(Catatan dari Pementasan Teater Selembayung)
Marhalim Zaini
http://www.riaupos.com/
”....sebuah mawar akan tetap sebuah mawar juga,
delapan puluh tahun yang akan datang.” (Yukio Mishima)
Dua titik cahaya api yang menyulut ujung dua batang rokok itulah yang memulai sebuah peristiwa teater di malam itu. Pendar cahayanya membias temaram, sebelum sorot lampu menajam ke arah dua sosok tokoh yang dari mulutnya kini mengepulkan asap. Dua sosok, lelaki muda dan perempuan (sangat) renta, yang seakan sedang direkatkan oleh sebuah tarikan waktu, sebuah kekuatan nasib. Ada kesunyian yang hanyut dalam hitungan detik, mengambang dalam lengang, dalam malam yang diam. Tapi tak lama, dua sosok itu pun berpendar, meregang jarak, menyibak tabir-tabir dalam ruang-ruang panggung yang sunyi. Dan nampaknya, percakapan harus segera dimulai, untuk memberi tanda bagi sepi yang usai: ”Satu ditambah satu, dua; dua ditambah dua empat.....”
Apa makna hitungan yang diucapkan oleh tokoh perempuan renta berumur sembilan puluh sembilan tahun itu? Ia menghitung puntung rokok yang berserakan di sebuah taman kota yang usang. Ia, boleh jadi seorang pemulung. Tapi berapa harga sebuah puntung rokok? Apakah ia sedang menghitung keuntungan? Tidak pasti. Bukankah seorang pemulung tidak semestinya bicara tentang keuntungan, tapi lebih baik berpikir tentang keberuntungan? Atau boleh jadi dia memang sedang menghitung waktu, yang satu persatu gugur bagai daun-daun kering yang ikut terserak di taman itu. Pun, menghitung gugur rambut putihnya dalam kenangan, dalam usia yang bergerak menggapai satu abad.
Tapi di malam itu, di taman yang kusam itu, tempat ia kerap mengusir para pasangan kekasih yang memadu cinta di atas bangku-bangku kayu, ia harus kembali bertemu untuk keseratus kalinya dengan seseorang yang masih muda, yang dipanggil sebagai penyair. Maka ia, mau tak mau, harus kembali bercakap dan berdebat dengan sang penyair tentang hidup, tentang pergulatan eksistensial, tentang individu-individu yang rapuh dan rumpang, tentang romantisme, dan tentang kematian. Perempuan renta itu bilang, ”Kau beranggapan bahwa bangku-bangku itu menjadi hidup jika ada seorang pemuda tolol bersama pacarnya duduk di atasnya? Janganlah begitu bodoh! Mereka saling memeluk di atas makam mereka. Lihat betapa pucatnya mereka, betapa pucat-lesinya mereka, dalam cahaya hijau yang melalui daun-daunan menyelinap dari jalan. Mata mereka terpejam. Tidakkah mereka kelihatan sebagai mayat? Mereka mati selagi bercumbu.”
Demikianlah, peristiwa bagian awal pertunjukan teater yang disuguhkan oleh Teater Selembayung selama tiga malam berturut-turut (2, 3, 4 Januari 2009) di Gedung Olah Seni Taman Budaya Pekanbaru. Lakon yang diangkat adalah Malam Terakhir karya salah seorang pengarang Jepang terpenting di abad kedua puluh bernama Yukio Mishima (1925-1970) yang diterjemahkan Toto Sudarto Bachtiar. Lakon dengan judul asli Sotoba Komachi ini memang melukiskan pertemuan seorang penyair dengan perempuan tua, bernama Komachi (nama ini oleh sutradara, Fedli Aziz, kelak diubah menjadi Dang Dara). Pada masa mudanya Komachi adalah seorang perempuan yang cantik jelita, dan dicintai oleh seorang kapten pengawal istana. Tapi anehnya, pada pertemuan mereka yang keseratus, sang kekasihnya itu meninggal ketika mengatakan bahwa Komachi cantik. Sejak itu, berturut-turut kekasih Komachi yang lain juga meninggal setelah menyebut Komachi cantik pada malam keseratus pertemuan mereka. Si Penyair, dalam kisah lakon ini, juga akhirnya menemukan ajalnya ketika di malam keseratus pertemuannya juga tak kuasa untuk tidak mengatakan bahwa Komachi adalah perempuan yang sangat cantik, meski saat itu Komachi justru telah berusia sembilan puluh sembilan tahun.
Secara kronologis, kisah yang dirangkai Yukio Mishima (nama pena dari Kimitake Hiraoka) sesungguhnya bersifat realistik. Setiap perempuan cantik pasti ”disukai” oleh banyak laki-laki. Laki-laki yang bertemu dengan perempuan cantik itu, rasanya tidaklah salah (dan sekali lagi sangat realistis) jika harus jujur mengatakan bahwa apa yang dia lihat memang cantik. Yang jadi tidak realistik secara logika adalah ketika sang laki-laki yang mengatakan kejujurannya tentang kecantikan perempuan itu harus mati. Dan harus pula pada sebuah malam, di hari yang keseratus. Dan anehnya lagi, laki-laki yang mengetahui prihal peristiwa ini, justru tak sanggup mengalahkan keinginannya untuk tidak mengatakan, bahkan lebih memilih untuk siap mati.
Apa yang hendak disampaikan oleh Yukio sebenarnya dalam lakon ini? Kenapa harus kematian yang disuguhkan Yukio untuk sebuah soal yang bagi banyak orang dianggap sangat sepele: mengatakan cantik? Ada dua hal yang mengemuka: kecantikan dan kematian. Demikian berbahayakah ”kecantikan” hingga taruhannya adalah ”kematian”? Dari sini, saya kira, kita segera harus memeriksa kembali, bahwa benarkah untuk mengatakan seseorang/sesuatu itu cantik adalah satu hal yang sepele, tanpa ada tendensi ideologis? Tentu, sampai di sini, ketika menyebut ideologi, maka seketika kita harus mendudukkan kisah Malam Terakhir ini dalam konteks yang lebih luas, dalam berbagai kajian tentang sosial, kebudayaan, politik, psikologis, filsafat, dan entah apa lagi. Maka di sinilah letak kekayaan karya sastra, yang sangat diyakini, tercipta tidak dari ruang kosong, tapi dari sebuah realitas kompleks dan rumit dari sebuah peradaban.
Agaknya perjalanan hidup Yukio Mishima yang dramatis itu, dapat setidaknya memberikan laluan kita untuk menengok lebih ”dalam” makna yang tersirat dari lakon Malam Terakhir ini. Misalnya, apakah jalan kematian Yukio dengan melakukan harakiri (bunuh diri) di hadapan para pengikutnya pada akhir November 1970, setelah menyelesaikan halaman terakhir buku keempat tetraloginya itu, adalah sebuah realitas absurd tentang hidup dan kematian sebagaimana yang terjadi dalam Malam Terakhir? Meski di lain pihak, kita segera mengetahui bahwa demikianlah kiranya cara Yukio menggapai puncak hidupnya, puncak karyanya: dengan bunuh diri. Bahwa kematian, kita tahu, kerap ”dipakai” dalam banyak pemikiran filosofis yang terkait dengan makna hidup itu sendiri.
Saya tertarik untuk mengaitkan prihal dunia absurditas (hidup-mati) ini dalam sejumlah pandangan Albert Camus dalam esai panjangnya yang terkenal, The Myth of Sisyphus (terbit tahun1942), selain juga dalam berbagai karyanya yang lain, semisal drama Le Malentendu (Salah Paham) atau novel L’etranger (Orang Luar Garis). Camus memandang bahwa alasan untuk hidup adalah juga sebuah alasan untuk mati. Salah satu jalannya bisa dengan bunuh diri. Tapi bunuh diri yang bermakna. Camus bilang, ”bunuh diri adalah pemecahan situasi absurd.” Bunuh diri yang dilakukan oleh Yukio Mishima, meski sesungguhnya juga bukan hal yang terlampau luar biasa dalam khazanah tradisi di Jepang, tetap mengandung situasi absurd itu. Dalam konteks lakon Malam Terakhir, bukankah laki-laki yang memilih mati dari pada tidak mengatakan kebenaranan/kejujuran tentang ”kecantikan” adalah juga sebentuk bunuh diri? Dan laki-laki itu pun mati berkali-kali, bunuh diri berkali-kali, sebagaimana juga tokoh bernama Sisyphus yang diciptakan Camus yang mendorong sebongkah batu besar ke puncak bukit yang tidak pernah dicapainya. Titik capaian di sini menjadi demikian relatif, dan tidak mutlak ditentukan oleh sebuah puncak (gunung, misalnya). Kematian pun dalam hal ini adalah sesuatu yang sangat wajar dan tidak boleh tidak harus dihadirkan untuk memecahkan situasi absurditas hidup itu sendiri. Jika tidak, maka kecantikan si perempuan hanya berada dalam kosmetika-luaran belaka. Kecantikan yang akan segera pudar oleh gerusan waktu. Sementara yang dikehendaki oleh Yukio adalah kecantikan yang ”kekal”, yang ”abadi.” Maka kalimat dialog yang saya kutip di awal tulisan ini, dapat menandaskan hal itu, ”....sebuah mawar akan tetap sebuah mawar juga, delapan puluh tahun yang akan datang.” Yukio Mishima, nampaknya memang hendak mengekalkan waktu di malam keseratus, di Malam Terakhir.
Tafsir Ulang Teks Lakon ke Teks Panggung
Teks lakon Malam Terakhir yang bernilai absurd ini, rupanya ditafsirkan oleh Fedli Aziz selaku sutradara dalam teks panggung sebagai sesuatu yang mengandung nilai magis. Hal ini demikian dapat dirasakan sejak awal sampai di akhir pertunjukan. Hemat saya, memang terasa demikian tipis pembatas antara suasana magis dan suasana absurd itu. Sebab keduanya memang mengandung situasi ambang dalam berbagai pertanyaan-pertanyaan spiritual. Situasi yang tanpa disadari membawa kita berada dalam kesadaran yang lain, yang lebih subtil. Sebagaimana juga banyak pakar mendudukkan karya-karya Ionesco dan Beckett sebagai karya peralihan dari tema sosiologis ke tema-tema metafisik, maka Yukio agaknya berada dalam ketegangan serupa. Atau dapat pula ditengok dari model atau teknik penulisan stream of consciousness (dialog para tokohnya yang menuntun kepada suara-suara perjalanan batin) untuk menghadirkan absurditas. Apalagi situasi kemanusian yang cenderung ”absurd” pasca Perang Dunia, bagi Yukio, menyimpan kompleksitas traumatik yang tak gampang untuk diurai. Perang, adalah identik dengan kematian. Maka, perang, kerap menghadirkan situasi yang hampir serupa pada banyak pengarang yang lahir dan hidup di masa-masa pancaroba macam itu. Namun begitu, tidak serta merta membuat sebuah pertunjukan teater demikian suram, dalam tikungan-tikungan tangga dramatik yang magis. Malam Terakhir saya kira bisa saja tampil dalam visual yang elegan, bahkan komikal. Sebab, bentuk teksnya realistik, meski konsepsi nilainya asburd. Sebagaimana juga misalnya dapat kita telisik ulang dalam teks naskah Petang di Taman karya Iwan Simatupang.
Upaya tafsir teks panggung dari teks lakon yang dilakukan Fedli semacam ini beresiko mengalihkan titik pandang penonton kepada ruang mistis. Meski tidak juga sepenuhnya demikian. Saya tetap percaya, bahwa potensi setiap teks lakon memang demikian besar untuk diolah dalam berbagai tafsir sesuai ”obsesi” sang sutradara. Dalam konteks itu, upaya Fedli yang lain, yang dapat pula diperdebatkan lebih lanjut adalah penghadiran ”nuansa lokal (Melayu)” dalam pertunjukan. Selaku sutradara, tugasnya memang harus melakukan ”tafsir ulang” terhadap teks lakon untuk menemukan formula dan bentuk pemanggungan yang sesuai dengan konsep yang diinginkan. Jadi, dia (sutradara) punya hak yang cukup besar untuk dapat menghidupkan teks lakon sedemikian rupa, sehingga teks lakon juga adalah ”kendaraan ideologis” sang sutradara. Akan tetapi, apakah Fedli juga bertindak sebagai penfasir ulang teks lakon dalam tataran adaptatif atau transformatif?
Dalam pengamatan saya, Fedli telah melakukan tugas penyutradaraan yang demikian rapi dengan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Saya mengapresiasi itu sebagai sebuah kerja yang serius. Pola blocking dan garis-garis ruang yang dinamis. Suspensi yang kadang mengejutkan. Tempo yang cukup terjaga. Komposisi musik (digarap oleh Rino De Zapati) yang hemat saya sangat mendukung pertunjukan. Porsinya tepat dengan nuansa percampuran antara Jepang dan dunia Melayu. Nah, soal percampuran inilah yang saya maksudkan bahwa kerja pengadaptasian (mungkin dalam konteks ini lebih tepat menyebutnya transfromasi) adalah kerja yang sebaiknya tidak dianggap sebagai kerja pragmatis. Ia, adalah kerja penggalian intensif tak hanya soal linguistik tapi juga soal latar belakang sosio-kultural sebuah teks sumber, menuju teks baru. Teks baru ini, entah macam apapun bentuknya, juga harus memiliki kekuatan yang lain, yang eloknya tak lebih ”rendah” dibanding teks sumber.
Apa yang dilakukan Fedli misalnya dengan mencoba ”mencampurkan” dua entitas (Jepang dan Melayu) ke dalam sebuah sajian pertunjukan masih tampak dan terasa sebagai ”pelengkap” dari identifikasi yang tanggung. Saya katakan dalam diskusi malam terakhir pertunjukan, bahwa kenapa mesti ”terjebak” kepada menggapai-gapai ”Melayu”. Apakah kebudayaan Jepang yang ada dalam teks Yukio Mishima kalah menarik dengan teks-teks Melayu? Apakah kita menjadi tidak lagi Melayu, jika kita dengan sangat serius menggeluti, menggali, dan memainkan teks lakon Jepang yang (mendekati) asli. Yang setelahnya, kita pun segera tahu dan ikut menyandingkan kebesaran atau bahkan kekerdilan dari masing-masing kebudayaan tersebut. Maka penukaran nama Komachi menjadi Dang Dara pun tak menemukan substansi dan signifikansi dalam tataran simbol maupun semiotis. Tari Olang-olang-nya suku Sakai yang dipakai menggantikan dansa berirama wals pun kemudian tak saling ”melengkapi” bahkan saling memungungi. Tarian itu seolah datang begitu saja dari hutan Sakai dan hadir menyelinap dalam pertunjukan Malam Terakhir. Meski tentu upaya Fedli ini, harus diberi apresiasi. Sebab, dalam perspektif lain, saya justru melihat keberhasilan yang lain yang dicapai Fedli. Yakni meniadakan ruang sosio-kultural itu sendiri dalam tarik-menarik berbagai konflik eksistensial. Bukankah kini sesungguhnya kita juga sedang berada dalam ”ketiadaan” yang semacam itu? Sungguh, sebuah situasi absurd yang lain...
Inilah Aktor Kita
Terlepas dari soal konsepsi pemanggungan, saya melihat justru telah lahir aktor Riau yang baru dan pantas dicatat dalam buku besar teater Riau. Tokoh Penyair yang diperankan oleh M Paradison dan tokoh perempuan tua diperankan oleh Tri Sepnita, tampak sedang masuk ke dalam model permainan yang mendekati karikatural, dan non-realisme. Pilihan untuk membuat gestur-gestur yang tegas dan ekspresif memang memungkinkan untuk mengidentifikasi kehendak teks naskah lebih fleksibel. Tidak kaku dalam ketengangan-ketegangan suasana yang terlanjur diplot dalam suasana magis oleh sutradara. Satu lagi, komposisi garis permainan yang cukup dinamis dapat pula membantu mencairkan ”ruang magis” itu menjadi ruang-ruang pergumulan ”eksistensial” dua tokoh utama ini. Saya kira, dua aktor ini bermain cukup intens, meski sempat ”lepas” pada saat-saat pergantian adegan. Faktor lain, agaknya adalah tradisi pementasan lebih dari satu malam yang di Riau masih sangat tidak biasa, juga ikut berpengaruh pada stamina aktor. Di luar itu, dalam hal ini, saya hendak meralat pernyataan Taufik Ikram Jamil dalam sesi diskusi pada malam terakhir pementasan, yang menyatakan bahwa sejak tahun 80-an baru kali ini (maksudnya Teater Selembayung) yang berani mementaskan selama tiga malam berturut-turut. Sebab faktanya, Opera Melayu Tun Teja yang melibatkan pemain ratusan orang itu telah lebih dulu memulai pementasan selama tiga malam beruturut-turut, 29, 30, 31 Agustus 2007. Sebagai sebuah sejarah, ia tak bisa dipungkiri.
Para pendukung lain pertunjukan ini, juga telah bermain secara maksimal, sesuai peran yang dibebankan pada mereka. Mereka, selain anggota Teater Selembayung adalah juga mahasiswa di Jurusan Teater Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), termasuk dua tokoh utama di atas. Artinya, bahwa saya (sebagai pengajar di Jurusan Teater AKMR) cukup mengetahui dan mengikuti proses mereka dalam berbagai aktivitas dan kreativitas yang dijalani. Meski sudah barang tentu, bangku akademis, tak dapat sepenuhnya memberi ”kepuasan proses” berkesenian yang sesungguhnya. Maka sanggar, adalah sebuah ruang lain untuk ”mempraktekkan” atau menuangkan kegelisahan kreatif seorang (calon) seniman. Artinya juga, bahwa permainan mereka di atas panggung perlu terus diuji untuk meningkatkan ”jam terbang” mereka, terutama dalam menemukan potensi-potensi keaktorannya.
Sesungguhnya, masih banyak hal yang perlu kita perbincangkan. Akan tetapi, ruang yang terbatas ini, membuat saya harus mengakhiri tulisan ini dengan mengutip satu kalimat diaolog lagi milik Yukio Mishima, ”Kalau aku berpendapat bahwa sesuatu cantik, maka aku harus mengatakannya, sekalipun aku harus mati karenanya.” Adakah di antara kita yang sanggup begitu? Termasuk untuk berani mengatakan yang tidak cantik, yang tidak baik, yang tidak benar, yang tidak ideal, di sekitar kita? Maka kita tunggu pementasan Teater Selembayung berikutnya. Tahniah!***
*) Adalah penonton teater, tinggal di Pekanbaru.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar