tertulis oleh; P. Paul Arndt. SVD
Dijumput dari: http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/30/sastra-lisan-adat-lio/

Tanpa Pelayat dan Mawar Duka

Martin Aleida
http://cerpenkompas.wordpress.com/

Ke mana pun dia pergi, di benaknya terbayang sebuah lubang ancaman. Begitu besar dan menakutkan, siap menelannya, menyusul tumbangnya raja tiranis yang berkuasa lebih dari tiga puluh tahun. Dia sadar, di kalangan teman-teman, dia tak lebih dari seonggok daging yang hanya pantas untuk dirajam. Sekalipun begitu, kalau mati, dia menginginkan tempat yang pas untuk jasadnya.

Keinginan itu memuncak ketika kadar gula dalam darahnya mencatat titik yang belum pernah tercapai. Dia semakin sering merenung, dan serempak dengan semakin bertambah ngilunya seluruh persendian tubuhnya semakin dia yakin bahwa maut sudah tak bisa ditampik.

Sepetak tanah di kota kita, yang penuh-sesak dan berkembang begini liar, bukanlah komoditi yang bisa menjadi impian semua orang. Kecuali buat dia. Kontaknya dengan penguasa keamanan, kepada siapa dia menjual kepala teman-teman selama ini, memungkinkannya untuk mengosongkan dengan paksa satu areal tanah di tepi kota. Bagian depan lahan itu dia cita-citakan sebagai rumahnya di dunia baka. Setelah lahan itu dia kuasai, boleh dibilang hampir saban hari dia berdiri di situ, memandangi kota yang terhampar di bawah, walau alam terasa tak bersahabat dengannya. Kakinya terasa kebas. Ranting-ranting kemboja mena- tapnya dengan dingin. Seperti mengejek. Sementara angin darat yang lembab berdebu berbisik dengan culas di kakinya.

Jatuhnya sang tiran dan perubahan politik yang tak pernah terbayangkan, dari hari ke sehari membuat hatinya semakin ciut, menggigil. Dia sadar akan apa yang telah dia lakukan terhadap teman-temannya selama ini. Dan betapa mencemaskan kemungkinan dendam yang harus dia hadapi. Kecemasan dan ketakutan yang semakin mendesakkannya ke lubang maut. Dan kematian akhirnya datang meringkusnya berbarengan dengan kecemasan yang tak tertahankan. Suatu subuh, batang tubuhnya menggigil hebat, lantas kejang, kaku, dan dia mati bak pisang yang terlalu dalu.

Kehendak siapa sehingga rumah duka tetap sepi manakala jenazahnya sudah berjam lamanya menanti pelayat? Masa lalu yang ditinggalkan oleh dia, yang terbaring membatu di ruang tengah itu, benar-benar telah datang membawa dendam. Tiada teman lama yang datang. Orang-orang militer, yang menangguk dari petualangannya, juga tak terlihat batang hidungnya. Pepatah, “Habis manis sepah dibuang”, sungguh menemukan tamsil pada peti mati itu. Kesepian mendidih. Tak ada kematian sesia-sia ini.

Selepas lohor, peti berselimut kain hijau itu diantarkan mobil jenazah ke pekuburan. Keranda dibujurkan di tanah, dengan kepala jenazah menghadap ke arah kota. Kemudian, mobil jenazah meninggalkan petak kematian. Sunyi di siang bolong, di pekuburan itu, semakin menekan. Angin kering. Tak tercium bau air mawar. Tak ada karangan bunga. Tak selembar kartu tanda turut berdukacita yang tiba di pemakaman itu. Suasana mengingatkan pada lukisan termasyhur tentang seekor celeng yang mati membusuk, kepala tersungkur, digerayangi gagak dan lalat hijau mengiringi kematiannya yang hina di tepi kota. “Tanpa bunga dan telegram duka,” *) begitu teks lukisan tersebut.

Persis di kepala keranda, sang istri, satu-satunya pengantar jenazah, tampak berlutut. Gaunnya mencium tanah. Selembar setangan remuk diremas-remas jemarinya. Sebentar-bentar dia telungkupkan wajah di kepala peti jenazah. Dengan mata merah, dia menatap ke arah kota. Kehilangan memang membuat dia menangis, walau tak sampai membuatnya tersedu. Perilaku suaminya itu semasa hidup menjadi ganjalan, sehingga mata dan hatinya tersendat dalam menumpahkan duka. Dia berdiri dan melangkah beberapa depa ke depan, menatap kota seperti hendak mengadu kepada warga di bawah sana. Kemudian, pelayat tunggal itu mundur kembali mendekati peti mati dan menyebarkan pandang ke sekeliling. Angin siang yang lembab membuat bulir air duka tertahan di tapuk matanya.

“Ba, tak kusangka,” bisiknya perlahan, terlalu perlahan, di kepala peti mati suaminya itu. “Oh, siapa yang menyangka bisa jadi begini…?” Peti mati itu tetaplah peti mati. Wanita itu sedang mengadu kepada debu dan angin yang terbang, barangkali.

Memang, tak siapa pun menyangka. Dia, sebagai istri, tidak. Suaminya, yang terbujur di dalam peti mati buatan Jepara, itu pun tidak. Lihatlah! Taman pekuburan sungguh sepi. Para penggali kubur, yang biasanya berebut menawarkan jasa, tak seorang pun kelihatan. Siapa yang menduga mereka akan melampiaskan dendam terhadap laki-laki di dalam peti mati itu?

Mereka bergerombol di segundukan tanah merah, di balik batang-batang kemboja, beberapa puluh meter dari peti mati. Mereka adalah orang-orang yang tempo hari dengan mudah dilumpuhkan oleh sepasukan besar aparat keamanan bersenjata, yang datang menerjang, menguasai tanah itu untuk memenuhi keinginan lelaki yang kini terkurung di dalam kotak sempit terbuat dari kayu, yang terbengkalai, tak punya siapa-siapa, kecuali istri, yang cuma bisa pasrah menghadapi sebuah dendam.

Lelaki di dalam keranda itulah yang membocorkan bahwa lahan yang jadi pekuburan sekarang ini, dulunya adalah milik sebuah komunitas agama yang dipatoki Barisan Tani Indonesia awal 1960-an, ketika gencar-gencarnya “aksi sefihak” yang dilancarkan oleh organisasi tani beraliran merah tersebut untuk melaksanakan landreform. Bahwa tanah siapa pun, yang lebih dari lima hektar, harus dibagikan kepada petani tak bertanah, sesuai fatwa undang-undang pokok agraria Republik.

Para penggali kubur yang tak kuasa menahan dendam, yang memandang peti mati dengan mata nanar dari gundukan tanah merah di balik pokok-pokok kemboja, adalah anak-anak dari petani tak bertanah, nan buta huruf, yang dengan sukacita menerima rezeki yang tak pernah mereka impikan. Tetapi, tanah itu jugalah yang membawa malapetaka menyusul pemusnahan “sampai ke akar-akarnya” terhadap mereka yang dituduh, tanpa bukti, membunuh para jenderal. Yang bernasib buruk dicampakkan ke dalam kuburan massal. Banyak yang darahnya memerahkan air sungai begitu kepala mereka yang terkulai, karena bacokan atau terjangan peluru, ditendang ke dalam air.

Tahun yang menakutkan itu telah membakar hati para penggali kubur yang membangkang dan tetap berdiam diri di gundukan tanah merah itu. Mereka tahu, lelaki di peti mati itu telah banyak memakan korban di kalangan teman-temannya sendiri. Dan, persekongkolannya dengan mereka yang bersenjata untuk merampas tanah, di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan, buat mereka hanya pantas untuk dilawan dengan sebuah pemogokan. Membiarkan jenazahnya tak diterima bumi. Yang telah merampas tanah, tak sepantasnya kembali ke tanah, itulah barangkali sumpah mereka.

Di gundukan tanah merah itu semua cuma duduk mencangkung. Mematikan rokok. Diam. Pikiran mereka melayang mengenang ayah mereka yang dipaksa naik ke atas truk di tengah malam, dilarikan entah ke mana. Disiksa untuk mengakui apa yang tak pernah mereka perbuat, atau pikirkan sekalipun. Dalam sebuah buku dilaporkan, karena militer kewalahan harus memberi makan pesakitan yang begitu banyak pada waktu itu, lantas dikeluarkan perintah berdarah dingin: “Kirimkan mereka ke sekolah, ke sukabumi… ya, bunuh mereka!”**)

Angin mengebutkan debu di pekuburan yang sepi di atas kota.

“Ba…,” lembut sang istri berkata di kepala peti mati suaminya. Sapaan itu cuma sampai di situ. Tak berlanjut. Tertahan. Terlalu banyak yang ingin ditumpahkan. Tapi, bibirnya terkunci. Hatinya berkecamuk, tercabik-cabik, manakala teringat pada tahun-tahun yang tak tertahankan, yang harus dia lalui, lantaran perbuatan lelaki yang kini terpaku di dalam peti mati di ujung kakinya.

Mula-mula tersebar kabar suaminya itu menjadi tukang tunjuk militer yang sedang mengejar orang-orang yang terpesona dengan lambang palu-arit, juga banteng ketaton, dan segala simbol yang melambangkan perlawanan terhadap penindasan orang- orang yang dihinakan. Tak pernah sebelumnya hatinya ciut seperti saat itu. Apa mau dikata…

Menyusul pula kabar bahwa “Ba” datang sendiri di tengah malam, mengacungkan pistol setelah mendobrak pintu rumah persembunyian teman-temannya di dekat pusat kota. Dua jeep penuh militer, yang mengenakan jaket sipil, menunggu di luar. Dari rumah itu diangkut enam temannya sendiri. Sesampai di markas militer, yang berubah menjadi kamp konsentrasi, dia pulalah yang menginterogasi teman-temannya itu, satu per satu. Tentu, dia mengenal mereka seperti mengenal jari-jarinya sendiri. Kalau ada yang menyembunyikan sesuatu, dia sendirilah yang mengeluarkan perangkat kejut listrik untuk memaksa pengakuan. Pentolan Komunis nomor dua waktu itu, hanya bisa tertangkap karena jasanya.

Ketika darah dan daging orang-orang, yang menurut kekuasaan yang sedang merangkak merebut kekuasaan, sudah ditekuk semua, “Ba” terbang ke Paris dan Amsterdam, tempat persembunyian mereka yang tak berani pulang ke negerinya sendiri, karena takut menghadapi kekejaman. Di Paris, dia memata-matai restoran yang diusahakan mereka yang terbuang, yang menyandang nama sebagai eksil. Kepada salah seorang di antara pelayan orang Indonesia di situ, dia memaksa untuk ikut dan menginap di rumahnya.

“Hambuslah kau dari depan mataku! Ini negeri bebas dan beradab, Tuan! Pulanglah kau manusia tak tahu diri…!” kata orang buangan itu dengan sengit. Dia ketemu batunya dan pulang menggigit jari. Tak ada yang bisa dilaporkan kepada atasannya untuk kredit yang lebih besar. Tetapi, ketika dia mendengar seorang putra Bali, sastrawan yang pernah bergabung dalam Lekra, berangkat ke Jerman untuk menemui bekas pacarnya di sana, terbukalah celah buatnya untuk menjilat ke atas. Anak Bali itu, yang pernah mendekam hampir sepuluh tahun dalam tahanan, dia interogasi. Dia dituduh membangun jaringan baru di Eropa. Putra dari Bali itu menampik tuduhan, dan memilih untuk membiarkan sekujur tubuhnya dibalut balur-balur darah jejak sabetan ekor pari kering.

Kabar tentang pendurhakaan itu datang tumpuk-menumpuk selama tiga puluh tahun lebih, membebani hati wanita yang sekarang berlutut di sisi peti mati suaminya. Dia hidup menyendiri, tersisih dari teman-temannya. Badannya kurus kering menanggung malu. Kering-kerontang cairan dalam tubuhnya tidak memungkinkan untuk mengharapkan datangnya seorang bayi. Karena itulah dia, dan suaminya, memungut anak.

Sekarang, dalam dukanya yang penghabisan di pemakaman yang ganjil itu, dia bisa menerima kalau teman-temannya tak mau datang melayat. Tetapi, sama sekali terasa seperti sembilu, manakala dia temukan bahwa setelah menunggu berjam-jam, namun sang anak yang bersekolah di Australia tidak juga tiba. Berkali-kali dia melemparkan pandang dan harap ke jalan masuk pemakaman, tapi gerbang itu cuma dilalui angin yang lembab. Membuat matanya tambah sembab. Dia menyandarkan kening di hulu keranda.

Tiba-tiba dia mendongakkan kepala. Ada kerisik langkah kaki di rumput kering. Samar, dilihatnya seorang penggali kubur mendekat.

“Kami tak sampai hati melihat Ibu menderita serupa ini. Ibu tak bersalah. Tapi, orang ini,” ujar penggali kubur itu seraya menunjuk-nunjuk peti mati, “bagaimanapun harus dihukum.” Orang itu berkata seperti mengeja kata-katanya. Dia meletakkan sebilah cangkul, beberapa langkah dari kaki wanita itu. “Gunakanlah…,” tukang gali itu membujuk.

“Aku tahu apa yang telah dia lakukan. Bisa kurasakan bagaimana penderitaan ayah dan keluarga kalian, dan juga ratusan orang lain. Tapi, dia suami yang tidak pernah berniat meninggalkan aku. Dia juga sering mentraktir makan sesama kawannya seniman. Tiap tujuh belas Agustus, tak pernah lupa dia membawakan tumpeng ke pusat kebudayaan. Akulah yang membuat tumpeng itu. Aku tahu kebaikannya itu tiada sebanding dengan pendurhakaan terhadap teman-temannya. Terhadap kalian. Tetapi…” Belum sempat dia menyempurnakan kalimat, penggali kubur itu menampik: “Kami tak punya pilihan.” Dan orang itu beringsut pergi.

Azan, yang tadinya terdengar bergulung-gulung dari kota di bawah, sudah lama lenyap. Tak ada suasana duka di pekuburan itu. Kecuali pada sebentuk hati seorang istri yang harus menggali sendiri liang lahat untuk jenazah suaminya. Bayangan panjang pohon kemboja menghampar sampai ke kota. Matahari, yang segera menyuruk ke ufuk, juga mengoleskan bayangan panjang dari sosok wanita yang sedang berduka itu. Di bumi yang dipijaknya, tampak siluet hitam dari tangannya yang menggenggam pacul dan menghantamkannya ke tanah, membuka secelah gua garba di situ untuk peti mati suaminya. Bayangan gelap tubuhnya, yang terantuk-antuk menguakkan tanah, jatuh membentang ke arah kota di bawah dan sesekali ditingkahi kilap mata pacul yang menyambar-nyambar. ***

*) Teks salah satu lukisan trilogi berburu celeng, Joko Pekik.
**) Hermawan Sulistyo, “Palu Arit Di Ladang Tebu”.
Dijumput dari: http://cerpenkompas.wordpress.com/2007/02/04/tanpa-pelayat-dan-mawar-duka/

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae