Dodiek Adyttya Dwiwanto
http://oase.kompas.com/
Ibu sakit keras. Ayah juga. Cepat pulang segera!
Sederetan kalimat inilah yang terus menerus mengisi inbox ponsel dan e-mail milikku. Konsentrasiku mendadak buyar. Aku tidak bisa lagi menfokuskan diri pada pekerjaan. Berkali-kali foto yang aku ambil tidak lagi menarik. Berkali-kali aku mengirim foto via e-mail kepada redaktur foto dan berkali-kali pula menolaknya lantaran tidak ada nilai beritanya.
Aku hanya bisa menghela nafas saat redaktur foto menghubungiku. Memarahiku. Memakiku. Wajar saja kalau ia marah. Sudah lima tahun aku bekerjasama dengannya dan aku mengecewakannya persis seperti saat aku baru bergabung sebagai fotografer pemula. Ia mengumpat kalau aku seperti fotografer amatir yang baru tahu caranya memegang kamera. Ia juga kesal dan sangat kecewa karena puluhan foto yang aku ambil tidak satupun memenuhi standarnya padahal ia sudah memberikan belasan kali kesempatan.
Sialan!
Aku mengumpat dalam hati. Kenapa aku mesti seperti ini? Padahal moment yang aku ambil bisa menaikkan jenjang karierku sebagai fotografer. Tidak banyak fotografer perempuan di kantorku dan aku harus bisa mengambil moment persiapan penyambutan kedatangan Presiden Amerika Serikat, George Walker Bush ke Indonesia, yang akan dipusatkan di Bogor. Aku tidak bisa kehilangan moment ini. Banyak hal yang bisa aku dapatkan dari peristiwa ini.
Tapi aku tidak bisa memungkiri kalau pikiranku sedang kalut! Ayah dan ibu sedang sakit keras. Berkali-kali kakak-kakakku mengirimkan sms dan e-mail. Aku menyadari hal itu. Aku sangat menyadarinya. Tapi aku juga harus bisa profesional. Pekerjaan dan pribadi bisa dipisahkan. Toh, dulu saat aku baru putus dari kekasihku, aku harus pergi ke Nangroe Aceh Darusalam untuk meliput korban tsunami. Aku bisa meredakan kesedihanku lantaran ditinggal menikah oleh kekasih. Aku dapat melihat kepedihan dan kegetiran luarbiasa yang dialami para korban! Penderitaan mereka sungguh luarbiasa dibandingkan aku hanya ditinggal kekasih.
Ah, tapi ini berbeda. Bodohnya aku! Kali ini yang menggangguku adalah orangtua tercinta, bukan sekedar pacar. Merekalah yang melahirkan, membesarkan, menyayangi, dan mencintaiku sepenuh hati. Sudah sewajar dan sepantasnyalah kalau aku tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaanku.
Untunglah seorang rekan yang notabene bukan fotografer, tetapi seorang reporter senior mau berbaik hati. Ia tanggap dengan kegalauanku. Ia menanyakan kenapa aku bisa sampai begini. Aku langsung memberitahukannya. Ia tersenyum dan mengatakan sebaiknya aku segera mengambil cuti. Ia menambahkan kalau orangtuaku membutuhkan kehadiranku. Tiada obat yang paling mujarab bagi orangtua yang sakit kecuali kehadiran anak tercinta. Ia pun bercerita kalau ia pernah menganggap enteng ibundanya yang tengah sakit dan malah asyik bekerja. Mendadak sang ibunda meninggal, ia tidak bisa pulang dengan segera, sedangkan jenazah harus dikuburkan dengan secepatnya. Alhasil, ketika ia datang, sang ibunda telah dikuburkan dua hari yang lalu. Sesal berkepanjangan pun mengendap di hatinya. Tidak akan pernah ia lupakan sepanjang akhir hayatnya.
Aku segera memeluknya. Berterima kasih atas bantuannya dan juga pencerahan darinya.
Aku bergegas kembali ke Jakarta.
Aku memesan tiket pesawat paling pertama menuju Mataram, Lombok. Tidak peduli berapa harganya, yang penting aku bisa sampai dengan segera.
Perjalanan menuju Mataram yang hanya tidak lebih dari dua jam serasa sangat menyiksaku. Terasa lama sekali. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan orangtua dan kakak-kakakku. Apalagi selama aku menunggu keberangkatan, berkali-kali sms dan telepon dari kakak-kakakku menanyakan kapan aku tiba di Mataram. Mereka telah siap menjemputku.
Aku gelisah dalam penerbangan Garuda Indonesia ini. Aku resah dengan semua yang mungkin kini tengah terjadi di Mataram tanpa aku bisa mengetahuinya. Makanan yang diberikan pramugari, aku santap tanpa berselera. Tapi aku juga tidak ingin sakit sesampainya di Mataram.
Pilot memberitahukan kalau pesawat akan menjejakkan roda-rodanya.
Ah, akhirnya sampai juga!
Aku segera bergegas keluar dari pesawat. Setengah berlari menuju tempat pengambilan bagasi. Aku sudah tidak sabar lagi bertemu dengan orangtuaku.
Kakak sulungku sudah menungguku di luar. Ia datang menjemput bersama istrinya, sedangkan kakak-kakakku yang lain sedang menjaga ayah dan ibu di rumahsakit. Kakakku yang berjumlah empat semuanya laki-laki, yang perempuan hanya aku si bungsu.
Mobil segera diarahkan menuju Rumahsakit Umum Mataram persis di sebelah Kantor Gubernur Nusa Tenggara Barat. Sesampainya di sana, dengan bergegas aku dan kakak sulungku segera menuju kamar tempat ibu dirawat. Ternyata ayah sudah sembuh dan sedang dijaga kakak-kakak iparku, istri dari kakak-kakakku.
Aku berjalan mengendap-endap. Takut membangunkan ibu. Aku melihat wajah ibu tampak pucat. Guratan di wajahnya menampakkan kalau ia terlihat lebih tua dari umurnya. Aku hanya bisa termangu. Ah, wajah itu. Wajah yang dulu selalu menenangkanku kini terlihat kuyu.
Kakak keduaku mengatakan dengan berbisik kalau ibu sudah sakit sejak beberapa bulan yang lalu, tapi baru tiga hari kemarin ibu mau dirawat di rumahsakit. Ayah juga demikian. Tetapi ayah tidak sakit separah ibu. Ia hanya capek lantaran menjaga ibu selama beberapa hari. Fisik ayah yang tidak lagi mendukung membuatnya tumbang dan jatuh sakit.
Kakak-kakakku menyarankan agar aku segera pulang ke rumah tapi aku bersikeras menunggu ibu. Kakak-kakakku juga bersikukuh kalau aku harus beristirahat. Baru besok malam aku boleh menginap dan menemani ibu. Aku bersikeras sebaliknya, begitu pula mereka.
Akhirnya aku mengalah. Aku pulang menuju rumahku di kawasan Pagesangan, berjarak sekitar sepuluh menit dari rumahsakit, dengan diantar kakak sulungku. Sudah hampir satu setengah tahun aku tidak pulang ke sini. Lebaran tahun lalu aku tidak bisa pulang karena harus meliput arus mudik dan arus balik.
Sepanjang perjalanan, aku melihat kakak sulungku seperti menyimpan sejuta cerita yang ingin ia sampaikan namun urung dilaksanakan. Ia seakan terjebak di antara ya dan tidak untuk menceritakan sesuatu kepadaku. Aku jadi penasaran dibuatnya. Ah, tapi sudahlah. Kalau memang kakakku akan bercerita pasti ia akan melakukannya, entah kapan.
Mobil memasuki kompleks perumahan yang telah kami tempati sejak belasan tahun yang lalu. Meski telah lama tinggal di Mataram, ayah dan ibu bukanlah orang asli Lombok alias Suku Sasak. Ayah dan ibu berasal dari Malang, Jawa Timur. Beliau berdua pindah ke Mataram lantaran tugas sebagai pegawai negeri di awal 1970-an. Sejak itu hingga pensiun, ayah dan ibu telah memutuskan untuk menetap di kota yang tenteram ini.
Aku melihat sekeliling. Memandangi rumah dan juga rumah-rumah tetangga. Hmm, banyak yang sudah berubah dalam satu setengah tahun ini. Tapi ada juga yang belum berubah dalam satu setengah tahun terakhir.
Aku segera masuk ke rumah dan langsung menuju kamar ayah. Aku melihat ayah sedang lelap dalam tidurnya. Kakak sulungku memberikan tanda agar aku tidak mengganggunya. Aku mengangguk.
Di kamar lain, aku melihat kakak-kakak iparku juga tengah terlelap dalam keletihan mereka. Mungkin mereka semua sangat letih lantaran menjaga ayah dan ibu yang bergantian sakit.
Kakak sulungku berbisik. Ia mengatakan kalau aku sebaiknya istirahat. Aku mengangguk saja. Besok, aku akan membayar dengan tuntas. Aku akan menjaga ayah dan ibu secara bergantian dengan kakak-kakak dan ipar-iparku.
Malam makin larut di Mataram tapi aku tidak bisa memejamkan mataku. Sepertinya ini akan menjadi malam terpanjangku. Tapi kantuk yang menyerang membuatku jatuh terlelap dalam keletihan fisik dan kelelahan jiwa.
Saat aku terbangun, ternyata rumah telah sepi. Ayah dan kakak-kakak ipar telah berangkat ke rumahsakit. Ayah yang merasa sudah sembuh, ingin sekali menemani ibu. Hanya tertinggal kakak sulungku yang kadang terdiam dalam bisunya. Sepertinya ia ingin menceritakan sesuatu kepadaku.
Usai mandi dan sarapan, aku dan kakak sulungku berangkat menuju rumahsakit. Aku langsung bertanya to the point saja. Aku penasaran. Sejatinya, apa, sih, yang disembunyikan kakak sulungku? Apakah ibu terkena kanker? Apakah ayah punya tumor? Apakah kedua orangtuaku akan meninggal dalam waktu dekat?
Kakak sulungku menggelengkan kepala. Ia mengatakan kalau ayah dan ibu tidak memiliki penyakit serius. Beliau berdua sejatinya sehat. Kalaupun sakit wajar saja karena mereka telah tua.
Lantas kenapa ayah dan ibu tiba-tiba sakit? Kenapa juga aku mendapat sms dan e-mail bertubi-tubi sepanjang pekan kemarin?
Kakak sulungku terdiam sejenak. Sepertinya ia menyusun strategi sejenak untuk mengutarakannya kepadaku. Mobil yang sudah mendekati rumahsakit dibelokkan menuju Ampenan. Dari situ, kami berputar-putar menuju kawasan Cakranegara. Sepertinya memang hal yang gawat sehingga kakak sulungku melakukan hal itu.
Akhirnya setelah membuat mobil berputar-putar tidak karuan di kota Mataram, setelah membuat aku bertanya-tanya, was-was, gundah gulana. Klimaksnya kakak sulungku bercerita tentang semua hal yang membuat ayah dan ibu jatuh sakit. Ternyata alasannya sepele, mereka terlalu memikirkan diriku. Ternyata ayah dan ibu kurang menyetujui pilihan karierku sebagai fotografer surat kabar.
Ternyata ayah dan ibu sangat menginginkan aku tinggal di Mataram, tidak lagi di Jakarta. Ternyata ayah dan ibu mendambakan aku segera menikah sebelum usianya menyentuh angka 30, itu artinya tidak sampai satu tahun lagi. Dan menurut kakak sulungku, ayah dan ibu sudah memiliki beberapa calon yang mungkin bisa berkenan di hatiku.
Ayah dan ibu berharap agar aku mau bekerja di Mataram. Entah menjadi pegawai negeri di Pemda NTB, bank pemerintah atau swasta, atau juga sebagai Dosen di Universitas Mataram. Dengan begitu, ayah dan ibu bisa melihatku setiap saat karena aku akan menetap di kota ini, seperti halnya keempat kakakku. Semua kakakku tinggal dan bekerja di sini.
Selain itu, menurut kakak sulungku, ayah dan ibu ingin sekali melihatku menikah dengan segera. Semua kakakku telah menikah dan sudah memiliki sederetan anak-anak yang lucu sekaligus bandel. Sebagai satu-satunya anak perempuan, ayah dan ibu sangat memikirkanku. Apalagi aku belum menikah. Apalagi aku sempat tinggal jauh dari mereka.
Aku mengangguk mendengar penuturan kakak sulungku. Dibandingkan dengan kakak-kakakku, aku memang yang paling bandel. Usai menamatkan SMU, aku dan kakak-kakak memang kuliah di Pulau Jawa, entah itu di Surabaya, Malang atau Yogyakarta. Tetapi setelah itu mereka kembali ke Mataram dan bekerja di sana. Kakak sulung dan kakak keempat membuka usaha di bidang pariwisata seperti tour and travel, dan juga ekspor barang-barang kerajinan lokal. Sedangkan dua kakakku yang lain bekerja di Pemda NTB. Ini berbeda denganku yang setelah luluh S-1 aku malah melanglang buana ke Surabaya, Jakarta, dan Bandung. Apalagi kemudian aku menerima tawaran sebagai fotografer di sebuah harian nasional yang terbit di Jakarta.
Kebandelan ini pula yang membuat ayah dan ibu terus memikirkanku. Ditambah lagi dengan sifat keras kepala yang aku miliki. Lantaran terlalu sering memikirkanku ayah dan ibu menjadi sakit-sakitan. Kadang bersamaan, kadang bergantian.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang mendengar penuturan kakak sulungku.
Aku menatap dari balik jendela, beberapa ibu-ibu yang tengah asyik berjualan di Pasar Cakranegara. Sejenak melepaskan kepenatan dari semua rangkaian cerita yang dituturkan kakak sulungku.
Aku melirik ke arah kakak sulungku. Aku melihat ada perubahan dalam raut wajahnya. Sepertinya beban berat yang mesti ditanggungnya kini berangsur berkurang setelah menceritakan hal ikhwal jatuh sakitnya ayah dan ibu.
Kakak sulungku mengatakan kalau aku sebaiknya memikirkan semua ini. Demi kebaikan ayah dan ibu.
Aku mengangguk pelan. Pikiranku menerawang jauh. Jauh dan sangat jauh.
Mobil kembali diarahkan kakak sulungku menuju rumahsakit Mataram. Di sana telah menunggu dua orang yang sangat menyayangi dan mencintaiku, ayah dan ibu. Di sana juga telah berkumpul, sederetan orang yang mengasihiku, kakak-kakak, ipar-ipar, dan keponakan-keponakanku.
Mulai detik ini aku berjanji untuk terakhir kalinya. Aku ingin sekali memenuhi permintaan ayah dan ibu. Aku akan meninggalkan pekerjaanku di Jakarta. Aku akan lupakan sejenak keinginan dan impianku untuk menaklukkan kota metropolitan itu. Aku akan bekerja di Mataram. Apa saja. Mungkin membuka usaha bersama kakak-kakakku. Toh, aku memiliki cukup tabungan untuk membuat CV atau PT sendiri. Tinggal cari saja tenaga yang bisa aku pekerjakan. Tapi mungkin yang paling realistis adalah menjalin kerjasama dengan kakak-kakakku.
Menjadi pegawai negeri sipil di Pemda NTB? Hmm, rasanya tidak memalukan! Sabtu dan minggu aku libur. Dua hari ini aku bisa manfaatkan untuk menyalurkan profesiku yang lain, tetap menjadi fotografer! Bisa memotret obyek wisata, menulis catatan perjalanan atau sekedar memotret pernikahan. Apa saja deh.
Menjadi dosen di Unram? Ah, kenapa tidak? Aku punya banyak ilmu yang bisa aku tularkan kepada mahasiswa. Mungkin aku tidak bisa menjadi dosen Ilmu Komunikasi, tetapi bukankah setiap universitas memiliki majalah kampus? Aku bisa terlibat aktif di sana.
Sederetan rencana telah kusiapkan bila kelak aku akan kembali hijrah ke Mataram dan kemudian bekerja di sini. Sederetan rencana yang bisa aku matangkan dalam hitungan minggu.
Tapi ada satu hal yang tidak bisa aku kabulkan demi permintaan ayah dan ibu. Aku belum ingin menikah dengan segera. Kalaupun ayah dan ibu memperkenalkan laki-laki yang mungkin cocok denganku, anggap saja aku sedang dicarikan teman baru di Mataram. Anggap saja seperti itu.
Mobil memasuki pelataran parkir Rumahsakit Umum Mataram.
Aku menghela nafas sejenak. Menenangkan diri untuk bertemu muka dengan ayah dan ibu. Mudah-mudahan aku bisa mewujudkan keinginan mereka. Mudah-mudahan saja, aku tidak lagi membuat mereka sakit. Walaupun semua itu akan menguburkan semua mimpiku, tetapi bukankah lebih indah membuat orang yang kita sayangi bisa lebih bahagia?
Selasar Ruang ICU Rumahsakit Umum Mataram, Lombok, 7 November 2006
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 26 Agustus 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar