Selasa, 30 Agustus 2011

Puisi-Puisi Heri Latief

http://www.suarapembaruan.com/
Warga Dunia

siapa yang merasa warga dunia
dan punya wawasan pemikiran
yang seluas samudra mimpi?

dramatisasi ilusi?
sihirnya tragedi!

o tuhan, tsunami punya nama!
manusia pun menyadari
biaya kehancuran akibat tsunami
dipinjam lagi dari bank
yang rajin mengutip bunga hutang
dengan rente sekian-sekian

kemiskinan semakin terbenam
dalam pusaran labirin ombak kebatilan

lantas bumi yang bulat ini punya siapa?
jika biaya perang di sana ratusan milyar
dollar yang dibuang 'tuk mencari getah bumi!

bencana alam menyerukan perdamaian!
lihatlah, para korban kering bergelimpangan

di meja perundingan hutang disayembarakan
yang berani bayar rente punya kans
membangun kembali mimpi
yang disapu tsunami!

paduan swara korban bencana bertanya:
siapa yang merasa warga dunia
dan punya wawasan pemikiran
yang seluas samudra mimpi?

amsterdam, 08/01/2005



Jakartaku

sunyi dipeluk lampu merkuri
bulan setengah pucat pasi

jkt, 23/09/2004



Berkaca Doa

burung bersayap mesin turbo
terbang melayang bersama debu

busa bir mencibir penyair
lapisan ozon selaput perawan

berdoalah
berdoalah

demi dosa berlapis pahala
isinya ajaran ilmu tipsani

berkacalah
berkacalah

amsterdam, 7 januari 2005



Eksoterik

gempa batin tektonik!
tsunami gelombang airmata
bagai luka disiram cuka
pedih perih duka manusia

amsterdam, 03/01/2004



Manipulasi Manusia

sayangku
maafkanlah manusia
yang suka lupa
pada cahyaNYA

nyala api ilahi
hidup perdamaian sejati
bakarlah semua duka!

ilmu hitam sebagai peringatan
nafsu iblis senyum berbisa
satu demi satu mimpi dimodifikasi
alasan dicomot di gudang tipsani!

nikmati moral yang dimanipulasi
siapakah maling yang bertopeng suci?
mencuri padi di lumbung sendiri?

sayangku
manusia tak berdaya
dirayu ilmu menotok memori
ribetlah imajinasinya

nyandu fantasi made in ilusi
berlapis sihirnya kemunafikan
dan pahitnya janji bulan madu

amsterdam, 30/12/2004



Tahun baru

tahun baru itu bisu!
swara jeritan korban "tsunami"
nuju langit nembus duka
tahun baru itu bisu!

amsterdam, 01/01/2005

Dijumput dari: http://osdir.com/ml/culture.region.indonesia.ppi-india/2005-01/msg00452.html

Minggu, 28 Agustus 2011

Ekspansi

Wawan Eko Yulianto
http://sastra-indonesia.com/

Setahun antara 2009 hingga 2010 saya menenggelamkan diri ke dalam riak gelombang musik country. Saya hayati kisah-kisah dalam setiap lagu yang saya sukai. Saya kenali orang-orang yang menyukai musik country. Saya coba jalani satu dua bagian hidup orang-orang yang diceritakan dalam lagu-lagu country. Saya ikuti juga gosip-gosip pribadi tentang para penyanyi country. Semuanya saya lakukan seperti seorang penikmat tanpa pretensi (setidaknya begitulah menurut saya).

Nyaris mulai saat yang bersamaan, saya juga mulai menceburi musik punk. Sungguh berat rasanya beralih-alih setiap hari dari dua kutub musik. Dalam satu dan lain hal punk dan country adalah dua kutub yang berutaraselatanan. Musik country begitu mengandalkan keteraturan. Tema-temanya yang berkisah tentang kehidupan rumah tangga bahagia atau impian akan kehidupan yang bahagia menurut ajaran-ajaran Kristiani sebagaimana dianut oleh masyarakat di bagian selatan Amerika Serikat. Ada sebagian musisi country muda yang menikmati lara hati (seperti Taylor Swift). Dan sedikit musisi country lain mengandalkan keliaran blues dalam musiknya, seperti Brad Paisley dan suaminya Nicole Kidman, Keith Urban. Yang lainnya relatif mengandalkan kewajaran dan keteraturan.

Di kutub lain, musik punk adalah ketakterukuran pada titik terjauhnya. Terutama karena saya mendekati punk seperti mendekati sebuah mata pelajaran UAN. Tentu awalnya karena saya tertarik karena sangat tertarik kepada seorang penulis yang kebetulan punker. Akhirnya begitulah, punk adalah ilmu pengetahuan buat saya. Berkat bimbingan Don Letts, Henry Rollins dkk dalam film dokumenter Punk: Attitude, saya jadi tahu dari mana saya mempelajari punk. Yaitu: dari mana saja. Begitulah, akhirnya saya pelajari sejarah punk dan tentu saja, apalah artinya semua itu tanpa menenggelamkan diri dalam musiknya sendiri. Berkat myspace, youtube, dll, saya punk akhirnya berkesempatan mengenali dan menghayati punk mulai dari New York Dolls, Sex Pistols, Ramones, maju terus hingga Black Flag, Minor Threat, maju terus hingga Fugazi, Youth of Today, maju terus hingga Nirvana, Soundgarden, dll

Sekarang, tanpa disadari, karena perbincangan singkat dengan mas Antok Agusta dan membaca review album Dream Theater dari Anwar Holid, saya mengalir memasuki progressive rock. Semua itu semakin diperkuat dengan mas Antok Yunus dari band Swara Akustik (Malang) yang sempat mengobrol agak panjang tentang Pink FLoyd sebelum dan sesudah bedah buku Nurel Javissyarqi Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan SCB.

Akhirnya, sepertinya saya sudah siap mengarungi progressive rock entah dengan pendekatan apa kali ini… yang pasti, pendekatan saya ini dipengaruhi rasa iri saya dengan Jordan Rudess yang direkrut Dream Theater (kok bukan saya? haha) dan pencipta lagu dari band Supertramp yang sangat dahsyat itu! Anyway, here we go again.

Sumber: http://berbagi-mimpi.info/2011/07/10/ekspansi/

Jumat, 26 Agustus 2011

Ziarah Budaya Itu Bernama Mudik

Nur Faizah*
Tempo, 1 Okto 2008

Fenomena mudik adalah budaya khas setiap tahun masyarakat muslim Indonesia dalam menyambut datangnya Idul Fitri, yang populer dengan sebutan Lebaran. Secara sosiologis, mudik merupakan ajang tamasya budaya dan dalam berbagai sisi memunculkan sirkulasi tata kehidupan. Dalam pelbagai bentuknya, migrasi besar-besaran yang ditimbulkan akibat mudik selalu melahirkan dilema dan problema sosial yang silang sengkarut. Kebiasaan rehat dari kesibukan keseharian bagi orang-orang kota dengan cara menikmati suasana kampung halaman amat membantu mereka mempersegar etos kerja.

Terlepas dari segala dampak yang ditimbulkannya, KH Mustofa Bisri (2007), misalnya, menilai bahwa fenomena tamasya budaya semacam ini adalah wahana strategis untuk menata kembali tata ruang kebudayaan dalam skala yang luas. Masih banyak ruang budaya yang belum terelaborasi dan terjamah oleh tangan peradaban. Ia merupakan peluang bagi pelaku budaya dan kesenian kita agar lebih sudi memperlebar spektrum kebudayaan sebagai lahan hijau dalam menggali gagasan dan inspirasi-inspirasi baru.

Kaum urban yang datang ke kota bermaksud menggantung harapan hidup mereka ke arah yang lebih baik. Pada saat itulah, naluri dan nurani mereka terpaksa bersitatap dengan realitas sosial yang mungkin sama sekali belum pernah terbayangkan di benak mereka sebelumnya. Mereka memiliki kesempatan secara langsung membuktikan bahwa adagium “ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri” adalah satire pahit dari kehidupan kota sesungguhnya dan bukan hanya isapan jempol.

Dengan kata lain, aktivitas mudik bukan sekadar lalu lalang perpindahan penduduk yang bergerak massal. Sebaliknya, fenomena mudik tak ubahnya ziarah lintas wilayah yang menuntut manusia (pemudik) berjumpa dengan pelbagai tipe manusia dan karakter sosial yang amat plural. Pada dimensi filosofis, mudik merupakan perlambang kesadaran manusia menjalankan hidupnya dalam satu garis linear (hablun min an-naas) untuk menuju titik pusat transendensi, berupa perlindungan Tuhan (hablun min Allah) serta restu leluhur (ridha alwalidayn).

Tepat di aras inilah, makna hakiki Lebaran sebagai silaturahmi kemanusiaan yang mampu menihilkan noda dan dosa menemukan momentum pembenarannya. Meminjam istilah Mochtar Naim (1999), fenomena kebudayaan seperti ini memiliki potensi memadukan beragam kutub, termasuk persinggungan dinamis antara masyarakat arus bawah dan arus atas. Berawal dari dialektika ini, anasir-anasir konflik dimungkinkan luruh dan menjadi harmoni yang saling mengayomi dan lintas batas.

Berkaca dari kenyataan bahwa ritus mudik adalah safari lintas budaya, kita seakan diingatkan kembali pada panorama serupa yang terjadi di dunia sastra. Fenomena transkulturalisme dalam sastra merupakan wacana lawas yang, dalam konteks ini, penting untuk direnungkan ulang, baik esensi maupun kontekstualisasinya. Sejumlah alasan dapat dikemukakan dalam kaitan ini.

Pertama, karya sastra adalah ruang semesta. Dengan ketajaman dan keliarannya, ia bisa menembus dan melintasi apa saja, termasuk di sini sekat budaya, batas bangsa, tabir agama, hingga tangga-tangga hierarki kasta. Kedua, adanya kecenderungan sementara sastrawan untuk mengabadikan tapak tilas mereka dalam karya sastra. Perjalanan mudik yang melelahkan berpotensi mengendapkan sekaligus mengabadikan kenangan yang menarik selama dalam perjalanan. Ketiga, nyaris tak bisa ditampik bahwa, dengan wataknya sebagai ruang semesta itulah, karya sastra juga telah serta-merta mengekalkan kerinduan seseorang terhadap belahan bumi leluhur yang pernah dihuni dan disinggahi sebelumnya.

Bertolak dari ketiga lanskap di atas, kita bisa menangkap kecenderungan akan tumbuhnya karya sastra sebagai “sarana tamasya” dalam khazanah kesusastraan kita. Konsep transkulturalisme yang digagas Kaplan telah dipraktekkan secara nyata oleh para sastrawan, baik lewat karya sajak maupun roman (prosa). Gejala seperti ini terasa kian kuat manakala dipandang dari sudut otentisitas dan empirisitas karya.

Serupa seorang pengelana (musafir) yang sedang menikmati perjalanan mudik, kepekaan seorang sastrawan ditantang untuk dituangkan dalam bentuk media ungkap yang estetik. Muncul kemudian pertanyaan, bisakah, misalnya, seorang sastrawan hanyut dan melancong sedemikian jauh hingga meninggalkan pijakan muasal (empiris) yang dijejaknya?

Belantika sastra mutakhir kita menunjukkan tidak sedikit para sastrawan yang mampu mengabadikan pengalamannya saat ia menjadi musafir di negeri orang, lalu merasa cemas akan hal itu saat mereka pulang (mudik). Sebutlah antara lain cerpen Mustofa W. Hasyim berjudul Mudik (1997). Cerpen itu bercerita tentang kehidupan menjelang Lebaran di perumahan kumuh di pinggiran rel kereta di Jakarta. Pengarang menggambarkan bagaimana penghuni rumah-rumah di sepanjang rel merasa gelisah setiap kali kereta melintas ke arah timur. Mereka seperti didorong-dorong demikian kuatnya untuk meninggalkan Jakarta menuju ke tempat asal yang lebih damai dan tenteram. Seakan ada yang bergerak-gerak dalam dada, dan seperti terdengar teriakan yang memberi peringatan bahwa mereka memiliki tanah asal, punya masa lampau, kerabat yang sedang menunggu.

Hal yang sama pernah pula dilakukan Umar Kayam (almarhum) lewat cerita pendeknya yang genial dan memukau berjudul Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Latar keriuhan kota termasyhur di Amerika, di tangan Kayam menjelma menjadi ramuan cerita yang padat, kuat, dan memikat. Esai-esai reflektif seniman Emha Ainun Nadjib yang terhimpun dalam antologi Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan juga termasuk karya dalam kategori ini.

Beberapa amsal di atas kian menandaskan kesimpulan bahwa negeri seberang (baca: di luar kampung halaman) menjadi wahana yang baik dan alternatif dalam mewadahi imajinasi dan kreativitas sastrawi. Dengan demikian, sastra lintas budaya menjadi tidak melulu dipandang sebagai tulisan tentang kampung seberang dari perspektif kampung halaman, namun juga bisa sebaliknya.

Pilihan sastra lintas budaya seperti ini ditempuh sementara orang demi mencari lingkungan yang lebih sunyi, steril, dan aman sehingga memungkinkan tersaji pengalaman dan harapan secara lebih jernih, berani, dan elegan. Demikian halnya dengan tradisi mudik.

Demi semangat berbagi dan bersua dengan sanak famili, saban tahun pemudik menjalankannya dengan kelegaan hati kendati harus menempuh bentangan jarak yang jauh dan balutan keletihan. Menurut sastrawan Mochtar Lubis, melestarikan kebiasaan sosial seperti mudik ini sama halnya dengan memelihara salah satu akar budaya nenek moyang yang diwariskan sejak zaman megalit lampau.

Karena itu, mudik Lebaran tak ubahnya laku ziarah atas ruang dan waktu, kembali pada roh masa lalu demi menemukan kesadaran tentang kefitrahan manusia, betapapun kaburnya konsep “kefitrahan” itu. Mudik Lebaran di kampung halaman hadir sebagai sesuatu yang berkaitan dengan asal-usul setiap orang. Bagi orang Jawa, misalnya, prosesi mudik Lebaran adalah manifestasi dari keinginan diri untuk merenungkan dan menelusuri sangkan paraning dumadi: mengingat-ingat asal-muasal diri yang dibarengi dengan kesadaran akan nasib yang akan tiba di kemudian hari. Kampung halaman dengan demikian menyimpan berhampar makna simbolis bagi setiap orang yang hendak mencari dan menemukan kembali jejak-jejak awal sejarah dirinya.

Di kampung halaman inilah manusia bisa kembali bersahabat dengan “ruang” dan “waktu”. Ruang betul-betul menjadi lokus di mana manusia urban kembali menghayati waktu dalam bentuknya yang utuh dan komplet dalam tiga dimensi: masa lalu, masa kini, dan masa datang. Manusia urban bisa kembali menapaki tetapak masa silam yang telah terlewat dan yang telah membentuk sebagian besar kediriannya. Di titimangsa itulah kemudian masa kini hadir sebagai sebuah persambungan sejarah, yang dari sana tiap orang bisa mengukur kembali segenap laku hidupnya: sudahkah cita-cita dan harapan yang dianyam sejak dulu itu tercapai?

Meski saat ini mudik cenderung dikemas sebagai “komoditas” sosial dalam kemasan modern yang semakin hari kian termodifikasi dalam banyak versi, pesan kemanusiaan ritual mudik sejatinya sebanding dan bisa ditarik sealur dengan spirit sastra lintas budaya. Keduanya telah mengingatkan kita bahwa “sejauh-jauh manusia dan sastra berkelana, toh akhirnya tetap akan pulang jua”. *

*) Mahasiswa Agama dan Lintas Budaya Pascasarjana UGM, Yogyakarta

Ziarah Budaya Fiksi Puasa-Lebaran

Rachmat H Cahyono
http://www2.kompas.com/

RITUAL tahunan Puasa-Lebaran memang mengandung banyak jejak dan makna, baik dari sudut pandang spiritual maupun sosiokultural. Mungkin karena itulah setiap tahun ada saja kita temukan penulis prosa tertarik menulis fiksi, umumnya cerpen, yang mengangkat tema Puasa-Lebaran-termasuk tema-tema mudik Lebaran yang sungguh merepotkan itu. Puasa-Lebaran atau peristiwa mudik yang diangkat bisa saja menjadi sekadar tempelan, latar cerita, atau menjadi bingkai utama yang mengikat cerita.

Sejumlah nama penting dalam jagat sastra Indonesia pernah menulis prosa (baca, cerpen) yang mengangkat tema Puasa-Lebaran dan mudik Lebaran dengan berbagai variasi. Sekadar menyebut beberapa nama, ada Ahmad Tohari dengan cerpen “Wangon Jatiwalang”, Danarto dengan cerpen “Lailatul Qadar”, Hamsad Rangkuti (“Reuni” dan “Lebaran”), Yanusa Nugroho (“Kurma”), AA Navis (“Tamu yang Datang di Hari Lebaran”), dan Jujur Prananto (“Jakarta Sunyi Sekali di Malam Hari”).

Yang paling banyak dan langganan menulis cerpen-cerpen tentang Puasa-(mudik) Lebaran adalah Umar Kayam dengan tujuh cerpen, yaitu “Ke Solo ke Njati”, “Mbok Jah”, “Ziarah Lebaran”, “Marti”, “Menjelang Lebaran”, “Lebaran Ini Saya Harus Pulang”, dan cerpen yang ditulis dekat-dekat akhir hayat pengarang ini, yaitu “Lebaran di Karet, di Karet…” yang kemudian menjadi judul antologi cerpen terakhir Umar Kayam.

Penerbit Kompas pada November 2002 meluncurkan Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas. Kecuali Ahmad Tohari, nama-nama penulis yang saya sebutkan di atas ikut memunculkan karyanya dalam Kurma, yang memuat sebelas cerpen bertema Puasa-Lebaran, yang sebelumnya pernah dipublikasikan di harian Kompas.

Antologi serupa yang mengangkat tema Puasa-Lebaran adalah kumpulan cerpen Mudik (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1996). Antologi ini memuat sepuluh cerpen dari tujuh penulis: Mohammad Diponegoro, Kuntowijoyo, Hamsad Rangkuti, Achmad Munif, Ahmad Tohari, Yudhistira ANM Massardi, dan Mustofa W Hasyim.

Dari segi pencapaian estetik, memang karya-karya bertema Puasa-Lebaran ini tidak menyodorkan terobosan baru. Namun, ketika pembaca ingin melakukan semacam ziarah budaya pemaknaan Puasa-Lebaran, karya-karya itu menjadi bermakna sebagai dokumen sosial yang merekam pergeseran makna Puasa-Lebaran yang terjadi di masyarakat dari tahun ke tahun.

Mengutip pengantar yang ditulis akademisi sastra Maman S Mahayana untuk antologi cerpen Kurma, prosa bertema Puasa-Lebaran memiliki sejarah yang cukup panjang, sudah sejak zaman Pandji Poestaka berjaya di tahun 1930-an. Armijn Pane pernah menulis cerpen berjudul “Jika Pohon Jati Berkembang” (Pandji Poestaka, No 15, 1937). Dalam cerpen ini digambarkan bagaimana orang-orang berkumpul dan terheran-heran mendengarkan suara gamelan atau khotbah Lebaran cukup dari sebuah kotak yang bernama radio. Radio yang sekarang dianggap ketinggalan zaman, untuk masa itu tentu saja dianggap sebagai benda ajaib hasil kemajuan teknologi.

Ada juga cerpen “Kartjis Lebaran…” karya Nur St Iskandar (Pandji Poestaka, 1 Januari 1935) yang menempatkan Lebaran sekadar latar waktu yang kurang memberikan kontribusi bagi unsur intrinsik lainnya. Sementara Soeman Hs dalam Kasih tak Terlarai (1929) melihat Lebaran sebagai momentum rekonsiliasi antara anak muda dan orang tua, meskipun di sana tidak ada acara halalbihalal dan maaf-memaafkan.

Tema Puasa-Lebaran berikut hiruk-pikuk mudik dalam cerpen bisa saja menjadi terkesan rutin. Namun, pengarang berbakat dapat menyiasatinya dengan kemampuannya mengolah komposisi cerita dan memaknainya dengan kualitas bahasa yang dimilikinya. Cerpen karya Umar Kayam, Lebaran Ini, Saya Harus Pulang, misalnya, tentulah dari segi kualitas masih jauh dari cerpen-cerpen terbaik Umar Kayam dalam kumpulan Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Namun, cerpen ini tetap menyimpan “mutiara”, dalam bangunan kisah protagonis, wakil kaum urban pinggiran bernama Nem yang begitu mendambakan mudik ke kampung halaman sekaligus pamit pensiun dari pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga. Meskipun Nem juga sudah bisa membayangkan, hari-hari “pensiunnya” di desa belum tentu seindah yang diinginkannya. Maklumlah, desa-desa di negeri kita sangat akrab dengan fenomena yang disebut antropolog Oscar Lewis sebagai the culture of poverty, budaya kemelaratan.

Fenomena Puasa-Lebaran berikut “ritual” mudik, diakui atau tidak, adalah sebuah peristiwa budaya. Mungkin itulah yang menarik perhatian para cerpenis kita. Bayangkan sukarnya mencari alasan yang masuk akal: mengapa jutaan warga (tahun ini diperkirakan mencapai sekitar 20 juta orang), mayoritas kaum urban yang terengah-engah mencari sesuap nasi di wilayah perkotaan, bisa-bisanya ikhlas atau memaksakan diri melakukan eksodus, sebuah “ritual tahunan” yang luar biasa berat yang namanya mudik Lebaran?

Pertama-tama, tentu saja karena biaya berlebaran di kampung tidak sedikit. Ditambah kenyataan angkutan umum kita yang sangat tidak memadai, dan kondisi infrastruktur yang menyedihkan di berbagai daerah (kalau tidak jembatan jebol, mungkin jalannya bolong-bolong rusak berat). Perjalanan mudik bisa menjadi sangat berat, berbahaya, dan meletihkan. Jutaan orang harus berjuang agar bisa terangkut untuk mudik ke kampung halamannya, menghadapi risiko mulai dari terjebak macet, kecopetan, hingga kecelakaan di jalan yang dipadati kendaraan.

Mengapa betapa pun beratnya, toh jutaan orang setiap tahun tetap tergerak melakukan mudik Lebaran? Padahal, “udik”, rumah lama, kampung halaman, belum tentu seindah yang dibayangkan (seperti Nem sudah membayangkan kesulitan yang akan ditemui di desanya). Kampung halaman pun menyimpan tragedi dan air matanya sendiri: sawah yang kekeringan, rezeki yang semakin sukar dicari, harga sembilan bahan pokok yang melangit tak terjangkau oleh kaum kerabat di desa…. Mudik hanya nikmat untuk hari-hari pertama. Selebihnya, para pemudik akan kembali disadarkan oleh kenyataan hidup yang juga berat di kampung halaman. Dan mereka pun akhirnya memilih kembali menjalani takdirnya: sebagai kaum urban yang mengais rezeki di perkotaan.

Ajaib, toh setiap tahun kita kembali dihadapkan pada fenomena mudik Lebaran yang sungguh kolosal itu. Jawabannya, mungkin karena kebanyakan kita diam-diam punya kerinduan sendiri pada titik awal tempat kita berangkat dan memulai kehidupan. “Pulang mudik” adalah ibarat kerinduan Harry Potter pada sekolah sihir Hogwarts yang begitu dicintainya, yang penuh dengan magic. Setiap orang berhak merasa berbahagia karena harapan menemukan kembali magic, “keajaiban” yang dirasakannya di masa silam: mungkin sayur asam buatan ibu di kampung, mungkin dodol yang dipersiapkan bersama-sama tetangga di kiri kanan rumah leluhur, mungkin kenangan indah mandi-mandi di sungai kampung kita di masa kecil dulu.

Dan bagi kaum urbanis, seperti dikatakan Kayam dalam salah satu kolomnya sekian tahun lalu, pulang (mudik) justru peneguhan ikatan dengan rentangan sanak famili. Harapan magic menjadi harapan akan bisa sekali lagi menyaksikan magic dari sentuhan si anak hilang dengan jaringan kerabat, lewat oleh-oleh (properti penting yang wajib dibawa para pemudik Lebaran) yang merata itu. Meskipun beberapa hari kemudian semacam keterasingan, dan mungkin ketakutan, merayapi mereka akibat melihat kondisi jagat lama yang tampak seakan semakin kusam. Dan buru-buru mungkin mereka mengepak tas mereka lagi untuk kembali ke kota, ke neraka yang aneh tetapi yang terus saja menarik mereka bagai besi berani (dan mungkin karena itu pula Kayam beberapa kali terpesona pada ide cerita mudik Lebaran yang kemudian dituangkannya ke dalam komposisi cerpen).

Sosiolog Karl Mannheim pernah mengajukan teori bahwa setiap karya seni (jadi termasuk karya sastra seperti cerpen) mau tak mau akan menyampaikan makna pada tiga tingkat berbeda. Nah, cerpen-cerpen bertema Puasa-Lebaran dan mudik mungkin dapat dikategorikan pada pemaknaan tingkat ketiga seperti yang dimaksudkan Mannheim. Yakni, documentary meaning atau makna dokumenter berupa hubungan antara karya itu dan konteks sosial penciptaan: pengaruh-pengaruh sosial politik atau kecenderungan budaya yang tercermin dalam suatu karya. Suatu karya sastra, tambah Mannheim, adalah suatu dokumen sosial atau dokumen human tentang keadaan masyarakat dan alam pikiran di mana suatu karya diciptakan dan dilahirkan (Karl Mannheim dalam Ignas Kleden, 1997).

Jadi, keterharuan kita dalam menghadapi kepolosan sikap Nem (pada cerpen Umar Kayam) dalam menyikapi perjalanan mudiknya yang belum tentu happy ending, bersumber dari dokumen sosial yang kita miliki tentang fenomena mudik Lebaran itu sendiri yang menyimpan begitu banyak kisah dahsyat kaum urban yang mencoba ikhlas menjalani kehidupannya yang berat. Jika Puasa-Lebaran berikut mudiknya ibarat “ziarah” sekaligus “eksodus budaya” yang menyimpan makna penting solidaritas sosial, kekerabatan dan keterikatan kita pada “udik”, rumah lama, kampung asal, pantaslah jika dari tahun ke tahun para pengarang pun akan selalu tergerak menuliskan cerita bertemakan Puasa-Lebaran.

*) Pengarang dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Budi Darma: Lebaran, Bius Primitif untuk Berkorban

Triyanto Triwikromo, Budi Darma
http://www.suaramerdeka.com/

PROFESOR Dr Budi Darma adalah nama penting dalam kebudayaan Indonesia. Selain telah menghasilkan karya-karya utama semacam novel Olenka, Rafilus, Ny Talis, dan kumpulan cerpen Orang-orang Bloomington, sastrawan ini juga telah mendapatkan berbagai penghargaan semacam SEA Write Award (South East Asian Write Award) (1984), Anugerah Seni Pemerintah RI (1993), dan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI (2003). Selain itu pengarang pendiam ini juga pernah mengajar di NTU Australi (Northern Territory University di Darwin), dan NTU di Singapura (Nanyang Technological University), dan tinggal di Indiana, Amerika. Sebagai manusia kosmopolitan, apa komentar dia tentang Lebaran dan identitas kemanusiaan seseorang? Berikut petikan perbincangan dengan dia belum lama ini.

Sebagai individu yang telah melalang buana ke berbagai penjuru dunia, Anda jelas-jelas menjadi manusia global. Manusia yang mungkin tidak lagi memiliki getaran yang dahsyat untuk “pulang” ke tanah asal atau ikatan-ikatan kebudayaan lokal. Lalu, apakah Lebaran dan mudik, misalnya, masih bermakna dalam kehidupan Anda?

Tradisi mudik bukan monopoli bangsa kita, sebab, bangsa Amerika juga memilikinya. Pada zaman dahulu, mereka memiliki kebiasaan untuk mengucapkan terima kasih karena panen mereka telah berhasil dengan baik.

Tradisi pengungkapan terima kasih ini masih berlaku sampai sekarang, yaitu berupa tradisi Thanksgiving Day pada bulan November. Semua anggota keluarga, termasuk anak-anak yang sudah tinggal berpencaran, berkumpul bersama, melakukan kenduri dengan hidangan daging kalkun. Pada hari-hari sekitar Thanksgiving Day kampus-kampus pasti sepi, karena mahasiswa dari luar kota mudik ke rumah orang tua masing-masing.

Hal semacam ini senantiasa berkait dengan mitos. Mitos selalu menyangkut kolektivitas, seperti juga yang terjadi pada Thanksgiving Day di negara ultramodern Amerika. Aspek primitif masyarakat Amerika ini bahkan pernah dijadikan cerpen terkenal oleh Sherley Jackson, “The Lottery”, dengan latar pedesaan pada 1930-an. Untuk merayakan keberhasilan panen, seluruh penduduk desa berkumpul, dan sesudah itu mereka mengadakan undian. Barang siapa menang dalam undian ini, dia akan pura-pura dilempari batu oleh seluruh penduduk desa. Namun, apabila penduduk benci kepada pemenang undian, katakanlah, karena pemenang itu terkenal tidak baik kelakuannya, upacara lempar batu ini tidak sekadar pura-pura, tapi sungguh-sungguh. Cerpen ini adalah sebuah parodi mengenai betapa primitif manusia itu sebenarnya secara kolektif.

Sebagai orang Indonesia, tentu saja saya sangat menghayati dan menghormati makna mudik. Namun, sejak kecil, baik dari pihak keluarga saya sendiri maupun dari keluarga isteri saya, saya dan isteri sudah dididik untuk berpikir praktis dan realistis. Pada saat-saat mudik lalu lintas di luar kota sangat padat, dan kecelakaan sering pula terjadi. Kalau mau mudik, jangan tepat pada hari Lebaran, tapi dapat dicari hari lain.

Lebaran identik dengan kembali ke kesucian, kembali ke asal muasal, apakah dengan demikian saat orang beramai-ramai mudik, sesungguhnya mereka sedang melakukan identifikasi terhadap akar?

Betul, mudik adalah semacam ritual yang amat kuat kaitannya dengan identitas, dengan akar keluarga dan akar tanah kelahiran. Dalam diri kita, sadar atau tidak, kita masih memiliki semacam jiwa primitif, yang mengikat seluruh anggota keluarga sebagai sebuah kesatuan yang kokoh.

Dalam kehidupan pribadi Anda, apakah “akar budaya” itu penting sekali? Jangan-jangan akar atau asal muasal itu sudah sulit dicari?

Asal muasal memang sulit dicari, namun masa kanak-kanak tidak sulit dicari. Setiap orang, pada hakikatnya, terikat oleh masa kanak-kanaknya. Lihatlah, misalnya, selera makan. Meskipun selera makan dapat berubah, makanan masa kanak-kanak, sadar atau tidak, tetap mewarnai kehidupan seseorang. Primordialisme dalam keluarga, awalnya, adalah kesatuan dalam keluarga ketika kita masing-masing masih kanak-kanak. Jangan heran, manakala ada jenderal yang sekali tempo suka tidur di lantai, karena itulah cara dia tidur dahulu. Mudik, pada hakikatnya, juga kerinduan terhadap masa kanak-kanak. Akar budaya sebuah komunitas adalah “masa kanak-kanak” komunitas itu, yaitu aspek primitif yang pasti dimiliki oleh setiap orang dalam komunitas. Akar budaya penting, karena berdasarkan akar budaya itulah perilaku manusia terbentuk, meskipun masing-masing individu manusia tidak menyadarinya. Sulit dicari, karena letak akar budaya berada pada alam ketidaksadaran, bukan pada alam kesadaran.

Energi (kebudayaan) macam apa yang sesungguhnya membuat orang melakukan selebrasi Lebaran secara besar-besaran? Mengapa “kepulangan” seakan-akan menjadi ideologi tunggal yang tak bisa dilawan? Apa ia telah menjadi mitos?

Mitos membawa manusia kembali ke masa kanak-kanak, ke masa primitif, dan karena itu menyingkirkan manusia modern dari logika dan rasionya. Karena mitos menarik manusia ke masa kanak-kanak dan dunia primitif, maka mitos melahirkan ritual, seperti misalnya upacara tedhak siti bayi berumur tujuh tahun. Lebaran adalah ritual, demikian pula implikasi Lebaran termasuk tradisi mudik dan maaf-memaafkan pada hari Lebaran. Begitu berhubungan dengan ritual dengan akar mitos, manusia siap untuk berkorban banyak, karena, dalam keadaan seperti ini, manusia seolah masuk ke alam keterbiusan primitif.

Setelah pulang ke tanah asal atau ke kesucian, mereka pergi lagi ke “daerah pergolakan” atau ke hal-hal yang sekuler. Bukankah tindakan mudik, dengan demikian, hanya merupakan tindakan pura-pura, ethok-ethok, atau kosmetik belaka?

Lebaran dengan segala implikasinya termasuk mudik, sekali lagi, adalah ritual yang amat erat kaitannya dengan mitos. Memang, dalam zaman modern mudik mungkin hanya tindakan berpura-pura, tapi di balik kepura-puraan itu tetap tersimpan makna yang dalam. Bagaimanakah rasanya, misalnya, apabila pernikahan tidak disertai ritual yang akarnya adalah mitos? Ada yang hambar dalam perkawinan semacam ini, seolah perkawinan ini tidak mempunyai roh

Hidup sesungguhnya kian praktis dan sekuler. Apakah pada satu masa Lebaran pun akan dipandang sebagai sesuatu yang praktis, sekuler, dan tak berkait dengan sublimasi dan kontemplasi?

Ada kemungkinan, pada suatu saat Lebaran dengan berbagai implikasinya akan menjadi sekadar ritual tanpa muatan spiritual lagi. Namun, karena manusia tetap ditakdirkan memiliki sifat-sifat primitif tanpa disadarinya sendiri, antusiasme untuk mudik mungkin masih akan terus berlangsung. Lihat, misalnya, data terakhir mengenai Lebaran tahun 2007 ini. Sekitar Lebaran 4, 6 juta warga Jakarta mudik, dan 2,4 pemudik itu naik sepeda motor bersama keluarganya.

Apakah kita ketika merespons akar budaya sudah jadi Malin Kundang semua?

Malin Kundang adalah simbol perlawanan terhadap ibu yang akhirnya akan mendatangkan kesengsaraan. Ibu dalam dinamisasi makna telah berubah menjadi adat-istiadat, tradisi, kebudayaan, dan hal-hal semacam itu. Apakah kesengsaraan itu akan ada dan berapa besar kadarnya, tergantung pada dinamisasi adat-istiadat, tradisi, dan kebudayaan itu sendiri. Dinamisasi ini akan memberi tahu kita seberapa besar unsur sakral yang masih ada di dalamnya, dan seberapa jauh unsur sakral yang sudah lepas dari konstruk adat-isitiadat itu.

Lebaran telah menjadi cara mempertunjukkan identitas yang kadang-kadang tak menghargai orang lain. Bagaimana proses menciptakan identitas diri ketika harus berhadapan dengan orang lain saat menjalankan Lebaran?

Sejak dahulu toleransi antarmanusia selama Lebaran sudah terbentuk dengan baik dalam masyarakat kita. Keputusan Pemerintah sekarang untuk memberlakukan libur bersama selama 6 hari menunjukkan, bahwa pada hakikatnya masyarakat Indonesia menerima Lebaran sebagai sesuatu yang harus dirayakan bersama-sama.

Impian yang Tertunda

Dodiek Adyttya Dwiwanto
http://oase.kompas.com/

Ibu sakit keras. Ayah juga. Cepat pulang segera!
Sederetan kalimat inilah yang terus menerus mengisi inbox ponsel dan e-mail milikku. Konsentrasiku mendadak buyar. Aku tidak bisa lagi menfokuskan diri pada pekerjaan. Berkali-kali foto yang aku ambil tidak lagi menarik. Berkali-kali aku mengirim foto via e-mail kepada redaktur foto dan berkali-kali pula menolaknya lantaran tidak ada nilai beritanya.

Aku hanya bisa menghela nafas saat redaktur foto menghubungiku. Memarahiku. Memakiku. Wajar saja kalau ia marah. Sudah lima tahun aku bekerjasama dengannya dan aku mengecewakannya persis seperti saat aku baru bergabung sebagai fotografer pemula. Ia mengumpat kalau aku seperti fotografer amatir yang baru tahu caranya memegang kamera. Ia juga kesal dan sangat kecewa karena puluhan foto yang aku ambil tidak satupun memenuhi standarnya padahal ia sudah memberikan belasan kali kesempatan.
Sialan!

Aku mengumpat dalam hati. Kenapa aku mesti seperti ini? Padahal moment yang aku ambil bisa menaikkan jenjang karierku sebagai fotografer. Tidak banyak fotografer perempuan di kantorku dan aku harus bisa mengambil moment persiapan penyambutan kedatangan Presiden Amerika Serikat, George Walker Bush ke Indonesia, yang akan dipusatkan di Bogor. Aku tidak bisa kehilangan moment ini. Banyak hal yang bisa aku dapatkan dari peristiwa ini.

Tapi aku tidak bisa memungkiri kalau pikiranku sedang kalut! Ayah dan ibu sedang sakit keras. Berkali-kali kakak-kakakku mengirimkan sms dan e-mail. Aku menyadari hal itu. Aku sangat menyadarinya. Tapi aku juga harus bisa profesional. Pekerjaan dan pribadi bisa dipisahkan. Toh, dulu saat aku baru putus dari kekasihku, aku harus pergi ke Nangroe Aceh Darusalam untuk meliput korban tsunami. Aku bisa meredakan kesedihanku lantaran ditinggal menikah oleh kekasih. Aku dapat melihat kepedihan dan kegetiran luarbiasa yang dialami para korban! Penderitaan mereka sungguh luarbiasa dibandingkan aku hanya ditinggal kekasih.

Ah, tapi ini berbeda. Bodohnya aku! Kali ini yang menggangguku adalah orangtua tercinta, bukan sekedar pacar. Merekalah yang melahirkan, membesarkan, menyayangi, dan mencintaiku sepenuh hati. Sudah sewajar dan sepantasnyalah kalau aku tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaanku.

Untunglah seorang rekan yang notabene bukan fotografer, tetapi seorang reporter senior mau berbaik hati. Ia tanggap dengan kegalauanku. Ia menanyakan kenapa aku bisa sampai begini. Aku langsung memberitahukannya. Ia tersenyum dan mengatakan sebaiknya aku segera mengambil cuti. Ia menambahkan kalau orangtuaku membutuhkan kehadiranku. Tiada obat yang paling mujarab bagi orangtua yang sakit kecuali kehadiran anak tercinta. Ia pun bercerita kalau ia pernah menganggap enteng ibundanya yang tengah sakit dan malah asyik bekerja. Mendadak sang ibunda meninggal, ia tidak bisa pulang dengan segera, sedangkan jenazah harus dikuburkan dengan secepatnya. Alhasil, ketika ia datang, sang ibunda telah dikuburkan dua hari yang lalu. Sesal berkepanjangan pun mengendap di hatinya. Tidak akan pernah ia lupakan sepanjang akhir hayatnya.

Aku segera memeluknya. Berterima kasih atas bantuannya dan juga pencerahan darinya.
Aku bergegas kembali ke Jakarta.
Aku memesan tiket pesawat paling pertama menuju Mataram, Lombok. Tidak peduli berapa harganya, yang penting aku bisa sampai dengan segera.

Perjalanan menuju Mataram yang hanya tidak lebih dari dua jam serasa sangat menyiksaku. Terasa lama sekali. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan orangtua dan kakak-kakakku. Apalagi selama aku menunggu keberangkatan, berkali-kali sms dan telepon dari kakak-kakakku menanyakan kapan aku tiba di Mataram. Mereka telah siap menjemputku.

Aku gelisah dalam penerbangan Garuda Indonesia ini. Aku resah dengan semua yang mungkin kini tengah terjadi di Mataram tanpa aku bisa mengetahuinya. Makanan yang diberikan pramugari, aku santap tanpa berselera. Tapi aku juga tidak ingin sakit sesampainya di Mataram.
Pilot memberitahukan kalau pesawat akan menjejakkan roda-rodanya.
Ah, akhirnya sampai juga!

Aku segera bergegas keluar dari pesawat. Setengah berlari menuju tempat pengambilan bagasi. Aku sudah tidak sabar lagi bertemu dengan orangtuaku.

Kakak sulungku sudah menungguku di luar. Ia datang menjemput bersama istrinya, sedangkan kakak-kakakku yang lain sedang menjaga ayah dan ibu di rumahsakit. Kakakku yang berjumlah empat semuanya laki-laki, yang perempuan hanya aku si bungsu.

Mobil segera diarahkan menuju Rumahsakit Umum Mataram persis di sebelah Kantor Gubernur Nusa Tenggara Barat. Sesampainya di sana, dengan bergegas aku dan kakak sulungku segera menuju kamar tempat ibu dirawat. Ternyata ayah sudah sembuh dan sedang dijaga kakak-kakak iparku, istri dari kakak-kakakku.

Aku berjalan mengendap-endap. Takut membangunkan ibu. Aku melihat wajah ibu tampak pucat. Guratan di wajahnya menampakkan kalau ia terlihat lebih tua dari umurnya. Aku hanya bisa termangu. Ah, wajah itu. Wajah yang dulu selalu menenangkanku kini terlihat kuyu.

Kakak keduaku mengatakan dengan berbisik kalau ibu sudah sakit sejak beberapa bulan yang lalu, tapi baru tiga hari kemarin ibu mau dirawat di rumahsakit. Ayah juga demikian. Tetapi ayah tidak sakit separah ibu. Ia hanya capek lantaran menjaga ibu selama beberapa hari. Fisik ayah yang tidak lagi mendukung membuatnya tumbang dan jatuh sakit.

Kakak-kakakku menyarankan agar aku segera pulang ke rumah tapi aku bersikeras menunggu ibu. Kakak-kakakku juga bersikukuh kalau aku harus beristirahat. Baru besok malam aku boleh menginap dan menemani ibu. Aku bersikeras sebaliknya, begitu pula mereka.

Akhirnya aku mengalah. Aku pulang menuju rumahku di kawasan Pagesangan, berjarak sekitar sepuluh menit dari rumahsakit, dengan diantar kakak sulungku. Sudah hampir satu setengah tahun aku tidak pulang ke sini. Lebaran tahun lalu aku tidak bisa pulang karena harus meliput arus mudik dan arus balik.

Sepanjang perjalanan, aku melihat kakak sulungku seperti menyimpan sejuta cerita yang ingin ia sampaikan namun urung dilaksanakan. Ia seakan terjebak di antara ya dan tidak untuk menceritakan sesuatu kepadaku. Aku jadi penasaran dibuatnya. Ah, tapi sudahlah. Kalau memang kakakku akan bercerita pasti ia akan melakukannya, entah kapan.

Mobil memasuki kompleks perumahan yang telah kami tempati sejak belasan tahun yang lalu. Meski telah lama tinggal di Mataram, ayah dan ibu bukanlah orang asli Lombok alias Suku Sasak. Ayah dan ibu berasal dari Malang, Jawa Timur. Beliau berdua pindah ke Mataram lantaran tugas sebagai pegawai negeri di awal 1970-an. Sejak itu hingga pensiun, ayah dan ibu telah memutuskan untuk menetap di kota yang tenteram ini.

Aku melihat sekeliling. Memandangi rumah dan juga rumah-rumah tetangga. Hmm, banyak yang sudah berubah dalam satu setengah tahun ini. Tapi ada juga yang belum berubah dalam satu setengah tahun terakhir.

Aku segera masuk ke rumah dan langsung menuju kamar ayah. Aku melihat ayah sedang lelap dalam tidurnya. Kakak sulungku memberikan tanda agar aku tidak mengganggunya. Aku mengangguk.

Di kamar lain, aku melihat kakak-kakak iparku juga tengah terlelap dalam keletihan mereka. Mungkin mereka semua sangat letih lantaran menjaga ayah dan ibu yang bergantian sakit.

Kakak sulungku berbisik. Ia mengatakan kalau aku sebaiknya istirahat. Aku mengangguk saja. Besok, aku akan membayar dengan tuntas. Aku akan menjaga ayah dan ibu secara bergantian dengan kakak-kakak dan ipar-iparku.

Malam makin larut di Mataram tapi aku tidak bisa memejamkan mataku. Sepertinya ini akan menjadi malam terpanjangku. Tapi kantuk yang menyerang membuatku jatuh terlelap dalam keletihan fisik dan kelelahan jiwa.

Saat aku terbangun, ternyata rumah telah sepi. Ayah dan kakak-kakak ipar telah berangkat ke rumahsakit. Ayah yang merasa sudah sembuh, ingin sekali menemani ibu. Hanya tertinggal kakak sulungku yang kadang terdiam dalam bisunya. Sepertinya ia ingin menceritakan sesuatu kepadaku.

Usai mandi dan sarapan, aku dan kakak sulungku berangkat menuju rumahsakit. Aku langsung bertanya to the point saja. Aku penasaran. Sejatinya, apa, sih, yang disembunyikan kakak sulungku? Apakah ibu terkena kanker? Apakah ayah punya tumor? Apakah kedua orangtuaku akan meninggal dalam waktu dekat?

Kakak sulungku menggelengkan kepala. Ia mengatakan kalau ayah dan ibu tidak memiliki penyakit serius. Beliau berdua sejatinya sehat. Kalaupun sakit wajar saja karena mereka telah tua.

Lantas kenapa ayah dan ibu tiba-tiba sakit? Kenapa juga aku mendapat sms dan e-mail bertubi-tubi sepanjang pekan kemarin?

Kakak sulungku terdiam sejenak. Sepertinya ia menyusun strategi sejenak untuk mengutarakannya kepadaku. Mobil yang sudah mendekati rumahsakit dibelokkan menuju Ampenan. Dari situ, kami berputar-putar menuju kawasan Cakranegara. Sepertinya memang hal yang gawat sehingga kakak sulungku melakukan hal itu.

Akhirnya setelah membuat mobil berputar-putar tidak karuan di kota Mataram, setelah membuat aku bertanya-tanya, was-was, gundah gulana. Klimaksnya kakak sulungku bercerita tentang semua hal yang membuat ayah dan ibu jatuh sakit. Ternyata alasannya sepele, mereka terlalu memikirkan diriku. Ternyata ayah dan ibu kurang menyetujui pilihan karierku sebagai fotografer surat kabar.

Ternyata ayah dan ibu sangat menginginkan aku tinggal di Mataram, tidak lagi di Jakarta. Ternyata ayah dan ibu mendambakan aku segera menikah sebelum usianya menyentuh angka 30, itu artinya tidak sampai satu tahun lagi. Dan menurut kakak sulungku, ayah dan ibu sudah memiliki beberapa calon yang mungkin bisa berkenan di hatiku.

Ayah dan ibu berharap agar aku mau bekerja di Mataram. Entah menjadi pegawai negeri di Pemda NTB, bank pemerintah atau swasta, atau juga sebagai Dosen di Universitas Mataram. Dengan begitu, ayah dan ibu bisa melihatku setiap saat karena aku akan menetap di kota ini, seperti halnya keempat kakakku. Semua kakakku tinggal dan bekerja di sini.

Selain itu, menurut kakak sulungku, ayah dan ibu ingin sekali melihatku menikah dengan segera. Semua kakakku telah menikah dan sudah memiliki sederetan anak-anak yang lucu sekaligus bandel. Sebagai satu-satunya anak perempuan, ayah dan ibu sangat memikirkanku. Apalagi aku belum menikah. Apalagi aku sempat tinggal jauh dari mereka.

Aku mengangguk mendengar penuturan kakak sulungku. Dibandingkan dengan kakak-kakakku, aku memang yang paling bandel. Usai menamatkan SMU, aku dan kakak-kakak memang kuliah di Pulau Jawa, entah itu di Surabaya, Malang atau Yogyakarta. Tetapi setelah itu mereka kembali ke Mataram dan bekerja di sana. Kakak sulung dan kakak keempat membuka usaha di bidang pariwisata seperti tour and travel, dan juga ekspor barang-barang kerajinan lokal. Sedangkan dua kakakku yang lain bekerja di Pemda NTB. Ini berbeda denganku yang setelah luluh S-1 aku malah melanglang buana ke Surabaya, Jakarta, dan Bandung. Apalagi kemudian aku menerima tawaran sebagai fotografer di sebuah harian nasional yang terbit di Jakarta.

Kebandelan ini pula yang membuat ayah dan ibu terus memikirkanku. Ditambah lagi dengan sifat keras kepala yang aku miliki. Lantaran terlalu sering memikirkanku ayah dan ibu menjadi sakit-sakitan. Kadang bersamaan, kadang bergantian.

Aku hanya bisa menghela nafas panjang mendengar penuturan kakak sulungku.
Aku menatap dari balik jendela, beberapa ibu-ibu yang tengah asyik berjualan di Pasar Cakranegara. Sejenak melepaskan kepenatan dari semua rangkaian cerita yang dituturkan kakak sulungku.

Aku melirik ke arah kakak sulungku. Aku melihat ada perubahan dalam raut wajahnya. Sepertinya beban berat yang mesti ditanggungnya kini berangsur berkurang setelah menceritakan hal ikhwal jatuh sakitnya ayah dan ibu.

Kakak sulungku mengatakan kalau aku sebaiknya memikirkan semua ini. Demi kebaikan ayah dan ibu.
Aku mengangguk pelan. Pikiranku menerawang jauh. Jauh dan sangat jauh.

Mobil kembali diarahkan kakak sulungku menuju rumahsakit Mataram. Di sana telah menunggu dua orang yang sangat menyayangi dan mencintaiku, ayah dan ibu. Di sana juga telah berkumpul, sederetan orang yang mengasihiku, kakak-kakak, ipar-ipar, dan keponakan-keponakanku.

Mulai detik ini aku berjanji untuk terakhir kalinya. Aku ingin sekali memenuhi permintaan ayah dan ibu. Aku akan meninggalkan pekerjaanku di Jakarta. Aku akan lupakan sejenak keinginan dan impianku untuk menaklukkan kota metropolitan itu. Aku akan bekerja di Mataram. Apa saja. Mungkin membuka usaha bersama kakak-kakakku. Toh, aku memiliki cukup tabungan untuk membuat CV atau PT sendiri. Tinggal cari saja tenaga yang bisa aku pekerjakan. Tapi mungkin yang paling realistis adalah menjalin kerjasama dengan kakak-kakakku.

Menjadi pegawai negeri sipil di Pemda NTB? Hmm, rasanya tidak memalukan! Sabtu dan minggu aku libur. Dua hari ini aku bisa manfaatkan untuk menyalurkan profesiku yang lain, tetap menjadi fotografer! Bisa memotret obyek wisata, menulis catatan perjalanan atau sekedar memotret pernikahan. Apa saja deh.

Menjadi dosen di Unram? Ah, kenapa tidak? Aku punya banyak ilmu yang bisa aku tularkan kepada mahasiswa. Mungkin aku tidak bisa menjadi dosen Ilmu Komunikasi, tetapi bukankah setiap universitas memiliki majalah kampus? Aku bisa terlibat aktif di sana.

Sederetan rencana telah kusiapkan bila kelak aku akan kembali hijrah ke Mataram dan kemudian bekerja di sini. Sederetan rencana yang bisa aku matangkan dalam hitungan minggu.

Tapi ada satu hal yang tidak bisa aku kabulkan demi permintaan ayah dan ibu. Aku belum ingin menikah dengan segera. Kalaupun ayah dan ibu memperkenalkan laki-laki yang mungkin cocok denganku, anggap saja aku sedang dicarikan teman baru di Mataram. Anggap saja seperti itu.
Mobil memasuki pelataran parkir Rumahsakit Umum Mataram.

Aku menghela nafas sejenak. Menenangkan diri untuk bertemu muka dengan ayah dan ibu. Mudah-mudahan aku bisa mewujudkan keinginan mereka. Mudah-mudahan saja, aku tidak lagi membuat mereka sakit. Walaupun semua itu akan menguburkan semua mimpiku, tetapi bukankah lebih indah membuat orang yang kita sayangi bisa lebih bahagia?

Selasar Ruang ICU Rumahsakit Umum Mataram, Lombok, 7 November 2006

Sapardi Djoko Damono Tak Tergetar oleh Sihir Lebaran

Wawancara pada Sapardi Djoko Damono
http://layar.suaramerdeka.com/

PROFESOR Dr Sapardi Djoko Damono lahir 20 Maret 1940 di Surakarta. Ia, kita tahu, adalah salah satu budayawan penting Indonesia. Pada 1986 penyair ini mendapatkan SEA Write Award. Ia juga menerima penghargaan Achmad Bakrie pada 2003. Tentu sebagai orang Jawa pendiri Yayasan Lontar ini memahami benar makna Lebaran. Apa komentar dia tentang pesona mudik dan makna pulang kampung? Berikut perbincangan dengan dia di Jakarta, belum lama ini.

Sebagai individu yang telah melanglang buana ke berbagai penjuru dunia, Anda jelas-jelas menjadi manusia global. Manusia yang mungkin tidak lagi memiliki getaran yang dahsyat untuk ”pulang”. Apakah kata ”pulang” masih punya makna penting dalam kehidupan Anda?

Bukan hanya sekarang, sejak dulu kata ”pulang” tidak pernah menjadi kata penting. Tidak jelas lagi pulang itu ”balik ke mana”. Makna rumah pun bagi saya tidak begitu jelas. Saya tidak pernah merasa punya rumah, sehingga tidak punya getaran untuk pulang. Jika saya pergi ke Solo, memang terasa lain. Ini akibat sampai SMA saya masih di kota itu. Saya memang benar-benar menikmati masa kanak-kanak sejati di situ. Hanya bukan rumah yang menyebabkan perbedaan, melainkan Solonya.

Anda tidak pernah merasa memiliki ikatan dengan tanah asal?

Ya, Solo itu tanah asal saya. Hanya, tidak ada satu rumah pun di kota itu yang saya anggap sebagai rumah, tempat untuk pulang.

Jadi, selama itu pula Anda tidak pernah terpesona dengan makna mudik?

Tidak pernah. Jika saya mudik, itu berarti saya hanya ingin bertemu dengan ibu saya. Jadi home saya itu ibu, bukan tempat, bukan rumah. Nah, ketika ibu saya sudah meninggal, ya saya tidak home lagi. Tidak mudik lagi. Apalagi kini saya anak tertua, tidak mungkin saya mudik hanya untuk bertemu adik.

Yang juga menarik, keluarga saya itu bukan tipe komunitas yang suka mudik. Tidak ada aturan yang muda harus sowan kepada yang tua. Maka, getaran dahsyat untuk pulang memang tidak ada.

Lebaran identik dengan kembali ke kesucian, kembali ke asal muasal, apakah dengan demikian saat orang beramai-ramai mudik, sesungguhnya mereka sedang melakukan identifikasi terhadap akar kebudayaan?

Saya kira tidak begitu. Lebaran telah menjadi rutin dan tidak berkait dengan proses kembali seseorang ke akar kebudayaan. Sebenarnya jika hanya ingin pulang dan mendapat akar kebudayaan, tidak harus pada saat Lebaran. Memang harus saya akui Lebaran memiliki sihir yang aneh, yang menggerakkan sebagian besar manusia pulang ke kampung untuk bertemu dengan orang-orang tercinta. Akan tetapi fungsinya tidak sebesar keinginan orang untuk kembali ke akar kebudayaan. Mereka pulang untuk bertemu orang yang masih harus dikunjungi. Bukan untuk kepentingan-kepentingan agung kebudayaan.

Tradisi sungkem saat mudik, misalnya, dulu muncul karena radius orang bepergian masih sempit. Jika sekarang masih ada tradisi semacam itu —dengan radius yang lebih luas— itu hanya pelanjutan kebiasaan orang-orang yang dulu melakukan sungkem. Yang sejak dulu tidak melakukan, ya sekarang tidak akan repot-repot sungkem-sungkeman juga. Demikian juga ujung-ujung terjadi karena orang ingin melanjutkan sesuatu yang dulu pernah menjadi bagian dari kehidupannya. Dengan kata lain, orang-orang yang sejak dulu tidak memiliki ”akar kebudayaan” semacam itu, pada saat Lebaran juga tidak akan menyelenggarakan sesuatu yang dianggap sebagai kembali ke akar kebudayaan itu.

Lebaran saya kira menjadi pemicu untuk melaksanakan ”kebiasaan untuk pulang” bersama-sama sekalipun kadang-kadang kampung asal mereka sudah menjadi waduk, sudah jadi lokasi pabrik, atau lenyap sama sekali.

Lebaran juga tidak identik dengan warna keagamaan yang jelas. Karena itu, ia bukan ritual. Siapa pun bisa ber-lebaran. Jadi bukan agama, bukan akar kebudayaan, atau apa pun yang menggerakkan orang pulang ke tanah asal pada saat Lebaran. Penggeraknya hanyalah sesuatu yang profan bernama kebiasaan.

Dalam kehidupan pribadi Anda, apakah ”akar budaya” itu penting sekali? Jangan-jangan akar atau asal muasal itu sudah sulit dicari?

Akar budaya itu sesuatu yang kita terima dalam saat-saat pembentukan. Akar-akar budaya itu memang tidak akan pernah hilang dari kepala saya. Setelah kita berkembang ke mana-mana, akar itu tetap saja. Akar-akar budaya itu muncul dalam setiap tulisan kita. Semua —perasaan, bau, atau apa pun— muncul secara otomatis. Nah, akar kebudayaan saya sejak dulu tidak pernah mengistimewakan Lebaran atau mudik.

Energi (kebudayaan) macam apa yang sesungguhnya membuat orang melakukan selebrasi Lebaran secara besar-besaran? Mengapa ”kepulangan” seakan-akan menjadi ideologi tunggal yang tak bisa dilawan? Apa ia telah menjadi mitos?

Apa ya…? Sekali lagi energi itu bernama kebiasaan. Namun, saya menduga ini hanya merupakan bentuk ikatan orang terhadap orang, bukan orang terhadap tempat. Jika seseorang tidak lagi memiliki ikatan dengan seseorang di suatu tempat, saya yakin benar mereka tidak akan melakukan tindakan tak masuk akal itu.

Kumpul juga merupakan fenomena unik dalam kebudayaan Jawa. Bisa saja mereka bersusah-susah bepergian dari Jakarta ke suatu tempat di Solo hanya karena digerakkan oleh keinginan berkumpul dengan kawan-kawan atau saudara yang berasal dari kota lain di Indonesia. Mereka, dengan demikian, kan tidak pulang ke rumah mana pun. Bisa saja mereka akan bertemu di sebuah hotel di Solo. Tentang mengapa harus berkumpul pada hari Lebaran, itu memang dianggap waktu yang paling memungkinkan untuk berkumpul.

Dengan berkumpul mereka merasa at home. Untuk orang-orang semacam ini pulang tidak menjadi kosa kata yang penting. Yang sangat diinginkan adalah berkumpulnya.

Dulu, ketika ibu saya masih tinggal bersama saya di Depok, saudara-saudara saya menganggap pulang itu ya ke rumah saya. Rumah saya menjadi tempat berkumpul karena ibu sebagai home atau sentral tinggal di situ. Tempat, karena itu, bisa diboyong ke mana-mana sebagaimana berkumpul itu bisa juga diselenggarakan di mana-mana.

Sekali lagi, makna rumah sesungguhnya sudah bergeser. Rumah bisa dipindah-pindah sesuai mobilitas orangnya. Jika rumah sudah tak berkait lagi dengan tanah asal, bagaimana kita akan memaknai istilah pulang atau mudik.

Yang mengerikan lagi, begitu banyak orang pulang ke tanah asal, mereka menggila pergi ke daerah lain setelah Lebaran usai. Ini kan aneh?

Ya, sangat aneh. Karena itu tak banyak saya tulis tentang tema ”pulang” dalam sajak-saja saya. Jika pun ada, pasti tidak berisi ajakan untuk pulang ke rumah. Dan dalam kenyataan orang pulang karena mencari ”trah”. Bukan mencari tempat. Tak ada jalan pulang sekarang ini. Sebab begitu sampai ke tanah asal, mereka tidur di hotel.

Bagaimana kebudayaan menjelaskan kegilaan orang untuk menegakkan spiritulitas Lebaran?

Pertama, untuk kumpul. Kedua, untuk bertemu orang. Mereka akan melakukan identifikasi kolektif gila-gilaan jika ada dua unsur yang menjadi penyebabnya.

Kegilaan semacam ini ada di belahan dunia lain atau tidak sih?

Di Barat memang ada homecoming. Namun, tetap saja hal itu terjadi karena seseorang ingin bertemu dengan orang lain. Bukan sedang mati-matian menghormati tempat asal atau rumah asal.

Anda apakah mengira Lebaran kali ini akan praktis dan pragmatis?

Pada mulanya orang memang akan mencari tanah atau tempat asal-usul pada saat Lebaran. Namun begitu zaman berubah, saya yakin mereka tidak lagi mencari tanah asal. Itu sebabnya sikap praktis dan pragmatis menghadapi Lebaran akan muncul. Jadi, ngapain memistifikasi Lebaran ketika konsep tempat, pulang, dan segala hal yang berkait dengan mudik berubah. Jadi, lupakan saja bahwa sihir Lebaran itu sebagai sihir kembali ke asal.

Menurut saya istilah ”pulang” lebih baik dimaknai sebagai pulang ke masa kecil. Dan pulang ke masa kecil bisa dilaksanakan kapan saja tidak hanya pada saat Lebaran. Lebaran yang pulang kampung adalah Lebaran agraris. Lebaran yang sekarang jelas sudah merupakan Lebaran yang industrialis…dan saya tak tergerak untuk pulang oleh sihirnya…

Biografi
Prof Dr Sapardi Djoko Damono
Surakarta, 20 Maret 1940

Riwayat Pendidikan:
Setelah kuliah di Jurusan Sastra Inggris di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengikuti program doktor di Universitas Indonesia, studi pada Basic Humanities Program, Honolulu, Universitas Hawaii AS (1970-1971). Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada Majalah Horison, Basis, dan Kalam.

Penghargaan:
Pada 1986 ia mendapatkan anugerah SEA Write Award.
Pada 2003 menerima penghargaan Achmad Bakrie.

Karya-karya:

Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sampai sekarang telah ada delapan kumpulan puisi yang diterbitkan. Ia tidak saja menulis puisi, tetapi juga menerjemahkan berbagai karya asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.

Beberapa puisinya sangat populer. ”Aku Ingin” (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), ”Hujan Bulan Juni”, ”Pada Suatu Hari Nanti”, ”Akulah si Telaga”, dan ”Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari” kerap dimanfaatkan sebagai ungkapan liris dalam kartu.

Buku-buku:
- Duka-Mu Abadi, Bandung (1969)
- Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
- Mata Pisau (1974)
- Sepilihan Sajak George Seferis (1975; terjemahan karya George Seferis)
- Puisi Klasik Cina (1976; terjemahan)
- Lirik Klasik Parsi (1977; terjemahan)
- Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak (1982, Pustaka Jaya)
- Perahu Kertas (1983)
- Sihir Hujan (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
- Water Color Poems (1986; translated by JH McGlynn)
- Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono (1988; translated by JH McGlynn)
- Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
- Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama RF Brissenden dan David Broks)
- Hujan Bulan Juni (1994)
- Black Magic Rain (translated by Harry G Aveling)
- Arloji (1998)
- Ayat-ayat Api (2000)
- Pengarang Telah Mati (2001; kumpulan cerpen)
- Mata Jendela (2002)
- Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro? (2002)
- Membunuh Orang Gila (2003; kumpulan cerpen)
- Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870-an -1910-an) (2005; salah seorang penyusun)
- Mantra Orang Jawa (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)

Kamis, 25 Agustus 2011

Kahlil Gibran dan Chairil Anwar di Mata Saya: Perjumpaan dan Pembayangan *

Abdul Aziz Rasjid
http://sastra-indonesia.com/

Satu

Setiap pagi juga senjahari, dengan menghisap rokok yang asapnya berbaur dengan aroma kopi Yamani, Gibran Kahlil Gibran —mungkin mengenakan jubah panjang yang lebar dengan noda-noda tinta berbagai warna— melamun seorang diri di dalam kamar yang sudah diubahnya menjadi semacam kubu dimana objek-objek yang dirindukannya dan direnunginya hadir dalam bentuk pembayangan-pembayangan. Nantinya, Gibran akan mengekspresikan pembayangan-pembayangan itu dalam kata dengan menulis surat pada orang-orang yang dikasihinya.

Kadangkala, ia akan menulis sambil membayangkan dirinya seolah berada dalam sebuah rumah di Kairo bersama May Ziadah, gadis yang dicintainya; memimpikan sebuah momen, May duduk di depannya membacakan artikel padanya —entah yang Gibran tulis, maupun May yang menulis— dan setelah itu, mungkin mereka akan berdebat, beradu pendapat lalu tertawa bersama (Surat Gibran pada May Ziadah, ditulis tahun 1928[1]). Atau di saat lain, ia akan membayangkan suatu hari di masa tuanya nanti, Gibran berniat mengucilkan diri, menanggalkan kehidupan yang dirasanya penuh kepalsuan, menghabiskan hari-hari di sebuah pertapaan di tepi salah satu lembah di Libanon (Surat Gibran pada Mikhail Naimy, ditulis di Boston, 1922).

Saya kira, Gibran telah memfungsikan kamar menjadi semacam ruang abtraksi dimana dia bebas bergerak untuk merenungi dunia batin subjektif yang dialaminya —dimana Freud menyebutnya sebagi id “kenyataan psikis yang sebenarnya— dengan kenyataan di luar dirinya yang sedang terjadi guna menemukan pengujian terhadap kenyataan. Sedang lain sisi, surat menjadi cara paling efektif bagi Gibran untuk mewadahi hasil abtraksi sebagai mekanisme pertahanan diri berbentuk sublimasi agar orang-orang yang dikasihinya dapat memahami suara hatinya.

Gibran yang saya pandang lebih sebagai penyair —lantaran saya pertama kali berjumpa dengan puisinya bertajuk “Anak” yang dikutip Budi Darma dalam novelnya berjudul Rafilus[2]— walau ia dikenal pula sebagai pelukis, lewat surat-suratnya itu, telah mengarsipkan bentuk-bentuk pengujiannya terhadap kenyataan yang bertitik sentral pada kehidupan romantik seorang penyair yang lebih mempercayai kekuatan bahasa daripada persentuhan panca indera. Surat-surat itu, menyimpan sebuah fakta tersendiri yang jarang dialami —diikuti— manusia lain: Gibran konsisten dengan konsepsinya bahwa keindahan-keindahan yang paling lembut dalam hidup ialah yang tak terlihat dan tak terdengar (Surat Gibran pada Amin Guraib, ditulis di Boston, 28 Maret, 1908)

Dua

Setiap kali saya membaca kembali surat-surat Gibran, saya membayangkan wajah pucat pasi seorang penyair yang menantang kepenatan kesendirian nan sunyi. Terutama, jika saya mengkhikmati surat-surat Gibran yang bertiti mangsa tahun 1930, itulah surat miris dari seorang penyair yang menunggu ajal yang akhirnya menemuinya di tahun 1931. Surat menjadi semacam pengantar bagi obituari yang ia tulis sendiri untuk menunjukkan kekeras kepalaan Gibran yang seolah ingin membuktikan bahwa kerinduan tak musti dipertemukan oleh perjumpaan indrawi.

Membaca kembali surat-surat Gibran yang bertiti mangsa 1930 itu, saya lalu teringat bahwa hari-hari menunggu ajal yang dialami Gibran memiliki kesamaan dengan yang dirasakan Chairil Anwar. Kedua penyair ini yang seolah tahu ajalnya telah mendekat, sama-sama menengok kembali kepada hidupnya di masa lampau dan membayangkan kembali masa-masa yang paling membahagiakan di hidupnya.

Bila Gibran, menyinggung kematiannya dengan menulis surat pada May Ziadah, Felix Farris dengan harapan ingin menjalani sakitnya di Mesir (tempat May tinggal) atau di kampung halamannya di Libanon agar bisa dekat dengan orang-orang yang dicintainya, maka Chairil menulis pengalaman cintanya dalam puisi “Mirat Muda, Chairil Muda” (ditulis tahun 1949).

Chairil dalam puisinya itu melukiskan suatu perbuatan cinta yang tidak saja melibatkan roh dan jiwa, namun juga badan dan nafsu, namun pada larik akhir puisi “Mirat Muda, Chairil Muda” ia membuat penyataan miris: di antara kenangan paling bahagia sekalipun kematian juga hadir sangat dekat. Chairil menulis begini:

Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
menuntut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati [3]

Di antara jarak ajal yang dirasa begitu dekat, uniknya, keduanya mengucapkan kematian dengan ringan saja. Bagi Chairil, kematian yang dicatat dalam sajak “Mirat Muda, Chairil Muda” ada di mana-mana dalam kehidupan manusia, juga pada saat manusia bersenang-senang. Kematian adalah kenyataan sederhana, sama sederhananya seperti adanya udara di muka bumi ini[4]. Sedang bagi Gibran, terlihat manakala ia memikirkan kematian —seperti ia tulis dalam suratnya pada May Ziadah (ditulis tahun 1928); ia merasakan kesenangan dalam memikirkan dan merindukan kematian.

Walau keduanya, terkesan mengucapkan peristiwa kematian dengan ringan, ternyata menguraikan keberangkatan kematian dalam kata bukanlah cara yang mudah. Gibran maupun Chairil sama tahu, peristiwa keberangkatan kematian tak dapat dipetik dari wilayah panca indera, sebab itulah keberangkatan kematian lebih menjadi ide daripada penggambaran peristiwa, kemungkinan memikirkan keberangkatan kematian bisa jatuh pada rasa menyerah. Chairil Anwar pada larik akhir sajak “Derai-Derai Cemara” menulis:

ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

Sedang pada surat Gibran pada May Ziadah (ditulis tahun 1928), Gibran berucap:

Lalu aku kembali pada diriku dan ingat bahwa ada sebuah kata yang mesti kukatakan sebelum keberangkatanku. Aku menjadi bingung di antara ketidakmampuanku dan keharusanku, lalu aku menyerah pada harapanku

Kata menyerah yang diucapkan Chairil maupun Gibran yang memiliki hubungan referensial dengan kematian adalah perwujudan psikologis yang mengikuti prinsip konstansi. Prinsip konstansi yang dirumuskan oleh Fechner —juga menjadi rujukan Freud untuk menjabarkan hasrat untuk mati— menyatakan bahwa semua proses kehidupan cenderung kembali ke stabilitas inorganik. Tapi, ada satu hal penting sebelum manusia menyadari bahwa kehidupan hanyalah jalan memutar ke arah kematian, manusia pada umumnya berupaya membuat pengalihan-pengalihan untuk membentengi diri agar tidak melakukan agresi terhadap diri sendiri ketika ajal kematian telah dirasa semakin mendekat.

Pada Gibran dan Chairil, kata (surat dalam Gibran, Puisi bagi Chairil) menjadi media pengalihan yang berhasil membuat keduanya tidak melakukan agresi terhadap diri sendiri ketika ajal kematian telah dirasa semakin mendekat. Kata menjadi sumber energi bagi keduanya yang sejak mula menjadi bagian penting dari dinamika kepribadian mereka sebagai penyair. Dalam riwayat kehidupan keduanya: kebiasaan, pandangan hidup praktis mereka ekspresikan dalam kata, sebab pada mulanya juga pada akhirnya penyair memang ditakdirkan untuk percaya bahwa apa pun yang dirasakan manusia, sejauh dapat diekspresikan, hanya dapat diekspresikan dalam kata.

Tiga

Penyair yang seakan ditakdirkan mengekspresikan apa pun yang dirasakannya —entah itu persepsi, ingatan maupun gagasan— dalam kata bukanlah sebuah sikap yang tiba-tiba jatuh dari langit. Penyair juga melakukan identifikasi yaitu pengambil alihan ciri-ciri orang lain dan menjadikannnya bagian yang tak terpisahkan dari dirinya, tetapi tidak pada semua aspek melainkan hanya mengambil hal-hal yang ditanggapi akan menolongnya untuk mencapai tujuan tertentu. Pada Gibran proses identifikasi ini, terlihat dalam prosanya yang bertajuk “Penyair Ba’labak[5]”. Dalam prosanya itu, Gibran menggambarkan bahwa konsep-konsep baru dalam persajakan Arab dimungkinkan dapat senantiasa terjadi sebab penyair-penyair Arab melakukan identifikasi pada semangat pembaruan yang disemaikan oleh Khalil Effendi Mutran.

Cerita dalam prosa “Penyair Ba’labak” bermula dari kematian penyair muda di taman istana. Sang Amir, pemimpin kota Ba’labak —kota purba di Libanon yang juga dikenal dengan sebutan Heliapolis, 112 S.M, lalu memakamkan sang penyair muda di bawah kerimbunan kuil Istyar Suci untuk memuliahkan jenazahnya. Kematian penyair muda itu, berbarengan dengan kedatangan filsuf India di istana Sang Amir yang menjelaskan pengetahuan tentang proses perpindahan jiwa dari satu tempat ke tempat lain, perpindahan jiwa dari generasi ke generasi hingga ke titik kesempurnaan dan berakhir di batas Tuhan. Saat berada pada upacara pemakaman, lalu sang Amir bertanya pada filsuf India tentang adakah kemungkinan kelahiran kedua (reinkarnasi)? Dan sang filsuf menjawab bahwa “apa yang dirindukan oleh jiwa, akan terkabulkan”.

Singkatnya, lalu cerita beralih pada masa 1912 M dan bertempat di Kairo, Mesir, dimana seorang Amir negeri sedang duduk merenungkan suku bangsa yang muncul tenggelam di sepanjang tepi sungai Nil. Lalu Sang Amir itu berkata pada Nadimnya bahwa ia rindu pada alunan syair, dan meminta si Nadim menyanyikan sebuah syair. Pada mulanya si Nadim menyanyikan syair penyair jahiliyiah, tetapi sang Amir meminta si Nadim mendendangkan syair yang baru. Selanjutnya, sang Nadim menyanyikan salah satu syair penyair dua masa dan alunan sajak-sajak Andalusia, tetapi si Amir meminta si penyair menyanyikan syair yang lebih baru lagi. Akhirnya, si Nadim menyanyikan syair penyair muda Ba’labak dan sang Amir merasakan adanya sepasang tangan gaib yang menariknya dari istana ke suatu tempat yang asing. Dan pada akhirnya sang Amir hanya bersidekap mengulang-ngulang sebait firman Allah yang diwahyukan melalui seorang rasulnya, “padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkanmu, kemudian kamu dimatikan dan dibangkitkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan”.

Secara khusus prosa bertajuk “Penyair Ba’labak” itu ditulis Gibran untuk menghormati Penyair Khalil Effendi Mutran yang menerima penghormatan dari Liga Kemajuan Arab pada tahun 1912 (Surat Gibran pada Salim sarkis, ditulis di New York, 6 Oktober 1912). Di mata Gibran, Khalil Mutran yang lahir di Ba’labak tahun 1872, dinilainya telah menuangkan jiwanya laksana anggur ke dalam piala Liga Kemajuan Arab demi mempromosikan persatuan dan kebudayaan Arab.

Prosa “Penyair Ba’labak”, juga berisi pujian-pujian bagi kepenyairan Khalil Mutran. Pujian pertama, Khalil Mutran dinilai oleh Gibran telah menguatkan ikatan persahabatan antara dua negeri Siria dan Mesir, oleh karena itu ia pantas menerima penghormatan dari Liga Persatuan Arab. Penilaian ini, dalam prosa ditampakkan Gibran dalam cara penyimbolan Khalil Mutran sebagai seorang Amir Ba’labak yang sedang duduk di singgasana emas dan menerima orang-orang bijak dari Timur.

Pujian kedua, berada pada konsep persajakan Khalil Mutran yang dinilai Gibran bukan hanya membawa pembaruan, namun juga memberi inspirasi terhadap cara pengucapan generasi penyair Arab selanjutnya dalam membaca dunia. Penilaian ini disimbolkan oleh Gibran lewat pembayangan Khalil Mutran sebagai Amir Mesir, Kairo yang tergugah oleh syair Arab Modern.

Di antara kedua pujian itu, ada satu titik penting, yaitu pernyataan tersirat yang seakan menegaskan bahwa sajak yang menjadi adalah sebuah laku pemberontakan terhadap konvensi sastra yang berlaku umum di suatu masa. Di tangan Kahlil Mutran sajak yang menjadi adalah sajak yang membawa pembaruan. Pembaruan inilah yang nantinya membentuk semacam pola reinkarnasi, dimana perpindahan spirit pendobrakan konvensi akan terus merasuk ke dalam tubuh para penyair lain sebagai laku identifikasi guna menemukan kekhasan pengucapan maupun wawasan penyair.

Secara historis, pembaruan Kahlil Mutran ditandai dalam upayanya mengembangkan aliran romantik yang pertama dalam persajakan Arab dengan menulis sajak berjudul “Nayrun” atau “Nero” yang merupakan sajak dengan satu tema yang terpanjang yang belum pernah terdapat dalam sejarah persajakan arab saat itu. Berikut fragmen dari sajak panjang bertajuk “Nero”[6], yang terdiri dari 400 baris, yang ditulis oleh Khalil Mutran dalam kumpulan sajaknya yang bertajuk Diwan:

Yang memberikan dukungan padanya
Lebih patut mendapat celaan ketimbang dia
Macam apa itu Nero yang mereka puja?
Dia kasar dan tak tahu apa-apa
Si cebol yang mereka junjung setinggi-tingginya
Mereka merangkak-rangkak di mukanya dan dia pun sombong jadinya
Mereka mengagungkannya dan mengembangluaskan bayang-bayangnya
Hingga bumi pun penuh dengan kejahatan di mana-mana
Mereka berikan kekuasaan mereka padanya
Maka di pun menjadi tiran atas mereka
Penguasa hanya mungkin menindas semaunya
Bila tak perlawanan yang ditakutkannya
Sebagian mengutuk Nero, tetapi aku mengutuk bangsa
Jika mereka menentangnya, pasti akan undur dia
Setiap bangsa menciptakan Nero-nya sendiri pula
Apakah itu “Caesar” atau “Khosru” namanya — sama saja

Kata dalam fragmen sajak “Nero” menggugat realitas dan menyeruak sebagai nada protes, Khalil Mutran dalam sajaknya merangkai kata dan kalimat untuk mempertimbangakan wawasan tentang pentingnya mengkaji ulang despotisme, ketidakadilan social juga tirani yang sering melanda penguasa. Sedang sebagai perambahan ucapan, sajak “Nero” dalam bentuknya merupakan eksperimentasi pengucapan seorang penyair yang dengan segala daya upaya, ingin mengetahui batas-batas yang paling jauh yang bisa dicapai oleh seorang penyair dalam menggubah sajak panjang yang berpokok pada satu tema dan menggunakan rima tunggal (monoryme). Dalam usaha pembaruan inilah, sajak “Nero” menjadi sebuah dunia tersendiri di antara mode persajakan Arab saat itu. Tak urung sajak Mutran pun lantas menghancurkan pola qasida yang telah kehabisan potensi-potensi puitiknya dan menunjukkan bahwa sajak-sajak Arab harus diganti dengan bentuk-bentuk puisi yang lebih bebas[7].

Maka, disinilah pengucapan kata dalam sajak Khalil Mutran lantas memberi pengaruh pada penyair arab lainnya sehingga konsep-konsep baru dalam persajakan Arab dimungkinkan dapat senantiasa terjadi. Kahlil Gibran pun terpengaruh oleh pembaruan ini, pada nantinya ia lebih memilih pembaruan gaya persajakan dengan menulis dalam gaya prosa-puisi maupun puisi-prosa yang ternyata menjadi suatu tonggak sejarah, bukan saja dalam persajakan Arab, tetapi juga dalam sastra Arab pada umumnya.

Pemberontakan terhadap konvensi sastra di suatu zaman, memang berlaku umum bagi kepenyairan seseorang, bahkan telah menjelma sebagai sebuah keharusan. Chairil Anwar pun, di dalam perpuisian Indonesia juga melakukan perambahan pengucapan yang melanggar dan merombak konvensi Pujangga Baru[8], buktinya, bila konvensi pujangga baru memeras tenaga kreatif dengan pemandangan alam yang harus selektif, menghadapkan puisinya pada alam yang indah untuk menghidupkan kesedihan paling melankolis, maka puisi Chairil berucap sebaliknya, alam bisa mengerikan, malam dapat fatal, menjadi kehancuran yang menggoncangkan.

Empat

Di mata saya, Kahlil Gibran dan Chairil Anwar adalah individu-individu yang seakan lebih pantas hidup dalam dunia khayalan namun tak dipungkiri pernah ada dalam dunia nyata. Kehidupan keduanya —seperti manusia pada umumnya— dikelilingi oleh konflik-konflik batin, tetapi secara khusus keduanya menggali potensi-potensi bahasa (kata) sedemikian rupa sebagai media menampung pikiran dan tindakan-tindakan rasional untuk mengurangi ketegangan konflik batin. Pemaksimalan potensi bahasa yang dilakukan keduanya pada akhirnya menandakan sesuatu, setidaknya sebuah poisisi hakiki yang semua orang kini mengenal keduanya; bahwa Kahlil Gibran dan Chairil Anwar adalah seorang penyair.

Sedang kematian: ending drama kehidupan yang membayangi keduanya akhirnya tak sepenuhnya merenggut dan menang. Sebab setiap kata yang ditulis Chairil Anwar maupun Kahlil Gibran, pada suatu momen —saya bayangkan ketika seorang pembaca membaca karya-karya mereka— akan setia menjumpai dan menyentuh pikiran-pikiran para pembaca, membagikan pengalaman, semangat dan cita rasa semasa keduanya menjalani kehidupan. Dan pada akhirnya dalam kata-katalah keduanya menetap, merasuk ke dalam tubuh dan berbisik lirih bahwa segala sesuatu yang dirasakan manusia, selama mampu diekspresikan, hanya dapat diekspresikan dalam kata.

=======
[1] Surat-surat Gibran yang dikutip dalam esai ini, seluruhnya bersumber pada buku Kahlil Gibran, a self-potrait atau Potret Diri , terj. M. Ruslan Shiddieq (Pustaka Jaya. Cet 5: 2000)

[2] Sila baca novel Budi Darma bertajuk Rafilus (Balai Pustaka. Cet..1. 1988. h.105-106)

[3] Puisi-puisi Chairil Anwar yang dikutip dalam esai ini, seluruhnya bersumber pada buku Chairil Anwar yang bertajuk Aku Ini Binatang Jalang, Koleksi sajak 1942-1949 (ed. Pamusuk Eneste. Cet. 21. Juni 2009)

[4] Interpretasi kematian dalam sajak “Mirat Muda, Chairil Muda”, merujuk pada buku Arief Budiman bertajuk Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (Wacana Bangsa. Cet.2. 2007. h. 35-36)

[5] Prosa bertajuk “Penyair Ba’labak” saya baca dalam buku Al-Majmauah Al-kamelah Li Mauallafat Jubran Khalil Jubran al-‘Arabiyyah atau Penggali Kubur, terj. Faazi L. Kaelan (Pustaka Jaya. Cet 1: 1998)

[6] Fragmen sajak “Nero” yang ditulis khalil Mutran dikutip dari Hartojo Andangdjaja, Puisi Arab Modern (Pustaka Jaya. Cet 1, 1983. h. 168)

[7] Ibid. h. 19-20

[8] A Teeuw, “Sudah Larut Sekali. Chairil Anwar: Kawanku dan aku”, dalam Tergantung pada Kata (Pustaka Jaya. Cet.2. 1983, hlm. 16)

*) Esai ini terkumpul dalam buku Kahlil Gibran di Indonesia (editor: Eka Budianta, Ruas, November 2010) hlm. 29-37.

Lawatan Budaya Menggugah Kekuatan Desa

Sabrank Suparno *
http://sastra-indonesia.com/

Perubahan Anda sudah disimpan

Berawal dari grenang-greneng antar seniman yang mengandaikan bagaimana caranya bisa mengekspresikan diri dalam satu forum dan tidak berbelit dengan urusan dana, lembaga dan atau instansi terkait, dari sanalah ide Lawatan Budaya muncul. Kemudian para seniman tersebut menyiasati daya untuk mewujutkan terlaksananya titik sentral ide tersebut. Sertamerta bagi yang ingin terlibat, pletikan kekuatan pun mulai terumus, bahwa tidak ada kata kunci yang jitu, kecuali membakar lemak jiwa dengan sistem‘rewang, soyo, gotongroyong, semua yang terlibat mengikhlaskan energi untuk urun mengisi agenda.

Berangkat dari gejolak kebebasan dan terlaksananya kemampuan berkesenian dimaksud, menandai awal ‘Komunitas Suket Indonesia’ terpanggil untuk terlibat. Namun keterlibatan ‘Suket’ dalam pelaksanaan ini hanyalah sebagai fasilitator yang mewadahi geliat para seniman. Jauh hari sebelumnya, seperti yang diungkapkan salah satu pentolan Suket: Mbah Catur (Kepala desa Mojowarno yang juga lulusan UMM tahun 1998) bersama istrinya Riris D. Nugrahini (lulusan IKIP Tuban 2001), “kalau teman-teman ingin menggebyarkan semangat berkesenian, dipersilahkan. Kami hanya bisa menyediakan tempat, yakni gedung Balai Desa, silahkan dipakai. Bagi yang jauh juga kami sediakan mess tidur. Soal hidangan, tur mergo kalian tamu, umpomo gak ono duwek yo tak utang-utangno, tapi gak iso mewah, sak onoke wae.” Berawal dari konsep semacam inilah munculnya gagasan Lawatan Budaya, yang informasinya kemudian disebar antar kawan seniman dengan jejaring facebook. Alhasil, siapa pun yang bersedia bergabung, artinya bukanlah sebagai fihak ter-undang, tapi berpartisipasi dengan uang saku sendiri yang disebut istilah rewang, gotongroyong di atas. Sama artinya bahwa siapa pun yang hadir, entah pada Lawatan Budaya yang sudah terlaksana atau pun yang akan datang, yang bersedia terlibat adalah sekaligus merangkap panitia, semua harus berkordinasi serempak, tanpa harus jagakno satu sama lain, atau dituankan.

Adapun gambaran secara gamblang proses terlaksananya Lawatan Budaya seperti yang diungkapkan Riris D. Nugrahini (Bu Lurah Mojowarno) di awal agenda Lawatan Budaya pada diskusi 23 Juni 2011, bahwa “Lawatan Budaya bermula dari niatan para seniman untuk melangsungkan ‘reuni plus’ menambah teman dengan jejaring baru.” Seperti yang sudah berlangsung, Lawatan Budaya teragenda dari tanggal 23-26 Juni 2011 lalu.

Repertoar tanggal 23 Juni 2011

Hadrah

Acara dibuka secara khitmat oleh penampilan seni Hadrah dari Ranting ISHARI desa Mojowarno. Pembukaan Hadrah molor hingga jam 20;00 dari jadwal semula jam 18:00. Hal ini dikarenakan Ranting ISHARI ini memiliki kegiatan rutin saban malam Jum’at untuk berhadrah di masjid seusai magrib (17:45-80:00) yang tidak bisa ditinggalkan. Namun sekali lagi, bahwa dalam rentetan Lawatan Budaya tidak menekankan teori praktis bardasar sketdjoule jadwal yang kemudian memaknai kegagalan jika terjadi kemelencengan dari planing terterap, tetapi lebih menekankan kesempatan, kemauan, serta kebersediaan tampil urun mengisi. Ketidaktepatan waktu bukanlah hal yang esensi, sepanjang satu fihak dengan fihak lain dalam waktu tunggu benar-benar masih berjuang bersama, berkesenian di tempat lain. Dengan demikian tidak ada kesan yang terbangun akibat kemoloran yang dianggap mencuri waktu orang lain.

Orasi Budaya

Seusai Hadrah, acara dilanjutkan dengan pemaparan konsep ‘Watak Nusantara Sebagai Negara Agraris’ oleh Pak Sunu Budiman selaku wakil warga desa Mojowarno. Dalam paparannya, Pak Sunu mengudal sejarah Majapahit yang khusus berkaitan dengan wilayah Mojowarno berdasarkan cerita turun-temurun dari nenek moyang setempat. Di antaranya bahwa sentra perekonomian Majapahit dahulu terletak di pelabuhan Canggu (sekarang wilayah sekitar pabrik Ciwi Mojokerto). Di Canggu ini dahulu serupa teluk yang menjorok dari sungai Brantas dan bermuara di selat Madura. Pusat pelabuhan Canggu tersebut sekarang ditandai dengan ‘Tugu atau Tonggak Gajah’. Dari Canggu inilah terkait erat dengan Mojowarno yang ditandai Candi Pangungak-an yang dalam bahasa masyarakat setempat berarti ‘ngenguk, nginceng, ndilok, memantau. Candi Pangungak-an berfungsi sebagai pengontrol, daya filterisasi berbagai transaksi dagang yang berlangsung di pelabuhan Canggu.

Pak Sunu juga menyingkap perihal ras asli warga Mojowarno berasal dari 3 wilayah, yakni Gunung Kendeng, Sidoarjo dan Yogyakarta. Khusus yang dari Jogja, adalah anak keturunan Pangeran Diponegoro yang lari ke wilayag timur saat geger makam leluhurnya yang hendak digusur Belanda yang mencanangkan pembangunan jalan Anyer-Situbondo.

Begitu pula ketika Pak Sunu memaknai buku ‘Negarakartagama karya Sota Soma dan Emputantular, kata Karta=aturan, Gama=senggama yang artinya menjalankan berkehidupan warga yang berhubungan erat dengan pertanian (sistem agraris).

Dalam buku Negarakartagama juga digambarkan pola budaya zaman Majapahit yang tertera semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Waha Wisesa’, yang diasumsikan sebagai kekuatan simbol kesederhanaan. Di mana kesederhanaan juga meliputi cara pribumi dalam mempertahankan tanah airnya dengan semboyan “Sak Dumuk Bathuk, Sak Nyari Bumi, dibelani sampek mati.”

Pak Sunu mengakhiri sambutannya dengan menyimpulkan contoh kongkrit keberadaan warga Mojowarno yang hingga kini belum terjadi kasus sengketa tanah antar warga. Ketidaksepahaman yang mengarah ke konflik warga, cukup diredam dengan rundingan antar sesepuh desa.

Monolog Andhika (Yogyakarta)

Meskipun anggota ISHARI kelar menampilkan tugasnya, tetapi mereka tidak langsung pulang. Anggota yang berjumlah sekitar 30 orang tersebut kemudian bergabung bersama para seniman untuk menyaksikan pementasan monolog sesi pertama yang diperankan oleh Andhika (Yogyakarta) dan sesi ke dua yang dibawakan oleh Galuh (Surabaya). Pementasan Andhika yang menyodorkan teater tubuh, gerak tanpa kata, tubuh yang berbicara, bagi warga desa terkesan rada aneh. Mereka membayangkan Andhika sama dengan pemain pencak silat jaman dulu yang hanya mengungkapkan ekspresi tubuh ketika menyelaraskan musik. Saya sempat bertanya kepada salah satu penonton, “apakah bapak mengerti apa yang dimaksud penari ini?” “Tidak,” jawabnya. Saya bertanya ulang, “tetapi apakah bapak percaya bahwa dibalik tariannya, sesungguhnya ada yang dimaksudkan tentang suatu hal?” “ Ya.”

Monolog Galuh (Surabaya)

Sesi kedua, panggung diisi pementasan monolog rekan Galuh (Surabaya) yang mengangkat tema kritik pengaruh globalisasi dengan judul ‘Kebun’. Naskah yamg diangkat Galuh bukanlah naskah berat, sebab masyarakat udik sudah akrab dengan cerita klasik ‘Kancil Nyolong Timun’. Namun, di sinilah kepiawaian Galuh sebagai seniman tertantang untuk menyuguhkan takhnik penceritaan berbeda dengan alur cerita umumnya. Galuh sebagai tukang cerita, berperan menjadi tiga aktor sekaligus, yakni Si Akulirik, Si Kancil dan Petani. Saat berperan sebagai tokoh Kancil, Galuh langsung berimprovisasi dengan salah satu penonton yang seketika didapuk sebagai Pak Tani yang memergoki ulah pencurian Kancil. Tokoh Pak Tani yang tanpa latihan proses teater terlebih dulu, spontan mampu ber-ekting geram dan berkacakpinggang di hadapan Kancil.

Konsep berkesenian Galuh yang demikian, seperti menjabarkan pertanyaan Arifin C Noer dalam opini pendeknya yang terangkum dalam buku Teater Tanpa Masa Silam (DKJ 2005). Berawal dari pertanyaan siapakah Aku, dalam kaitannya dengan Alam dan Karya, Arifin C Noer melesapkan Aku menjadi Kita. Kita harus senantiasa bocah dan alam menjadi teman sepermainan. Sehingga terjalin hubungan seumpama lelaki dan perempuan yang menghidupi kelengkapan alam anorganik, fisis-chemis, yang kimiawi, vegetatif, animal, human, supranatural dll. Lebih spesifik dari Arifin C Noer, Asrul Sani menyebutnya ‘keterlibatan seluruh civitas teater’ yang meliputi penonton, pewarta, bahkan EO sekali pun yang ia tulis sejak tahun 50-an dalam Surat Kepercayaan Gelanggang.

Suspansi pementasan Kebun memasuki titik klimaks naskah yang diangkat Galuh. Yakni ketika ‘Kancil’ terlelap tidur dalam kurun sejarah yang teramat sangat lama, dan diperagakan Galuh dengan bersandar pada salah satu bahu penonton. Terkesan sekali, simbol dua subyek yang enjoi dalam (kesepakatan) keterlenaan. Hingga saat sejarah membangunkan ‘Kancil’ dengan perubahan menyeluruh yang tidak terduga, yakni suara gemuruh 2 motor vespa yang sejak sore dipasang asesoris panggung. Kancil pun tergeragap bangun. Ia kaget. Betapa keterlenaan sejenak, sejarah sudah berubah menjadi modernisasi deru mesin. Yang paling naïf bagi Kancil ialah betapa matanya kehilangan entitas kebun Pak Tani sebagai lahan curian timunnya, telah berubah menjadi gedung pabrik, mall, reil estate. Namun keberhasilan Galuh masih ditentukan di akhir pementasan, yakni ketika Galuh merayu-sentuh hati penonton untuk diajak menyaksikan gubuk dan patung yang berjarak 100 meter dari ruang pementasan. Gubuk yang dibangun oleh Sanggare Cah-Cah Tuban, mengingatkan betapa penting dan mahal karya petani meski pun berupa gubuk di tengah sawah, patung bikinan untuk menggusak manuk, atau sekedar umbul-umbul klaras bahkan kain warna warni sebagai pertanda padi (mbok Sri) hamil dan tingkepan (tradisi tileman). Kesadaran hal ini sengaja ditohokkan oleh Galuh dan Sanggare Cah Cah Tuban, bahwa komunitas petani dengan segala kecerdikannya menyiasati hasil panen lebih baik dengan sistim kerja nyaman. Sedang pada sisi lain, Galuh mengungkit ke tumpangtindihan budaya kota yang masih merindukan suasana desa, sementara di sisi lain, petani mulai meninggalkan kebudayaan desa dan merindukan suasana kota. Berbeda dengan ‘viuw rich farmer’ di Bali misalnya yang kalau kita amati pada 5 tahun terakhir mulai digarap ‘aspal setapak di tengah sawah’ untuk para turis yang ingin menikmati keindahan persawahan.

Repertoar tanggal 24 Juni 2011

Shering bersama Agung PW

Seri Lawatan Budaya pada 24 Juni 2011, menghadirkan Agung PW yang membahas seputar tema‘Heritage’. Ada wacana tak terduga dari pemaparan Agung PW, yakni penelusuran mengenai struktur wajah kebudayaan klasik hingga berbagai perubahan yang terakibat oleh perkembangan kebudayaan itu sendiri. Khusus wilayah Mojowarno misalnya, Agung menilai perubahan struktur artistik bangunan masjid, gereja dan beberapa model bangunan telah berganti still dari eksteroir lama. Begitu juga bidang pertanian, sistem kapitalisasi pertanian, sertamerta merubah pola pengolahan tanah, pupuk, pengairan dsb yang cenderung bersifat individualis (baca makalah Agung yang berjudul: Untuk Siapa Heritage Indonesia? Di http://dawetnesia.blogspot.com). Seperti diperkenalkan Abdul Malik dari komunitas Banyumili Mojokerto, bahwa sosok Agung PW, adalah seniman lokal Mojowarno yang luput dari jaringan seniman Jombang, padahal kiprah kesenimanannya berbasis STIBA Malang jurusan Inggris-Prancis angkatan tahun 87. Maka, menjadi berbobot jika kajian Heritage kemudian didasarkan atas perbandingannya selama ke Jepang (2008) dalam program Shimane-Indonesia Exchange of Traditional Arts.

Orasi Puisi Bersama 17 Penyair

Serentetan Lawatan Budaya tanggal 24 malam digebyarkan oleh gemuruh 17 penyair dari berbagai kabupaten. Acara yang rencana dimulai pukul 18:00 mundur hingga 20:00 WIB. Penyebab molornya ialah keterlambatan Gamelan Musik S’ketika yang jauh sebelumnya bersedia mengiringi kerempekan selama pembacaan puisi. Namun keterlambatan musik S’ketika tidaklah berarti jika dibanding kesediaannya turut mengisi acara, sebab semua menyadari bahwa awak musisi S’ketika baru pulang dari misinya mengikuti lomba di Probolinggo. Lebih tidak sebanding lagi jika ditilik dari perjuangan musik S’ketika yang di beberapa event kesenian di Jombang, tulus menyumbang memeriahkan. Dari liputan Tim Lincak Sastra misalnya, sempat menemui pemanggungan S’ketika yang kian ‘oke’(rancak) bergaya ‘ngiyaikanjeng’, namun lebih spesifik ke musikalisasi puisi. Tidak hanya di lawatan Budaya saja Sketia tampil, pada 10 April 2011, musisi ini mengiringi kehadiran Afrizal Malna dan Titarubi di Gedung Bung Tomo Pemkab Jombang. Tanggal 14 dan 28 Mei, S’ketika juga tampil secara sukarela di agenda rutinan Angkringan Seni di Dinsosnaker Jombang. Dan masih banyak lagi perjuangan musisi S’ketika di berbagai tempat, berbagai event, berbagai komunitas Jombang dan luar Jombang.

Sayup irama musik S’ketika mulai melantun dengan salam pembuka, khas musikalisasi puisi. Satu-dua tembang yang sekaligus menghantarkan MC (Yosi Ari Wijayanti dari Universitas Nusantara PGRI Kediri angkatan 2010) membaca larik-larik puisi Lawatan Budaya. Bait puisi yang sengaja diformat ‘Jejer-an” untuk mengikat ruang, memfokuskan kesadaran bahwa yang sedang berlangsung adalah pemaknaan sejarah dengan sastra. Cuplikan puisi Lawatan Budaya yang dilantunkan Yosi adalah:

Agenda Sastra pada serangkaian acara Lawatan Budaya di Balai Desa Mojowarno tanggal 24 Juni 2011)

(detik-detik penghantar Lawatan Budaya: diiringi instrument dengan lirik kalem oleh Musik S’ketika)

marilah mengunjungi bumi
di sana, milyatan manusia bersemayam
besama para Nabi terkasih
uluran tangan cintanya mengusap kerisauan, membelai ketenteraman
malayang sebulir padi. dengan sinar ke-emasan, jatuh dari angkasa
tepat, di dekat kutub selatan dan katulistiwa
terbentang berserakan indonesiaraya
kepulauan yang bergandeng-gandeng mesrah
sebuah negeri hijau ranau pantulan surga
kala pagi menyingsing. surya merangkak mendaki bebukitan
sinarnya semburat menerpa dedauanan
ceracau burung perenjak berkicau riang sambil bertelantingan di antara ranting dan dahan
sapi dan kerbau berdengau
panas mencandai hijau lembir klorofil
‘clak’, cangkul petani menyapa sawah
liuk pucuk padi, mekar mayang dan kembang tebu
kala malam menjelang
matahari beranjak pulang
cakrawala senja mengusap merah menjadi jingga
perlahan remang dan gelap mendekap hari
keriuk srengai sayap belalang, kerik jangkrik, denging anai dan keret bajang
menyambut tapak kaki perantau, menimang tubuh pejalan jauh, memijit lelah membuai manja.
selamat datang kembara jiwa. para perekam gravitasi sejarah.
inilah selonjor negeri memanjang bagai sajadah
dari langit ujung timurnya menyerupai peta yang dibawa rasul dari sidratul muntaha
peta takhiyat. kaki kiri bertekuk menjadi semenanjung Blambangan, Ketapang, sepanjang pantai Sritanjung. sedang kaki kiri berselonjor menjadi Madura. Jawa Timur, peta kebangkitan jaman.
sebuah negeri, dengan 10 gunung menjulang.
sebuah negeri, aliran sungai Brantas memanjang
sebuah negeri, bermekaran warna-warni, warno-warno, ijo-abang, Mojowarno-Jombang.

(Dilanjut dengan ucapan selamat datang kepada para tamu yang hadir)

Susunan acara sastra pada Lawatan Budaya tanggal 24 Juni 2011

Iringan Musik S’ketika:
-Mahendra PW……(Jombang)
-Ahmat Fatoni…….(Mojokerto)
-Toni Saputra…… (Trenggalek)
-Kukun Triyoga……(Mojokerto)
-Yoyok SP……….. (Nganjuk)
-Iwan Kapit………..(Kediri)
-Sabrank Suparno (Jombang)

Iringan musik S’ketika:
-Jabbar Abdullah……(Mojokerto)
-Juwaini………………(Kediri)
-Ratna Kumala……….(Nganjuk)
-M. Ali……………….(Gersik)
-Chairul Anwar………(Malang)
-Glewo Anam…………(Mojokerto)
-Titin Darma Ayu……..(Tuban)

Iringan musik S’ketika:
-Mbah Rego …………(Nganjuk)
-Abdul Malik………….(Mojokerto)
-Lek Mujib…………….(Jombang)
-Saiful Bahcri ………….(Mojokerto)
-Kotak Hitam……………(Lamongan)

Instrument musik S’ketika yang piawai dalam lekak-lekuk perpuisian, terus mengiringi setiap pembacaan berlangsung. Sebuah usaha memaksimalkan bunyi pendukung kekuatan penyampaian karakter puisi.

Mahendra PW yang didapuk sebagai pembaca pertama, durasinya terhambat oleh ‘byar-pet’jegleknya listrik yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Bahwa penambahan watt yang diserap banyaknya gamelan musik S’ketika, sertamerta mengurangi daya kekuatan listrik dalam gedung tersebut. Namun demikianlah refleksi yang terjadi, suasana gelagapan dadakan seperti turut memaknai bahwa sejatinya puisi terekam dari siang-malam, gelap-terang, kalut-nyaman. Keadaan demikian tidak menjadikan Mahendra PW kehilangan performa. Ia tetap memanfaatkan improvisasi dengan penonton walau dalam kondisi ruangan gelap. Menggali kekuatan suara. Tanpa lampu. Tanpa pemandangan.

Akhmad Fatoni, penyair berbakat dari Mojokerto tampil mengesankan dengan tiga judul puisinya: tentang kau yang ingin pulang, tentang penyair, dan cerita seorang petualang. Dengan matanya yang tajam, Akhmad Fatoni mulai berani menghidupkan pembacaannya. Tidak jauh dengan Akhmad Fatoni, rekan Iwan Kapit menggali ke PeDe annya dengan berpenampilan ala Taufik Ismail yang khas dengan topi baretnya. Kegenitan Iwan Kapit, saat ia mengekspresikan puisi binalnya yang membincang soal wanita simpanan. Iwan Kapit bersuit bagai barisan kigolog yang menunggu antrian tante-tante nakal di jembatan Delta Plasa Surabaya.

Banyak teori pembacaan puisi yang diperagakan oleh para penyair dalam serangkaian cara Lawatan Budaya. Jabbar Abdullah menyerupai sastrawan China-Taiwan yang berorasi sekedar membaca biasa, namun isi kedalaman puisi itu sendiri yang paling menentukan bobot. Demikian juga Glewo Anam, ia tampil khas dengan rambut panjangnya yang diikat. Sementara Abdul Malik berdandan dan bergaya Sipitung atau para peronda desa dengan sarung di leher dan memakai kopyah hitam.

Kekuatan orasi puisi Yoyok SP justru pada semangatnya yang menggebu di belantika perpuisisan. Didukung usianya yang cukup wareg dalam mengenyam asinnya garam, Yoyok SP merapal puisi puisi sumblim karyanya. Begitu juga Rego Ilalang, tak sekedar bait puisinya yang hidup ketika dibaca, namun ekspresi wajahnya ketika menghantarkan kalimat, merupakan catatan tersendiri bagi seorang Rego, ekspresi yang puitif.

Penampilan nyleneh justru diperankan Tosa Poetra, penyair yang bermukim di kaki bukit Jaran Dawuk Trenggalek. Sebagaimana Rego Ilalang, Toni Poetra berpenampilan atribut khas Jawa kulonan, yakni memakai udeng. Namun Tosa Poetra mirip dengan penampilan Sosiawan Leak yang ketika membaca puisi, merubah dirinya dulu menjadi babi. Tosa Poetra merubah dirinya menjadi Jaran Dawuk atau Kuda Putih. Ia mondar-mandir menguasai panggung dengan aksesoris krincingan. Ulahnya pun liar bagai kuda lepas kendali. Demikianlah Tosa Poetra dengan khas Jaran Dawuk sebagai inspirasi kekuatan lokalnya.

Cak Juwaini dan Choeroel Anwar, ke duanya bagai Nakula-Sadewa bila bertemu dalam satu panggung. Wajah, rambut, usia dan perawakan, ke duanya menyerupai Rendra si Burung Merak. Cak Ju dengan karakter panggung yang gelenggem namun menggema, sementara Choeroel Anwar menambah ulah performennya dengan membaca puisi sambil berdiri di atas meja yang kebetulan tersedia sebagai properti panggung.

Agenda yang terhapus dialami penyair Kukun Triyoga. Ketidakhadiran Kukun tersebab berbarengan dengan 7 hari meninggalnya orang tua penyair ini. Sehingga, selaku MC, Yosi Ari Wijayanti merefleksi ketidakhadiran Kukun dengan mengajak seluruh hadirin untuk membacakan do’a yang dikhususkan pada almarhum orang tua Kukun Triyoga. Namun ketidakhadiran Kukun, tidak mengurangi jumlah pembaca puisi, sebab seketika tergantikan oleh hadirnya penyair wanita asal Nganjuk, Ratna Kumala. Meski belum terdaftar sebelumnya, Ratna Kumala tidak mampu membendung demam panggungnya sebagai penyair. Ia segera menghubungi panitia untuk turut membaca puisi walaupun suaminya harus rela menggendong anaknya yang sedang menangis ketika Ratna membaca puisi. Shound pun menggelegar berkat suara sopram Ratna. Saya, sempat bertanya kepada suami Ratna, “apakah Mas, sering menyaksikan sang istri membaca puisi?” “Ya, saya selalu menghantarkan dia, itu hobinya.” Saya pun mencandai anaknya Ratna dengan mengatakan, “lihat itu! Mamamu sedang membaca puisi. Kau harus lebih hebat daripada Mamamu!”

Dari kawasan timur wilayah Gerbang Kertasusila juga hadir penyair wanita Titin Ilfam Mulib (Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Widya Darma Surabaya Angkatan 2009). Gadis kelahiran asli Tuban ini membacakan dua puisinya yang berjudul: Kemunafikan Fana // Menggerus Lokalitas. Sebagaimana Titin, M. Ali dari Gersik juga berpenampilan lugu, namun dibalik kepolosan sikapnya, tak dinyana kedua penyair kawasan timur ini memiliki kekuatan jiwa kepenyairan yang handal. Sedang saya sendiri yang jauh hari sebelumnya mendaftar baca puisi, sempat membaca puisi panjang yang berjudul: Ujaran-Ujaran Ambradoz. Itu saja. Sementara Muhammad Mujiburrohman (Lek Mujib) membacakan puisinya yang berjudul: Cuci Otak. Dengan khas suara bass, Lek Mujib menggedor-gedor kritikan tajam tentang berbagai ketimbangan kebudayaan dan cara berfikir. Gaya pembacaan puisi Lek Mujib di Lawatan Budaya, tidak jauh beda ketika satu panggung dengan D.Zawawi Imron, Sosiawan Leak, serta Max Arifin (alm) di Undar dalam acara Gebyar Malam 1001 Puisi sekitar tahun 2000-an.

Refleksi Puisi bersama Kris Budiman (Yogyakarta)

Serampung seluruh prosesi pembacaan puisi, agenda tanggal 24 Juni malam, ditutup dengan diskusi puisi yang dipandu Kris Budiman (Sosiolog Sastra dari Yogyakarta). Sebagaimana peserta yang lain, Kris Budiman juga rewang untuk menghadiri Lawatan Budaya. Sebuah keterlibatan yang petut diacungi jempol, lantaran kebesaran namanya di dunia sastra, tidak lantas mengkederkan diri untuk terlibat membina generasi penerus sastra. Keterlibatan Kris semacam ini, merupakan konsekuensi tersendiri sebagai profesionalis di bidangnya.

Dalam menyikapi budaya pembacaan puisi panggung, Kris Budiman berpendapat bahwa di Indonesia khususnya, puisi panggung merupakan ciri khas tersendiri, di mana puisi dipresentasikan dengan memadukan tekhnik berteater. Yakni usaha pendiskriftifan makna puisi dengan mengeksplorasi berbagai bentuk personifikasi. Puisi tidak sebatas ditulis dan dibaca. Memasuki wilayah kesempurnaan maknanya diperlukan berbagai cara untuk menghadirkan puisi secara utuh. Di sinilah pentingnya pemanggungan puisi, di mana pendekatan berbagai unsur: analitik, parafrase, emotif, ekspresif, histories, sosiologis, mimesis dll lebih mengena. Kris juga menyinggung secara khusus pendekatan puisi berdasarkan filologis. Adanya perbedaan morfologis pada setiap bangsa yang berkenaan dengan bahasa lokal. Orang-orang Inggris asli cukup berbicara dengan gerakan dagu. Berbeda dengan Orang Indonesia yang berbicara bahasa Inggris dengan mengandalkan bibir yang kemudian terkesan besosol (moncong).

Menyoal demam puisi pendek yang lagi digemari di Indonesia, Kris Budiman mengatakan sebagai gejala adopsi dari bentuk puisi Heiku Jepang. Di samping itu ada gejala kreatifitas lain seperti yang dilakukan Gunawan Maryanto yang sedang menggarap puisi berpolah tembang macapat Jawa, dengan ciri memperhitungkan jumlah ketukan, suku kata, sajak serta rimanya.

Repertoar Tanggal 25 Juni 2011

Diskusi bersama Joko Bibit Santoso (Teater Ruang Solo)

Makalah dengan tajuk “ Fakta Teater Yang Selalu Dipungkiri Secara Sosial” ditulis khusus oleh Joko Bibit Santoso untuk agenda Lawatan Budaya pada 25 Juni. Joko Bibit menuangkan catatan ringan yang terjadi pada kurun 1999 hingga 2005 berkenaan dengan fakta teater yang dilakoninya. Seorang pemuda kampung menanyakan hal sepeleh sebelum masuk anggota Teater Ruang. Apakah berteater bisa menjamin masadepan saya? Beberapa bulan kemudian (Fakta tahun 2000), pemuda tersebut dikirim Joko Bibit ke workshop kelompok teater terkenal dari Perancis. Alkhasil, ia terpilih menjadi aktor dalam karya terbaru mereka. Selanjutnya sebagai langkah pembekalan ia dikursuskan bahasa Inggris dan Perancis. Dalam kontrak 1 tahun pentas keliling dunia: Eropa, Amerika, Australia, Afrika, gaji pemuda tersebut 10 kalilipat gaji Walikota yang waktu itu sekitar 2 juta/bulan. Setelah keberhasilannya, si pemuda membelikan televise 1 inci untuk orangtuanya, 1 sepeda motor untuk adiknya, 2 mobil dan rumah elit di Solo Baru, memberi teman-teman di Teater Ruang masing-masing Rp.250 ribu, sedang untuk Teater Ruang sendiri senilai 1 juta. Namun ditolak oleh Joko Bibit dengan alasan sederhana: Bukan lantaran uang seseorang menjadi anggota Teater Ruang, bukan lantaran uang pula anggota dipersaudarakan. Namun karena teater mempertemukan anggota sebagai satu saudara.

Lebih jauh sesungguhnya yang diinginkan Joko Bibit terhadap pemuda tersebut adalah melebarkan wacana teater ke masyarakat. Bagaimana menerjemahkan konsep kebersamaan berteater memberi kontribusi-fungsi di luar kelompok teater itu sendiri. Joko Bibit menyarankan agar uang yang diberikan ke anggota Teater Ruang, dialihkan untuk membangun WC umum tempat dia dan keluarganya buang hajat. Dari beberapa kamar WC yang ia bangun, diperuntukkan khusus dia dan keluarganya, pasti diijinkan warga.

Pemungkiran terhadap fakta teater kian kentara pada sikap pemuda kampung tersebut setelah sukses. Ia benar-benar lepas dari kebersamaan. Diceritakan Joko Bibit, saat kelompok Teater Ruang membangun gedung ‘Kenthot Roejito’secara bergotong-royong, pemuda itu tidak membantu dan hanya mampir menitipkan atau menganbil barang saja. Akhirnya si pemuda dikeluarkan dari keanggotaan Teater Ruang. Setelah kontrak kerjanya habis dengan kelompok teater Perancis, perekonomian pemuda tersebut pun ambruk. Mobil, rumah, dan segala kemewahannya ludes terjual. Ia kembali bersama keluarganya menempati rumah kontrakan dengan atri WC umum seperti semula.

Fakta teater yang diceritakan Joko Bibit di atas, pada akhirnya dialegorikan pada fakta teater yang dialami Joko Bibit sendiri belum lama saat tulisan ini diturunkan. Dengan tulus berteater, Joko Bibit mengalami keajaiban tak terduga pada keluarganya. Saat anaknya masuk Fakultas Kedokteran UNS, uang regristasi senilai 7 juta tiba-tiba dibayar seseorang yang senang anak Joko Bibit masuk di Kedokteran. Tidak hanya itu, buku-buku mahal pun dibantu gratis oleh dosennya. Uang gedung senilai 10 juta dibebaskan. Dan masih mendapat beasiswa tiap semesternya senilai 5 juta dengan rincian 2 juta untuk membayar SPP, 3 juta untuk uang saku. Ditambah lagi uang regristasi senilai 7 juta yang sudah dibayar, dikembalikan pihak kampus dan akhirnya dibelikan motor untuk transportasi kuliah.

Lain makalah yang ditulis Joko Bibit, lain pula kegayengan saat berdiskusi. Menyikap iklim perteateran di Jombang yang hanya berproses ketika menghadiri event, terutama itu dijadikan konsep dasar teater pelajar, Joko Bibit mengkritik tajam. Berkesenian yang bertumpu pada event-EO, hanyalah berujung pembangunan nama besar bagi dirinya. Kebudayaan EO berakibat mematikan kreativitas kesenian yang pasti mandul jika tidak dikucur dana, dan cara berkesenian yang bertendensi materiel lebih baik membubarkan diri.

Kedatangan Joko Bibit bersama 2 pasukannya yang tergabung dalam Komunitas Tanggul Budaya (Solo), menyelingi diskusi dengan beberapa nomor puisi dan diiringi musik Siter. Bobot keilmuan berteater Joko Bibit pun tidak dilewatkan para seniman Jombang untuk Hadir. Tampak Ketua Dewan Kesenian Jombang (Agus Riadi), Inswiardi, Anjrah Lelono Broto, Farid Dulkamdi, A. Nugroho, Bambang Bei Irawan dll. Anjrah sependapat dengan konsep berteater Joko Bibit, bahwa jikalau seniman berani menentang arus, suatu saat arus akan mengikuti seniman penentang.

Seusai acara, Joko Bibit dkk megunjungi beberapa situs sejarah Majapahit bersama Riris selaku tuan rumah, dengan perhitungan senyawang berada di sekitar pusat Majapahit.

Monolog Herwasis W. Putro (Teater Laskar-Tuban)

Tema apa yang hendak diperankan Herwasis? Saat panggung terbuka, penonton disuguhi lantai penuh jerami serta properti kursi menggantung. Sebagai petani, orang desa, sang tokoh tidak hanya kehilangan lahan persawahan yang merupakan entitas seni tersendiri dalam hidupnya, melainkan kehilangan loyalitas generasi penerus bangsa yang kian tidak memahami budaya negeri sendiri. Naskah yang didaur seimbang antara realis dan surealis itu masih dipahami penonton ketika memparafrasekan kelangenan masa kecilnya yang hampir seluruh anak bangsa mengingatnya. Lantunan lagu kebangsaan, “Garuda Pancasila / akulah pendukungmu / patriot proklamasi / setia berkorban untukmu,” sayup sayup menyeret kenangan ke dalam relung masa kanak-kanak di bangku sekolah dasar. Dengan koor lagu Garuda Pancasila memletikkan semangat menyala dalam jiwa yang membubungkan harapan setiap anak, agar negaranya kelak gagah perkasa seperti Garuda sang Rajawali.

Realitas masa kecil yang kemudian dihadapkan pada ketimpangan masa kini, mengilhami Herwasis dalam menggarap monolognya. Semestinya kebesaran Indonesia di masanya, masa yang diidam-idamkan sejak kecil tidak pernah terwujut menjadi sosok Garuda pujaan, lantaran tapuk pemerintahan dipegang pemimpin berkarakter emprit dan cipret. Atau keputusasaan menjadi Garuda undil yang sayapnya tidak bisa mengepak lebar, lantang berkoar, terbang jauh melintasi benua dan pulau, serta daya akomodasi cupet terhadap mangsa jarahan. Sementra di sisi lain, militansi logosentrik yang kadung mengental di badan sejak kecil, sulit untuk dirubah. Yakni kesadaran bahwa perangkat organ Garuda sesungguhnya simbol yang lemah sebagai karakter suatu bangsa. Bukan sosok Garudanya, melainkan jumlah 17 sayap, 8 ekor, 45 bulu tidak memadai keperkasaan terbang sang Garuda ketika terbebani 5 perisai yang begitu besar. Di sinilah kelemahan burung Garuda idaman, tidak kuat terbang dan cenderung mengurung dalam sangkar dan hanya mematuk makanan yang tersedia di hadapannya.

Jika menilik ulang sejarah jumlah organ Garuda yang dipahami berhubungan erat dengan hari kemedekaan Indonesia, yakni 17-8-1945, sesungguhnya tidak lepas dari pengeboman Herosima dan Nagasaki Jepang oleh pasukan Sekutu pada 14-8-1945. Setelah 3 hari masa vocum, barulah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Padahal bisa dibayangkan jika Herosima dan Nagasaki dibom tanggal 31 Januari. Nah, jika logosentris dihubungkan dengan hari kemerdekaan, betapa Garuda sebagai lambang negara adalah burung bersayap berindil.

Monolog ‘Nyanyian Angsa’ oleh Arif (Teater Swara Malang)

Sejak awal panggung disetting satu bentuk untuk beberapa kali penampilan. Panitia menyarankan bila terjadi pergantian konsep tata ruang atau properti, pemeran dimohon berkordinasi dengan rekan yang tampil lebih awal, sehingga memudahkan proses penataan ruang kembali tanpa merubah total.

Menyambung penampilan Herwasis, Arif menggarap ‘Nyanyian Angsa’ naskah karya Chekhov. Setting tokoh sengaja dikondisikan dengan kebudayaan aslinya, sehingga tampaklah Arif seperti bule Chekoslovakia masuk desa. Naskah yang mengisahkan pentingnya penghargaan kasih sayang kepada seorang gelandangan sekali pun.

Kemiripan cerita yang sama pernah digarap Yenusa Nugroho dalam cerpennya Kalung Kolang Kaling (Jawa Pos..2010). Tentang betapa sunyi jiwa seorang tokoh panggung terkenal kala pertunjukan usai. Yel yel riuh tepuk tangan penonton tidak terdengar sebagaimana di atas penggung beberapa jam sebelumnya. Sang tokoh tidak memerankan ketokohannya, dan kembali memerankan diri-sendiri di balik layar, di gedung yang semua orang sudah bubar, bahkan tinggal dirinya sendiri. Apalagi bagai jatuh tertimpa tangga, akibat kecapekan berakting, sang tokoh nyaris tertidur dalam gedung pertunjukan yang terkunci. Apalah arti kekondangan, hanya dieluhkan sebatas profesionalitas belaka, dan bukan sebagai manusia yang membutuhkan kelengkapan kasih-sayang perangkat rohaniyah. Sendirian dalam gedung gelap, betapa sunyi yang menghiris, menyayat, mencabik sanubari. “Yegorka..! Pedruska..!” Demikianlah sang tokoh kesunyian jiwa Svetlovidof (Badut tua) memanggil dua penjaga gedung pertunjukan yang menguncinya. Naïf bagi Svetlovidof, ia hanya menemukan Nikituska (Ivanits) seorang kawan akting pemeren pembantu yang pasti menjadi teman setia satu-satunya dalam gedung tersebut. Alkhasil, ditemukanlah Nikituska tertidur dalam almari. Keduanya lalu bergurau, mamahami arti ketenaran yang pincang dan lucu jika dihadapkan pada dua realitas, yakni panggung dan kehidupan nasibnya. Dalam gedung kosong tersebut, mereka berdua memerankan diri mereka sebagai manusia yang menggali penghargaan kasih-sayang antar sesama.

Dalam diskusi setelah pementasan Herwasis dan Arif selesai, barulah kedua pemeran mendapat apreseasi serta beberapa kritikan dari penonton. Juwaini (Cak Ju) penyair Kediri yang sempat bermalam beberapa hari di Lawatan Budaya, mengkritik penampilan Arif dengan monolog ‘Nyanyian Angsa-nya’, terlalu sembrono dengan properti cagak mikorofon, betapa properti yang tidak berhubungan dengan pementasan, sangat mengganggu pemandangan, apalagi juru kamera.

Repertoar 25 Juni 2011

Workshop Mendongeng oleh Rumah Baca Kol. Sampoerno, Mojokerto

Rentetan Lawatan Budaya Mojowarno juga tak luput dari bidikan seniman yang memperhatikan pembentukan, perkembangan jiwa anak-anak. Metode cerita atau mendongeng dinilai media paling efektif untuk menancapkan patok nilai moral sejak file jiwa anak masih putih dini. Selaras dengan sistem nourologi, di mana otak mampu memutar ulang memori hingga 60 ribu kali setiap harinya, dongeng atau cerita yang baik, syarat dengan pembentukan karakter nilai moral, dimungkinkan rekaman yang merasuk saat anak dini, akan diputar ulang saat anak dewasa dan memegang tampuk pimpinan sejarah akan datang.

Atas dasar itulah Komunitas Rumah Baca Kol. Sampoerno Mojokerto merasa penting berkesenian dengan melibatkan anak-anak. Gagasan ini juga menyadarkan para pendidik dan orang tua, bagaimana seharusnya mempengaruhi pendidikan anak dengan pola harmonisasi keluarga, anak, dan pendidik. Yaitu bagaimana masing masing berperan aktif dalam porsinya, orang tua berteater keseharian sebagai orang tua, pendidik sebagai guru, dan anak berperan sebagai anak. Contoh semisal pada sistem pengajaran anak yatim-piatu se-Indonesia, para pendidik mengajarkan anak berwajah melas, memperihatinkan, nelangsa ketika mereka berhadapan dengan para donatur. Pembentukan karakter demikian terhadap anak didik, sangatlah keliru, sabab hanya membangun mental anak berpangku tangan pada belas kasihan atas perubahan nasibnya. Bukan sebaliknya, bermental tangguh yang tidak akan mengharap pada siapapun atas perubahan diri mereka, kecuali meng-asah kelebihan yang bernilai pada diri sebagai mengambilan hak atas dedikasinya. Tidak serakah mengambil hak orang lain, kecuali mengambil hak kelebihannya.

Pantomim dan Puisi Anak Autis

Perhatian terhadap kepedulian anak, hingga me-nyektor ke anak autis yang oleh masyarakat dan kawan sepermainan acapkali termarginalkan. Kekurangsempurnaan takdir yang diterima sebagai manusia normal, membuat anak autis harus berjuang ekstra dalam menyelesaikan tujuan hidup layaknya standarisasi manusia wajar.

Pantomim yang diperankan anak autis, menceritakan rutinitas anak sekolah (desa), bagaimana ia mengawali keseharian sejak berangkat ke sekolah, mandi, naik sepeda sampai di rumahnya, membantu ayahnya mencangkul.

Melalui wahana seni, dalam hal ini teater dan sastra, Lawatan Budaya juga mengapreseasi kemahiran anak autis yang sebelumya terbina ber-pantomim dan puisi. Rasa percayadiri anak autist ini sengaja digali dan dibangkitkan oleh asuhan Hadi Sutarno bersama istrinya (Fitriyah) yang memang sejak lulus Fakultas Psikologi Undar Jombang, mereka bergiat khusus dalam bimbingan anak autis seputar Jombang.

Anak autis ini membaca puisi ‘Aku-nya Chairil Anwar. Namun bagi Hadi Sutarno dan Fitriyah, membutuhkan waktu 3 bulan untuk melatih, baik puisi atau pantomim.

Kentrungan Bersama Sarkadek Lamongan

Seni kentrungan yang dibawa Sarkadek dari Lamongan, merupakan kentrungan khas Lamongan yang menceritakan babat perjalanan para wali. Sebagaimana diketahui, 5 dari 9 wali bermakam dan mukim di Jawa Timur pesisir utara (Gersik, Lamongan).

Gebyar (Semi) Wayang Kulit Bersama Manunggal Laras Bareng-Jombang

Jiwa kesenimanan dalang muda, Heru asal Bareng, yang kini menjabat sebagai KASI Kebudayaan Disporabudpar Jombang, terpanggil untuk rewang mengisi pertunjukan wayang kulit. Kesenian tradisional Jawa yang paling tua itu, merasa perlu diperkenalkan secara mengena ke benak generasi muda yang kian berpaling pada kesenian modern sejalan merebaknya era-facebooker, hp, dan google. Di sinilah dalang Heru memaparkan perihal mendasar dalam pertunjukan wayang kulit. Yakni menyangkut tatanan wayang berjajar memanjang pada lanskap (kleber putih) yang sekaligus sebagai medium pementasan.

Susunan wayang berawal di titik tengah, tempat dalang menggebyakkan lakon cerita. Di tengah inilah tempat Kelir atau Gunungan sebagai membuka sekaligus menutup lakon. Pada kelir bergambar hutan dan singa, simbol suatu adegan sedang memaparkan kondisi wilayah hutan belantara. Sedang kelir bergambar keraton, menunjukkan bahwa lakon mengetengahkan kondisi (sedang) kerajaan, atau negara. Dari kelir menuju pinggir (yang paling jauh dari dalang), tatanan wayang disebut ‘Sumpingan’, yang artinya tatanan menyerupai bentuk kuping, dari lingkaran kecil pusat selaput gendang, kemudian melingkar lebar di tepi. Disebut sumpingan, juga karena bersifat seperti rumah siput. Dalam tradisi wayang Jawa Timuran, istilah sumpingan biasa disebut ‘Sampiran’, yang artinya dari jajaran wayang pada kleber, terdapat satu wayang yang disampirkan. Pada bagian kanan dalang, wayang yang disampirkan di pundak wayang berjajar lainnya adalah tokoh Betoro Guru, sedangkan pada bagian kiri, wayang yang disampirkan adalah tokoh Betari Durgo.

Dalam kesempatan Lawatan Budaya lalu, dalang muda Heru mementaskan lakon ‘Ilange Jimat Kalimosodo’ yang dalam wayang Jawa Timuran dikenal dengan lakon ‘mBangun Candi Sapto Wargo. Lakon yang padat dengan simbolik dan reflektif dengan berbagai alur perubahan tampuk kebudayaan pemerintahan Indonesia.

Ilange Jamus (Jimat) Kalimosodo membeberkan cerita keteledoran pembesar Astina yang kurang peka dalam menyerahkan penentu kebijaksanaan negara, yakni tidak menyeleksi secara tepat perihal: Siapa? Atas nama apa? Kepentingan apa? Akibatnya, kewibawan negara Astina runtuh karena seluruh gudang persenjataan terkuras habis dicuri lawan oposisi sayap kiri yang dipimpin Ratu Bumiloka. Dalam menjalankan aksinya, Bumiloka didukung Adik perempuannya Mustokoweni. Dalam lakon ini, Mustokoweni berperan aktif dengan ilmu kadigdayaannya yang mampu merubah diri, menjelma menjadi siapapun yang dikehendaki. Dengan ilmu mancoloputro-mancoloputri, Mustokoweni tidak kesulitan merebut Jimat Kalimosodo dari tangan para punggawa Astina. Ketika pusaka dipegang Arjuna, Mustokoweni menjelma diri menjadi Kresna yang berpura membutuhkan jimat tersebut. Tanpa syakwasangka, Arjuna pun memberikan Jimat Kalimasada begitu saja. Begitu juga ketika Jimat di tangan Kresna, Mustokoweni merubah diri menjadi orang terdekat Kresna. Namun kekalutan perihal hilangnya Jamus Kalimosodo oleh ulah Mustokoweni diketahui Semar. Dengan gampang Semar turun tangan menyelesaikan kekalutan Astina, sebab Semar yang memahami data sejarah Mustokoweni, mengetahui kalau Mustokoweni mempunyai pria idaman yang digadang menjadi pendamping hidupnya, yakni Bambang Priambodo. Semar pun merubah diri menjadi lelaki imajiner, kekasih bayangan Mostokoweni, yakni Bambang Priambodo. Semar memahami betul bahwa konsep umumnya manusia ialah apapun yang ia punya, akan jemrintil jika berhadapan dengan kekuatan cinta.

Lakon ‘Ilange Jamus Kalimasodo’ mengeja detail politik di Indonesia, bahwa bermacam-macam partai sesungguhnya bertujuan sama, yakni atas nama memperjuangkan kepentingan rakyat. Di sinilah semua partai, lembaga, institusi, komunitas apapun berulah mendo-mendo, merubah diri menjadi pejuang rakyat dalam mengambil simpati masyarakat. Bahkan tak segan-segan menampilkan begraund kekuatan super power meski imajiner di balik kancah perpolitikan sekali pun.

Pementasa Jaran Kepang ‘Tung Dor’ Kesenian Asli Desa Mojowarno

Di samping mempersilahkan seniman luar kabupaten atau propinsi untuk turut menyemarakkan Lawatan Buaya yang didukung Pemerintah Desa Mojowarno, Komunitas Suket, serta Komunitas Seni Mawarno juga menampilkan kesenian tradisi desa sendiri. Kesenian Jaran Dor atau Jaran Kepang yang pelakunya asli warga desa Mojowarno sengaja diuri-uri oleh Kades Catur agar bangkit kembali setelah vocum beberapa tahun. pementasan Jaran Kepang Mojowarno merupakan penutup seluruh rangkaian acara Lawatan Budaya. Seperti pementasan Jaran Kepang umumnya di daerah Jombang, tak kurang 300 penonton berjubel melingkari pelataran pementasan, dari kalangan tua, muda-mudi, dan anak sekalipun. Namun yang berbeda dari penampilan Jaran Kepang desa Mojowarno dibanding performa Jaran Kepang lain ialah proses ‘strum’ atau yang dikenal kerasukan, sengaja memakai strum lepas. Dalam strum lepas ini, proses keranjingan bias saja menimpa secara liar kepada siapapun yang ada di sekitar. Bahkan beberapa penoton gadis berteriak untuk ikut terkana strum. Dan proses strum inilah acara yang paling diminati penonton, bagaimana mereka menyaksikan pemain, teman atau siapa saja kerasukan yang berulah seperti penari Jaran Kepang. Ada yang menarik dari proses strum Jaran Kepang di penghujung Lawatan Budaya lalu, yakni keranjingannya Arif seniman asal Malang yang mementaskan monolog ‘Nyanyian Angsa’,tersaut strum sejak gamelan Jaranan ditabuh. Arif yang berada di dalam gedung Balai Desa, tiba tiba mendengus dan berulah seperti kadal. Ia merangkak serta kuku tangannya mencakar. Beberapa pawang mencoba menyembuhkan Arif, namun proses pemulihan Arif dari roh yang merasuki tergolong kuat. Saya (penulis) dan Bu Lurah Riris D. Nugrahini sempat kebingungan, apalagi saat Arif kerasukan, sempat mencakar beberapa kabel listrik. Dalam kekalutan tersebut, saya dan Riris sempat berbisik, ”sesungguhnya inilah pementasa Arif yang menarik daripada yang ia pentaskan saat bermonolog Nyanyian Angsa kemarin.”

*) Penggiat Lincak Sastra-Jombang.

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae