Jumat, 18 November 2011

Sastra Lisan Adat Lio

Marlin Bato
http://www.kompasiana.com/watuneso

Sastra Lisan adalah ungkapan jiwa dalam wujud bahasa secara langsung melalui percakapan. Dalam khazanah kesusastraan suku Lio di Flores, tradisi sastra lisan, baik yang berbentuk syair maupun prosa, merupakan corak kekhasan tersendiri yang terbangun melalui relasi lajur sejarah yang panjang. Di dalam tradisi masyarakat Lio, secara simultan meniscayakan terjadinya dialektika budaya yang saling mengisi dan melengkapi. Ekpresi estetik tradisi sastra lisan adat Lio dalam bentuk mantra, tembang, cerita rakyat, hikayat-hikayat, dongeng atau pun syair pantun dan lain-lain yang berkembang menjadi serangkaian manifestasi dialektika dari berbagai unsur budaya seperti peradaban melayu kuno, peradaban bangsa Hindia, peradaban bangsa Portugis dan kolonial Belanda yang tentunya turut mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kesusastraan dalam masyarakat Lio. Saat ini juga arus modernisasi dan globalisasi semakin deras mengalir mengubah pola pikir dan kehidupan masyarakat Lio, maka saat ini, hal yang sangat dirasakan adalah “mengecilnya” peranan sastra lisan di tengah kehidupan ata Lio (orang Lio). Lalu dibalik itu tentunya bahasa dan sastra Lio perlahan terancam punah . Tak berlebihan kemudian akan menghilangnya seperangkat sistem kebudayaan lokal yang dipunyai oleh sebuah “keluarga” (etnik) Lio yang ada di Flores. Sebagai suku terbesar di pulau Flores, tentunya Ata Lio (orang Lio) memiliki sejumlah sastra lisan yang disebut Sua, Bhea, Sodha, Nungunange, Nangi, Senaneke dan lain sebagainya.

1. “Sua” adalah suatu ungkapan yang menggunakan bahasa lazim sehari-hari, baik diucapkan secara langsung maupun melalui sesajen yang dipersembahkan kepada para leluhur. Hingga saat ini ‘Sua’ masih kerap dilakukan pada ritual adat orang Lio. Kendati orang Lio pada umumnya sudah banyak yang mengenal agama yang dibawahkan oleh bangsa Portugis dan Belanda, namun ata Lio (orang Lio) masih berpegang teguh pada kepercayaan lokal yang diturunkan oleh adat sehingga penyembahan yang bersifat animisme dan dinamisme masih juga dapat ditemui hampir di seluruh komunitas ata Lio. Oleh karena itu, dalam setiap penyembahan yang dilakukan tentu selalu diselingi ungkapan adat yang disebut ‘Sua’. Dari beberapa sumber ‘Sua’, terdiri dari beberapa macam yaitu;

- . Suasasa: Dalam perspektif masyarakat Lio, Suasasa adalah Ungkapan bahasa khiasan sebagai bentuk permohonan untuk mencapai maksud tertentu. Misalnya pemohonan untuk melindungi diri dari godaan atau gangguan orang-orang sekitar atau dari roh-roh jahat.

Contoh-contoh Suasasa adalah sebagai berikut;

Sere pe watu ae sabu,
Ture Jegha Mage Nggebha,
Nggoro rusa Detu kua,
Wewa Loghe Nusa Toe,
Sere Kuma,
Mage oto watu mopo,
Mai ka bou pesa mondo gha ina,
Nira tolo sai ana mamo miu,
We’e ana mamo muri bheri,
Mbana leka jala eo mapa,
Leta leka wolo eo lera,
Suru sai gepa gena,
Leka tana keta watu ngga.

Ungkapan ini dimaksudkan untuk memanggil roh-roh yang bersemayam di batu, air, bukit, pohon, tugu batu dilaut dan lain-lain supaya berkumpul serta menyantap sesajen yang dipersembahkan. Hal ini dilakukan tentu dengan pengharapan untuk melindungi diri agar terhindar dari bahaya dan godaan serta dianugerahi rejeki yang melimpah di tanah (tempat tinggal) yang sejuk dan nyaman.

-. Suasomba dalam bahasa Lio kerap disebut juga dengan kata ‘Oasomba’ atau juga disebut Oapenda. Suasomba/Oasomba/oapenda adalah Suatu ungkapan yang mengandung kutukan dan sumpah serapa kepada orang – orang yang dianggap bersalah, supaya kehilangan kekuasaan dan cepat atau lambat segera lenyap dari muka bumi. Suasomba atau Oasomba biasanya diucapkan secara spontan dan langsung oleh pemohonnya. Kendati demikian Suasomba atau Oasomba juga kerap dilakukan melaui ritual sesajen kepada Leluhur di batu pemujaan dll.

Contoh-contoh Suasomba/Oasomba adalah:
- Ungkapan: ‘Mbana-mbana mata, Lora-lora bopa’. Sepenggal ungkapan ini mempunyai makna kutukan sangat dasyat yang dimaksudkan agar orang yang dikutuk tersebut cepat lenyap dari muka bumi.
- Ungkapan: “Tebo ko gole do keli, gela moke ko di gole do keli. Lo ko lepo do wolo, kapa ngebo ko di lepo do wolo. Ina menga tana neku eo tema, ina menga watu neku eo moda”. Kalimat ini mengandung makna peralihan kekuasaan dari si A kepada si B karena berbagai alasan mendasar sehingga si A dianggap sudah tidak mampu mempertahankan eksistensinya. Kalimat ini biasanya diungkapkan oleh orang Lio setelah memenangkan peperangan.

2. “Bhea” Adalah Ungkapan untuk membangkitkan spirit yang menujukan kebesaran dan keperkasaan seseorang. Bhea biasanya diucapkan oleh ketua adat pada saat ritual adat atau siapapun pada saat sebelum dan sesudah melakukan peperangan. Contoh:
- Bhea babo Woda Boko dari Lise: “Aku Woda Boko, Kamba dui nia longgo”. Ungkapan ini sebagai syair kebanggaan untuk menunjukan kesaktian supaya siapapun yang mendengarnya akan gentar.
- Bhea babo Marilonga dari Watunggere: “Aku Marilonga eo topo doga, Tu’a ngere Su’a, Maku ngere watu, Te iwa Le, Weru iwa Nggenggu, Ae bere iwa sele”. Ungkapan ini berati Menggambarkan bahwa Mari Longa adalah Sosok yang sangat Kuat dan perkasa serta tidak mudah menyerah seperti halnya besi dan Batu yang tidak goyah walaupun ancaman datang bertubi – tubi bahkan badai menghadang sekalipun.
- Bhea babo Tani Du’a dari Lise: “Ndeto Peto Au Ila, Ndeto Pate Ndeto, Au Ila Poka Au”. Kalimat ini adalah Ungkapan yang menunjukan kebesaran dan keperkasaan.- Bhea babo Toda Wiwi Ria Dari Mbengu: “Aku Toda Wiwi Ria, Wolo pe ghale Aku tengu keku ka, Wolo pe gha Aku tengu tego ka”. Ungkapan ini mengandung makna kecerdikan dari babo Toda Wiwi Ria yang mengalah untuk sebuah kemenangan (Keselamatan).

3. Sodha
Sodha merupakan nyanyian yang memberi semangat atau spirit tarian adat Gawi dan dipimpin oleh seorang Pesodha (penyair). Sodha diiringi syair-syair yang mengangkat fakta kehidupan lingkungan sekitar dan nyanyian sejarah suku Lio serta ajaran moral (morality doctrine) yang dapat juga disebut kitab suci lisan adat Lio. Selain itu Sodha juga dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk ungkapan untuk mengkritisi pola kehidupan masyarakat dan mengingatkan agar tetap menghormati, melaksanakan norma-norma masyarakat sebagaimana diatur oleh adat. Berikut ini contoh sepenggal Sodha yang sering didengarkan hingga kini.

Oooo…lau ee, lau leka te’u meko mesu, lau hego mora medhu.
Oooo… lau ee, lau leka hale mbo’a mbole, lau kube raga dhoga.
Oooo… lau ee, lau leka ngana raga deke, lau ndere’ joru mere’.
Kau rubhu tedho ra, kami joka kau beu bewa,
ghawa leka pu’u su’a, ghawa leka puse tana, ghawa leka mila mera’.
Nu kau no’o rubu, lela sai no’o angi, bere kau no’o ae, mbawa sai no’o fata,
kau rubhu tedho ra, mera ghawa puse tana.

Jaji pore mena gomo ae hiwa ghale tau uli dole, re’e, weta gena meke seke nara roke kobe lima kepe kele.
Jaji nika menga kira kobe, to uli dole no’o ko’o fai mode, re’e nara gena TBC, weta gha napa ae lura bere.

Pada syair yang pertama diatas dimaksudkan sebagai penolak bala untuk menjauhkan penyakit serta roh-roh jahat yang sedang menghantui seseorang. Sedangkan syair kedua mengisahkan sepasang pria dan wanita yang sudah mengikrar janji akhirnya batal menikah pada hari yang telah ditentukan karena terjangkit TBC (tuberculosis)

4. Nungunange
Nungunange adalah dongeng yang menceritakan seputar cerita-cerita rakyat (Legend) dan tentang binatang (Fabel) ataupun cerita yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat (Mithe).
A. Contoh-contoh cerita rakyat (legend) masyarakat Lio misalnya;
- Tiwu nake deru (asal mula danau)
- Bobi No’o Nombi (asal mula padi) dan lain-lain.
B. Contoh-contoh dongeng tentang binatang (fabel) dalam masyarakat Lio misalnya;
- Watu no’o Wawi (Batu dengan Babi),
- Ro’a no’o Beku ( Monyet dengan Musang) dan lain – lain.
C. Contoh-contoh cerita yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat adalah;
- Koja kesu (Pohon kenari yang angker)
- Ata polo (Suanggi atau hantu jadi-jadian) dan lain sebagainya.

Adapun cerita tentang kenyataan kehidupan leluhur bersifat fiksi dengan memberikan petuah yang menyentuh nilai-nilai kehidupan paling dalam. Nungunange biasanya diceritakan oleh para orang tua kepada anak balita berupa cerita rekaan namun mengandung petuah sebagai nasihat agar sang anak taat kepada orang tua.

5. Ke/Nangi
Ke/Nangi dalam tradisi di Lio adalah suatu situasi ungkapan kesedihan melalui tangisan atas musibah yang menimpa seseorang, anggota keluarga, kerabat yang dicintai.
Ke/Nangi terdiri atas dua macam yaitu; Nanginore dan Nangi pa’a suri.

- Nanginore adalah Sebuah tangisan untuk mengungkapkan perasaan sedih namun tidak disertai syair kehidupan. Nanginore dapat terjadi pada saat ketika sedang kesakitan, kematian ataupun rasa haru dan lain-lain.

- Nangi pa’asuri adalah Sebuah tangisan yang menggugah hati dan dapat mempengaruhi pikiran dan perasaan orang lain jika dilakukan dalam keadaan sunyi seperti tengah malam atau subuh. Dilantunkan dengan nada yang memiliki alur serta bahasa-bahasa adat yang dalam. Nangi Pa’asuri biasanya hanya dapat dilakukan pada saat kehilangan (kematian) seseorang anggota keluarga. Sehingga untuk mengenang amal baik orang yang meninggal tersebut, dilantunkan untaian syair nyanyian oleh ‘Ata Nangi’ (yang menangisi) untuk mengiringi kepergian arwah orang meninggal tersebut. Nangi Pa’asuri hanya dapat dilakukan para wanita tua dan hanya orang-orang tertentu saja seperti hal-nya ‘Ata Sodha” yang hanya dilakukan oleh kaum Pria.

Berikut ini contoh Nangi Pa’asuri;

Aeeeeeeee……Mu, Tia, Nandu, nara Leo, Ma aji lo’o Fera peke dowa miu no’o longgo.
Miu Holo lima esa mawe roa bowa beta, Fera bowa beta nia bopa leda.
Aeeeeeee…. Tiwa, Jose Fera nara miu walo mena Gana susa Fera gha gena bore baja. Jene kai ale tana Fera kau gena apa, Fera talu bala aku ndate raka.

Syair ini menjelaskan (hikayat) kisah hidup manusia setelah meninggal sehingga alur yang diceritakan bersifat nyata sesuai dengan perjalanan hidup manusia.

6. Sena neke
Sena neke merupakan salah satu sastra dalam bentuk Pantun yang bersifat fiksi dan non fiksi. Sena neke hingga kini masih dapat ditemui di setiap komunitas-komunitas suku Lio di Flores. Pengungkapan sena neke biasanya terjadi antara dua individu atau secara bersama-sama yang berbeda presepsi sehingga bahasa yang dilontarkan berupa sindiran dengan maksud sebagai penghinaan ataupun bersifat candaan seperti halnya pantun berbalas pantun.

Contoh Sena neke (sindiran) sebagai bentuk penghinaan:
-Bou mondo ngere ro’a loka. (berkumpul seperti kera/monyet besar)
-Nia ngere fara banga. (muka seperti arang)
-Wiwi so’o dea lea (Mulut besar)
-Gare tei ngere au moda loda (penipu ulung)

Contoh Sena neke (sindiran) yang bersifat guyonan dalam menyanjung seseorang:
-Weta eo jemu momo, rupa kau mbombe ngere boka rose. (seorang wanita cantik)
-Bego ga’i ngere weka kea (Bersukaria)

Selain penjelasan-penjelasan diatas, Sena neke juga dapat dilantukan melalui syair nyanyian seperti ‘Sodha’ namun harus berbalas pantun antara Ata sodha (penyair) dengan Ata gawi (penari gawi).

Dengan menyimak keragaman budaya yang dimiliki oleh orang Lio, penulis tentu bertanya-tanya dalam diri; Adakah Manusia-manusia yang mendiami berbagai wilayah komunitas, persekutuan atau (Clan) klen di Flores tengah (Suku Lio) merasa peduli dengan peradabannya sendiri ? Berbagai jenis sastra lisan yang mungkin saja belum dikenal luas oleh masyarakat Lio ini dapat dimanfaatkan untuk mencegah atau mengatasi persoalan dalam masyarakat Lio sendiri. Apabila makna ungkapan-ungkapan di atas sungguh-sungguh dijiwai oleh penuturnya atau pendengarnya, maka ini dapat menjadi harapan agar mentalitas modernisasi dan globalisasi yang dianut oleh masyarakat dapat diubah. Nilai-nilai luhur yang masih relevan untuk zaman ini bertaburan di mana-mana laksana mutiara. Hanya insan yang tidak memahami nilai mutiara saja yang akan membiarkan barang berharga ini berceceran dan jatuh ke tangan orang lain.

Sastra lisan suku Lio sebagai bagian dari sastra daerah tetap relevan untuk masa kini dan masa depan karena mengandung nilai-nilai yang tak lekang oleh waktu. Oleh karena itu, para pemilik sastra lisan dan pemerintah daerah maupun pusat diharapkan selalu bergandengan tangan dalam upaya pelestarian sastra lisan suku Lio, yang turut memberikan sumbangsih bagi perkembangan sastra daerah dan Indonesia. Sastra yang bersifat lisan pun akan melahirkan intan dan permata tak ternilai. Sesuatu harapan untuk melestarikan kekayaan istiadat akan menjadi hampa dan tentu tak akan pasti tanpa kepedulian masyarakat itu sendiri.

Sekian !!!!

*) Marlin Bato (Pemerhati Budaya)
Sumber Informasi Lisan:
Jhony Logho, Wenslaus Tani, Kornelis. W. Gatu
-Rekaman CD dan Tape decoder,
-Dokumen tertulis oleh; P. Paul Arndt. SVD
Dijumput dari: http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/30/sastra-lisan-adat-lio/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae