Rabu, 28 Januari 2009

BELAJAR MENULIS DARI OKA RUSMINI*

Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/

Perempuan kasta Brahmana ini ikhlas melepaskan “kebrahmanaan” dengan menikah seorang lelaki bernama Arief B Prasetya, seorang sastrawan muda yang kokoh karena komunitas andal di Utan Kayu bersama Nirwan Dewanto, Ayu Utami, Sitok Srengenge, dan lain sebagainya. Karya-karya Oka lebih banyak berbicara masalah sosiologis adat Bali yang dikritisinya. Sebuah upaya protes untuk menyuarakan aspirasi perempuan dalam menggugat cultur dan adat masyarakat Bali dengan berbagai hal yang kurang menguntungkan wanita. Di Jurnal Perempuan, bahkan Oka Rumini pernah dikukuhkan sebagai sosok perempuan yang teguh dan (terus) melakukan perlawanan!

Apa yang dapat dipelajari dalam pengalaman sastrawan Ida Ayu Oka ini? Berikut merupakan refleksi menarik yang penting dipertimbangkan untuk mendiskusikan keberlasungan kepenulisan kita di masa depan: (a) realitas sosial (utamanya perempuan Bali) menggerakkan inspirasi para tokohnya, (b) pengalaman kewartawanan mendorong lahirnya ide itu karena bertemu dengan berbagai lapisan sosial, (c) pengalaman keperempuannya yang menjadi muara (penentu) karyanya, dan (d) tidak terikat pada penulis tertentu dalam berkarya.

Meskipun Oka membaca banyak karya sastrawan macam Nh. Dini, Leila S. Chudori, Umar Kayam, Ahmad Tohari, dan Budi Darma; misalnya, dia menemukan sisi rumpang yang tidak dieksplorasikan. Untuk inilah, hal ini barangkali yang dapat dikaitkan dengan penulis-penulis lainnya. Sebuah belajar melalui karya orang lain untuk menemukan “makna lain” sehingga inspiratif untuk penulisan berikutnya. Eksplorasi kerumpangan itu, dia mencontohkannya begini: Ketika membaca Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi, muncullah pertanyaan dasar yang menggerakkanya, “Apakah mungkin wanita Bali mengungkapkannya seperti Pariyem?”

Berangkat dari realitas (tema) keperempuannya, yang seksis misalnya, memang sangat diuntungkan oleh era industrialisasi yang praktis menggempur kemutakhiran yang didukung keberpihakan gender ini. Tidak heran, hal demikian menjadi inspirasi penting, karena bagaimana bagaimanapun wanita dalam sepuluh tahun terakhir telah menjadi isu sentral kehidupan mutakhir dengan berbagai sisiknya. Tidak mengherankan jika hal ini menggerakkan para penulis perempuan lain macam Nukila Amal, Dwi Lestari, Djanar Maesa Ayu, Oka Rusmini, dan lain sebagainya. Artinya, ketika hal ini (aspektualitas seks) menguat, maka konsep industrialiasinya tidak dapat terlepaskan.

Karya sastra memang sejatinya dapat menjadi cermin realitas sosial. Tak heran jika Oka Rusmini begitu getol mengungkapkan sisi sisip lain konteks sosial masyarakat dalam keragaman dimensinya. Sebuah upaya mengungkapkan kritik di satu sisi dan pada sisi lain upaya spiritual berbasis multikultural untuk alirkan nilai-nilai universal yang mestinya dijunjung. Di sinilah, maka pandangan sosiologi senantiasa mengritisi pada latar sosiologis pengarang sebagai alat bantu dalam menafsirkan aspek sosial kemasyarakatan dalam karya.

Hal kedua yang menarik, sebagaimana yang dialami oleh Ayu Utami, Seno Gumira Adji Darma, dan Taufik Ikram Jamil yang membantu suksesnya seorang dalam berkarya adalah pengalaman kewartawanannya sebelum menjadi sastrawan (pengarang). Tidak saja itu, tetapi juga pengalaman liputan lapangan memberikan inspirasi banyak sebagai seorang pengarang. Dengan begitu, bagaimanapun memang dalam berkarya pengalaman lapang seseorang akan mendorong eksplorasi dan intensifikasi penulisannya.

Kejurnalistikan memang banyak andil atas produktivitas dan kualitas seorang sastrawan. Dalam perjalanan sastra Indonesia kita kenal Mochtar Lubis sebagai jurnalis ulung sekaligus sastrawan agung. Latar kewartawanan ini mengingatkan akan pentingnya penelusuran informasi sebagai detail bahan di dalam pikiran. Apalagi, dalam rumus kejurnalistikan ada beberapa hal yang bersifat of the record. Di sinilah hal penting yang seringkali menggerakkan karena memang hal itu tidak mungkin diberitakan formal tetapi menjadi refleksi menarik dalam kekaryaan. Di samping memang kewartawanan memberikan pengalaman lintas batas, lintas sosial, lintas kultural, lintas etnis, dan lintas waktu. Sebuah kekayaan batin yang jika dieramkan akan menjadi investasi besar dalam dunia kepenulisan.

Ketiga, realita kewanitaannya menggerakkan kepenulisannya menyaran pada ralita sosial dan religius yang seringkali sangat patriarkhis. Subordinatif! Tidak jarang juga bahkan hegemoni. Lewat jendela karya dimungkinan impresi dan refleksi batin dapat diekspresikan secara estetis. Wilayah etik yang hegemonik menjadi sangkur perjuangan untuk melemparkan pesan terselubung. Ini merupakan keniscayaan karena teks sastra di satu sisi hakikatnya merupakan ekspresi batin sastawannya dan refleksi sosial pengarang pada sisi lainnya.

Terakhir, bagaimana pengalaman Oka Rusmini yang tidak mau terikat pada pengarang tertentu. Artinya, semuanya mungkin memberikan inspirasi dan memberikan ruang-ruang rumpang (lowong) yang tidak tergarap oleh pengarang lainnya. Dengan begitu, kemampuan analitis seorang Oka Rusmini sesungguhnya berperan penting. Menyeliai sesuatu yang rumpang, tentu dibutuhkan kemampuan analitis dan apresiasi yang tinggi pula.

Jika kita mau belajar menulis dari Oka Rusmini ini, maka keterikatan pada seseorang pengarang (epigon) tidaklah disarankan, sebaliknya seluas mungkin kita membaca karya orang lain untuk menemukan kerumpangan lahan garapan. Kedua, bagaimana aspektualitas budaya yang melekat pada kehidupan kita merupakan lahan subur kepengarangan. Dan selanjutnya, sisi peran dan siapa kita akan menentukan pandangan kita dalam menulis dan berkarya. Karena kita bukan wartawan, maka kita dapat meningkatkan pergulatan kebahasaan kita dan petualangan kita dengan berbagai hal yang bermakna. Mudah-mudahan kita dapat memetik makna dari pengalaman Oka Rusmini sebagai sang Ida Ayu yang terus menggugat ketidakadilan adat dan sosial masyarakat melalui berbagai karya dan tulisannya.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos.

Suap

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Seorang tamu datang ke rumah saya. Tanpa mengenalkan dirinya, dia menyatakan keinginannya untuk menyuap. Dia minta agar di dalam lomba lukis internasional, peserta yang mewakili daerahnya dimenangkan.

“Seniman yang mewakili kawasan kami itu sangat berbakat.”katanya memujikan, “keluarganya memang turun-temurun adalah pelukis kebangaan wilayah kami. Kakeknya dulu adalah pelukis kerajaan yang melukis semua anggota keluarga raja. Sekarang dia bekerja sebagai opas di kantor Gubernuran, tetapi pekerjaan utamanya adalah melukis. Kalau dia menang, seluruh dunia akan menolehkan matanya ke tempat kami yang sedang mengalami musibah kelaparan dan kemiskinan, karena pusat lebih sibuk mengurus soal-soal politik daripada soal-soal kesejahteraan. Dua juta orang yang terancam kebutaan, tbc, mati muda, akan terselamatkan. Saya harap Anda sebagai manusia yang masih memiliki rasa belas kasihan kepada sesama, memahami amanat ini. Ini adalah perjuangan hak azasi yang suci.”

Saya langsung pasang kuda-kuda.

“Maaf, tidak bisa. Tidak mungkin sama sekali. Juri tidak akan menjatuhkan pilihan berdasarkan kemanusiaan, tetapi berdasarkan apakah sebuah karya seni itu bagus atau tidak.”

“Tapi bukankah karya yang bagus itu adalah karya yang membela kemanusiaan dan bermanfaat bagi manusia?”

“Betul. Tapi meskipun membela kemanusiaan, tetapi kalau tidak dipersembahkan dengan bagus, atau ada yang lebih bagus, di dalam sebuah kompetisi yang adil, yang kurang bagus tetap tidak akan bisa menang.”

Orang yang mau menyuap itu tersenyum.

“Bapak mengatakan itu, sebab kami tidak menjanjikan apa-apa?”

“Sama sekali tidak!”

“Ya!”

Lalu dia mengulurkan sebuah cek kosong yang sudah ditanda-tangani. Saya langsung merasa tertantang dan terhina. Tetapi entah kenapa saya diam saja. Kilatan cek itu membuat darah saya beku.

“Kalau wakil kami menang, Bapak boleh menuliskan angka berapa pun di atas cek kontan ini dan langsung menguangkannya kapan saja di bank yang terpercaya ini.”

Saya bergetar. Itu sebuah tawaran yang membuat syok.

“Kalau ragu-ragu silakan menelpon ke bank bersangkutan, tanyakan apakah ada dana di belakang rekening ini, kalau Anda masih was-was. Kami mengerti kalau Anda tidak percaya kepada kami. Zaman sekarang memang banyak penipuan bank”

Saya memang tidak percaya. Tapi saya tidak ingin memperlihatkannya.

“Anda tidak percaya kepada kami?”

“Bukan begitu.”

“Jadi bagaimana? Apa Anda lebih suka kami datang dengan uang tunai? Boleh. Begitu? Berapa yang Anda mau?”

Saya tak menjawab.

“Satu milyar? Dua milyar? Lima milyar?”

Saya terkejut. Bangsat. Dia seperti sudah menebak pikiran saya.

“Kita transparan saja.”

Saya gelagapan. Apalagi kemudian dia mengeluarkan sebuah amplop. Nampak besar dan padat.

“Kami tidak siap dengan uang tunai sebanyak itu. Tapi kebetulan kami membawa sejumlah uang kecil yang akan kami pakai sebagai uang muka pembelian mobil. Silakan ambil ini sebagai tanda jadi, untuk menunjukkan bahwa kami serius memperjuangkan kemanusiaan.”

Dia mengulurkan uang itu. Kalau pada waktu itu ada wartawan yang menjepret, saya sudah pasti akan diseret oleh KPK, lalu diberi seragam koruptor. Saya tak berani bergerak, walau pun perasaan ingin tahu saya menggebu-gebu, berapa kira-kira uang di dalam amplop itu.

“Silakan.”

Tiba-tiba saya batuk. Itu reaksi yang paling gampang kalau sedang kebingungan. Tetapi batuk saya yang tak sengaja itu sudah berarti lain pada tamu itu. Dia merasa itu sebagai semacam penolakan. Dia merogoh lagi tasnya, lalu mengeluarkan sebuah amplop yang lain.

“Maaf, bukan saya tidak menghargai Anda, tapi kami memang tidak biasa membawa uang tunai. Kalau ini kurang, sore ini juga kami akan datang lagi. Asal saya mendapat satu tanda tangan saja sebagai bukti untuk saya laporkan. Atau Anda lebih suka menelpon, saya hubungkan sekarang.”

Cepat sekali dia mengeluarkan HP dan menekan nomor-nomor sebelum saya sempat mencegah.

“Hallo, hallo …… .”

Saya memberi isyarat untuk menolak. Tapi orang itu terlalu sibuk, mungkin sengaja tidak mau memberi saya kesempatan. Waktu itu anak saya yang baru berusia 4 tahun berlari dari dalam. Dia memeluk saya. Saya cepat menangkapnya. Tapi sebelum tertangkap, anak itu mengubah tujuannya. Dia mengelak dan kemudian mengambil kedua amplop yang menggeletak di atas meja.

“Ade, jangan!”

Tapi amplop itu sudah dilarikan keluar.

“Adeee jangan!”

Saya bangkit lalu mengejar anak saya yang ngibrit ke halaman membawa umpan sogokan itu.. Merasa dikejar anak saya berlari. menyelamatkan diri.

“Ade jangan!”

Anak saya terus kabur melewati rumah tetangga. Para tetangga ketawa melihat saya berkejar-kejaran dengan anak. Mereka mungkin menyangka itu permaianan biasa.

“Ade jangan itu punya Oom!”

Terlambat. Anak saya melemparkan kedua amplop itu ke dalam kolam. Kedua-duanya. Ketika saya tangkap, dia diam saja. Matanya melotot menentang mata saya. Seakan-akan dia marah, karena bapaknya sudah mengkhianati hati nurani. Padahal saya sama sekali tidak bermaksud menerima suapan itu. Saya hanya memerlukan waktu dalam menolak. Saya kan belum berpengalaman disuap. Apalagi menolak suap. Itu memerlukan keberanian mental. Baik menerima mau pun menolaknya.

Kedua amplop itu langsung tenggelam. Sudah jelas sekali bagaimana beratnya. Perasaan saya rontok. Dengan menghilangkan akal sehat saya lepaskan anak saya, lalu terjun ke kolam. Dengan kalap saya gapai-gapai. Tapi kedua amplop itu itu tak terjamah.

Pata tetangga muncul dan bertanya-tanya. Heran melihat saya yang biasa jijik pada kolam yang sering dipakai tempat buang hajat besar itu, sekarang justru menjadi tempat saya berenang. Bukan hanya berenang, saya juga menyelam untuk menggapai-gapai. Tidak peduli ada bangkai ayam dan kotoran manusia, mplop itu harus ditemukan.

Dengan berapi-api saya terus mencari. Kalau kedua amplop itu lenyap, berarti saya sudah makan suap. Hampir setengah jam saya menggapai-gapai menyelusuri setiap lekuk dasar kolam.Tak seorang pun yang menolong. Semua hanya memperhatikan kelakuan saya. Saya juga tidak bisa menjelaskan, bahaya. Hari gini, siapa yang tidak perlu uang?

Ketika istri saya muncul dan berteriak memanggil baru saya berhenti.

“Bang! Tamunya mau pulang!”

Cemas, gemas dan kecewa saya keluar dari kolam. Badan saya penuh lumpur. Di kepala saya ada tahi. Orang-orang melihat kepada saya dengan jiiiiiiiigik bercampur geli. Istri saya bengong. Tapi saya tidak peduli. Anak saya hanya ketawa melihat bapaknya begitu konyol.

“Eling Dik, eling,” kata seorang tetangga tua sebab menyangka saya kemasukan setan.

“Abang kenapa sih?” tanya istri saya galak dan penuh malu.

Saya tidak berani menjawab terus-terang. Kalau saya katakan anak saya melemparkan dua amplop uang, semuanya akan terjun seperti saya tadi untuk mencari. Ya kalau dikembalikan. Kalau tidak? Mereka yang akan kaya dan saya yang masuk penjara.

Untuk menghindarkan kemalangan yang lain, saya hanya menggeleng.

Diinjak pikiran kacau saya pulang. Tapi tamu itu sudah kabur. Tak ada bekasnya sama sekali. Seakan-akan ia memang tidak pernah datang. Sampai sekarang pun ia tidak pernah muncul lagi.

Saya termenung. Apa pun yang saya lakukan sekarang, saya sudah basah. Tak menolak dengan tegas, berarti saya sudah menerima. Ketidakmampuan saya untuk tidak segera menolak, karena kurang pengalaman, tak akan dipercaya. Siapa yang akan peduli. Masyarakat sedang senang-senangnya melihat pemakan suap digebuk. Kalau bisa mereka mau langsung ditembak mati tanpa diadili lagi.

Dan kenapa saya terlalu lama bego. Melongo adalah pertanda bahwa saya diam-diam punya keinginan menerima. Aduh malunya. Tapi coba, siapa yang tidak ingin ketimpa rezeki nomplok. Orang kecil memang selalu tidak beruntung. Sedekah ikhlas pun sering difitnah sebagai suap. Seakan-akan orang kecil memang paling tidak mampu melawan naswibnya. Sementara pada orang gedean sudah jelas sogokan masih diposisikan semacam tanda kasih.

“Sudah jangan kayak orang bego, cepetan madi dulu, bau!” bentak istri saya.

Saya terpaksa cepat-cepat masuk ke kamar mandi. Setelah telanjang dan mengguyur badan, baru saya sadari betapa kotor dan busuknya saya. Berkali-kali saya keramas dan membarut tubuh dengan sabun, tapi bau kotoran itu seperti sudah masuk ke dalam daging.

“Cepat mandinya, bungkusannya sudah ketemu!” teriak istri saya sambil menggendor pintu.

Darah saya tersirap. Hanya dengan menyelempangkan handuk menutupi aurat, saya keluar.

“Mana?”

Seorang anak tetangga, teman main anak saya mengacungkan kedua amplop itu. Badannya kuyup penuh kotoran. Rupanya dia nekat terjun meneruskan misi saya yang gagal karena dia tidak rela Ade saya strap.

“Terimakasih!” kata saya menyambut kedua amplop itu, sambil kemudian memberikan uang untuk persen.

“Limapuluh ribu?” teriak istri saya memprotes.

Lalu ia mengganti uang itu dan menggantikannya dengan tiga lembar uang ribuan.

“Masak ngasih anak limapuluh ribu, yang bener aja!”

“Tapi .. .”

“Ah sudah! Tidak mendidik!”

Saya tidak berdebat lagi, karena anak itu sudah cukup senang dengan tiga ribu. Lalu ia melonjak dan berlari keluar seperti kapal terbang, langsung ke warung. Pasti membeli makanan chiki-chiki sampah yang membuat usus bolong..

Kedua amplop uang itu saya bawa ke kamar mandi. Dengan hati-hati saya bersihkan tanah dan kotorannya. Untung amplopnya kuat terbuat dari semacam kertas plastik jadi tahan air. Uang tidak akan turun harganya hanya karena belepotan kotoran.

“Apa itu?” sodok istri saya ingin tahu.

Saya cepat-cepat menghindar sambil menyembunyikan amplop itu dalam handuk. Kalau dia tahu itu uang, ide-ide busuknya akan muncul. Kalau itu dibiarkan berkembang, akhirnya saya akan masuk penjara. Saya tidak percaya bahwa hanya wanita yang lemah pada uang. Laki-laki sama saja. Tetapi saya kenal betul dengan ibu si Ade. Dia sudah terlalu capek hidup dalam kampung kumuh. Sudah lama dia menginginkan masa depan yang lebih baik terutama setelah Ade lahir, yang belum mampu bahkan mungkin tak akan bisa saya berikan. Baginya pasti tidak ada masalah suaminya masuk penjara, asal masa depan anaknya cerah.

Saya naik ke atap rumah untuk menjemur amplop itu supaya benar-benar kering. Saya tunggu di sana dengan menahan panas matahari, takut kalau ada tangan jahil mengambilnya. Keputusan sudah diambil, saya tidak akan menerimanya. Saya akan mengembalikan, kalau orang itu datang lagi. Dia pasti sengaja pergi untuk menjebloskan saya terpaksa menerima. Tidak, saya tidak pernah mimpi akan menjadi pelaku suap.

Tapi sepuluh hari berlalu. Orang itu tidak muncul-muncul juga. Lomba pun memasuki saat penentuan. Melalui perdebatan yang sangat sengit, akhirnya dicapai kata sepakat. Dengan sangat mengejutkan pemenangnya adalah calon yang dimintakan dukungan oleh penyuap daerah itu.

Terus-terang saya termasuk yang ikut memberikan suara pada kemenangan tersebut. Bukan karena suap. Jagoan daerah itu memang berhak mendapatkannya. Bahkan juara kedua apalagi ketiga masih jauh di bawahnya. Kemenangan itu dinilai wajar oleh semua orang. Diterima baik oleh masyarakat. Sama sekali tidak ada suara-suara kontra.

Satu bulan berlalu. Lomba itu sudah menjadi lampau. Saya pun memperoleh jarak yang cukup untuk menyiapkan perasaan menghadapi kedua amplop itu. Meski sudah saya sembunyikan dengan begitu rapih, tapi kalau lagi sepi, kadang-kadang amplop itu saya bawa ke tempat sunyi di depan rumah dan timang-timang. Rasanya aneh, kunci untuk mengubah masa depan ada di tangan, tapi saya cukup hanya memandangi. Kemiskinan terasa tidak begitu menggasak lagi, didekat senjata yang bisa membalikkan semuanya setiap saat. Mau tak mau saya terpaksa mengakui, betapa dahsyatnya arti uang. Suka tidak suka ternyata harus diakui memang uang mampu menenteramkan. Namun saya sudah bersikap menolak.

Sayang sekali roda kehidupan yang membenam saya di bawah terus, akhirnya mulai menang. Memasuki bulan kedua, ketika pemilik amplop itu tidak muncul-muncul juga, pikiran saya bergeser. Suap adalah dorongan yang membuat kita terpaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani dan merugikan orang banyak. Saya tidak melakukan itu. Orang juga tidak memprotes keputusan yang diambil juri. Apa perlu saya cek, adakah semua juri juga sudah disodori amplop seperti saya? Saya kira itu berlebihan. Keputusan kami yang diterima baik, adalah bukti bahwa kemenangan itu tepat. Orang tidak berhak menuduh saya atau kami disuap hanya karena kebetulan kemenangannya sama dengan yang dikehendaki penyuap itu. Maksud saya orang yang mencoba menyuap itu.

Pada bulan ketiga, saya capek menunggu. Lelah juga dipermainkan oleh ketegangan. Kenapa saya mesti menolak nasib baik yang sudah di tangan. Istri saya sudah tidak mau lagi tidur dengan saya. Anak saya kontet karena gizinya kurang. Utang di warung sudah tak terbayar sehingga lewat saja sudah rasa dihimpit oleh hina dan malu.

Akhirnya setelah berdoa berkali-kali dan meminta ampun kepada Tuhan, saya memutuskan nekat. Apa boleh buat biarlah saya masuk penjara kalau saya memang terbukti nanti makan suap. Tapi sedikitnya saya sudah sudah bisa membahagiakan keluarga dengan memperbaiki rumah dan membeli motor seperti tetangga saya. Kenapa orang lain boleh bahagia dan saya hanya kelelap kemiskinan karena membela kesucian. Jauh lebih baik makan suap meskipun dihukum, daripada dihukum sebab kena suap tanpa sempat tanpa selembat pun menikmati manis suapnya.

“Baiklah, hari ini kita memasuki sesuatu yang baru.”kata saya pada anak-istri malam itu sambil menunjukkan kedua amplop uang itu, “aku sudah mengambil keputusan bahwa ini adalah hak kita, karena sudah 3 bulan 10 hari pemiliknya tidak kembali. Bukan salah kita. Masak hanya tetangga yang berhak betulin rumah dan beli motor, kita sendiri makan tahi sampai mati. Ini!”

Saya terimakan kedua amplop itu ke tangan istri saya. Istri saya diam saja. Anak saya nampak menahan diri. Dia tidak berani menyambar lagi seperti dulu.

“Ayo dibuka saja!”

Istri saya tiba-tiba menunduk dan menangis.

“Lho kok malah nangis.”

“Abang jangan salah sangka begitu.”

“Salah sangka bagaimana?”

“Jangan menyangka yang tidak-tidak.”

“Yang tidak-tidak apa?”

“Aku tidak capek karena kita miskin, tapi karena aku sakit. Aku juga sudah mulai tua sekarang, Bang. Aku diam karena tidak mau memberati perasaan Abang. Bukan apa-apa. Aku tidak mau Abang memaksa diri menerima suap hanya untuk menyenangkan hatiku. Jangan. Aku masih kuat menderita kok. Masih banyak orang lain yang lebih jelek nasibnya dari kita.”

Dia berdiri dan meletakkan kedua amplop itu di depan saya.

“Jangan memaksakan sesuatu yang tidak baik, nanti tidak akan pernah baik.”

Dia menggayut tangan Ade, lalu membawanya ke dapur. Anak saya menurut tapi dia melirik kepada saya lalu menatap ke kedua amplop itu. Kemudian diam-diam menunjuk dengan telunjuknya.

Saya menghela nafas dalam. Disikapi oleh istri seperti itu, kenekatan saya justru bertambah. Memang anak dan istri saya tidak usah ikut bertanggungjawab. Biar saya sendiri nanti yang masuk neraka, asal mereka tidak. Dari jendela saya lihat perbaikan rumah tetangga menjadi dua lantai sudah hampir rampung. Suara motornya kedengaran yang nyaring melengking menusuk malam, membuat saya panas.

Tiba-tiba terpikir sesuatu. Kenapa anak saya tadi menunjuk ke amplop. Apa maksudnya? Apa itu sebuah peringatan? Saya menatap amplop yang menjadi bersih karena sering saya belai itu. Tiba-tiba saya terperanjat. Di satu sisinya ternyata ada belahan. Dari situ nampak terbayang isinya.

Tangan saya gemetar. Saya sambar amplop itu dan intip isinya. Kemudian dengan bernafsu, barang yang sempay saya berhalakan itu saya kupas. Darah saya seperti muncrat keluar semua ketika menemukan di dalamnya bukan uang tetapi hanya tumpukan kertas-kertas putih.

Dengan kalap saya terkam bungkusan kedua dan preteli. Sama saja. Isinya juga hanya kertas. Di situ mata saya mulai gelap. Ini pasti perbuatan tetangga jahanam itu. Dia temukan amplop itu, lalu gantikan isinya, baru dia suruh anaknya supaya menyerahkan kepada saya. Bangsat. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia bisa meningkatduakan rumahnya dan membeli motor? Saya S2 dia SMP saja tidak tamat.

Dengan gelap jelalatan karena geram saya keluar rumah. Jelas sekali sekarang. Mungkin ketika anak saya lari-lari berkejar-kejatan dengan Ade, kedua amplop itu sudah direbut oleh tetangga. Setelah tahu isinya, mereka langsung ganti. Dan ketika saya mencebur ke dalam kolam mereka punya kesempatan untuk memeriksa isinya dan mengganti. Itu kejahatan. Manusia sekarang sudah rusak moralnya karena uang. Tidak ada lagi perasaan persaudaraan, menjarah, merampok uang orang lain sudah jadi semacam kiat dan keberanian.

Dengan kalap saya sambar batu-batu. Tak peduli apa kata orang, lalu saya lempari rumah tetangga bajingan itu. Kaca-kaca pintu yang baru dipasang saya hancutkan. Motornya juga saya hajar.

“Bangsat! Aku yang disuap! Aku yang dijebloskan ke bui dan neraka, kamu yang enak-enak menikmati! Bajingan!”

Hampir saja rumah barunya saya bakar, kalau saja para tetangga tidak keburu menyerbu dan kemudian menghajar saya habis. Mata saya bengkak, tak mampu melihat apa-apa. Hanya telinga saya masih bisa menangkap isak tangis istri dan jerit histeris anak saya.

H a n t u

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

KETIKA aku datang kali pertama di dusun itu, rumahnya bobrok ditumbuhi kebun nanas yang sulit dijangkau manusia. Rimbun pohon bambu dengan ujung-ujungnya yang menyentuh tanah menggelikan aku. Bahwa ini bukan tempat yang cocok buatku. Bila malam hari lampu teplok berbinar melawan bintang atau bulan yang terhalang.

Dua puluh lima tahun lalu aku pendatang dan merasa diriku di tempat baru bukan sebagai saudara, kerabat atau orang baru. Ya, aku lebih pas berada di kampung itu sebagai hantu. Atau lebih tepatnya aku benar-benar tidak mengenali siapa sesungguhnya diriku. Apalagi bila harus menjawab pertanyaan, angan-angan bila kelak dewasa bagaimana nasibku, hendak jadi apa aku, pergi ke mana saja aku, lalu akankah juga dikuburkan jasadku di belakang kebun nanas itu?

Membayangkan diri menjadi hantu lebih gampang ketimbang merasa diri jadi manusia, meski hantu itu sendiri tak lain adalah kata-kata buatan manusia akibat kebuntuan mencari jawab suatu pertanyaan. Jadi ia adalah ciptaan manusia juga. Barangkali cuma hasil otak-atik dari kata Tuhan. Dua hal yang entah bagaimana mulanya begitu menakutkan sampai di telingaku.

Seperti juga Tuhan, Hantu itu tiba-tiba hadir di benakku seperti bayang-bayang hitam yang membesar. Ya, meski tak pernah berkata-kata, dongeng juga cerita dari mulut ke mulut lebih cepat menyebar dan hadir menyeramkan. Jadi sesungguhnya takut benar-benar menjadi manusia itulah yang menyebabkan diriku memilih bersahabat dengan hantu. Ketidaktahuan nasib sebagai manusia jadi penyebab diriku seperti itu.

Dan ternyata menjadi hantu itu cukup enak. Setidaknya sedikit mengurangi rasa takut sebagai manusia meski tentu saja terpikir olehku ada juga hantu yang kurangajar, suka menggoda. Ini sisa rasa takut itu yang berbenih. Tapi bersaing dengan Tuhan mulai terpikir sejak itu. Tidak ada beban, tak ada kewajiban karena keberadaannya juga diragukan tentu saja oleh manusia. Tetapi terhadap sesama kaum punya persoalan tersendiri. Pendek kata antara ada dan tiada.

Selama berpuluh-puluh tahun aku hidup seperti itu, aman dan tanpa ada yang mengusik. Bila ada yang mengusik bisa dipastikan itu akibat ulah manusia juga yang usil mencoba menempatkan dirinya separuh manusia dan separuh lagi bukan. Barangkali semacam dukun yang mencoba mempengaruhi makhluk halus yang jahat untuk menjahati diriku. Dan biasanya, uanglah pemicu paling dahsyat dalam hal begitu kacau-mengkacau.

Berikutnya, pendidikan, pekerjaan, menjadi kehidupan yang di kampung itu lebih ruwet. Jumlah orang yang separuh dirinya manusia dan separuh lagi bukan, menjadi bertambah dan berlipat. Segelintir saja yang bersitahan menjadi hantu saja atau manusia saja. Salah satunya, diriku. Sekolah agama, sekolah teknik, sekolah ekonomi, ah kenapa tidak tersedia pilihan sekolah penerbang yang menempatkan guru besarnya seekor elang, sehingga aku bisa jadi penerbang seperti burung lain lalu bebas menghilang kemana aku suka.

Di depan rumah bobrok yang kuhuni itu, ada surau kecil. Bila sore hari ramai sekali anak-anak mengaji di bawah asuhan ustadz Harjito dan guru ngaji Rokemah dan Rofiah, gadis kampung yang paling cantik selain rupawan juga lantaran ramah dan murah hati. Semuanya itu sudah terbukti. Termasuk karena itu santri-santrinya dari hari ke hari bertambah banyak. Tapi mulai tumbuh keanehan bagiku, karena sekalipun aku tak pernah masuk di surau itu. Alasannya, tentu sudah bisa diketahui: takut. Apalagi lantai yang hitam dingin tersebar hingga di depan pintu. Terlebih gelap yang mengurung melebihi bayang-bayang sendiri. Aku tahu tak ada hantu di situ, tapi takut itu tak pernah sudi beranjak.

Inilah keanehan yang kurasakan mulai menjangkiti tubuhku, perasaanku dan jiwaku—menjadi makhluk setengah manusia dan sisanya tidak jelas. Apalagi bila hanya seekor hantu. Bila menjelang bulan puasa, pemilik surau Haji Sinto mengajak ustadz, para santri Mendengarkan pengajian-pengajian di pesantren. Rokemah dan Rofiah hadir pula. Dibaan dan Yasinan tak pernah sepi. Aku sendiri hanya sebagai saksi dan tak pernah hadir di tengah-tengah itu semua. Bagiku menjadi pendatang dari tempat yang telah kulupa telah jadi siksaan. Akan tetapi hidup yang tak bisa menentukan diriku sendiri di tempat ini telah terasa menyiksa lagi.

Lalu siapa yang salah, tentu sebagai anak bau kencur, aku tidak tahu. Salah besar itu padaku bila aku tak melakukan apa-apa. Kenyataannya aku beberapa waktu lamanya mencoba nyantrik, mondok pada Haji Sinto, pemilik surau. Dari situ aku mulai bisa mengintip santri-santri yang mengaji atau menyalakan lampu teplok untuk anak angkatnya, Lukman bila sedang menyalin huruf-huruf Al-Quran mengerjakan tugasnya. Dia sekolah di pesantren dan seminggu sekali pulang. Tapi sebagian besar kesehariannya kuhabiskan bergumul dengan tahu ayam karena harus mengurus ayam-ayam peliharaan Haji Sinto yang jumlahnya ratusan itu. Aku harus mengeruk kotorannya dan membuangnya di ladang-ladang pisang atau kebun lombok miliknya. Lalu aku harus mencuci pakaian yang menggunung di sumur. Satu-satunya kenangan yang tak terhapus dalam hidupku adalah saat ustadz Harjito membelikanku sebuah pensil, kertas dan penghapus, dan ia tak berkata sepatah kata pun untuk itu.

Semenjak saat itu mulai tumbuh dalam diriku suatu pengetahuan bahwa aku bukan siapa-siapa. Aku lebih gampang mengerti bahwa diriku serupa dengan tahi ayam yang dikumpulkan untuk makan gedebok pisang atau vitamin tanaman lombok. Sebab itu semenjak itu pula aku tak punya keberanian untuk membentak sang majikan, dalam hal ini ayam. Aku selalu menyimpan seluruh rahasianya baik-baik. Karena itu di luar dugaan bila kelak di kemudian hari bagiku kehidupan seekor ayam tak kurang pentingnya dengan kehidupan seorang manusia. Biarpun manusia sempurna sepanjang zaman. Setidaknya seekor ayam adalah leluhurku atau ibu kandungku yang melahirkan aku. Meski ia melahirkan untuk kemudian membiarkan aku tumbuh berkembang sendiri secara liar. Sebelum akhirnya berujung di bawah pohon pisang.

Berbekal filosofi seekor ayam, sayap, cakar, tahi, aku meninggalkan kampung basah gelap oleh rerimbunan pohon bambu itu. Aku pergi mencangklong ransel mengembara tanpa tujuan—sesuatu yang telah diajarkan leluhurku. Persinggahan tak boleh terlampau jenak sebab hal itu justru akan membunuhku, apalagi bila sampai mengambil tempat untuk menetap. “Kau tak boleh membangun rumah lagi,” demikian tutur leluhurku itu. “Tapi peliharalah sungguh rumahmu sendiri, meski kamu memilih jadi pengembara.” Ya, sebuah pesan yang tak gampang dicerna karena bisa jadi memang tak kumengerti.

Rumah? Ah, rumahku yang sekarang adalah ransel dan sepotong ijazah lusuh di dalamnya agar aku bisa mendapatkan kerja. Bukan maksudku meremehkan nilai, bahan ajar, dan paraf atau cap jempol pada kantor keluaran Dinas Pendidikan negeri ini. Sebaliknya, justru dari situ kusimpan sejumlah gedung, bangunan, sekolah, kantor, pasar, pabrik, pemerintah, swasta, bahkan kebun dan hutan, laut dan pantai bisa tersimpan dalam ijazah itu. Lalu kupendam dalam ranselku.

Begitulah sebagai pengembara, berkat selembar kertas itu aku begitu gampang mencari kerja, gaji lumayan, meski makin susah mencari kawan. Aku keluar masuk kantor dengan leluasa. Aku bisa lakukan hal terburuk atau terbaik dari setiap perusahaan yang mempekerjakan aku. Semua tersedia dengan gratis. Itu tentu saja bila aku mau. Tapi apa boleh dikata bila itu semua pada akhirnya satu pun tak ada yang pernah kulakukan baik yang terburuk maupun terbaik bagi perusahaan. Jadi apa yang saya kerjakan hanyalah hal yang biasa-biasa saja—hal yang sama sekali tak ada dalam pesan leluhurku dan menjadi bagian hidupku. Apalagi, perihal kehidupan yang penuh dengan dunia basa-basi dan kompromi tak bisa kujalani. Jadi apa yang sebetulnya kucari tidak pernah berhasil kutemui dan tak pernah ada. Aku betul-betul merasa sendiri. Aku sungguh-sungguh jadi orang asing, lengkap dengan segala penderitaan sebagai makhluk hidup. Anehnya, itu bisa terjadi padaku selama bertahun-tahun.
Lalu apa yang kau cari, hei bung?

Di balik itu sebuah keajaiban diam-diam muncul pada diriku: aku kembali merasa sebagai manusia di atas banyak sekali timbunan kertas. Ya, meski seringkali aku merasa terjepit diantara kertas-kertas itu. Betapa tidak, dunia ini tiba-tiba dalam pandanganku bagitu banyak disesaki kertas-kertas—ijazah, sertifikat, surat keputusan, lamaran, koran, brosur, surat pajak, uang kertas, akta kelahiran, surat nikah, sim, ktp, rekening listrik. Ah, bahkan dunia ini bisa terlihat lantaran tersusun dari kertas koran. Hebatnya lagi, seperti dalam puisi Subagio Sastrowardoyo, Tuhan pun terselip di balik surat pajak.

Begitulah, untuk pertama kalinya aku kembali menjadi manusia dan sendiri. Aku cemas bukan karena mencemaskan diriku. Melainkan mencemaskan dunia yang kelihatannya cepat berputar makin cepat tapi sebetulnya sia-sia. Ya, kesia-siaan disana-sini banyak terjadi dan kekalahan seringkali terjadi pada diri manusia. Sudah menjadi rahasia umum dunia ini antara ada dan tiada, meski disana-sini juga kian dahsyat maknanya dikorup. Buktinya, antara ada dan tiada sering nongol di layar kaca dan bintang utamanya justru bukan manusia tapi hantu.

Lalu manusia sendiri malah terus berpacu mengeruk rezeki dari hantu-hantu bikinan stasiun televisi. Apalagi untuk meresapi kata-kata ‘sebagai makhluk yang serba merugi kecuali bagi yang tahu diri.’ Tidak.
***

KINI setelah puluhan tahun bersusah payah mengembara dan sia-sia, aku pulang ke kampung halaman. Aku tak membawa buah tangan yang menempel di badan kecuali sepotong sajak penyair Hamzah Fansuri . Di Barus ke Qudus terlalu payah. Akhirnya ditemukan di dalam rumah. Di kampung halaman surau yang dulu kotor dan beratap genteng yang bocor bila musim hujan, telah berganti bangunan yang kokoh dan megah, cantik dan menarik. Gentong-gentong tempat wudlu yang dulu kini telah diganti dinding berlapis porselin indah dengan kran-kran air berwarna keemasan. Juga lantai telah berwarna-warni lebih terang dan dingin.

Tapi mengapa surau itu kini telah berubah sepi, tiada lagi anak-anak yang rajin mengaji. Loudspeaker terlihat berdebu dan tak tersentuh tangan. Sesekali saja berkumandang bila adzan magrib.

“Begitulah, Nak. Zaman sudah berganti,” ungkap Haji Sinto. “Semenjak ustadz Harjito, Rokemah dan Rofiah pergi, tak ada lagi yang mengurus surau. Tak ada lagi yang mau jadi guru ngaji. Semula saya sendiri yang menggantikan, tapi lama-kelamaan anak-anak yang nyantrik telah habis dengan sendirinya. Barangkali karena saya sudah terlampau tua untuk mereka. Jadi tidak menarik lagi. Saya sendiri juga pilih mengurus sawah sampai petang hari. Maklum, tidak ada orang lagi. Lukman memilih hidup di kota. Jangankan untuk anak-anak mengaji, bila adzan magrib berkumandang, surau ini tetap sepi dari jamaah.”

“Terus, Rokemah dan Rofiah kemana lagi, Pak Haji?”
“Oh, dia jadi orang besar sekarang. Dia pilih bekerja di Hongkong dan Malaysia. Rumahnya bagus dan dua tahun sekali pulang bisa beli tanah. Orangtuanya dihormati orang. Apa yang mereka cari lagi di dunia ini kecuali itu? Ya, kampung ini sepi sekarang, Nak. Mereka banyak yang ke luar negeri jadi TKI dan TKW ke Hongkong, Malaysia, Arab, Korea, Kuwait. Mereka kaya dan rumahnya kau lihat sendiri, megah-megah tapi kosong ditinggal penghuninya,” ujar Haji Sinto.

“Lalu siapa yang menempati, Pak Haji?”
“Ya, yang punya orangtua dia yang mengurus. Tapi yang sudah nggak punya, siapa yang menghuni? Nggak tahu saya.” Seperti biasa Haji Sinto Sinis dengan giginya yang gemeretak karena gemetar. “Syukurlah kamu pulang. Kamu bisa Bantu saya mengurus surau.”

“Ah, Pak Haji. Saya belum cukup untuk tahu diri seperti Pak Haji,” takut mengecewakandia.

“Setidaknya, aku tahu kamu telah pulang. Itu artinya kamu tak membiarkan rumahmu itu kosong. Biarpun rumah itu tua dan terlihat tak terurus yang penting ada penghuninya. Seperti juga surau ini apa gunanya dibangun megah bila tak ada santrinya.”

Kata ‘kosong’ Pak Haji mengganggu pikiranku. Sebagai orang yang tahu agama tentu yang ia maksud bukan cuma kosong tanpa penghuni, melainkan jiwa yang kosong. Barangkali rumah-rumah megah itu juga dihuni banyak orang, tapi mereka tidak benar-benar ada. Di rumah itu malam-malam bagi mereka hanya untuk tempat tidur. Ketenangan, kenyamanan dan hidup serba cukup mengakhiri problem mereka sebagai manusia. Tidak ada lagi yang dipersoalkan, diperbincangkan. Ada atau tidak ada bagi mereka adalah sama saja. Jadi sebetulnya mereka ini tidak sedang benar-benar ada. Dunia pun berjalan seperti biasa, tapi sesungguhnya tidak ada sesuatu yang bergerak. Mereka makan juga dalam keadaan diam. Bekerja pun tak ada yang peduli. Manusia ataukah binatang ternak juga tak ada yang cukup punya keberanian untuk Menyimpulkan.

“Ceritakanlah padaku mengapa kamu pulang, Nak?”
“Saya tidak yakin benar, apakah saya sesungguhnya telah pulang Pak Haji. Karena saya tak punya rumah lagi di sini. Rumah itu bukan hak saya dan telah jadi milik saudara-saudara saya,” kataku.

“Baiklah, mengapa engkau kembali?” desak Haji Sinto.
“Karena ternyata yang saya cari tidak jauh dari tempat saya berdiri sekarang, Pak Haji.”
“Kamu belum jawab pertanyaanku, tentang kembali Nak.”

“Oh, soal itu. Saya sendiri tidak yakin apakah di sini adalah tempatku yang terakhir. Kapan saja, saya bisa tiba-tiba pergi kemana saja, Pak Haji.”

“Baiklah. Sekarang apa yang kamu cari ditempat ini. Setidaknya untuk hari ini?”
“Seperti juga apa yang Pak Haji cari selama bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun di tempat ini dengan mendirikan surau ini,” jawabku.

“Jadi sekarang kamu menyesal dengan kau tunjukkan kepulanganmu ini, Nak?”
“Tidak Pak Haji. Sama sekali tidak. Apalagi seperti yang saya katakan tadi, saya tidak yakin diri saya telah pulang.”

“Lalu apa artinya ini semua?”
“Selama mengembara saya telah banyak singgah di pelbagai kota, bangunan dan rumah, mencari kawan, sahabat atau saudara. Tapi semakin jauh pengembaraan saya, semakin aneh lantaran tak seorangpun saya temukan itu yang saya cari. Saya justru mengundang banyak lawan dan musuh. Saya seperti hidup sendiri di dunia ini. Saya seperti batu yang berguling-guling di dasar kali tapi tak mengenal dan tak dikenal satu sama lain di planet ini. Pekerjaan saya sehari-hari hanyalah membersihkan diri dari perbuatan dosa yang jumlahnya ternyata berlipat ganda. Baru kemudian saya menyadari dalam pengembaraan saya, bahwa persinggahan yang sesungguhnya, di tempat yang bersih tanpa noda, terang dengan cahaya dan sejuk serta nyaman untuk istirah justru ada dalam diri saya sendiri. Tak seorang pun yang boleh berlama-lama singgah di tempat saya ini yang jauh dari hiruk pikuk kemabukan zaman. Kecuali bagi yang sangat kucintai dan kukasihi. Karena itulah, jujur saja saya akui Pak Haji. Saya sendiri tak tahu mengapa pada akhirnya pengembaraanku sampai di tempat ini dan kembali bertemu Pak Haji,” kataku.

“Kalau boleh kutahu, apa rencanamu sekarang, Nak?”
“Saya tidak tahu Pak Haji. Tepatnya saya tidak punya keberanian untuk membuat

Rencana-rencana, karena sesungguhnya dalam diriku telah ada kekuatan yang menggerakkan tubuh dan jiwaku dengan sendirinya. Aku sangat takut kepadanya dan aku takut mengecewakannya.”

“Katakan saja, aku yakin kamu tak akan mengecewakannya.”
“Betulkah? Maukah Pak Haji menjadi jaminanku untuknya?”
Haji Sinto mengangguk.

“Saya ingin membeli beberapa ekor kambing dan jadi penggembala untuknya.”
“Oh, semoga aku tak salah dengar. Itu keinginanku yang berpuluh-puluh tahun tak pernah terwujud, Nak.”[]

Onto Suwigno

A Rodhi Murtadho
http://rodhi-murtadho.blogspot.com/

Onto Suwigno. Seorang guru SMP yang cukup populer namanya di kalangan masyarakat desa Madulegi. Keramahan dan kesantunannya kepada siapa saja menumbuhkan rasa simpati tersendiri. Tak diragukan lagi, kepiawaiannya dalam mengajar membuat berjuta-juta manusia sukses. Ada yang sukses menjadi pengemis, pemulung, petani, pedagang, pejabat kota, menteri, jendral, presiden, bahkan ada yang sukses korupsi tanpa ketahuan.

Sudah lama Onto Suwigno mengajar di SMP itu. Dua puluh lima tahun. Tentu saja ia sering mengalami pergantian kurikulum pembelajaran. Dari kurikulum A ke kurikulum B ke kurikulum C kembali ke kurikulum A kemudian ke kurikulum D dan begitu seterusnya. Kali ini ia harus beralih dan menggunakan kurikulum K. Kurikulum baru. Kurikulum yang bisa membuat siswa banyak bertanya. Banyak pertanyaan dari siswa yang belum ia bisa jawab sebenarnya. Namun dengan memaksa, memelintir otak, dan mengeluarkan segala pengalaman serta kepiawaian mengajar, ia bisa menjawab pada akhirnya.

"Pak, apa sih pendidikan seks itu?" tanya Jurano, salah seorang muridnya yang terkenal pandai dan piawai dalam bertanya.

Sempat Onto Suwigno merasa kebingungan memikirkan pertanyaan itu. Memang ia jarang sekali nonton TV apalagi baca koran. Waktu di luar mengajar ia gunakan untuk mengojek di pangkalan ojek Telon. Hal itu harus dilakukan karena ia harus menghidupi dua orang istri dan ketujuh anaknya.

Semakin tercenung ia memikirkan pertanyaan itu. Ia ingat Sumini, istri keduanya. Malam yang bergairah. Senyum Sumini di sela-sela giginya yang putih. Uraian rambut ikal di antara parfum dan bedak. Membuat malam semakin berbinar. Apalagi bentuk tubuh Sumini yang tak banyak berubah meski sudah beranak tiga. Di samping desahan nafas yang tak heran lagi membuat Onto Suwigno semakin kewalahan membendung hasrat. Sangat enggan ia melewatkan malam seperti itu bersama Sumini.

"Pak! Pak Onto, kok gak dijawab?" protes Rozak di sela-sela lamunan Onto Suwigno yang kontan membuatnya kaget.

"Saya melakukannya semalam," jawab Onto Suwigno spontan terkaget.

"Apanya pak?" tanya Dini yang makin penasaran.

"Kapan-kapan kita bisa praktik bersama. Sesuai dengan tuntutan kurikulum, jadi harus ada praktik agar kalian tahu dengan jelas."

"Tapi kapan pak?" tanya Nuni mengejar.

Pertanyaan yang lagi-lagi membuat Onto Suwigno terpojok. Ia kembali berpikir, kapan praktek itu bisa dilaksanakan. Sementara ia ingat istri pertamanya. Jannah. Seorang wanita berperawakan besar. Onto Suwigno mengingat-ingat kembali saat ia pengantin baru sampai ia mempunyai empat orang anak. Belum pernah ia melakukan praktik itu di siang hari.

"Bagaimana kalau malam hari!" jawab Pak Guru Onto.

"Kami kan harus belajar yang lain juga dan harus istirahat, Pak. Belum lagi izin yang belum tentu diberikan ayah dan ibu kami. Siang saja ya, Pak?" timpal Jurano.

Kembali Onto Suwigno memikirkan masalah yang sebenarnya ia tak mengerti. Namun pikirnya, ia melakukan praktik itu dengan Jannah ketika waktu senggang. Saat ia tidak sedang mengajar atau tidak sedang mengojek.

"Baiklah! Tetapi, waktu istirahat saja. Besok bisa kita praktikkan," Onto Suwigno memberi kepastian kepada murid-muridnya.

Bel pulang telah dibunyikan. Membuat siswa-siswa cepat-cepat mengemasi buku dan segenap alat tulis. Mereka pun siap untuk meluncur pulang. Tas ransel yang tadi pagi mereka bawa terasa berat, sekarang menjadi ringan ketika mereka sudah memakan bontotan yang disiapkan ibu mereka.

Siswa-siswa berbondong-bondong pulang. Begitu juga dengan para guru termasuk Onto Suwigno. Onto Suwigno langsung berganti seragam. Ia memakai seragam ojek dan langsung menuju pangkalan ojek Telon. Dalam perjalanan, ia memikirkan hal yang tak ia mengerti yang ditanyakan muridnya. Pendidikan seks. Bagaimana besok ia akan menjelaskan. Apalagi ia akan menjadikan itu sebuah praktik. Bagaimana ia akan melakukan? Dengan siapa? Semakin banyak pertanyaan yang muncul dan menghantui Onto Suwigno. Ia terdiam dalam lamunan panjang.

"Pak Onto, bagaimana kalau kita praktik ketika istirahat pertama?" tanya Jurano.

"Baik. Ide yang cukup bagus. Kamu dan teman-temanmu yang berpraktik, ya. Tentu saja atas bimbingan saya," jawab Onto Suwigno yang sedikit tersenyum tapi kebingungan.

"Baik pak."

Kembali Onto berpikir. Benar yang ia lakukan ini? Sementara ia mengukur dirinya sendiri. Ketika ia berumur 18 tahun, setahun sebelum ia menikah dengan Jannah, baru ia megetahuinya. Mereka baru berumur 12 tahunan. Apakah sudah layak mengetahuinya? Kembali kebimbangan membuatnya bingung untuk melakukan praktik itu.

“Kalau saja saya membaca koran atau nonton TV tentu saja saya bisa menjawab pertanyaan itu dan mengakali jawabannya,” kata Onto Suwigno dalam hati, “tapi, gaji yang saya dapat tidak cukup untuk semua keluarga. Untuk makan satu istri dan dua orang anak saja tidak cukup apalagi harus menghidupi dua orang istri dan tujuh orang anak. Kalau pembesar kota mengatakan bahwa gaji itu tidak habis saya makan satu hari itu memang benar. Tapi gaji itu habis saya makan sepuluh hari. Terus yang dua puluh hari makan apa? Terus anak istri ikut makan siapa?”

"Pak, direkam ya, Pak, pakai kamera?" tanya Siwi, anak pejabat kaya.

"Boleh."

Pengalaman terus saja membuat Onto Suwigno meraba-raba. Tak sempat ia tercenung. Hanya memikirkan anak didik. Bagaimana murid harus diakali tanpa menjerumuskan mereka pada hal yang asusila. Namun ini pengetahuan, kalau tidak dijawab, mereka akan terus bertanya. Ia khawatir kalau murid-muridnya mencari jawaban dengan jalan yang salah. Kembali ia menebarkan mata di sela-sela teriknya mentari siang itu.

"Baiklah anak-anak, semuanya ikut saya!" ajak Pak Onto.

"Kemana Pak?" timpal murid-murid.

"Pokoknya ikut saja."

Onto Suwigno membawa murid-murid ke padang rumput sebelah sekolah.. Layaknya bebek yang digiring pemiliknya. Murid-murid pun nampak tercenung dan belum mengerti apa yang akan dilakukan Pak Onto.

"Kalian boleh merekam sekarang," kata Pak Onto.

"Apanya yang direkam, Pak?"

"Kalian lihat kambing di belakang kalian itu. Di situ ada banyak kambing. Beberapa kambing jantan dan juga beberapa kambing betina. Silahkan kalian amati itu dengan seksama. Sementara saya akan meminta gembalanya untuk mendekatkan kambing-kambing itu kepada kalian."

Adegan yang sebenarnya lekat dengan keseharian murid-murid. Tak sedikit dari mereka juga gembala. Namun ketika tontonan itu dilihat bersama, menjadi suatu keasyikan tersendiri bagi mereka. Canda, tawa, dan saling gelitik tak terelakkan lagi. Nampak Onto Suwigno merasa lega paling tidak. Dia sudah menunjukkan kalau dia sudah bisa menjawab pertanyaan murid-murid. Apalagi mampu membuat mereka senang dengan cara dia menjawab. Onto Suwigno nampak bertambah lega dan sunggingan senyum lega sudah terukir di bibirnya.

"Pak, kok kambing, terus pendidikan seksnya mana?" tanya Jurano penuh penasaran dan merasa dibohongi.

Layaknya mencari barang hilang. Onto Suwigno semakin bingung dengan contoh kambing yang ia tunjukkan kepada murid-murid.

"Mas, kambing ini usianya berapa?" tanya Pak Onto kepada gembala kambing.

"Wah, saya lupa Pak Guru, cuma yang betina ini sebenarnya adalah induk dari yang jantan," jawab si gembala.

"Jadi yang betina itu ibu dari kambing laki-laki!" timpal Rozak ingin menegaskan.

"Benar, Dik…" si penggembala menganggukkan kepala.

"Begini anak-anak, seks semacam ini biasa dalam binatang tapi tidak boleh dilakukan manusia. Semuanya sudah diatur dalam hukum agama. Kalian mengerti?" terang Pak Onto.

"Oh, jadi ini pendidikan seksnya, Pak. Jadi tidak boleh melakukan dengan keluarga, ayah, atau Ibu, atau saudara. Kalau melakukannya bisa dikatakan sebagai binatang. Kambing," tanggap Dini melanjutkan perkataan Onto Suwigno.

"Tepat sekali," lanjut Pak Onto.

Onto Suwigno kembali berpikir, bukan melamun. Pikirannya ingat nama sesosok guru. Oemar Bakrie. Ia melihat sekitar dirinya berubah. Ia melihat tas coklat yang ia bawa berubah menjadi mirip kulit buaya. Ia melihat sepeda motor yang didudukinya, yang biasa ia gunakan mengojek, berubah menjadi sepeda kumbang. Dirinya tiba-tiba berpeci, berkacamata. Entah darimana datangnya. Polisi pun datang menghampirinya. Ia semakin bingung kelabakan tak karuan. Onto Suwigno berpikir, apakah dirinya benar-benar berubah menjadi Oemar Bakrie.

Surabaya, 7 Desember 2005

Senin, 26 Januari 2009

Yukio Mishima: Mengekalkan Waktu di Malam Terakhir

(Catatan dari Pementasan Teater Selembayung)
Marhalim Zaini
http://www.riaupos.com/

”....sebuah mawar akan tetap sebuah mawar juga,
delapan puluh tahun yang akan datang.” (Yukio Mishima)

Dua titik cahaya api yang menyulut ujung dua batang rokok itulah yang memulai sebuah peristiwa teater di malam itu. Pendar cahayanya membias temaram, sebelum sorot lampu menajam ke arah dua sosok tokoh yang dari mulutnya kini mengepulkan asap. Dua sosok, lelaki muda dan perempuan (sangat) renta, yang seakan sedang direkatkan oleh sebuah tarikan waktu, sebuah kekuatan nasib. Ada kesunyian yang hanyut dalam hitungan detik, mengambang dalam lengang, dalam malam yang diam. Tapi tak lama, dua sosok itu pun berpendar, meregang jarak, menyibak tabir-tabir dalam ruang-ruang panggung yang sunyi. Dan nampaknya, percakapan harus segera dimulai, untuk memberi tanda bagi sepi yang usai: ”Satu ditambah satu, dua; dua ditambah dua empat.....”

Apa makna hitungan yang diucapkan oleh tokoh perempuan renta berumur sembilan puluh sembilan tahun itu? Ia menghitung puntung rokok yang berserakan di sebuah taman kota yang usang. Ia, boleh jadi seorang pemulung. Tapi berapa harga sebuah puntung rokok? Apakah ia sedang menghitung keuntungan? Tidak pasti. Bukankah seorang pemulung tidak semestinya bicara tentang keuntungan, tapi lebih baik berpikir tentang keberuntungan? Atau boleh jadi dia memang sedang menghitung waktu, yang satu persatu gugur bagai daun-daun kering yang ikut terserak di taman itu. Pun, menghitung gugur rambut putihnya dalam kenangan, dalam usia yang bergerak menggapai satu abad.

Tapi di malam itu, di taman yang kusam itu, tempat ia kerap mengusir para pasangan kekasih yang memadu cinta di atas bangku-bangku kayu, ia harus kembali bertemu untuk keseratus kalinya dengan seseorang yang masih muda, yang dipanggil sebagai penyair. Maka ia, mau tak mau, harus kembali bercakap dan berdebat dengan sang penyair tentang hidup, tentang pergulatan eksistensial, tentang individu-individu yang rapuh dan rumpang, tentang romantisme, dan tentang kematian. Perempuan renta itu bilang, ”Kau beranggapan bahwa bangku-bangku itu menjadi hidup jika ada seorang pemuda tolol bersama pacarnya duduk di atasnya? Janganlah begitu bodoh! Mereka saling memeluk di atas makam mereka. Lihat betapa pucatnya mereka, betapa pucat-lesinya mereka, dalam cahaya hijau yang melalui daun-daunan menyelinap dari jalan. Mata mereka terpejam. Tidakkah mereka kelihatan sebagai mayat? Mereka mati selagi bercumbu.”

Demikianlah, peristiwa bagian awal pertunjukan teater yang disuguhkan oleh Teater Selembayung selama tiga malam berturut-turut (2, 3, 4 Januari 2009) di Gedung Olah Seni Taman Budaya Pekanbaru. Lakon yang diangkat adalah Malam Terakhir karya salah seorang pengarang Jepang terpenting di abad kedua puluh bernama Yukio Mishima (1925-1970) yang diterjemahkan Toto Sudarto Bachtiar. Lakon dengan judul asli Sotoba Komachi ini memang melukiskan pertemuan seorang penyair dengan perempuan tua, bernama Komachi (nama ini oleh sutradara, Fedli Aziz, kelak diubah menjadi Dang Dara). Pada masa mudanya Komachi adalah seorang perempuan yang cantik jelita, dan dicintai oleh seorang kapten pengawal istana. Tapi anehnya, pada pertemuan mereka yang keseratus, sang kekasihnya itu meninggal ketika mengatakan bahwa Komachi cantik. Sejak itu, berturut-turut kekasih Komachi yang lain juga meninggal setelah menyebut Komachi cantik pada malam keseratus pertemuan mereka. Si Penyair, dalam kisah lakon ini, juga akhirnya menemukan ajalnya ketika di malam keseratus pertemuannya juga tak kuasa untuk tidak mengatakan bahwa Komachi adalah perempuan yang sangat cantik, meski saat itu Komachi justru telah berusia sembilan puluh sembilan tahun.

Secara kronologis, kisah yang dirangkai Yukio Mishima (nama pena dari Kimitake Hiraoka) sesungguhnya bersifat realistik. Setiap perempuan cantik pasti ”disukai” oleh banyak laki-laki. Laki-laki yang bertemu dengan perempuan cantik itu, rasanya tidaklah salah (dan sekali lagi sangat realistis) jika harus jujur mengatakan bahwa apa yang dia lihat memang cantik. Yang jadi tidak realistik secara logika adalah ketika sang laki-laki yang mengatakan kejujurannya tentang kecantikan perempuan itu harus mati. Dan harus pula pada sebuah malam, di hari yang keseratus. Dan anehnya lagi, laki-laki yang mengetahui prihal peristiwa ini, justru tak sanggup mengalahkan keinginannya untuk tidak mengatakan, bahkan lebih memilih untuk siap mati.

Apa yang hendak disampaikan oleh Yukio sebenarnya dalam lakon ini? Kenapa harus kematian yang disuguhkan Yukio untuk sebuah soal yang bagi banyak orang dianggap sangat sepele: mengatakan cantik? Ada dua hal yang mengemuka: kecantikan dan kematian. Demikian berbahayakah ”kecantikan” hingga taruhannya adalah ”kematian”? Dari sini, saya kira, kita segera harus memeriksa kembali, bahwa benarkah untuk mengatakan seseorang/sesuatu itu cantik adalah satu hal yang sepele, tanpa ada tendensi ideologis? Tentu, sampai di sini, ketika menyebut ideologi, maka seketika kita harus mendudukkan kisah Malam Terakhir ini dalam konteks yang lebih luas, dalam berbagai kajian tentang sosial, kebudayaan, politik, psikologis, filsafat, dan entah apa lagi. Maka di sinilah letak kekayaan karya sastra, yang sangat diyakini, tercipta tidak dari ruang kosong, tapi dari sebuah realitas kompleks dan rumit dari sebuah peradaban.

Agaknya perjalanan hidup Yukio Mishima yang dramatis itu, dapat setidaknya memberikan laluan kita untuk menengok lebih ”dalam” makna yang tersirat dari lakon Malam Terakhir ini. Misalnya, apakah jalan kematian Yukio dengan melakukan harakiri (bunuh diri) di hadapan para pengikutnya pada akhir November 1970, setelah menyelesaikan halaman terakhir buku keempat tetraloginya itu, adalah sebuah realitas absurd tentang hidup dan kematian sebagaimana yang terjadi dalam Malam Terakhir? Meski di lain pihak, kita segera mengetahui bahwa demikianlah kiranya cara Yukio menggapai puncak hidupnya, puncak karyanya: dengan bunuh diri. Bahwa kematian, kita tahu, kerap ”dipakai” dalam banyak pemikiran filosofis yang terkait dengan makna hidup itu sendiri.

Saya tertarik untuk mengaitkan prihal dunia absurditas (hidup-mati) ini dalam sejumlah pandangan Albert Camus dalam esai panjangnya yang terkenal, The Myth of Sisyphus (terbit tahun1942), selain juga dalam berbagai karyanya yang lain, semisal drama Le Malentendu (Salah Paham) atau novel L’etranger (Orang Luar Garis). Camus memandang bahwa alasan untuk hidup adalah juga sebuah alasan untuk mati. Salah satu jalannya bisa dengan bunuh diri. Tapi bunuh diri yang bermakna. Camus bilang, ”bunuh diri adalah pemecahan situasi absurd.” Bunuh diri yang dilakukan oleh Yukio Mishima, meski sesungguhnya juga bukan hal yang terlampau luar biasa dalam khazanah tradisi di Jepang, tetap mengandung situasi absurd itu. Dalam konteks lakon Malam Terakhir, bukankah laki-laki yang memilih mati dari pada tidak mengatakan kebenaranan/kejujuran tentang ”kecantikan” adalah juga sebentuk bunuh diri? Dan laki-laki itu pun mati berkali-kali, bunuh diri berkali-kali, sebagaimana juga tokoh bernama Sisyphus yang diciptakan Camus yang mendorong sebongkah batu besar ke puncak bukit yang tidak pernah dicapainya. Titik capaian di sini menjadi demikian relatif, dan tidak mutlak ditentukan oleh sebuah puncak (gunung, misalnya). Kematian pun dalam hal ini adalah sesuatu yang sangat wajar dan tidak boleh tidak harus dihadirkan untuk memecahkan situasi absurditas hidup itu sendiri. Jika tidak, maka kecantikan si perempuan hanya berada dalam kosmetika-luaran belaka. Kecantikan yang akan segera pudar oleh gerusan waktu. Sementara yang dikehendaki oleh Yukio adalah kecantikan yang ”kekal”, yang ”abadi.” Maka kalimat dialog yang saya kutip di awal tulisan ini, dapat menandaskan hal itu, ”....sebuah mawar akan tetap sebuah mawar juga, delapan puluh tahun yang akan datang.” Yukio Mishima, nampaknya memang hendak mengekalkan waktu di malam keseratus, di Malam Terakhir.

Tafsir Ulang Teks Lakon ke Teks Panggung

Teks lakon Malam Terakhir yang bernilai absurd ini, rupanya ditafsirkan oleh Fedli Aziz selaku sutradara dalam teks panggung sebagai sesuatu yang mengandung nilai magis. Hal ini demikian dapat dirasakan sejak awal sampai di akhir pertunjukan. Hemat saya, memang terasa demikian tipis pembatas antara suasana magis dan suasana absurd itu. Sebab keduanya memang mengandung situasi ambang dalam berbagai pertanyaan-pertanyaan spiritual. Situasi yang tanpa disadari membawa kita berada dalam kesadaran yang lain, yang lebih subtil. Sebagaimana juga banyak pakar mendudukkan karya-karya Ionesco dan Beckett sebagai karya peralihan dari tema sosiologis ke tema-tema metafisik, maka Yukio agaknya berada dalam ketegangan serupa. Atau dapat pula ditengok dari model atau teknik penulisan stream of consciousness (dialog para tokohnya yang menuntun kepada suara-suara perjalanan batin) untuk menghadirkan absurditas. Apalagi situasi kemanusian yang cenderung ”absurd” pasca Perang Dunia, bagi Yukio, menyimpan kompleksitas traumatik yang tak gampang untuk diurai. Perang, adalah identik dengan kematian. Maka, perang, kerap menghadirkan situasi yang hampir serupa pada banyak pengarang yang lahir dan hidup di masa-masa pancaroba macam itu. Namun begitu, tidak serta merta membuat sebuah pertunjukan teater demikian suram, dalam tikungan-tikungan tangga dramatik yang magis. Malam Terakhir saya kira bisa saja tampil dalam visual yang elegan, bahkan komikal. Sebab, bentuk teksnya realistik, meski konsepsi nilainya asburd. Sebagaimana juga misalnya dapat kita telisik ulang dalam teks naskah Petang di Taman karya Iwan Simatupang.

Upaya tafsir teks panggung dari teks lakon yang dilakukan Fedli semacam ini beresiko mengalihkan titik pandang penonton kepada ruang mistis. Meski tidak juga sepenuhnya demikian. Saya tetap percaya, bahwa potensi setiap teks lakon memang demikian besar untuk diolah dalam berbagai tafsir sesuai ”obsesi” sang sutradara. Dalam konteks itu, upaya Fedli yang lain, yang dapat pula diperdebatkan lebih lanjut adalah penghadiran ”nuansa lokal (Melayu)” dalam pertunjukan. Selaku sutradara, tugasnya memang harus melakukan ”tafsir ulang” terhadap teks lakon untuk menemukan formula dan bentuk pemanggungan yang sesuai dengan konsep yang diinginkan. Jadi, dia (sutradara) punya hak yang cukup besar untuk dapat menghidupkan teks lakon sedemikian rupa, sehingga teks lakon juga adalah ”kendaraan ideologis” sang sutradara. Akan tetapi, apakah Fedli juga bertindak sebagai penfasir ulang teks lakon dalam tataran adaptatif atau transformatif?

Dalam pengamatan saya, Fedli telah melakukan tugas penyutradaraan yang demikian rapi dengan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Saya mengapresiasi itu sebagai sebuah kerja yang serius. Pola blocking dan garis-garis ruang yang dinamis. Suspensi yang kadang mengejutkan. Tempo yang cukup terjaga. Komposisi musik (digarap oleh Rino De Zapati) yang hemat saya sangat mendukung pertunjukan. Porsinya tepat dengan nuansa percampuran antara Jepang dan dunia Melayu. Nah, soal percampuran inilah yang saya maksudkan bahwa kerja pengadaptasian (mungkin dalam konteks ini lebih tepat menyebutnya transfromasi) adalah kerja yang sebaiknya tidak dianggap sebagai kerja pragmatis. Ia, adalah kerja penggalian intensif tak hanya soal linguistik tapi juga soal latar belakang sosio-kultural sebuah teks sumber, menuju teks baru. Teks baru ini, entah macam apapun bentuknya, juga harus memiliki kekuatan yang lain, yang eloknya tak lebih ”rendah” dibanding teks sumber.

Apa yang dilakukan Fedli misalnya dengan mencoba ”mencampurkan” dua entitas (Jepang dan Melayu) ke dalam sebuah sajian pertunjukan masih tampak dan terasa sebagai ”pelengkap” dari identifikasi yang tanggung. Saya katakan dalam diskusi malam terakhir pertunjukan, bahwa kenapa mesti ”terjebak” kepada menggapai-gapai ”Melayu”. Apakah kebudayaan Jepang yang ada dalam teks Yukio Mishima kalah menarik dengan teks-teks Melayu? Apakah kita menjadi tidak lagi Melayu, jika kita dengan sangat serius menggeluti, menggali, dan memainkan teks lakon Jepang yang (mendekati) asli. Yang setelahnya, kita pun segera tahu dan ikut menyandingkan kebesaran atau bahkan kekerdilan dari masing-masing kebudayaan tersebut. Maka penukaran nama Komachi menjadi Dang Dara pun tak menemukan substansi dan signifikansi dalam tataran simbol maupun semiotis. Tari Olang-olang-nya suku Sakai yang dipakai menggantikan dansa berirama wals pun kemudian tak saling ”melengkapi” bahkan saling memungungi. Tarian itu seolah datang begitu saja dari hutan Sakai dan hadir menyelinap dalam pertunjukan Malam Terakhir. Meski tentu upaya Fedli ini, harus diberi apresiasi. Sebab, dalam perspektif lain, saya justru melihat keberhasilan yang lain yang dicapai Fedli. Yakni meniadakan ruang sosio-kultural itu sendiri dalam tarik-menarik berbagai konflik eksistensial. Bukankah kini sesungguhnya kita juga sedang berada dalam ”ketiadaan” yang semacam itu? Sungguh, sebuah situasi absurd yang lain...

Inilah Aktor Kita

Terlepas dari soal konsepsi pemanggungan, saya melihat justru telah lahir aktor Riau yang baru dan pantas dicatat dalam buku besar teater Riau. Tokoh Penyair yang diperankan oleh M Paradison dan tokoh perempuan tua diperankan oleh Tri Sepnita, tampak sedang masuk ke dalam model permainan yang mendekati karikatural, dan non-realisme. Pilihan untuk membuat gestur-gestur yang tegas dan ekspresif memang memungkinkan untuk mengidentifikasi kehendak teks naskah lebih fleksibel. Tidak kaku dalam ketengangan-ketegangan suasana yang terlanjur diplot dalam suasana magis oleh sutradara. Satu lagi, komposisi garis permainan yang cukup dinamis dapat pula membantu mencairkan ”ruang magis” itu menjadi ruang-ruang pergumulan ”eksistensial” dua tokoh utama ini. Saya kira, dua aktor ini bermain cukup intens, meski sempat ”lepas” pada saat-saat pergantian adegan. Faktor lain, agaknya adalah tradisi pementasan lebih dari satu malam yang di Riau masih sangat tidak biasa, juga ikut berpengaruh pada stamina aktor. Di luar itu, dalam hal ini, saya hendak meralat pernyataan Taufik Ikram Jamil dalam sesi diskusi pada malam terakhir pementasan, yang menyatakan bahwa sejak tahun 80-an baru kali ini (maksudnya Teater Selembayung) yang berani mementaskan selama tiga malam berturut-turut. Sebab faktanya, Opera Melayu Tun Teja yang melibatkan pemain ratusan orang itu telah lebih dulu memulai pementasan selama tiga malam beruturut-turut, 29, 30, 31 Agustus 2007. Sebagai sebuah sejarah, ia tak bisa dipungkiri.

Para pendukung lain pertunjukan ini, juga telah bermain secara maksimal, sesuai peran yang dibebankan pada mereka. Mereka, selain anggota Teater Selembayung adalah juga mahasiswa di Jurusan Teater Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), termasuk dua tokoh utama di atas. Artinya, bahwa saya (sebagai pengajar di Jurusan Teater AKMR) cukup mengetahui dan mengikuti proses mereka dalam berbagai aktivitas dan kreativitas yang dijalani. Meski sudah barang tentu, bangku akademis, tak dapat sepenuhnya memberi ”kepuasan proses” berkesenian yang sesungguhnya. Maka sanggar, adalah sebuah ruang lain untuk ”mempraktekkan” atau menuangkan kegelisahan kreatif seorang (calon) seniman. Artinya juga, bahwa permainan mereka di atas panggung perlu terus diuji untuk meningkatkan ”jam terbang” mereka, terutama dalam menemukan potensi-potensi keaktorannya.

Sesungguhnya, masih banyak hal yang perlu kita perbincangkan. Akan tetapi, ruang yang terbatas ini, membuat saya harus mengakhiri tulisan ini dengan mengutip satu kalimat diaolog lagi milik Yukio Mishima, ”Kalau aku berpendapat bahwa sesuatu cantik, maka aku harus mengatakannya, sekalipun aku harus mati karenanya.” Adakah di antara kita yang sanggup begitu? Termasuk untuk berani mengatakan yang tidak cantik, yang tidak baik, yang tidak benar, yang tidak ideal, di sekitar kita? Maka kita tunggu pementasan Teater Selembayung berikutnya. Tahniah!***

*) Adalah penonton teater, tinggal di Pekanbaru.

Blunder Hitler di Barbarossa

Muhammad Amin
http://www.riaupos.com/

Operasi Barbarossa Ketika Hitler Menyerang Stalin
Penulis: Ari Subiakto
Penerbit: Narasi, Jogjakarta
Cetakan: Pertama, 2008
Tebal: 168 halaman

Bagi penguasa diktator semacam Hitler, perang adalah hobi sekaligus jalan untuk meraih ambisi. Tak peduli untuk mencapai ambisinya itu, akan banyak nyawa melayang, baik di pihak tentaranya maupun lawan.

Ketika Hitler sudah menyatakan tekatnya, maka semua harus ikut. Hitler sejak lama memang berniat menguasai dataran Eropa di satu puncak kekuasaan miliknya. Tekat itu yang terus mengkristal dari waktu ke waktu tanpa memikirkan kemungkinan terburuk yang menimpanya.

Setelah hampir menguasai Eropa bagian Barat, Hitler kemudian melirik Eropa Timur yang dikuasai Uni Sovyet. Bagi Hitler, Sovyet dengan paham komunisnya merupakan ancaman serius dari Timur. Dan ia yakin jika Jerman yang dipimpinnya tak lebih dahulu melakukan serangan ke front Timur, maka Sovyetlah yang akan menyerang mereka.

Namun Sovyet tidak seperti beberapa negara lain yang mudah ditaklukkan. Di bawah kendali penguasa yang tak kalah kerasnya, Stalin, Sovyet adalah kekuatan yang berbahaya. Jenderal-jenderal Jerman sudah mengingatkan Hitler bagaimana dahsyatnya kekuatan militer negeri itu. Sovyet memiliki tentara merah (Red Army) yang dikenal memiliki semangat juang tinggi. Jarak tempuh yang jauh, dan kondisi cuaca bersalju yang ekstrem diprediksi akan menjadi kendala serius bagi tentara Jerman (Wehrmacht) dalam menghadapi Tentara Merah.

Tapi Hitler tak peduli. Ia membuat blunder di perang Eropa Front Timur (Eastent Front) ini dengan memaksakan kehendaknya. Kelak, kegagalan Hitler di front inilah yang memicu kekalahannya di berbagai front perang Eropa, hingga akhirnya pasukan sekutu pimpinan Inggris dan Amerika menghancurkan kekuatan Hitler.

Barbarossa adalah nama sandi untuk serangan pasukan Hitler ke Sovyet. Nama itu diambil dari nama tokoh bangsa Teutons di abad pertengahan yang menjadi idola Hitler, Frederick Barbarossa. Serangan dimulai pada 22 Juni 1941. Dengan mengerahkan seluruh pasukannya, Hitler mulai membombardir Sovyet. Ada 3 juta pasukan dengan peralatan lengkap dari darat dan udara yang menyerang basis-basis Tentara Merah.

Jerman mengerahkan pasukannya dengan taktik Blitzkrieg yang terkenal dengan gerak cepatnya. Namun Tentara Merah ternyata tak mudah menyerah. Tentara Merah memang masih kurang dari segi senjata dan strategi, namun jumlahnya yang jauh lebih banyak dari perkiraan Hitler dan semangat juang tinggi menyebabkan taktik Blitzkrieg tak bisa berjalan mulus.

Target Hitler delapan pekan menguasai Moscow pun kandas. Dalam serangan awal yang dahsyat, pesawat pembom Hitler memang mampu menghancurkan pertahanan udara Sovyet. Dalam sehari, sebanyak 2 ribu pesawat Sovyet binasa oleh serangan udara Luftwaffe.

Serangan darat yang dilancarkan secara bersamaan kemudian secara masif berhasil menguasai perbatasan dan beberapa kota serta front Sovyet. Namun ada yang meleset dari perkiraan Hitler. Selain jumlah tentara Sovyet yang tak habis-habisnya, persenjataan Sovyet juga dengan cepat diperbarui. Tak mampunya tentara Hitler menundukkan Sovyet dalam setahun memberikan waktu bagi Stalin untuk membuat persenjataan yang lebih hebat. Sementara kekuatan Sovyet terus bertambah di berbagai front perang, tentara Hitler justru makin terpuruk. Musim dingin yang ekstrem menjadikan panzer-panzer Jerman membeku, terpuruk dan nyaris tak dapat bergerak. Pada fase berikutnya, tentara Merah kemudian melakukan serangan balasan yang dahsyat dan berhasil memukul mundur semua pasukan Hitler.

Barbarossa akhirnya menjadi antiklimaks kekuatan pasukan Nazi Hitler. Buku ini memaparkan kisah perang Barbarossa ini dengan apik. Bahasanya yang konsisten dan terpelihara menjadikan buku ini menarik untuk disimak. Dilengkapi dengan beberapa foto pendukung saat kejadian, beberapa jenderal Hitler, menjadikan buku ini bernuansa sejarah yang populer. Buku ini penting untuk menambah khazanah tentang Perang Eropa dan kisah Hitler khususnya.***

Minggu, 25 Januari 2009

Subversivitas Sastra Indonesia Modern

Misbahus Surur*
http://www.jawapos.com/

Betapa kelam yang mengendap dalam labirin peristiwa, kerap melahirkan momentum yang senantiasa ingin dikenang oleh generasi masa kini. Kendati, untuk sungguh-sungguh mencecap pesan sebuah zaman atas sajian ciptaannya, tidaklah mudah. Paling tidak, kita harus rela menghanyutkan diri pada dalamnya senarai ragam peristiwa yang diguratkan oleh sebuah takdir. Tentu juga atas segala hal yang menggumpal dalam pernik tragedi. Membaca dan menapaktilasi sejarah sastra Indonesia di awal pertumbuhannya (dengan embel-embel modern) adalah membaui haru-biru aroma itu. Mereka (para seniman-sastrawan tempo dulu), bagi kita setidaknya, bukan menggores percik hampa atau sebatas merajut frase luka. Tapi juga menelorkan sebuah formula.

Dus, saatnya kita mengurai fragmen-fragmen yang terendap dalam periskop sejarah, meskipun melalui kolofon momen historis. Tentu bukan saja berniat menyaring debu timpangnya, melainkan juga untuk mengelaborasi zaman; menyembulkan seribu kejernihan yang menyembunyi. Bertolak dari keadaan itu, menurut Gandhi misalnya, berkaca pada pengalaman India yang koloni Inggris, pada awalnya melalui teks kaum kolonialis mengontrol bangsa, lalu menghegemoni negara. Namun melalui teks pula masyarakat negeri ini berekspresi dan menemukan ruang reaksi yang paling tajam. Mereka menelanjangi selubung kepentingan kapitalisme beserta ideologinya dengan senjata teks, meskipun persenjataan fisik (alutsista) juga punya peran penting.

Dalam perjalanannya yang cukup panjang, sastra Indonesia telah menampilkan ihwalnya masing-masing. Beragam misi diemban kumpulan manusia penatah kata itu. Ada yang murni menghamba kebenaran, namun tak sedikit pula (?) yang hanya mengabdi ketentraman pseudo. Dalam sejarahnya, kita lalu mengenal tradisi sastra Balai Pustaka (BP), yang bahkan tradisi ini dijadikan pijakan lahirnya sastra Indonesia modern. Meskipun di masa yang bersamaan, hidup pula beratus tradisi yang entah itu dengan sebutan apa. Mungkin karena seringnya absen diperbincangkan dalam konstelasi sejarah sastra, yang membuatnya lenyap --dan masalah sebutan, kala itu memang tak terlalu dipentingsoalkan. Tradisi ini banyak digeluti para seniman-sastrawan, terutama penulis partikelir di Nusantara. Mereka inilah yang pada zaman kolonial sering kena cemooh rezim penguasa dengan buah karya ''bacaan liar'' dan stigma sastra genre ''roman picisan''. Para sastrawan dan peneliti sekarang lebih familiar dengan menyebutnya sebagai tradisi sastra non-Balai Pustaka (non-BP).

Bila kita mengenal akrab novel-novel yang kala itu menjadi ikon penerbit BP, semisal Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar, Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938) dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939) karya HAMKA, Tak Putus Dirundung Malang (1929) dan Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Katak Hendak Jadi Lembu (1935) karya Nur Sutan Iskandar dan masih banyak lagi, seharusnya kita juga perlu mengakrabi berbagai wajah novel sezamannya. Karena sebelum tradisi BP digulirkan, tradisi di luar itu juga berkembang.

Sejarah telah mencatat --kendati pasang surut-- munculnya ratusan penulis dan penerbit partikelir (mungkin juga ribuan) dari kalangan pribumi. Karya-karya mereka masih menggunakan bahasa Melayu rendahan/pasaran. Dan inilah satu pembeda yang mencolok dari verbalisasi sastra ala BP (novel-novel tradisi BP menggunakan bahasa Melayu tinggi/standar). Tulisan mereka hadir seakan menelusup dan mengurai sendiri apa yang disembunyikan rezim yang menunggang sejarah (borok kolonialis). Tak ayal, kala itu, tiap papan yang tergores oleh karya mereka, kerap menebarkan ritme resistensi. Mungkin nama negatif yang lekat selama ini, karena watak subversifnya. Pengarangnya kebanyakan orang-orang kiri, karena gerak yang dengan terang-terangan mengikhtiarkan perlawanan atas hegemoni pusat (kuasa kolonial). Hingga pemerintah Belanda mengecapnya sebagai ''bacaan liar''. Riwayat pengarangnya seperti H. Moekti dengan Hikajat Siti Mariah (1910); Tirto Adhi Soerjo dengan Boesono (1910) dan Nyai Permana (1912); Mas Marco Kartodikromo dengan Studen Hidjo (1918), Sjair Rempah-rempah (1919), Mata Gelap (1919) dan Rasa Merdika (1924); Semaoen dengan Hikajat Kadiroen (1920) dan ratusan riwayat pengarang yang lain.

Membiaknya bacaan liar ini disikapi pemerintah kolonial dengan phobia yang sedemikian rupa. Serasa kekuatan subversif inlander (dalam karya sastra) mampu mengguncang keangkuhan penghuni negeri rendah itu. Kolonialis masih menyimpan kepercayaan tinggi akan kedahsyatan ekses kata-kata yang (mungkin) tertuang, terselip atau sengaja dijepitkan penulis yang rata-rata kiri itu. Pendek kata, kekuatan artikulasi sekelompok inteligen (baca: intelektual) itu diyakini Belanda sebagai anasir perlawanan. Karena itulah, dengan semena-mena dan tindakan represif, kolonialis berusaha menyumbat suplai bacaan untuk rakyat; dengan membredel, menyegel puluhan mungkin juga ratusan penerbit swasta, bahkan memenjarakan si pengarang. Akan tetapi, sebagai inteligen, yang telah sengaja berniat menggariskan diri pada fungsinya: penyuara nurani rakyat, para pengarang itu tak pernah gentar melawan. Dan nasionalismelah, sejatinya umpan pembiakan ''roman picisan'' di era kolonial itu. Rasa nasionalisme bumi putra yang tinggi menjadi sebab (men)dasar meletupnya produksi sastra ini.

Meskipun dikecam sebagai bacaan liar, kata subversif tentu tak selamanya bernada melawan secara negatif. Bahkan kalau ditelisik ke masa lalu, gerakan subversif sastra justru bermuatan sebaliknya (wujud riil heroisme yang tinggi). Maka, tak aneh bila karya sastra yang dilahirkan pengarang-pengarang pribumi itu dulunya merupakan karya sastra yang paling diburu masyarakat. Baik penikmat sastra murni maupun bukan.

Tradisi BP yang nota bene sebagai penerbit tunggal (baca: resmi) bagi pemerintah jajahan, tidak banyak diminati. Karena tradisi sastra BP diopinikan sebagai anak kandung kolonialis. Dengan begitu, tentu dianggap berafiliasi ke pemerintahan Hindia Belanda. Meskipun di lain tempat, tradisi sastra di luar itu --sastra oposan, roman picisan (non-BP)-- dianggap pemerintah sebagai anak jadah yang kelahirannya sangat tidak diharapkan. Dan, termasuk dalam tradisi ini adalah karya sastra yang produsennya orang-orang peranakan Eropa/indo (keturunan dari hasil perkawinan pribumi dan Eropa), dan peranakan Tionghoa.

Tradisi sastra peranakan Eropa yang pengarangnya menaruh hati pada penderitaan inlander itu semisal Max Havelaar oleh Multatuli --nama samaran Eduard Douwess Dekker, yang jamak kita ketahui punya kecenderungan menentang praktik kolonialis dan superioritas warga Eropa di tanah Hindia. Iwan Simatupang pada satu kesempatan pernah menyebut mereka ini sebagai ''Paradoks dari Kolonialisme''. Karena sang kolonial sendirilah yang pada hakikatnya menanamkan benih-benih pembangkangan terhadap kolonialisme. Contoh lain adalah Rubber (1931) karya Madelon Hermine Szekely-Lulofs. Novel ini cukup banyak peminatnya dari kalangan pribumi. Bahkan oleh pemerintah Hindia, pengarangnya dianggap pengkhianat, seperti halnya Max Havelaar yang reaksioner. Sampai-sampai M.H. Szekely-Lulofs dijuluki ''Multatuli Perempuan''. Kemudian, Drama Di Boven Digoel karya Hoay (peranakan Tionghoa), di mana Rieger (1989) menganggapnya sebagai karya monumental yang hanya dapat disejajarkan dengan roman-roman ''Pulau Buru''-nya Pramoedya Ananta Toer.

Lantas apakah benar seperti yang diyakini para pengamat sastra saat ini, terutama para pemerhati sastra poskolonial, bahwa pendirian sebuah kantor dan penerbitan kala itu yang bernama Kantoor Voor de Volkslectuur/Kantor Bacaan Rakyat (1917) yang merupakan pergantian dari Commisie Voor de Inlandsche School en Volkslectuur (1908), hanya sebuah usaha tandingan mematikan kreativitas bumi putra dengan karya picisannya yang reaksioner? Juga hanya sebatas jalan melapangkan politik etis (balas budi) picik Belanda; dalam hal ini misi edukasi yang merupakan salah satu peranti bagi pembenahan tragedi kemanusiaan Cultuur Stelsel (tanam paksa).

Apalagi, juga tercium desas-desus, berdirinya BP pada mulanya sengaja diniatkan untuk menyumbat aliran bacaan liar yang kian deras, yang membuat gerah pemerintahan Belanda. Indikasi dari adanya dugaan tersebut, bisa dilihat dari karya-karya terbitan BP pra-kemerdekaan yang menokohkan bangsa penjajah sebagai protagonis; begitu pula mengelu-elukan tokoh-tokoh inlander yang mendukung bangsa penjajah. Aura ini bisa kita rasakan pada novel Siti Nurbaya (1922), Salah Asuhan (1928), dan semacamnya. Kendati karya-karya BP tidak jamak berwatak demikian. Dalam artian, tidak semua karya BP mendukung status quo penjajah. Sebaliknya, karya-karya yang diterbitkan para penerbit partikelir (swasta) menampilkan sosok bumi putra sebagai tokoh-tokoh antagonis yang terstigma jahat, licik, penjilat, dan picik.

Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dalam suatu pernyataanya --setelah sekian tahun bekerja di kantor yang nota bene milik pemerintah kolonial itu-- mengamini hal ini. Sebelum kemerdekaan, ketika BP masih dalam bayang-bayang pemerintahan kolonial, novel-novel yang diterbitkan BP jarang, bahkan tidak banyak, yang mengulas tentang politik. Kalau ada masalah politik, itu hanya diceritakan dalam dua novel saja, yaitu Cinta Tanah Air-nya Nur Sutan Iskandar (1944) dan Palawija-nya Karim Halim (1944).

Akan tetapi analisis kontemporer menyebutkan, novel-novel yang seakan memprotagoniskan penjajah itu ternyata juga berwatak subversif. Cuma sayang, kata-kata subversif yang tersirat dalam novel tak terbaca masyarakat, atau tak terendus. Berbeda dengan tradisi sastra non-BP yang kontras menghadapi tirani. Dengan pencipta yang rata-rata golongan kiri, dengan bahasa yang berapi-api (tersurat); menghasut untuk memberontak dan reaksioner. Novel-novel seperti ini bukan pula novel yang diklaim masuk jajaran anakronis (menyalahi zaman). Mungkin karena mewarisi karakter yang sebenarnya dari jati diri bangsa saat itu (rindu kebebasan dan lelah dieksploitasi). Sastra non-BP tak jarang juga lebih bisa menampilkan hal-hal yang menarik, dekat dengan kehidupan sehari-hari dan tema-tema yang diangkat pun dapat mewakili realitas yang ada (mengambil peristiwa-peristiwa nyata yang populer), meskipun kurang mempertimbangkan dampak moral maupun politisnya. Toh, kendati tetap disebut bacaan liar atau roman picisan (panglipur wuyung), nyatanya sastra non-BP dalam masyarakat pribumi kala itu, tetap lebih dominan dibanding sastra tradisi BP. Pertanyaannya, jika permulaan sastra Indonesia modern misalnya, dipatok dari tradisi BP atau angkatan Pujangga Baru, cukup mewakilikah karya-karya mereka terhadap penderitaan rakyat di masa penjajahan itu?

Walhasil, dengan menengok dan menimbang kembali sejarah sastra Indonesia, adalah sebuah usaha mendefinisikan ulang secara riil kesusastraan dan kebudayaan Indonesia secara terus-menerus. Kapan sastra Indonesia modern ada dan mengada, semua berawal dari membaca dan menyingkap sisi lain dari sastra Indonesia itu sendiri. Hal ini juga merupakan sebuah perjuangan untuk menempatkan kembali bahasa nasional sebagai wahana menyatukan ke-bhinekaan Nusantara. Dengan begitu, kita diharapkan mampu memperjuangkan kembali cita-cita negara Indonesia; tumbuhnya kesadaran historis dan tetap bersikap kritis terhadap kemungkinan adanya rekonstruksi historisitas yang bisa jadi hanya fiktif. (*)

*) Pembaca sastra, mahasiswa S-2 UIN Malang

Siapa Penghancur Majapahit, Bung?

Fahrudin Nasrulloh*
http://www.jawapos.com/

Sejarah mulanya bak segelembung ingatan dalam proses kehancurannya sendiri hingga akhirnya musnah. Maka, saya sepakat dengan kegelisahan Derek Walcott untuk berkata: ''Jika sejarah di ambang sirna, maka yang lahir adalah tirani dan kebodohan.'' Ini terbukti kala kecerobohan kebijakan Jero Wajik disambut dengan kebandelan Bupati Mojokerto Suwandi yang tetap mendukung proyek Pusat Informasi Majapahit diteruskan di Trowulan (Radar Mojokerto: 15/1/09). Bagaimana pula praktik jual-beli satu batu-bata situs seharga Rp 500 dibiarkan terjadi sejak 30 tahun silam (Radar Mojokerto: 20/1/09)? Barangkalikah ada unsur politis menjelang Pemilu 2009 (dan siapa saja yang bersilat-jurus di situ?) hingga menyorong, mengoar-koarkan, malah membesar-besarkan soal penistaan situs Majapahit itu?

Cukupkah sekarang memelihara wacana historisitas dengan cara sekadar mengelap-elap kejayaan Majapahit sekaligus menyumpahi kefasadannya saja? Sebab, wacana ini hanya berseliweran, bahkan mungkin tidak bergemuruh di batin dan kesadaran kita untuk bertindak jujur dan positif. Kejayaan Majapahit telah berakhir 700-an tahun silam dan kehancurannya juga disorong atas meluasnya pengaruh Kasultanan Demak (baca: Slamet Muljana, Runtuhnya Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara-negara Islam di Nusantara. Bhratara: Djakarta, 1968) dan gerakan tabligh Walisongo. Terbayangkah kita akan kiprah para sunan dalam mengislamkan kaum Hindu-Buddha? Cobalah tilik Babad Khadiri, tatkala Sunan Bonang mencocori Arca Butalacaya di daerah Kedah, Kediri. Juga dalam Suluk Darma Wasesa anggitan Ki Brajasastra yang mengisahkan Sunan Bonang menceceli arca berkepala kuda kembar yang merupakan karya pahat di zaman Prabu Jayabaya. Jadi, siapa lagi yang dengan tampang geram menghancurkan Majapahit, Bung? Menanggapi tulisan Muhidin M. Dahlan bertajuk ''Ayo, Hancurkan Majapahit!'' (JP,18/1/09), saya merasa ia agak paranoid dengan menyodokkan geger situs Trowulan pada kebobrokan perpustakaan Kota dan Kabupaten Mojokerto. Di dua perpustakaan tersebut, ia bercerita (anehnya perjalanan itu terjadi dua tahun lalu) menemukan hanya dua buku sejarah yang, bagi saya, sebenarnya ''salah alamat'' untuk menyinggung seabrek sengkarut ihwal kesadaran warga Mojokerto dalam memelihara peninggalan Majapahit.

Kondisi pahit perpustakaan tak bisa dijadikan satu-satunya alibi atas pengabaian situs Trowulan. Jika ditanya siapa di Mojokerto yang menghargai bacaan sejarah? Bagi saya, yang paling mendasar adalah tidak adanya tradisi literasi yang kuat dan mengakar untuk menghargai dan menopang segala warisan bangsa. Generasi muda mana sekarang yang beruntung dapat dan tergerak membaca Tatanegara Madjapahit: Risalah Sapta Parwa 1292-1525 (Yayasan Prapantja: 1962) karya Muhammad Yamin, dan 700 Tahun Majapahit: Suatu Bunga Rampai (Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur, 1992) yang disusun Prof Dr Sartono Kartodirdjo dkk. Perihal dua buku ini; buku yang pertama saya peroleh dengan cara memfotokopi di Perpustakaan Kolese Ignatius Jogja. Sedang yang kedua saya dapat di Perpustakaan Pesantren Wahid Hasyim Tebuireng, yang malah lebih lengkap koleksinya ketimbang Perpustakaan Umum Mastrip Jombang.

Ada lagi buku 6000 Tahun Sang Merah Putih (Balai Pustaka: Jakarta, 1958. 349 hlm) karya Muhammad Yamin, juga ada di Perpustakaan Max Arifin di Perum Griya Japan Raya, Sooko. Buku Yamin yang mengurai telaah kritis ihwal Majapahit ini juga terdapat di Perpustakaan Kradenan, dekat Alun-alun Mojokerto. Bagi kawula muda kini, buku-buku sejarah macam itu sudah tidak lagi diminati --bahkan bacaan yang ringan sekalipun seperti novel, cersil, atau komik yang bercerita seputar Majapahit ataupun tidak. Semisal novel Senapati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto; novel serial Gajah Mada karya Langit Kresna Hadi; cersil Kho Ping Hoo, Kemelut di Majapahit (37 jilid); 50 jilid cerbung karya S. Djatilaksana berjudul Gajah Kencana Manggala Majapahit (Margajaya: Surakarta, 1977); dan lain-lain sudah nyaris tidak ada di persewaan buku atau taman bacaan di Mojokerto. Hanya ada dua persewaan buku plus toko buku loak di kota yang masih bertahan. Yakni TB Taman Pustaka ''Remadja'' di Jl Kapten Pierre Tendean No. 4, milik Kiswanto Kosasih (ia akrab disebut Pak Kishiang); dan Taman Baca ''Muda'' milik pensiunan Angkatan Laut bernama Pak Padi, di Jl Majapahit No. 437. Di dua tempat persewaan ini, hanya komik Jepang dan Taiwan serta novel-novel picisan yang paling banyak disewa.

Jika pemerintah dan kaum terpelajar banyak yang tak paham dan tak menggubris sejarah Majapahit, apalagi dengan generasi mudanya? Seharusnya di luar lembaga pemerintah, perlu kiranya ada semacam lembaga independen atau LSM untuk pelestarian situs-situs Majapahit. Namun, sebagaimana kita maklumi di negeri ini, citra dan orang-orang LSM memang banyak yang tidak jelas visi-misinya dan karena itu tidak maksimal kerjanya: jika donor asing cair, mereka bekerja ''memainkan'' distribusi dananya. Jika mampet, berhenti pula.

Di Mojokerto ada satu LSM yang bergerak dalam pelestarian-perlindungan seputar peninggalan Majapahit: Yayasan Gotrah Wilwatikta. LSM ini berkandang di Perumahan Gatoel di Jl Jawa No. 78. Sebagaimana yang dilansir Koran Tempo (10/1/09), LSM ini dirintis Anam Anis sejak 2001 bersama lima kawannya. Dalam menyikapi perkara situs Trowulan, Gotrah berkomentar bahwa Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim di Trowulan tersebut tidak efektif melindungi situs. Di antara mereka berargumen, ''Sudah terjadi perusakan, apa yang bisa diperbuat?'' Dalih apa pula ini. Gotrah sejatinya dan semustinya mampu bergerak lebih progresif dan kritis sejak 9 tahun lalu. Saya sempat berharap LSM ini memiliki kontribusi cemerlang. Namun saya jadi kecewa, ketika beberapa hari lalu saya diberitahu teman untuk membuka blognya: http://gotrah.multiply.com. Ternyata, blog itu cuma berisi peta Majapahit yang juga terpajang dengan warna berlumut di kantornya.

Hanyalah segelintir yang terbangun dari mimpi buruk ini. Selain keprihatinan arkeolog Mundardjito, di Mojokerto sesungguhnya menyimpan sekian sosok sebagai ''perpustakaan berjalan'' yang terus bergerak atas nama Majapahit. Di antara mereka: si pematung Ribut Sumiyono dan Nanang Muni dari Desa Jatisumber, Trowulan. Ada pula Umar Muzakky dan Muhsinun di kawasan Miji Gang III, di mana mereka serius melakukan pembuatan film dokudrama dan riset soal naskah-naskah kuno dan batas-batas wilayah Kerajaan Majapahit. Alangkah ''Lebih baik menyalakan satu lilin daripada mengutuk kegelapan,'' begitu ungkap Temujin, si penghancur peradaban dari tlatah Mongol itu. (*)

*)Bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang.

Jumat, 23 Januari 2009

Bandung, Sastra, dan Perayaan

Ahda Imran
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

BAIK lupakan Komunitas Utan Kayu (KUK) dan newsletter Boemi Poetra dengan "perang" politik sastra mereka; begitu juga Sutarji Calzoem Bachri yang bersedia menerima Bakrie Award 2008 dengan tanggapan pro-kontra yang menyertainya; atau kumpulan "Jantung Lebah Ratu" karya Nirwan Dewanto dan novel Ayu Utami "Bilangan Fu" yang memenangi Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2008, atau Anugerah Pena Kencana yang untuk tahun ini hanya memilih enam puluh Puisi Indonesia Terbaik karena alasan kualitas yang dianggap menurun; juga pembentukan Asosiasi Sastra Indonesia (ASI) di Jambi dalam Pertemuan Sastrawan Indonesia 7-11 Juli 2008, Temu Sastrawan Mitra Praja Utama (MPU) III di Lembang Jawa Barat 4-6 November 2008, juga Jakarta International Literary Festival (JILFest) di Jakarta 11-13 Desember 2008 yang mencoba memeriksa kembali politik jaringan sastra Indonesia ke dunia internasional; Sayembara Novel DKJ 2008 yang hanya menghasilkan satu pemenang.

Tentu saja semua itu sangat penting untuk membaca perkembangan sastra Indonesia di tahun 2008. Tapi, membaca perkembangan sastra Indonesia di Bandung dan di Jawa Barat sepanjang tahun 2008 adalah hal yang juga tak kalah pentingnya. Dan ini bukan melulu karena keniscayaan bahwa dinamika sastra di Bandung dan Jawa Barat merupakan bagian dari perkembangan sastra Indonesia. Melainkan juga bersebab pada dinamika yang berlangsung di Bandung dan Jawa Barat itu sendiri. Dinamika yang sayup-sayup mengisyaratkan adanya sesuatu yang hilang di dalamnya. Sesuatu yang hilang itu bukanlah semangat atau produktivitas.

Seperti tahun 2007, pertumbuhan sastra di Bandung berlangsung dalam semangat dan produktivitas yang menggembirakan dan menjanjikan berbagai harapan. Baik semangat dalam merancang atau menyelenggarakan acara-acara sastra, terutama launching atau peluncuran buku yang ditandai dengan pembacaan karya, hingga produktivitas dalam berkarya.

Dalam produktivitas berkarya, misalnya, paling tidak, dalam sepekan e-mail suplemen Khazanah menerima tiga hingga lima file naskah, puisi atau cerpen, yang umumnya berasal dari Bandung dan Jawa Barat. Satu file naskah, terutama puisi, selalu berisi lebih dari sepuluh karya. Dan tak jarang dalam waktu yang tak lama nama yang sama akan mengirimkan beberapa karyanya yang terbaru. Semangat, kegairahan, dan produktivitas berkarya juga tampak dalam sayembara penulisan puisi se-Jawa Barat yang diadakan Disbudpar Jabar Oktober 2008 yang menerima 1.150 puisi.
**

TENTU saja ini menggembirakan, terlebih lagi, di samping nama-nama seperti Jafar Fakhrurozi, Sang Denai, Heri Maja Kelana, Ahmad Faisal Imron, Widzar Al-Ghifari, Semmy Ikra Anggara, Dian Handiana, Fadhila Ramadhona, Fina Sato, Dian Hartati, Yopi Setia Umbara; mereka kebanyakan adalah wajah-wajah baru. Dan dari keseluruhan itulah terasa betapa semangat dan produktivitas berkarya menjadi kekuatan mereka, tapi sekaligus inilah yang menjadi kelemahannya. Semangat mereka menulis terasa tidak dibarengi dengan semangat dalam sebuah ruang proses kreatif yang ketat; kesabaran dalam mengolah bentuk pengucapan atau kegelisahan dalam mengeksplorasi tema.

Tak sedikit puisi dan cerpen yang terkesan ditulis sekali jadi, mrucut begitu saja, hambar dan sekali membaca jelas masalahnya. Begitu pula yang hadir dengan bentuk-bentuk ungkapan yang "meliar-liarkan" imajinasi namun lebih sering kehilangan fokus sehingga tak jelas juntrungannya. Belum lagi keseragaman pola dan style pengucapan atau bangun suasana yang banyak ditemukan dalam puisi. Entahlah, sampai sejauh mana kiranya ruang proses kreatif semacam ini bisa dicurigai sebagai pengaruh tak langsung dari revolusi teknologi informasi yang menyediakan berbagai ruang kehadiran, seperti blog, dengan kemudahan dan kebebasannya dalam memproduksi teks. Tentu saja bukan berarti puisi dalam blog-blog itu berarti seluruhnya buruk.

Seraya memaklumi begitulah pencapaian para pendatang baru, namun satu hal yang jelas, terutama dalam konteks kepenyairan, dibandingkan dengan Lampung, Yogyakarta, dan Bali; Bandung atau Jawa Barat belum pernah mengalami generasi kepenyairan yang berjalan lamban seperti sekarang. Ironisnya, itu terjadi di tengah semangat, kegairahan, dan produktivitas berkarya yang menggebu-gebu dengan berbagai acara peluncuran buku dan keramaian pembacaan puisi.

Satu hal yang amat terasa di Bandung sepanjang 2008 ini adalah bagaimana sastra terkesan hanya jadi perayaan. Sebuah buku diluncurkan dan dirayakan dengan seremonial pembacaan karya secara bergantian oleh kawan-kawan yang sekaligus jadi penontonnya, lalu semuanya berhenti sampai di situ. Sastra akhirnya bukan lagi menjadi pergaulan teks, melainkan hanya menjadi sebuah pergaulan di tengah kerumunan yang tak pernah memperbincangkan teks.

Namun demikian tidaklah berarti bahwa tak ada perkembangan yang tak layak untuk dicatat selama 2008 ini. Dalam puisi, sejumlah karya dari generasi terbaru tampak mulai memperlihatkan perkembangan yang menarik, sebutlah, Faisal Syahreza, Ginanjar Rahardian, Langgeng Prima Anggradinata. Beberapa karya mereka mulai memperlihatkan upaya dan pergulatan keras dalam melakukan penjelajahan bentuk, meski memang di sana-sini masih terasa belum adanya pendalaman dan fokus tematik yang serba canggung serta belum mampu lepas dari keseragaman style ungkap. Sedangkan dalam cerpen, belum tampak adanya karya generasi baru yang potensial untuk melapis generasi Fina Sato dan Dian Hartati.

Mengeluarkan sastra dari sekadar jadi perayaan dan kerumunan untuk menjadikan atau mengembalikannya sebagai sebuah pergaulan teks dalam ruang perbincangan, inilah agaknya yang mesti segera dilakukan oleh berbagai komunitas sastra di Bandung. Ruang perbincangan inilah yang diandaikan bisa menjadi bagian dari proses kreatif, baik untuk mengasah teknik penulisan, apresiasi, wawasan, atau pun jalan kepenyairan. Sejumlah komunitas seperti Genk Menulis Mnemonic, Asas, Forum Lingkar Pena (FLP), dan beberapa komunitas lainnya tentu menyadari hal ini bahkan telah melakukannya. Hanya, soalnya sampai di mana kemudian efektivitasnya dan bagaimana seluruh itu dikelola. Kehadiran Majelis Sastra Bandung yang hendak mengandaikan dirinya sebagai wadah bagi ruang perbincangan sastra, tentu saja penting dan menarik sepanjang ia tidak kemudian juga terjebak menjadikan sastra sekadar perayaan dan kerumunan.***


Sastrawan dalam Kutukan

Budi P. Hatees
http://www.lampungpost.com/

Sewindu lalu, pada periode awal roda reformasi bergulir dan menerabas ke mana-mana, bukan cuma Presiden Soeharto yang terguling dari kursi kekuasaan, melainkan juga jutaan jiwa warga negara menjadi ragu akan banyak hal. Kepercayaan terhadap elite, tanpa pengecualian, luntur begitu drastis.

Orang-orang histeris, berteriak, dan melakukan apa saja untuk mendapatkan identitas baru. Pejuang-pejuang reformasi bermunculan, riuh, ribut, dan berlomba-lomba agar bisa dicatat dalam buku-buku sejarah pergerakan nasional.

Dalam priode yang hiruk-pikuk itu, kita mencatat banyak upaya membongkar dan mengungkap borok rezim penguasa Orde Baru. Para intelektual pun ikut gerbong kereta dan terseret arus penumpang yang kehilangan arah tujuan.

Reformasi meledak tanpa ada satu hal yang bisa ditandai, kecuali euforia-euforia yang menyesakkan dada. Tiap sebentar ada yang berteriak memaki rezim yang otoriter, korupsi yang merajalela, illegal logging, birokrasi yang busuk, dan moralitas yang bobrok.

Inilah iklim yang membuat sastrawan kita tercengang. Dinamika yang terjadi di luar perhitungan yang ada. Gerakan-gerakan sosial-politik menampakkan wajah yang paling brutal, orang menyampaikan aspirasi dengan memperbesar urat-urat lehernya, keributan pecah dan korban berjatuhan dengan luka-luka yang menganga. Kreativitas bersastra bak kehilangan tali kekangan, menerabas ke mana-mana dan menyentuh wilayah apa saja, tapi tidak satu substansi pun dapat ditandai kecuali bahwa inilah era ketika kebebasan berekspresi tidak lagi diperlakukan sebagai anak tiri.

Kebebasan menemukan bentuknya yang paling alami, tanpa sekat-sekat moral yang selama ini begitu kuat mencengkeram. Tetapi, kebebasan itu nyaris tidak memberi makna apa pun terhadap dunia kesusastraan, seperti ketika zaman revolusi perjuangan kemerdekaan memberi warna baru pada rasa sastra nasional.

Kesusastraan kita tidak mencatat, ada capaian-capaian estetika yang mengemuka pada masa ini. Penyair tetap menulis dengan metafora romatis seperti embun pagi, daun gugur, anggur pada gelas, sampan yang berlayar, kepak burung, penggali pasir, lumut, dll.

Cerpenis tetap gemar bicara soal buruh yang dipecat, pertengkaran keluarga, cinta tak terjawab, harapan yang pupus, meja di sebuah kafe, sinar bulan, dll.

Novel kita berkutat soal berahi. Karya-karya sastra dari berbagai genre itu lahir dan membuat sastrawan terangkat hingga sejajar dengan selebriti. Tetapi, kita tidak menemukan sesuatu yang begitu berarti, yang di dalam karya-karya sastra itu menyimpan dinamika reformasi itu sendiri.

Karya-karya sastra kita seolah mengabaikan situasi zamannya, tidak peduli pada dinamika masyarakatnya. Sastrawan-sastrawan kita sibuk membongkar-bongkar literatur lama yang dihasilkan dari dinamika kebudayaan asing.

Kita pun membaca Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan dengan sosok tokoh yang tidak berjejak di Indonesia. Kita membaca novel-novel Fira Basuki dengan sosok tokoh yang datang dari dunia ketika seks bukanlah masalah yang perlu dipermasalahkan. Kita membaca Cala Ibi dengan gaya bercerita yang sulit diterima logika ketimuran.

Para sastrawan kita seolah menegaskan pernyataan para pendahulunya, "Kami adalah ahli waris kebudayaan dunia". Sepenggal kalimat yang kita catat sebagai peluruh bagi lahirnya Angkatan'45, menemukan euforianya kembali dalam diri para kreator sastra kita.

Tetapi, gemanya cepat meredup karena limpahan informasi dari berbagai literatur dan sumber-sumber data tak terbatas--hal yang tidak dimiliki para sastrawan saat melahirkan Angkatan'45--membuat para kreator sastra menjadi lebih tertarik mengurusi wilayah artifisial.

Mereka yang memiliki akses luas terhadap karya-karya sastra dunia, tampil ke permukaan dengan sangat bangga menyatakan diri sebagai "pembawa pembaruan". Warisan sastra nasional makin terabaikan gerakan-gerakan untuk menancapkan tonggak sejarah sastra yang baru.

Ironisnya, segala sesuatu yang mereka pandang "pembaruan", yang dibawa dengan keangkuhan seorang penemu dari tanah-tanah kelahirannya seperti Amerika Latin, ternyata sangat lapuk di daerah asalnya.

Dalam situasi seperti inilah Nirwan Dewanto menyimpulkan sejarah sastra cuma kumpulan kisah tentang asal-muasal dan rangkaian pembaruan dalam lingkup nasional, dari sudut pandang kiri atau kanan, hidup di alam bawah sadar para pencipta sastra di Indonesia. Pretensi nasional menjadi tempurung yang membuat sang katak tak mampu melihat cakrawala yang lebih baik.

Warisan sastra nasional menjadi beban, bukan berkah. Tetapi itulah beban yang seakan-akan menjadi rumus tentang titik-titik pembaruan berikutnya. Sejarah sastra yang merasuki alam bawah sadar, yang tidak lagi dibaca dekat-dekat, close reading, sehingga berubah menjadi setengah mitos.

Dalam tulisannya berjudul "Masih Perlukah Sejarah Sastra?" (Kompas, 4 Maret 2000), Nirwan menyerukan sastra kita tidak dibebani sejarah kebangsaan dan komitmen politik, tapi harus membuka diri terhadap pengaruh dan kontak sastra dunia. Bagai terhipnosis, sastrawan kita beralih haluan ke sastra dunia.

Ajaibnya, Nirwan Dewanto dengan tongkat sihirnya mengubah watak sastrawan kita menjadi tidak merasa hebat jika tidak menulis puisi seperti Dereck Walcott menulis. Asif Amini asyik bicara hal-hal lama dan usang tentang dunia sastra, mengungkit kedahsyatan sastrawan-sastrawan lama dari dunia yang jauh dalam menghasilkan karya.

Dari kecenderungan ini kita bisa menangkap satu hal, sebenarnya kita sedang bersusah-payah mengelap orientasi kebudayaan yang baru; bukan Barat bukan Timur. Tetapi, kebudayaan yang tumbuh dalam situasi zaman penuh kekangan oleh kolonialisme, seolah-olah mengamini tesis yang mengatakan di luar sosoknya yang kejam dan sadistis, kolonialisme mampu melahirkan dan menumbuhkan mentalitas kebudayaan dari orang-orang yang lama hidup dijajah.

Orientasi kebudayaan dari entitas yang lama tertindas, dan tidak memilki alternatif pintu untuk bisa lepas dan kabur dari bayang-bayang sang penindas.

Orde Baru bagi semua warga bangsa, tidak lebih bagus dibandingkan dengan kolonialisme. Keduanya menanam racun di urat darah kita, yang membuat kita menghabiskan energi hanya untuk melakukan perlawanan demi perlawanan, sehingga lupa untuk terus berkreativitas sebagai orang-orang profesional. Zaman reformasi, ternyata pula, tidak lebih bagus dari Orde Baru.

Yang kita saksikan, tumpukan manusia yang kehilangan pegangan dan kebingungan menentukan orientasi, tapi tidak pernah bisa mengelak dari tusukan dan tujahan globalisasi yang begitu tajam.

Memang, perkembangan sastra nasional menunjukkan kemampuan luar biasa dalam memproduksi karya-karya sastra. Tetapi, karya-karya sastra tersebut sejak kelahiran sampai peredarannya ke tangan masyarakat, sudah menolak segala bentuk teori-teori dalam berkesenian. Banyak intelektual membicarakan novel Saman bukan semata sebagai seni, tapi juga karya politik yang tidak berbeda dengan tesis-tesis para doktor sosiologi politik di negeri ini.

Niels Mulder dalam Southeast Asian Images: Toward Civil Society? (2003), menulis sebuah simpul, "Hal yang sangat menarik dari Saman adalah hubungannya yang meyakinkan antara dua tema yang sepintas lalu tak bertalian: Kekejaman Orde Baru dan keasyikan seks empat orang wanita yang bersahabat...."

Semua fakta ini menunjukkan sastrawan di Indonesia adalah sebuah posisi yang penuh kutukan. Mereka terus berkarya, tapi tidak bisa bebas dari persoalan yang dihadapi para pendahulunya. Persoalan yang mereka hadapi selalu berkisar antara sastra sebagai karya seni dan sastra sebagai risalah politik.

Pada aspek sosialisasi, mereka pun tidak bisa bebas dari kecenderungan "ikut berkelompok dan karenanya berpolitik dalam sastra" atau tidak mendapat tempat sama-sekali.

*) Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung.

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae