S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/
KETIKA aku datang kali pertama di dusun itu, rumahnya bobrok ditumbuhi kebun nanas yang sulit dijangkau manusia. Rimbun pohon bambu dengan ujung-ujungnya yang menyentuh tanah menggelikan aku. Bahwa ini bukan tempat yang cocok buatku. Bila malam hari lampu teplok berbinar melawan bintang atau bulan yang terhalang.
Dua puluh lima tahun lalu aku pendatang dan merasa diriku di tempat baru bukan sebagai saudara, kerabat atau orang baru. Ya, aku lebih pas berada di kampung itu sebagai hantu. Atau lebih tepatnya aku benar-benar tidak mengenali siapa sesungguhnya diriku. Apalagi bila harus menjawab pertanyaan, angan-angan bila kelak dewasa bagaimana nasibku, hendak jadi apa aku, pergi ke mana saja aku, lalu akankah juga dikuburkan jasadku di belakang kebun nanas itu?
Membayangkan diri menjadi hantu lebih gampang ketimbang merasa diri jadi manusia, meski hantu itu sendiri tak lain adalah kata-kata buatan manusia akibat kebuntuan mencari jawab suatu pertanyaan. Jadi ia adalah ciptaan manusia juga. Barangkali cuma hasil otak-atik dari kata Tuhan. Dua hal yang entah bagaimana mulanya begitu menakutkan sampai di telingaku.
Seperti juga Tuhan, Hantu itu tiba-tiba hadir di benakku seperti bayang-bayang hitam yang membesar. Ya, meski tak pernah berkata-kata, dongeng juga cerita dari mulut ke mulut lebih cepat menyebar dan hadir menyeramkan. Jadi sesungguhnya takut benar-benar menjadi manusia itulah yang menyebabkan diriku memilih bersahabat dengan hantu. Ketidaktahuan nasib sebagai manusia jadi penyebab diriku seperti itu.
Dan ternyata menjadi hantu itu cukup enak. Setidaknya sedikit mengurangi rasa takut sebagai manusia meski tentu saja terpikir olehku ada juga hantu yang kurangajar, suka menggoda. Ini sisa rasa takut itu yang berbenih. Tapi bersaing dengan Tuhan mulai terpikir sejak itu. Tidak ada beban, tak ada kewajiban karena keberadaannya juga diragukan tentu saja oleh manusia. Tetapi terhadap sesama kaum punya persoalan tersendiri. Pendek kata antara ada dan tiada.
Selama berpuluh-puluh tahun aku hidup seperti itu, aman dan tanpa ada yang mengusik. Bila ada yang mengusik bisa dipastikan itu akibat ulah manusia juga yang usil mencoba menempatkan dirinya separuh manusia dan separuh lagi bukan. Barangkali semacam dukun yang mencoba mempengaruhi makhluk halus yang jahat untuk menjahati diriku. Dan biasanya, uanglah pemicu paling dahsyat dalam hal begitu kacau-mengkacau.
Berikutnya, pendidikan, pekerjaan, menjadi kehidupan yang di kampung itu lebih ruwet. Jumlah orang yang separuh dirinya manusia dan separuh lagi bukan, menjadi bertambah dan berlipat. Segelintir saja yang bersitahan menjadi hantu saja atau manusia saja. Salah satunya, diriku. Sekolah agama, sekolah teknik, sekolah ekonomi, ah kenapa tidak tersedia pilihan sekolah penerbang yang menempatkan guru besarnya seekor elang, sehingga aku bisa jadi penerbang seperti burung lain lalu bebas menghilang kemana aku suka.
Di depan rumah bobrok yang kuhuni itu, ada surau kecil. Bila sore hari ramai sekali anak-anak mengaji di bawah asuhan ustadz Harjito dan guru ngaji Rokemah dan Rofiah, gadis kampung yang paling cantik selain rupawan juga lantaran ramah dan murah hati. Semuanya itu sudah terbukti. Termasuk karena itu santri-santrinya dari hari ke hari bertambah banyak. Tapi mulai tumbuh keanehan bagiku, karena sekalipun aku tak pernah masuk di surau itu. Alasannya, tentu sudah bisa diketahui: takut. Apalagi lantai yang hitam dingin tersebar hingga di depan pintu. Terlebih gelap yang mengurung melebihi bayang-bayang sendiri. Aku tahu tak ada hantu di situ, tapi takut itu tak pernah sudi beranjak.
Inilah keanehan yang kurasakan mulai menjangkiti tubuhku, perasaanku dan jiwaku—menjadi makhluk setengah manusia dan sisanya tidak jelas. Apalagi bila hanya seekor hantu. Bila menjelang bulan puasa, pemilik surau Haji Sinto mengajak ustadz, para santri Mendengarkan pengajian-pengajian di pesantren. Rokemah dan Rofiah hadir pula. Dibaan dan Yasinan tak pernah sepi. Aku sendiri hanya sebagai saksi dan tak pernah hadir di tengah-tengah itu semua. Bagiku menjadi pendatang dari tempat yang telah kulupa telah jadi siksaan. Akan tetapi hidup yang tak bisa menentukan diriku sendiri di tempat ini telah terasa menyiksa lagi.
Lalu siapa yang salah, tentu sebagai anak bau kencur, aku tidak tahu. Salah besar itu padaku bila aku tak melakukan apa-apa. Kenyataannya aku beberapa waktu lamanya mencoba nyantrik, mondok pada Haji Sinto, pemilik surau. Dari situ aku mulai bisa mengintip santri-santri yang mengaji atau menyalakan lampu teplok untuk anak angkatnya, Lukman bila sedang menyalin huruf-huruf Al-Quran mengerjakan tugasnya. Dia sekolah di pesantren dan seminggu sekali pulang. Tapi sebagian besar kesehariannya kuhabiskan bergumul dengan tahu ayam karena harus mengurus ayam-ayam peliharaan Haji Sinto yang jumlahnya ratusan itu. Aku harus mengeruk kotorannya dan membuangnya di ladang-ladang pisang atau kebun lombok miliknya. Lalu aku harus mencuci pakaian yang menggunung di sumur. Satu-satunya kenangan yang tak terhapus dalam hidupku adalah saat ustadz Harjito membelikanku sebuah pensil, kertas dan penghapus, dan ia tak berkata sepatah kata pun untuk itu.
Semenjak saat itu mulai tumbuh dalam diriku suatu pengetahuan bahwa aku bukan siapa-siapa. Aku lebih gampang mengerti bahwa diriku serupa dengan tahi ayam yang dikumpulkan untuk makan gedebok pisang atau vitamin tanaman lombok. Sebab itu semenjak itu pula aku tak punya keberanian untuk membentak sang majikan, dalam hal ini ayam. Aku selalu menyimpan seluruh rahasianya baik-baik. Karena itu di luar dugaan bila kelak di kemudian hari bagiku kehidupan seekor ayam tak kurang pentingnya dengan kehidupan seorang manusia. Biarpun manusia sempurna sepanjang zaman. Setidaknya seekor ayam adalah leluhurku atau ibu kandungku yang melahirkan aku. Meski ia melahirkan untuk kemudian membiarkan aku tumbuh berkembang sendiri secara liar. Sebelum akhirnya berujung di bawah pohon pisang.
Berbekal filosofi seekor ayam, sayap, cakar, tahi, aku meninggalkan kampung basah gelap oleh rerimbunan pohon bambu itu. Aku pergi mencangklong ransel mengembara tanpa tujuan—sesuatu yang telah diajarkan leluhurku. Persinggahan tak boleh terlampau jenak sebab hal itu justru akan membunuhku, apalagi bila sampai mengambil tempat untuk menetap. “Kau tak boleh membangun rumah lagi,” demikian tutur leluhurku itu. “Tapi peliharalah sungguh rumahmu sendiri, meski kamu memilih jadi pengembara.” Ya, sebuah pesan yang tak gampang dicerna karena bisa jadi memang tak kumengerti.
Rumah? Ah, rumahku yang sekarang adalah ransel dan sepotong ijazah lusuh di dalamnya agar aku bisa mendapatkan kerja. Bukan maksudku meremehkan nilai, bahan ajar, dan paraf atau cap jempol pada kantor keluaran Dinas Pendidikan negeri ini. Sebaliknya, justru dari situ kusimpan sejumlah gedung, bangunan, sekolah, kantor, pasar, pabrik, pemerintah, swasta, bahkan kebun dan hutan, laut dan pantai bisa tersimpan dalam ijazah itu. Lalu kupendam dalam ranselku.
Begitulah sebagai pengembara, berkat selembar kertas itu aku begitu gampang mencari kerja, gaji lumayan, meski makin susah mencari kawan. Aku keluar masuk kantor dengan leluasa. Aku bisa lakukan hal terburuk atau terbaik dari setiap perusahaan yang mempekerjakan aku. Semua tersedia dengan gratis. Itu tentu saja bila aku mau. Tapi apa boleh dikata bila itu semua pada akhirnya satu pun tak ada yang pernah kulakukan baik yang terburuk maupun terbaik bagi perusahaan. Jadi apa yang saya kerjakan hanyalah hal yang biasa-biasa saja—hal yang sama sekali tak ada dalam pesan leluhurku dan menjadi bagian hidupku. Apalagi, perihal kehidupan yang penuh dengan dunia basa-basi dan kompromi tak bisa kujalani. Jadi apa yang sebetulnya kucari tidak pernah berhasil kutemui dan tak pernah ada. Aku betul-betul merasa sendiri. Aku sungguh-sungguh jadi orang asing, lengkap dengan segala penderitaan sebagai makhluk hidup. Anehnya, itu bisa terjadi padaku selama bertahun-tahun.
Lalu apa yang kau cari, hei bung?
Di balik itu sebuah keajaiban diam-diam muncul pada diriku: aku kembali merasa sebagai manusia di atas banyak sekali timbunan kertas. Ya, meski seringkali aku merasa terjepit diantara kertas-kertas itu. Betapa tidak, dunia ini tiba-tiba dalam pandanganku bagitu banyak disesaki kertas-kertas—ijazah, sertifikat, surat keputusan, lamaran, koran, brosur, surat pajak, uang kertas, akta kelahiran, surat nikah, sim, ktp, rekening listrik. Ah, bahkan dunia ini bisa terlihat lantaran tersusun dari kertas koran. Hebatnya lagi, seperti dalam puisi Subagio Sastrowardoyo, Tuhan pun terselip di balik surat pajak.
Begitulah, untuk pertama kalinya aku kembali menjadi manusia dan sendiri. Aku cemas bukan karena mencemaskan diriku. Melainkan mencemaskan dunia yang kelihatannya cepat berputar makin cepat tapi sebetulnya sia-sia. Ya, kesia-siaan disana-sini banyak terjadi dan kekalahan seringkali terjadi pada diri manusia. Sudah menjadi rahasia umum dunia ini antara ada dan tiada, meski disana-sini juga kian dahsyat maknanya dikorup. Buktinya, antara ada dan tiada sering nongol di layar kaca dan bintang utamanya justru bukan manusia tapi hantu.
Lalu manusia sendiri malah terus berpacu mengeruk rezeki dari hantu-hantu bikinan stasiun televisi. Apalagi untuk meresapi kata-kata ‘sebagai makhluk yang serba merugi kecuali bagi yang tahu diri.’ Tidak.
***
KINI setelah puluhan tahun bersusah payah mengembara dan sia-sia, aku pulang ke kampung halaman. Aku tak membawa buah tangan yang menempel di badan kecuali sepotong sajak penyair Hamzah Fansuri . Di Barus ke Qudus terlalu payah. Akhirnya ditemukan di dalam rumah. Di kampung halaman surau yang dulu kotor dan beratap genteng yang bocor bila musim hujan, telah berganti bangunan yang kokoh dan megah, cantik dan menarik. Gentong-gentong tempat wudlu yang dulu kini telah diganti dinding berlapis porselin indah dengan kran-kran air berwarna keemasan. Juga lantai telah berwarna-warni lebih terang dan dingin.
Tapi mengapa surau itu kini telah berubah sepi, tiada lagi anak-anak yang rajin mengaji. Loudspeaker terlihat berdebu dan tak tersentuh tangan. Sesekali saja berkumandang bila adzan magrib.
“Begitulah, Nak. Zaman sudah berganti,” ungkap Haji Sinto. “Semenjak ustadz Harjito, Rokemah dan Rofiah pergi, tak ada lagi yang mengurus surau. Tak ada lagi yang mau jadi guru ngaji. Semula saya sendiri yang menggantikan, tapi lama-kelamaan anak-anak yang nyantrik telah habis dengan sendirinya. Barangkali karena saya sudah terlampau tua untuk mereka. Jadi tidak menarik lagi. Saya sendiri juga pilih mengurus sawah sampai petang hari. Maklum, tidak ada orang lagi. Lukman memilih hidup di kota. Jangankan untuk anak-anak mengaji, bila adzan magrib berkumandang, surau ini tetap sepi dari jamaah.”
“Terus, Rokemah dan Rofiah kemana lagi, Pak Haji?”
“Oh, dia jadi orang besar sekarang. Dia pilih bekerja di Hongkong dan Malaysia. Rumahnya bagus dan dua tahun sekali pulang bisa beli tanah. Orangtuanya dihormati orang. Apa yang mereka cari lagi di dunia ini kecuali itu? Ya, kampung ini sepi sekarang, Nak. Mereka banyak yang ke luar negeri jadi TKI dan TKW ke Hongkong, Malaysia, Arab, Korea, Kuwait. Mereka kaya dan rumahnya kau lihat sendiri, megah-megah tapi kosong ditinggal penghuninya,” ujar Haji Sinto.
“Lalu siapa yang menempati, Pak Haji?”
“Ya, yang punya orangtua dia yang mengurus. Tapi yang sudah nggak punya, siapa yang menghuni? Nggak tahu saya.” Seperti biasa Haji Sinto Sinis dengan giginya yang gemeretak karena gemetar. “Syukurlah kamu pulang. Kamu bisa Bantu saya mengurus surau.”
“Ah, Pak Haji. Saya belum cukup untuk tahu diri seperti Pak Haji,” takut mengecewakandia.
“Setidaknya, aku tahu kamu telah pulang. Itu artinya kamu tak membiarkan rumahmu itu kosong. Biarpun rumah itu tua dan terlihat tak terurus yang penting ada penghuninya. Seperti juga surau ini apa gunanya dibangun megah bila tak ada santrinya.”
Kata ‘kosong’ Pak Haji mengganggu pikiranku. Sebagai orang yang tahu agama tentu yang ia maksud bukan cuma kosong tanpa penghuni, melainkan jiwa yang kosong. Barangkali rumah-rumah megah itu juga dihuni banyak orang, tapi mereka tidak benar-benar ada. Di rumah itu malam-malam bagi mereka hanya untuk tempat tidur. Ketenangan, kenyamanan dan hidup serba cukup mengakhiri problem mereka sebagai manusia. Tidak ada lagi yang dipersoalkan, diperbincangkan. Ada atau tidak ada bagi mereka adalah sama saja. Jadi sebetulnya mereka ini tidak sedang benar-benar ada. Dunia pun berjalan seperti biasa, tapi sesungguhnya tidak ada sesuatu yang bergerak. Mereka makan juga dalam keadaan diam. Bekerja pun tak ada yang peduli. Manusia ataukah binatang ternak juga tak ada yang cukup punya keberanian untuk Menyimpulkan.
“Ceritakanlah padaku mengapa kamu pulang, Nak?”
“Saya tidak yakin benar, apakah saya sesungguhnya telah pulang Pak Haji. Karena saya tak punya rumah lagi di sini. Rumah itu bukan hak saya dan telah jadi milik saudara-saudara saya,” kataku.
“Baiklah, mengapa engkau kembali?” desak Haji Sinto.
“Karena ternyata yang saya cari tidak jauh dari tempat saya berdiri sekarang, Pak Haji.”
“Kamu belum jawab pertanyaanku, tentang kembali Nak.”
“Oh, soal itu. Saya sendiri tidak yakin apakah di sini adalah tempatku yang terakhir. Kapan saja, saya bisa tiba-tiba pergi kemana saja, Pak Haji.”
“Baiklah. Sekarang apa yang kamu cari ditempat ini. Setidaknya untuk hari ini?”
“Seperti juga apa yang Pak Haji cari selama bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun di tempat ini dengan mendirikan surau ini,” jawabku.
“Jadi sekarang kamu menyesal dengan kau tunjukkan kepulanganmu ini, Nak?”
“Tidak Pak Haji. Sama sekali tidak. Apalagi seperti yang saya katakan tadi, saya tidak yakin diri saya telah pulang.”
“Lalu apa artinya ini semua?”
“Selama mengembara saya telah banyak singgah di pelbagai kota, bangunan dan rumah, mencari kawan, sahabat atau saudara. Tapi semakin jauh pengembaraan saya, semakin aneh lantaran tak seorangpun saya temukan itu yang saya cari. Saya justru mengundang banyak lawan dan musuh. Saya seperti hidup sendiri di dunia ini. Saya seperti batu yang berguling-guling di dasar kali tapi tak mengenal dan tak dikenal satu sama lain di planet ini. Pekerjaan saya sehari-hari hanyalah membersihkan diri dari perbuatan dosa yang jumlahnya ternyata berlipat ganda. Baru kemudian saya menyadari dalam pengembaraan saya, bahwa persinggahan yang sesungguhnya, di tempat yang bersih tanpa noda, terang dengan cahaya dan sejuk serta nyaman untuk istirah justru ada dalam diri saya sendiri. Tak seorang pun yang boleh berlama-lama singgah di tempat saya ini yang jauh dari hiruk pikuk kemabukan zaman. Kecuali bagi yang sangat kucintai dan kukasihi. Karena itulah, jujur saja saya akui Pak Haji. Saya sendiri tak tahu mengapa pada akhirnya pengembaraanku sampai di tempat ini dan kembali bertemu Pak Haji,” kataku.
“Kalau boleh kutahu, apa rencanamu sekarang, Nak?”
“Saya tidak tahu Pak Haji. Tepatnya saya tidak punya keberanian untuk membuat
Rencana-rencana, karena sesungguhnya dalam diriku telah ada kekuatan yang menggerakkan tubuh dan jiwaku dengan sendirinya. Aku sangat takut kepadanya dan aku takut mengecewakannya.”
“Katakan saja, aku yakin kamu tak akan mengecewakannya.”
“Betulkah? Maukah Pak Haji menjadi jaminanku untuknya?”
Haji Sinto mengangguk.
“Saya ingin membeli beberapa ekor kambing dan jadi penggembala untuknya.”
“Oh, semoga aku tak salah dengar. Itu keinginanku yang berpuluh-puluh tahun tak pernah terwujud, Nak.”[]
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 28 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar