Martin Aleida
http://cerpenkompas.wordpress.com/
Ke mana pun dia pergi, di benaknya terbayang sebuah lubang ancaman. Begitu besar dan menakutkan, siap menelannya, menyusul tumbangnya raja tiranis yang berkuasa lebih dari tiga puluh tahun. Dia sadar, di kalangan teman-teman, dia tak lebih dari seonggok daging yang hanya pantas untuk dirajam. Sekalipun begitu, kalau mati, dia menginginkan tempat yang pas untuk jasadnya.
Keinginan itu memuncak ketika kadar gula dalam darahnya mencatat titik yang belum pernah tercapai. Dia semakin sering merenung, dan serempak dengan semakin bertambah ngilunya seluruh persendian tubuhnya semakin dia yakin bahwa maut sudah tak bisa ditampik.
Sepetak tanah di kota kita, yang penuh-sesak dan berkembang begini liar, bukanlah komoditi yang bisa menjadi impian semua orang. Kecuali buat dia. Kontaknya dengan penguasa keamanan, kepada siapa dia menjual kepala teman-teman selama ini, memungkinkannya untuk mengosongkan dengan paksa satu areal tanah di tepi kota. Bagian depan lahan itu dia cita-citakan sebagai rumahnya di dunia baka. Setelah lahan itu dia kuasai, boleh dibilang hampir saban hari dia berdiri di situ, memandangi kota yang terhampar di bawah, walau alam terasa tak bersahabat dengannya. Kakinya terasa kebas. Ranting-ranting kemboja mena- tapnya dengan dingin. Seperti mengejek. Sementara angin darat yang lembab berdebu berbisik dengan culas di kakinya.
Jatuhnya sang tiran dan perubahan politik yang tak pernah terbayangkan, dari hari ke sehari membuat hatinya semakin ciut, menggigil. Dia sadar akan apa yang telah dia lakukan terhadap teman-temannya selama ini. Dan betapa mencemaskan kemungkinan dendam yang harus dia hadapi. Kecemasan dan ketakutan yang semakin mendesakkannya ke lubang maut. Dan kematian akhirnya datang meringkusnya berbarengan dengan kecemasan yang tak tertahankan. Suatu subuh, batang tubuhnya menggigil hebat, lantas kejang, kaku, dan dia mati bak pisang yang terlalu dalu.
Kehendak siapa sehingga rumah duka tetap sepi manakala jenazahnya sudah berjam lamanya menanti pelayat? Masa lalu yang ditinggalkan oleh dia, yang terbaring membatu di ruang tengah itu, benar-benar telah datang membawa dendam. Tiada teman lama yang datang. Orang-orang militer, yang menangguk dari petualangannya, juga tak terlihat batang hidungnya. Pepatah, “Habis manis sepah dibuang”, sungguh menemukan tamsil pada peti mati itu. Kesepian mendidih. Tak ada kematian sesia-sia ini.
Selepas lohor, peti berselimut kain hijau itu diantarkan mobil jenazah ke pekuburan. Keranda dibujurkan di tanah, dengan kepala jenazah menghadap ke arah kota. Kemudian, mobil jenazah meninggalkan petak kematian. Sunyi di siang bolong, di pekuburan itu, semakin menekan. Angin kering. Tak tercium bau air mawar. Tak ada karangan bunga. Tak selembar kartu tanda turut berdukacita yang tiba di pemakaman itu. Suasana mengingatkan pada lukisan termasyhur tentang seekor celeng yang mati membusuk, kepala tersungkur, digerayangi gagak dan lalat hijau mengiringi kematiannya yang hina di tepi kota. “Tanpa bunga dan telegram duka,” *) begitu teks lukisan tersebut.
Persis di kepala keranda, sang istri, satu-satunya pengantar jenazah, tampak berlutut. Gaunnya mencium tanah. Selembar setangan remuk diremas-remas jemarinya. Sebentar-bentar dia telungkupkan wajah di kepala peti jenazah. Dengan mata merah, dia menatap ke arah kota. Kehilangan memang membuat dia menangis, walau tak sampai membuatnya tersedu. Perilaku suaminya itu semasa hidup menjadi ganjalan, sehingga mata dan hatinya tersendat dalam menumpahkan duka. Dia berdiri dan melangkah beberapa depa ke depan, menatap kota seperti hendak mengadu kepada warga di bawah sana. Kemudian, pelayat tunggal itu mundur kembali mendekati peti mati dan menyebarkan pandang ke sekeliling. Angin siang yang lembab membuat bulir air duka tertahan di tapuk matanya.
“Ba, tak kusangka,” bisiknya perlahan, terlalu perlahan, di kepala peti mati suaminya itu. “Oh, siapa yang menyangka bisa jadi begini…?” Peti mati itu tetaplah peti mati. Wanita itu sedang mengadu kepada debu dan angin yang terbang, barangkali.
Memang, tak siapa pun menyangka. Dia, sebagai istri, tidak. Suaminya, yang terbujur di dalam peti mati buatan Jepara, itu pun tidak. Lihatlah! Taman pekuburan sungguh sepi. Para penggali kubur, yang biasanya berebut menawarkan jasa, tak seorang pun kelihatan. Siapa yang menduga mereka akan melampiaskan dendam terhadap laki-laki di dalam peti mati itu?
Mereka bergerombol di segundukan tanah merah, di balik batang-batang kemboja, beberapa puluh meter dari peti mati. Mereka adalah orang-orang yang tempo hari dengan mudah dilumpuhkan oleh sepasukan besar aparat keamanan bersenjata, yang datang menerjang, menguasai tanah itu untuk memenuhi keinginan lelaki yang kini terkurung di dalam kotak sempit terbuat dari kayu, yang terbengkalai, tak punya siapa-siapa, kecuali istri, yang cuma bisa pasrah menghadapi sebuah dendam.
Lelaki di dalam keranda itulah yang membocorkan bahwa lahan yang jadi pekuburan sekarang ini, dulunya adalah milik sebuah komunitas agama yang dipatoki Barisan Tani Indonesia awal 1960-an, ketika gencar-gencarnya “aksi sefihak” yang dilancarkan oleh organisasi tani beraliran merah tersebut untuk melaksanakan landreform. Bahwa tanah siapa pun, yang lebih dari lima hektar, harus dibagikan kepada petani tak bertanah, sesuai fatwa undang-undang pokok agraria Republik.
Para penggali kubur yang tak kuasa menahan dendam, yang memandang peti mati dengan mata nanar dari gundukan tanah merah di balik pokok-pokok kemboja, adalah anak-anak dari petani tak bertanah, nan buta huruf, yang dengan sukacita menerima rezeki yang tak pernah mereka impikan. Tetapi, tanah itu jugalah yang membawa malapetaka menyusul pemusnahan “sampai ke akar-akarnya” terhadap mereka yang dituduh, tanpa bukti, membunuh para jenderal. Yang bernasib buruk dicampakkan ke dalam kuburan massal. Banyak yang darahnya memerahkan air sungai begitu kepala mereka yang terkulai, karena bacokan atau terjangan peluru, ditendang ke dalam air.
Tahun yang menakutkan itu telah membakar hati para penggali kubur yang membangkang dan tetap berdiam diri di gundukan tanah merah itu. Mereka tahu, lelaki di peti mati itu telah banyak memakan korban di kalangan teman-temannya sendiri. Dan, persekongkolannya dengan mereka yang bersenjata untuk merampas tanah, di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan, buat mereka hanya pantas untuk dilawan dengan sebuah pemogokan. Membiarkan jenazahnya tak diterima bumi. Yang telah merampas tanah, tak sepantasnya kembali ke tanah, itulah barangkali sumpah mereka.
Di gundukan tanah merah itu semua cuma duduk mencangkung. Mematikan rokok. Diam. Pikiran mereka melayang mengenang ayah mereka yang dipaksa naik ke atas truk di tengah malam, dilarikan entah ke mana. Disiksa untuk mengakui apa yang tak pernah mereka perbuat, atau pikirkan sekalipun. Dalam sebuah buku dilaporkan, karena militer kewalahan harus memberi makan pesakitan yang begitu banyak pada waktu itu, lantas dikeluarkan perintah berdarah dingin: “Kirimkan mereka ke sekolah, ke sukabumi… ya, bunuh mereka!”**)
Angin mengebutkan debu di pekuburan yang sepi di atas kota.
“Ba…,” lembut sang istri berkata di kepala peti mati suaminya. Sapaan itu cuma sampai di situ. Tak berlanjut. Tertahan. Terlalu banyak yang ingin ditumpahkan. Tapi, bibirnya terkunci. Hatinya berkecamuk, tercabik-cabik, manakala teringat pada tahun-tahun yang tak tertahankan, yang harus dia lalui, lantaran perbuatan lelaki yang kini terpaku di dalam peti mati di ujung kakinya.
Mula-mula tersebar kabar suaminya itu menjadi tukang tunjuk militer yang sedang mengejar orang-orang yang terpesona dengan lambang palu-arit, juga banteng ketaton, dan segala simbol yang melambangkan perlawanan terhadap penindasan orang- orang yang dihinakan. Tak pernah sebelumnya hatinya ciut seperti saat itu. Apa mau dikata…
Menyusul pula kabar bahwa “Ba” datang sendiri di tengah malam, mengacungkan pistol setelah mendobrak pintu rumah persembunyian teman-temannya di dekat pusat kota. Dua jeep penuh militer, yang mengenakan jaket sipil, menunggu di luar. Dari rumah itu diangkut enam temannya sendiri. Sesampai di markas militer, yang berubah menjadi kamp konsentrasi, dia pulalah yang menginterogasi teman-temannya itu, satu per satu. Tentu, dia mengenal mereka seperti mengenal jari-jarinya sendiri. Kalau ada yang menyembunyikan sesuatu, dia sendirilah yang mengeluarkan perangkat kejut listrik untuk memaksa pengakuan. Pentolan Komunis nomor dua waktu itu, hanya bisa tertangkap karena jasanya.
Ketika darah dan daging orang-orang, yang menurut kekuasaan yang sedang merangkak merebut kekuasaan, sudah ditekuk semua, “Ba” terbang ke Paris dan Amsterdam, tempat persembunyian mereka yang tak berani pulang ke negerinya sendiri, karena takut menghadapi kekejaman. Di Paris, dia memata-matai restoran yang diusahakan mereka yang terbuang, yang menyandang nama sebagai eksil. Kepada salah seorang di antara pelayan orang Indonesia di situ, dia memaksa untuk ikut dan menginap di rumahnya.
“Hambuslah kau dari depan mataku! Ini negeri bebas dan beradab, Tuan! Pulanglah kau manusia tak tahu diri…!” kata orang buangan itu dengan sengit. Dia ketemu batunya dan pulang menggigit jari. Tak ada yang bisa dilaporkan kepada atasannya untuk kredit yang lebih besar. Tetapi, ketika dia mendengar seorang putra Bali, sastrawan yang pernah bergabung dalam Lekra, berangkat ke Jerman untuk menemui bekas pacarnya di sana, terbukalah celah buatnya untuk menjilat ke atas. Anak Bali itu, yang pernah mendekam hampir sepuluh tahun dalam tahanan, dia interogasi. Dia dituduh membangun jaringan baru di Eropa. Putra dari Bali itu menampik tuduhan, dan memilih untuk membiarkan sekujur tubuhnya dibalut balur-balur darah jejak sabetan ekor pari kering.
Kabar tentang pendurhakaan itu datang tumpuk-menumpuk selama tiga puluh tahun lebih, membebani hati wanita yang sekarang berlutut di sisi peti mati suaminya. Dia hidup menyendiri, tersisih dari teman-temannya. Badannya kurus kering menanggung malu. Kering-kerontang cairan dalam tubuhnya tidak memungkinkan untuk mengharapkan datangnya seorang bayi. Karena itulah dia, dan suaminya, memungut anak.
Sekarang, dalam dukanya yang penghabisan di pemakaman yang ganjil itu, dia bisa menerima kalau teman-temannya tak mau datang melayat. Tetapi, sama sekali terasa seperti sembilu, manakala dia temukan bahwa setelah menunggu berjam-jam, namun sang anak yang bersekolah di Australia tidak juga tiba. Berkali-kali dia melemparkan pandang dan harap ke jalan masuk pemakaman, tapi gerbang itu cuma dilalui angin yang lembab. Membuat matanya tambah sembab. Dia menyandarkan kening di hulu keranda.
Tiba-tiba dia mendongakkan kepala. Ada kerisik langkah kaki di rumput kering. Samar, dilihatnya seorang penggali kubur mendekat.
“Kami tak sampai hati melihat Ibu menderita serupa ini. Ibu tak bersalah. Tapi, orang ini,” ujar penggali kubur itu seraya menunjuk-nunjuk peti mati, “bagaimanapun harus dihukum.” Orang itu berkata seperti mengeja kata-katanya. Dia meletakkan sebilah cangkul, beberapa langkah dari kaki wanita itu. “Gunakanlah…,” tukang gali itu membujuk.
“Aku tahu apa yang telah dia lakukan. Bisa kurasakan bagaimana penderitaan ayah dan keluarga kalian, dan juga ratusan orang lain. Tapi, dia suami yang tidak pernah berniat meninggalkan aku. Dia juga sering mentraktir makan sesama kawannya seniman. Tiap tujuh belas Agustus, tak pernah lupa dia membawakan tumpeng ke pusat kebudayaan. Akulah yang membuat tumpeng itu. Aku tahu kebaikannya itu tiada sebanding dengan pendurhakaan terhadap teman-temannya. Terhadap kalian. Tetapi…” Belum sempat dia menyempurnakan kalimat, penggali kubur itu menampik: “Kami tak punya pilihan.” Dan orang itu beringsut pergi.
Azan, yang tadinya terdengar bergulung-gulung dari kota di bawah, sudah lama lenyap. Tak ada suasana duka di pekuburan itu. Kecuali pada sebentuk hati seorang istri yang harus menggali sendiri liang lahat untuk jenazah suaminya. Bayangan panjang pohon kemboja menghampar sampai ke kota. Matahari, yang segera menyuruk ke ufuk, juga mengoleskan bayangan panjang dari sosok wanita yang sedang berduka itu. Di bumi yang dipijaknya, tampak siluet hitam dari tangannya yang menggenggam pacul dan menghantamkannya ke tanah, membuka secelah gua garba di situ untuk peti mati suaminya. Bayangan gelap tubuhnya, yang terantuk-antuk menguakkan tanah, jatuh membentang ke arah kota di bawah dan sesekali ditingkahi kilap mata pacul yang menyambar-nyambar. ***
*) Teks salah satu lukisan trilogi berburu celeng, Joko Pekik.
**) Hermawan Sulistyo, “Palu Arit Di Ladang Tebu”.
Dijumput dari: http://cerpenkompas.wordpress.com/2007/02/04/tanpa-pelayat-dan-mawar-duka/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar