Jumat, 18 November 2011

Tanpa Pelayat dan Mawar Duka

Martin Aleida
http://cerpenkompas.wordpress.com/

Ke mana pun dia pergi, di benaknya terbayang sebuah lubang ancaman. Begitu besar dan menakutkan, siap menelannya, menyusul tumbangnya raja tiranis yang berkuasa lebih dari tiga puluh tahun. Dia sadar, di kalangan teman-teman, dia tak lebih dari seonggok daging yang hanya pantas untuk dirajam. Sekalipun begitu, kalau mati, dia menginginkan tempat yang pas untuk jasadnya.

Keinginan itu memuncak ketika kadar gula dalam darahnya mencatat titik yang belum pernah tercapai. Dia semakin sering merenung, dan serempak dengan semakin bertambah ngilunya seluruh persendian tubuhnya semakin dia yakin bahwa maut sudah tak bisa ditampik.

Sepetak tanah di kota kita, yang penuh-sesak dan berkembang begini liar, bukanlah komoditi yang bisa menjadi impian semua orang. Kecuali buat dia. Kontaknya dengan penguasa keamanan, kepada siapa dia menjual kepala teman-teman selama ini, memungkinkannya untuk mengosongkan dengan paksa satu areal tanah di tepi kota. Bagian depan lahan itu dia cita-citakan sebagai rumahnya di dunia baka. Setelah lahan itu dia kuasai, boleh dibilang hampir saban hari dia berdiri di situ, memandangi kota yang terhampar di bawah, walau alam terasa tak bersahabat dengannya. Kakinya terasa kebas. Ranting-ranting kemboja mena- tapnya dengan dingin. Seperti mengejek. Sementara angin darat yang lembab berdebu berbisik dengan culas di kakinya.

Jatuhnya sang tiran dan perubahan politik yang tak pernah terbayangkan, dari hari ke sehari membuat hatinya semakin ciut, menggigil. Dia sadar akan apa yang telah dia lakukan terhadap teman-temannya selama ini. Dan betapa mencemaskan kemungkinan dendam yang harus dia hadapi. Kecemasan dan ketakutan yang semakin mendesakkannya ke lubang maut. Dan kematian akhirnya datang meringkusnya berbarengan dengan kecemasan yang tak tertahankan. Suatu subuh, batang tubuhnya menggigil hebat, lantas kejang, kaku, dan dia mati bak pisang yang terlalu dalu.

Kehendak siapa sehingga rumah duka tetap sepi manakala jenazahnya sudah berjam lamanya menanti pelayat? Masa lalu yang ditinggalkan oleh dia, yang terbaring membatu di ruang tengah itu, benar-benar telah datang membawa dendam. Tiada teman lama yang datang. Orang-orang militer, yang menangguk dari petualangannya, juga tak terlihat batang hidungnya. Pepatah, “Habis manis sepah dibuang”, sungguh menemukan tamsil pada peti mati itu. Kesepian mendidih. Tak ada kematian sesia-sia ini.

Selepas lohor, peti berselimut kain hijau itu diantarkan mobil jenazah ke pekuburan. Keranda dibujurkan di tanah, dengan kepala jenazah menghadap ke arah kota. Kemudian, mobil jenazah meninggalkan petak kematian. Sunyi di siang bolong, di pekuburan itu, semakin menekan. Angin kering. Tak tercium bau air mawar. Tak ada karangan bunga. Tak selembar kartu tanda turut berdukacita yang tiba di pemakaman itu. Suasana mengingatkan pada lukisan termasyhur tentang seekor celeng yang mati membusuk, kepala tersungkur, digerayangi gagak dan lalat hijau mengiringi kematiannya yang hina di tepi kota. “Tanpa bunga dan telegram duka,” *) begitu teks lukisan tersebut.

Persis di kepala keranda, sang istri, satu-satunya pengantar jenazah, tampak berlutut. Gaunnya mencium tanah. Selembar setangan remuk diremas-remas jemarinya. Sebentar-bentar dia telungkupkan wajah di kepala peti jenazah. Dengan mata merah, dia menatap ke arah kota. Kehilangan memang membuat dia menangis, walau tak sampai membuatnya tersedu. Perilaku suaminya itu semasa hidup menjadi ganjalan, sehingga mata dan hatinya tersendat dalam menumpahkan duka. Dia berdiri dan melangkah beberapa depa ke depan, menatap kota seperti hendak mengadu kepada warga di bawah sana. Kemudian, pelayat tunggal itu mundur kembali mendekati peti mati dan menyebarkan pandang ke sekeliling. Angin siang yang lembab membuat bulir air duka tertahan di tapuk matanya.

“Ba, tak kusangka,” bisiknya perlahan, terlalu perlahan, di kepala peti mati suaminya itu. “Oh, siapa yang menyangka bisa jadi begini…?” Peti mati itu tetaplah peti mati. Wanita itu sedang mengadu kepada debu dan angin yang terbang, barangkali.

Memang, tak siapa pun menyangka. Dia, sebagai istri, tidak. Suaminya, yang terbujur di dalam peti mati buatan Jepara, itu pun tidak. Lihatlah! Taman pekuburan sungguh sepi. Para penggali kubur, yang biasanya berebut menawarkan jasa, tak seorang pun kelihatan. Siapa yang menduga mereka akan melampiaskan dendam terhadap laki-laki di dalam peti mati itu?

Mereka bergerombol di segundukan tanah merah, di balik batang-batang kemboja, beberapa puluh meter dari peti mati. Mereka adalah orang-orang yang tempo hari dengan mudah dilumpuhkan oleh sepasukan besar aparat keamanan bersenjata, yang datang menerjang, menguasai tanah itu untuk memenuhi keinginan lelaki yang kini terkurung di dalam kotak sempit terbuat dari kayu, yang terbengkalai, tak punya siapa-siapa, kecuali istri, yang cuma bisa pasrah menghadapi sebuah dendam.

Lelaki di dalam keranda itulah yang membocorkan bahwa lahan yang jadi pekuburan sekarang ini, dulunya adalah milik sebuah komunitas agama yang dipatoki Barisan Tani Indonesia awal 1960-an, ketika gencar-gencarnya “aksi sefihak” yang dilancarkan oleh organisasi tani beraliran merah tersebut untuk melaksanakan landreform. Bahwa tanah siapa pun, yang lebih dari lima hektar, harus dibagikan kepada petani tak bertanah, sesuai fatwa undang-undang pokok agraria Republik.

Para penggali kubur yang tak kuasa menahan dendam, yang memandang peti mati dengan mata nanar dari gundukan tanah merah di balik pokok-pokok kemboja, adalah anak-anak dari petani tak bertanah, nan buta huruf, yang dengan sukacita menerima rezeki yang tak pernah mereka impikan. Tetapi, tanah itu jugalah yang membawa malapetaka menyusul pemusnahan “sampai ke akar-akarnya” terhadap mereka yang dituduh, tanpa bukti, membunuh para jenderal. Yang bernasib buruk dicampakkan ke dalam kuburan massal. Banyak yang darahnya memerahkan air sungai begitu kepala mereka yang terkulai, karena bacokan atau terjangan peluru, ditendang ke dalam air.

Tahun yang menakutkan itu telah membakar hati para penggali kubur yang membangkang dan tetap berdiam diri di gundukan tanah merah itu. Mereka tahu, lelaki di peti mati itu telah banyak memakan korban di kalangan teman-temannya sendiri. Dan, persekongkolannya dengan mereka yang bersenjata untuk merampas tanah, di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan, buat mereka hanya pantas untuk dilawan dengan sebuah pemogokan. Membiarkan jenazahnya tak diterima bumi. Yang telah merampas tanah, tak sepantasnya kembali ke tanah, itulah barangkali sumpah mereka.

Di gundukan tanah merah itu semua cuma duduk mencangkung. Mematikan rokok. Diam. Pikiran mereka melayang mengenang ayah mereka yang dipaksa naik ke atas truk di tengah malam, dilarikan entah ke mana. Disiksa untuk mengakui apa yang tak pernah mereka perbuat, atau pikirkan sekalipun. Dalam sebuah buku dilaporkan, karena militer kewalahan harus memberi makan pesakitan yang begitu banyak pada waktu itu, lantas dikeluarkan perintah berdarah dingin: “Kirimkan mereka ke sekolah, ke sukabumi… ya, bunuh mereka!”**)

Angin mengebutkan debu di pekuburan yang sepi di atas kota.

“Ba…,” lembut sang istri berkata di kepala peti mati suaminya. Sapaan itu cuma sampai di situ. Tak berlanjut. Tertahan. Terlalu banyak yang ingin ditumpahkan. Tapi, bibirnya terkunci. Hatinya berkecamuk, tercabik-cabik, manakala teringat pada tahun-tahun yang tak tertahankan, yang harus dia lalui, lantaran perbuatan lelaki yang kini terpaku di dalam peti mati di ujung kakinya.

Mula-mula tersebar kabar suaminya itu menjadi tukang tunjuk militer yang sedang mengejar orang-orang yang terpesona dengan lambang palu-arit, juga banteng ketaton, dan segala simbol yang melambangkan perlawanan terhadap penindasan orang- orang yang dihinakan. Tak pernah sebelumnya hatinya ciut seperti saat itu. Apa mau dikata…

Menyusul pula kabar bahwa “Ba” datang sendiri di tengah malam, mengacungkan pistol setelah mendobrak pintu rumah persembunyian teman-temannya di dekat pusat kota. Dua jeep penuh militer, yang mengenakan jaket sipil, menunggu di luar. Dari rumah itu diangkut enam temannya sendiri. Sesampai di markas militer, yang berubah menjadi kamp konsentrasi, dia pulalah yang menginterogasi teman-temannya itu, satu per satu. Tentu, dia mengenal mereka seperti mengenal jari-jarinya sendiri. Kalau ada yang menyembunyikan sesuatu, dia sendirilah yang mengeluarkan perangkat kejut listrik untuk memaksa pengakuan. Pentolan Komunis nomor dua waktu itu, hanya bisa tertangkap karena jasanya.

Ketika darah dan daging orang-orang, yang menurut kekuasaan yang sedang merangkak merebut kekuasaan, sudah ditekuk semua, “Ba” terbang ke Paris dan Amsterdam, tempat persembunyian mereka yang tak berani pulang ke negerinya sendiri, karena takut menghadapi kekejaman. Di Paris, dia memata-matai restoran yang diusahakan mereka yang terbuang, yang menyandang nama sebagai eksil. Kepada salah seorang di antara pelayan orang Indonesia di situ, dia memaksa untuk ikut dan menginap di rumahnya.

“Hambuslah kau dari depan mataku! Ini negeri bebas dan beradab, Tuan! Pulanglah kau manusia tak tahu diri…!” kata orang buangan itu dengan sengit. Dia ketemu batunya dan pulang menggigit jari. Tak ada yang bisa dilaporkan kepada atasannya untuk kredit yang lebih besar. Tetapi, ketika dia mendengar seorang putra Bali, sastrawan yang pernah bergabung dalam Lekra, berangkat ke Jerman untuk menemui bekas pacarnya di sana, terbukalah celah buatnya untuk menjilat ke atas. Anak Bali itu, yang pernah mendekam hampir sepuluh tahun dalam tahanan, dia interogasi. Dia dituduh membangun jaringan baru di Eropa. Putra dari Bali itu menampik tuduhan, dan memilih untuk membiarkan sekujur tubuhnya dibalut balur-balur darah jejak sabetan ekor pari kering.

Kabar tentang pendurhakaan itu datang tumpuk-menumpuk selama tiga puluh tahun lebih, membebani hati wanita yang sekarang berlutut di sisi peti mati suaminya. Dia hidup menyendiri, tersisih dari teman-temannya. Badannya kurus kering menanggung malu. Kering-kerontang cairan dalam tubuhnya tidak memungkinkan untuk mengharapkan datangnya seorang bayi. Karena itulah dia, dan suaminya, memungut anak.

Sekarang, dalam dukanya yang penghabisan di pemakaman yang ganjil itu, dia bisa menerima kalau teman-temannya tak mau datang melayat. Tetapi, sama sekali terasa seperti sembilu, manakala dia temukan bahwa setelah menunggu berjam-jam, namun sang anak yang bersekolah di Australia tidak juga tiba. Berkali-kali dia melemparkan pandang dan harap ke jalan masuk pemakaman, tapi gerbang itu cuma dilalui angin yang lembab. Membuat matanya tambah sembab. Dia menyandarkan kening di hulu keranda.

Tiba-tiba dia mendongakkan kepala. Ada kerisik langkah kaki di rumput kering. Samar, dilihatnya seorang penggali kubur mendekat.

“Kami tak sampai hati melihat Ibu menderita serupa ini. Ibu tak bersalah. Tapi, orang ini,” ujar penggali kubur itu seraya menunjuk-nunjuk peti mati, “bagaimanapun harus dihukum.” Orang itu berkata seperti mengeja kata-katanya. Dia meletakkan sebilah cangkul, beberapa langkah dari kaki wanita itu. “Gunakanlah…,” tukang gali itu membujuk.

“Aku tahu apa yang telah dia lakukan. Bisa kurasakan bagaimana penderitaan ayah dan keluarga kalian, dan juga ratusan orang lain. Tapi, dia suami yang tidak pernah berniat meninggalkan aku. Dia juga sering mentraktir makan sesama kawannya seniman. Tiap tujuh belas Agustus, tak pernah lupa dia membawakan tumpeng ke pusat kebudayaan. Akulah yang membuat tumpeng itu. Aku tahu kebaikannya itu tiada sebanding dengan pendurhakaan terhadap teman-temannya. Terhadap kalian. Tetapi…” Belum sempat dia menyempurnakan kalimat, penggali kubur itu menampik: “Kami tak punya pilihan.” Dan orang itu beringsut pergi.

Azan, yang tadinya terdengar bergulung-gulung dari kota di bawah, sudah lama lenyap. Tak ada suasana duka di pekuburan itu. Kecuali pada sebentuk hati seorang istri yang harus menggali sendiri liang lahat untuk jenazah suaminya. Bayangan panjang pohon kemboja menghampar sampai ke kota. Matahari, yang segera menyuruk ke ufuk, juga mengoleskan bayangan panjang dari sosok wanita yang sedang berduka itu. Di bumi yang dipijaknya, tampak siluet hitam dari tangannya yang menggenggam pacul dan menghantamkannya ke tanah, membuka secelah gua garba di situ untuk peti mati suaminya. Bayangan gelap tubuhnya, yang terantuk-antuk menguakkan tanah, jatuh membentang ke arah kota di bawah dan sesekali ditingkahi kilap mata pacul yang menyambar-nyambar. ***

*) Teks salah satu lukisan trilogi berburu celeng, Joko Pekik.
**) Hermawan Sulistyo, “Palu Arit Di Ladang Tebu”.
Dijumput dari: http://cerpenkompas.wordpress.com/2007/02/04/tanpa-pelayat-dan-mawar-duka/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae