Marlin Bato
http://www.kompasiana.com/watuneso
Sastra Lisan adalah ungkapan jiwa dalam wujud bahasa secara langsung melalui percakapan. Dalam khazanah kesusastraan suku Lio di Flores, tradisi sastra lisan, baik yang berbentuk syair maupun prosa, merupakan corak kekhasan tersendiri yang terbangun melalui relasi lajur sejarah yang panjang. Di dalam tradisi masyarakat Lio, secara simultan meniscayakan terjadinya dialektika budaya yang saling mengisi dan melengkapi. Ekpresi estetik tradisi sastra lisan adat Lio dalam bentuk mantra, tembang, cerita rakyat, hikayat-hikayat, dongeng atau pun syair pantun dan lain-lain yang berkembang menjadi serangkaian manifestasi dialektika dari berbagai unsur budaya seperti peradaban melayu kuno, peradaban bangsa Hindia, peradaban bangsa Portugis dan kolonial Belanda yang tentunya turut mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kesusastraan dalam masyarakat Lio. Saat ini juga arus modernisasi dan globalisasi semakin deras mengalir mengubah pola pikir dan kehidupan masyarakat Lio, maka saat ini, hal yang sangat dirasakan adalah “mengecilnya” peranan sastra lisan di tengah kehidupan ata Lio (orang Lio). Lalu dibalik itu tentunya bahasa dan sastra Lio perlahan terancam punah . Tak berlebihan kemudian akan menghilangnya seperangkat sistem kebudayaan lokal yang dipunyai oleh sebuah “keluarga” (etnik) Lio yang ada di Flores. Sebagai suku terbesar di pulau Flores, tentunya Ata Lio (orang Lio) memiliki sejumlah sastra lisan yang disebut Sua, Bhea, Sodha, Nungunange, Nangi, Senaneke dan lain sebagainya.
1. “Sua” adalah suatu ungkapan yang menggunakan bahasa lazim sehari-hari, baik diucapkan secara langsung maupun melalui sesajen yang dipersembahkan kepada para leluhur. Hingga saat ini ‘Sua’ masih kerap dilakukan pada ritual adat orang Lio. Kendati orang Lio pada umumnya sudah banyak yang mengenal agama yang dibawahkan oleh bangsa Portugis dan Belanda, namun ata Lio (orang Lio) masih berpegang teguh pada kepercayaan lokal yang diturunkan oleh adat sehingga penyembahan yang bersifat animisme dan dinamisme masih juga dapat ditemui hampir di seluruh komunitas ata Lio. Oleh karena itu, dalam setiap penyembahan yang dilakukan tentu selalu diselingi ungkapan adat yang disebut ‘Sua’. Dari beberapa sumber ‘Sua’, terdiri dari beberapa macam yaitu;
- . Suasasa: Dalam perspektif masyarakat Lio, Suasasa adalah Ungkapan bahasa khiasan sebagai bentuk permohonan untuk mencapai maksud tertentu. Misalnya pemohonan untuk melindungi diri dari godaan atau gangguan orang-orang sekitar atau dari roh-roh jahat.
Contoh-contoh Suasasa adalah sebagai berikut;
Sere pe watu ae sabu,
Ture Jegha Mage Nggebha,
Nggoro rusa Detu kua,
Wewa Loghe Nusa Toe,
Sere Kuma,
Mage oto watu mopo,
Mai ka bou pesa mondo gha ina,
Nira tolo sai ana mamo miu,
We’e ana mamo muri bheri,
Mbana leka jala eo mapa,
Leta leka wolo eo lera,
Suru sai gepa gena,
Leka tana keta watu ngga.
Ungkapan ini dimaksudkan untuk memanggil roh-roh yang bersemayam di batu, air, bukit, pohon, tugu batu dilaut dan lain-lain supaya berkumpul serta menyantap sesajen yang dipersembahkan. Hal ini dilakukan tentu dengan pengharapan untuk melindungi diri agar terhindar dari bahaya dan godaan serta dianugerahi rejeki yang melimpah di tanah (tempat tinggal) yang sejuk dan nyaman.
-. Suasomba dalam bahasa Lio kerap disebut juga dengan kata ‘Oasomba’ atau juga disebut Oapenda. Suasomba/Oasomba/oapenda adalah Suatu ungkapan yang mengandung kutukan dan sumpah serapa kepada orang – orang yang dianggap bersalah, supaya kehilangan kekuasaan dan cepat atau lambat segera lenyap dari muka bumi. Suasomba atau Oasomba biasanya diucapkan secara spontan dan langsung oleh pemohonnya. Kendati demikian Suasomba atau Oasomba juga kerap dilakukan melaui ritual sesajen kepada Leluhur di batu pemujaan dll.
Contoh-contoh Suasomba/Oasomba adalah:
- Ungkapan: ‘Mbana-mbana mata, Lora-lora bopa’. Sepenggal ungkapan ini mempunyai makna kutukan sangat dasyat yang dimaksudkan agar orang yang dikutuk tersebut cepat lenyap dari muka bumi.
- Ungkapan: “Tebo ko gole do keli, gela moke ko di gole do keli. Lo ko lepo do wolo, kapa ngebo ko di lepo do wolo. Ina menga tana neku eo tema, ina menga watu neku eo moda”. Kalimat ini mengandung makna peralihan kekuasaan dari si A kepada si B karena berbagai alasan mendasar sehingga si A dianggap sudah tidak mampu mempertahankan eksistensinya. Kalimat ini biasanya diungkapkan oleh orang Lio setelah memenangkan peperangan.
2. “Bhea” Adalah Ungkapan untuk membangkitkan spirit yang menujukan kebesaran dan keperkasaan seseorang. Bhea biasanya diucapkan oleh ketua adat pada saat ritual adat atau siapapun pada saat sebelum dan sesudah melakukan peperangan. Contoh:
- Bhea babo Woda Boko dari Lise: “Aku Woda Boko, Kamba dui nia longgo”. Ungkapan ini sebagai syair kebanggaan untuk menunjukan kesaktian supaya siapapun yang mendengarnya akan gentar.
- Bhea babo Marilonga dari Watunggere: “Aku Marilonga eo topo doga, Tu’a ngere Su’a, Maku ngere watu, Te iwa Le, Weru iwa Nggenggu, Ae bere iwa sele”. Ungkapan ini berati Menggambarkan bahwa Mari Longa adalah Sosok yang sangat Kuat dan perkasa serta tidak mudah menyerah seperti halnya besi dan Batu yang tidak goyah walaupun ancaman datang bertubi – tubi bahkan badai menghadang sekalipun.
- Bhea babo Tani Du’a dari Lise: “Ndeto Peto Au Ila, Ndeto Pate Ndeto, Au Ila Poka Au”. Kalimat ini adalah Ungkapan yang menunjukan kebesaran dan keperkasaan.- Bhea babo Toda Wiwi Ria Dari Mbengu: “Aku Toda Wiwi Ria, Wolo pe ghale Aku tengu keku ka, Wolo pe gha Aku tengu tego ka”. Ungkapan ini mengandung makna kecerdikan dari babo Toda Wiwi Ria yang mengalah untuk sebuah kemenangan (Keselamatan).
3. Sodha
Sodha merupakan nyanyian yang memberi semangat atau spirit tarian adat Gawi dan dipimpin oleh seorang Pesodha (penyair). Sodha diiringi syair-syair yang mengangkat fakta kehidupan lingkungan sekitar dan nyanyian sejarah suku Lio serta ajaran moral (morality doctrine) yang dapat juga disebut kitab suci lisan adat Lio. Selain itu Sodha juga dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk ungkapan untuk mengkritisi pola kehidupan masyarakat dan mengingatkan agar tetap menghormati, melaksanakan norma-norma masyarakat sebagaimana diatur oleh adat. Berikut ini contoh sepenggal Sodha yang sering didengarkan hingga kini.
Oooo…lau ee, lau leka te’u meko mesu, lau hego mora medhu.
Oooo… lau ee, lau leka hale mbo’a mbole, lau kube raga dhoga.
Oooo… lau ee, lau leka ngana raga deke, lau ndere’ joru mere’.
Kau rubhu tedho ra, kami joka kau beu bewa,
ghawa leka pu’u su’a, ghawa leka puse tana, ghawa leka mila mera’.
Nu kau no’o rubu, lela sai no’o angi, bere kau no’o ae, mbawa sai no’o fata,
kau rubhu tedho ra, mera ghawa puse tana.
Jaji pore mena gomo ae hiwa ghale tau uli dole, re’e, weta gena meke seke nara roke kobe lima kepe kele.
Jaji nika menga kira kobe, to uli dole no’o ko’o fai mode, re’e nara gena TBC, weta gha napa ae lura bere.
Pada syair yang pertama diatas dimaksudkan sebagai penolak bala untuk menjauhkan penyakit serta roh-roh jahat yang sedang menghantui seseorang. Sedangkan syair kedua mengisahkan sepasang pria dan wanita yang sudah mengikrar janji akhirnya batal menikah pada hari yang telah ditentukan karena terjangkit TBC (tuberculosis)
4. Nungunange
Nungunange adalah dongeng yang menceritakan seputar cerita-cerita rakyat (Legend) dan tentang binatang (Fabel) ataupun cerita yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat (Mithe).
A. Contoh-contoh cerita rakyat (legend) masyarakat Lio misalnya;
- Tiwu nake deru (asal mula danau)
- Bobi No’o Nombi (asal mula padi) dan lain-lain.
B. Contoh-contoh dongeng tentang binatang (fabel) dalam masyarakat Lio misalnya;
- Watu no’o Wawi (Batu dengan Babi),
- Ro’a no’o Beku ( Monyet dengan Musang) dan lain – lain.
C. Contoh-contoh cerita yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat adalah;
- Koja kesu (Pohon kenari yang angker)
- Ata polo (Suanggi atau hantu jadi-jadian) dan lain sebagainya.
Adapun cerita tentang kenyataan kehidupan leluhur bersifat fiksi dengan memberikan petuah yang menyentuh nilai-nilai kehidupan paling dalam. Nungunange biasanya diceritakan oleh para orang tua kepada anak balita berupa cerita rekaan namun mengandung petuah sebagai nasihat agar sang anak taat kepada orang tua.
5. Ke/Nangi
Ke/Nangi dalam tradisi di Lio adalah suatu situasi ungkapan kesedihan melalui tangisan atas musibah yang menimpa seseorang, anggota keluarga, kerabat yang dicintai.
Ke/Nangi terdiri atas dua macam yaitu; Nanginore dan Nangi pa’a suri.
- Nanginore adalah Sebuah tangisan untuk mengungkapkan perasaan sedih namun tidak disertai syair kehidupan. Nanginore dapat terjadi pada saat ketika sedang kesakitan, kematian ataupun rasa haru dan lain-lain.
- Nangi pa’asuri adalah Sebuah tangisan yang menggugah hati dan dapat mempengaruhi pikiran dan perasaan orang lain jika dilakukan dalam keadaan sunyi seperti tengah malam atau subuh. Dilantunkan dengan nada yang memiliki alur serta bahasa-bahasa adat yang dalam. Nangi Pa’asuri biasanya hanya dapat dilakukan pada saat kehilangan (kematian) seseorang anggota keluarga. Sehingga untuk mengenang amal baik orang yang meninggal tersebut, dilantunkan untaian syair nyanyian oleh ‘Ata Nangi’ (yang menangisi) untuk mengiringi kepergian arwah orang meninggal tersebut. Nangi Pa’asuri hanya dapat dilakukan para wanita tua dan hanya orang-orang tertentu saja seperti hal-nya ‘Ata Sodha” yang hanya dilakukan oleh kaum Pria.
Berikut ini contoh Nangi Pa’asuri;
Aeeeeeeee……Mu, Tia, Nandu, nara Leo, Ma aji lo’o Fera peke dowa miu no’o longgo.
Miu Holo lima esa mawe roa bowa beta, Fera bowa beta nia bopa leda.
Aeeeeeee…. Tiwa, Jose Fera nara miu walo mena Gana susa Fera gha gena bore baja. Jene kai ale tana Fera kau gena apa, Fera talu bala aku ndate raka.
Syair ini menjelaskan (hikayat) kisah hidup manusia setelah meninggal sehingga alur yang diceritakan bersifat nyata sesuai dengan perjalanan hidup manusia.
6. Sena neke
Sena neke merupakan salah satu sastra dalam bentuk Pantun yang bersifat fiksi dan non fiksi. Sena neke hingga kini masih dapat ditemui di setiap komunitas-komunitas suku Lio di Flores. Pengungkapan sena neke biasanya terjadi antara dua individu atau secara bersama-sama yang berbeda presepsi sehingga bahasa yang dilontarkan berupa sindiran dengan maksud sebagai penghinaan ataupun bersifat candaan seperti halnya pantun berbalas pantun.
Contoh Sena neke (sindiran) sebagai bentuk penghinaan:
-Bou mondo ngere ro’a loka. (berkumpul seperti kera/monyet besar)
-Nia ngere fara banga. (muka seperti arang)
-Wiwi so’o dea lea (Mulut besar)
-Gare tei ngere au moda loda (penipu ulung)
Contoh Sena neke (sindiran) yang bersifat guyonan dalam menyanjung seseorang:
-Weta eo jemu momo, rupa kau mbombe ngere boka rose. (seorang wanita cantik)
-Bego ga’i ngere weka kea (Bersukaria)
Selain penjelasan-penjelasan diatas, Sena neke juga dapat dilantukan melalui syair nyanyian seperti ‘Sodha’ namun harus berbalas pantun antara Ata sodha (penyair) dengan Ata gawi (penari gawi).
Dengan menyimak keragaman budaya yang dimiliki oleh orang Lio, penulis tentu bertanya-tanya dalam diri; Adakah Manusia-manusia yang mendiami berbagai wilayah komunitas, persekutuan atau (Clan) klen di Flores tengah (Suku Lio) merasa peduli dengan peradabannya sendiri ? Berbagai jenis sastra lisan yang mungkin saja belum dikenal luas oleh masyarakat Lio ini dapat dimanfaatkan untuk mencegah atau mengatasi persoalan dalam masyarakat Lio sendiri. Apabila makna ungkapan-ungkapan di atas sungguh-sungguh dijiwai oleh penuturnya atau pendengarnya, maka ini dapat menjadi harapan agar mentalitas modernisasi dan globalisasi yang dianut oleh masyarakat dapat diubah. Nilai-nilai luhur yang masih relevan untuk zaman ini bertaburan di mana-mana laksana mutiara. Hanya insan yang tidak memahami nilai mutiara saja yang akan membiarkan barang berharga ini berceceran dan jatuh ke tangan orang lain.
Sastra lisan suku Lio sebagai bagian dari sastra daerah tetap relevan untuk masa kini dan masa depan karena mengandung nilai-nilai yang tak lekang oleh waktu. Oleh karena itu, para pemilik sastra lisan dan pemerintah daerah maupun pusat diharapkan selalu bergandengan tangan dalam upaya pelestarian sastra lisan suku Lio, yang turut memberikan sumbangsih bagi perkembangan sastra daerah dan Indonesia. Sastra yang bersifat lisan pun akan melahirkan intan dan permata tak ternilai. Sesuatu harapan untuk melestarikan kekayaan istiadat akan menjadi hampa dan tentu tak akan pasti tanpa kepedulian masyarakat itu sendiri.
Sekian !!!!
*) Marlin Bato (Pemerhati Budaya)
Sumber Informasi Lisan:
Jhony Logho, Wenslaus Tani, Kornelis. W. Gatu
-Rekaman CD dan Tape decoder,
-Dokumen tertulis oleh; P. Paul Arndt. SVD
Dijumput dari: http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/30/sastra-lisan-adat-lio/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar