Jumat, 26 Agustus 2011

Sapardi Djoko Damono Tak Tergetar oleh Sihir Lebaran

Wawancara pada Sapardi Djoko Damono
http://layar.suaramerdeka.com/

PROFESOR Dr Sapardi Djoko Damono lahir 20 Maret 1940 di Surakarta. Ia, kita tahu, adalah salah satu budayawan penting Indonesia. Pada 1986 penyair ini mendapatkan SEA Write Award. Ia juga menerima penghargaan Achmad Bakrie pada 2003. Tentu sebagai orang Jawa pendiri Yayasan Lontar ini memahami benar makna Lebaran. Apa komentar dia tentang pesona mudik dan makna pulang kampung? Berikut perbincangan dengan dia di Jakarta, belum lama ini.

Sebagai individu yang telah melanglang buana ke berbagai penjuru dunia, Anda jelas-jelas menjadi manusia global. Manusia yang mungkin tidak lagi memiliki getaran yang dahsyat untuk ”pulang”. Apakah kata ”pulang” masih punya makna penting dalam kehidupan Anda?

Bukan hanya sekarang, sejak dulu kata ”pulang” tidak pernah menjadi kata penting. Tidak jelas lagi pulang itu ”balik ke mana”. Makna rumah pun bagi saya tidak begitu jelas. Saya tidak pernah merasa punya rumah, sehingga tidak punya getaran untuk pulang. Jika saya pergi ke Solo, memang terasa lain. Ini akibat sampai SMA saya masih di kota itu. Saya memang benar-benar menikmati masa kanak-kanak sejati di situ. Hanya bukan rumah yang menyebabkan perbedaan, melainkan Solonya.

Anda tidak pernah merasa memiliki ikatan dengan tanah asal?

Ya, Solo itu tanah asal saya. Hanya, tidak ada satu rumah pun di kota itu yang saya anggap sebagai rumah, tempat untuk pulang.

Jadi, selama itu pula Anda tidak pernah terpesona dengan makna mudik?

Tidak pernah. Jika saya mudik, itu berarti saya hanya ingin bertemu dengan ibu saya. Jadi home saya itu ibu, bukan tempat, bukan rumah. Nah, ketika ibu saya sudah meninggal, ya saya tidak home lagi. Tidak mudik lagi. Apalagi kini saya anak tertua, tidak mungkin saya mudik hanya untuk bertemu adik.

Yang juga menarik, keluarga saya itu bukan tipe komunitas yang suka mudik. Tidak ada aturan yang muda harus sowan kepada yang tua. Maka, getaran dahsyat untuk pulang memang tidak ada.

Lebaran identik dengan kembali ke kesucian, kembali ke asal muasal, apakah dengan demikian saat orang beramai-ramai mudik, sesungguhnya mereka sedang melakukan identifikasi terhadap akar kebudayaan?

Saya kira tidak begitu. Lebaran telah menjadi rutin dan tidak berkait dengan proses kembali seseorang ke akar kebudayaan. Sebenarnya jika hanya ingin pulang dan mendapat akar kebudayaan, tidak harus pada saat Lebaran. Memang harus saya akui Lebaran memiliki sihir yang aneh, yang menggerakkan sebagian besar manusia pulang ke kampung untuk bertemu dengan orang-orang tercinta. Akan tetapi fungsinya tidak sebesar keinginan orang untuk kembali ke akar kebudayaan. Mereka pulang untuk bertemu orang yang masih harus dikunjungi. Bukan untuk kepentingan-kepentingan agung kebudayaan.

Tradisi sungkem saat mudik, misalnya, dulu muncul karena radius orang bepergian masih sempit. Jika sekarang masih ada tradisi semacam itu —dengan radius yang lebih luas— itu hanya pelanjutan kebiasaan orang-orang yang dulu melakukan sungkem. Yang sejak dulu tidak melakukan, ya sekarang tidak akan repot-repot sungkem-sungkeman juga. Demikian juga ujung-ujung terjadi karena orang ingin melanjutkan sesuatu yang dulu pernah menjadi bagian dari kehidupannya. Dengan kata lain, orang-orang yang sejak dulu tidak memiliki ”akar kebudayaan” semacam itu, pada saat Lebaran juga tidak akan menyelenggarakan sesuatu yang dianggap sebagai kembali ke akar kebudayaan itu.

Lebaran saya kira menjadi pemicu untuk melaksanakan ”kebiasaan untuk pulang” bersama-sama sekalipun kadang-kadang kampung asal mereka sudah menjadi waduk, sudah jadi lokasi pabrik, atau lenyap sama sekali.

Lebaran juga tidak identik dengan warna keagamaan yang jelas. Karena itu, ia bukan ritual. Siapa pun bisa ber-lebaran. Jadi bukan agama, bukan akar kebudayaan, atau apa pun yang menggerakkan orang pulang ke tanah asal pada saat Lebaran. Penggeraknya hanyalah sesuatu yang profan bernama kebiasaan.

Dalam kehidupan pribadi Anda, apakah ”akar budaya” itu penting sekali? Jangan-jangan akar atau asal muasal itu sudah sulit dicari?

Akar budaya itu sesuatu yang kita terima dalam saat-saat pembentukan. Akar-akar budaya itu memang tidak akan pernah hilang dari kepala saya. Setelah kita berkembang ke mana-mana, akar itu tetap saja. Akar-akar budaya itu muncul dalam setiap tulisan kita. Semua —perasaan, bau, atau apa pun— muncul secara otomatis. Nah, akar kebudayaan saya sejak dulu tidak pernah mengistimewakan Lebaran atau mudik.

Energi (kebudayaan) macam apa yang sesungguhnya membuat orang melakukan selebrasi Lebaran secara besar-besaran? Mengapa ”kepulangan” seakan-akan menjadi ideologi tunggal yang tak bisa dilawan? Apa ia telah menjadi mitos?

Apa ya…? Sekali lagi energi itu bernama kebiasaan. Namun, saya menduga ini hanya merupakan bentuk ikatan orang terhadap orang, bukan orang terhadap tempat. Jika seseorang tidak lagi memiliki ikatan dengan seseorang di suatu tempat, saya yakin benar mereka tidak akan melakukan tindakan tak masuk akal itu.

Kumpul juga merupakan fenomena unik dalam kebudayaan Jawa. Bisa saja mereka bersusah-susah bepergian dari Jakarta ke suatu tempat di Solo hanya karena digerakkan oleh keinginan berkumpul dengan kawan-kawan atau saudara yang berasal dari kota lain di Indonesia. Mereka, dengan demikian, kan tidak pulang ke rumah mana pun. Bisa saja mereka akan bertemu di sebuah hotel di Solo. Tentang mengapa harus berkumpul pada hari Lebaran, itu memang dianggap waktu yang paling memungkinkan untuk berkumpul.

Dengan berkumpul mereka merasa at home. Untuk orang-orang semacam ini pulang tidak menjadi kosa kata yang penting. Yang sangat diinginkan adalah berkumpulnya.

Dulu, ketika ibu saya masih tinggal bersama saya di Depok, saudara-saudara saya menganggap pulang itu ya ke rumah saya. Rumah saya menjadi tempat berkumpul karena ibu sebagai home atau sentral tinggal di situ. Tempat, karena itu, bisa diboyong ke mana-mana sebagaimana berkumpul itu bisa juga diselenggarakan di mana-mana.

Sekali lagi, makna rumah sesungguhnya sudah bergeser. Rumah bisa dipindah-pindah sesuai mobilitas orangnya. Jika rumah sudah tak berkait lagi dengan tanah asal, bagaimana kita akan memaknai istilah pulang atau mudik.

Yang mengerikan lagi, begitu banyak orang pulang ke tanah asal, mereka menggila pergi ke daerah lain setelah Lebaran usai. Ini kan aneh?

Ya, sangat aneh. Karena itu tak banyak saya tulis tentang tema ”pulang” dalam sajak-saja saya. Jika pun ada, pasti tidak berisi ajakan untuk pulang ke rumah. Dan dalam kenyataan orang pulang karena mencari ”trah”. Bukan mencari tempat. Tak ada jalan pulang sekarang ini. Sebab begitu sampai ke tanah asal, mereka tidur di hotel.

Bagaimana kebudayaan menjelaskan kegilaan orang untuk menegakkan spiritulitas Lebaran?

Pertama, untuk kumpul. Kedua, untuk bertemu orang. Mereka akan melakukan identifikasi kolektif gila-gilaan jika ada dua unsur yang menjadi penyebabnya.

Kegilaan semacam ini ada di belahan dunia lain atau tidak sih?

Di Barat memang ada homecoming. Namun, tetap saja hal itu terjadi karena seseorang ingin bertemu dengan orang lain. Bukan sedang mati-matian menghormati tempat asal atau rumah asal.

Anda apakah mengira Lebaran kali ini akan praktis dan pragmatis?

Pada mulanya orang memang akan mencari tanah atau tempat asal-usul pada saat Lebaran. Namun begitu zaman berubah, saya yakin mereka tidak lagi mencari tanah asal. Itu sebabnya sikap praktis dan pragmatis menghadapi Lebaran akan muncul. Jadi, ngapain memistifikasi Lebaran ketika konsep tempat, pulang, dan segala hal yang berkait dengan mudik berubah. Jadi, lupakan saja bahwa sihir Lebaran itu sebagai sihir kembali ke asal.

Menurut saya istilah ”pulang” lebih baik dimaknai sebagai pulang ke masa kecil. Dan pulang ke masa kecil bisa dilaksanakan kapan saja tidak hanya pada saat Lebaran. Lebaran yang pulang kampung adalah Lebaran agraris. Lebaran yang sekarang jelas sudah merupakan Lebaran yang industrialis…dan saya tak tergerak untuk pulang oleh sihirnya…

Biografi
Prof Dr Sapardi Djoko Damono
Surakarta, 20 Maret 1940

Riwayat Pendidikan:
Setelah kuliah di Jurusan Sastra Inggris di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengikuti program doktor di Universitas Indonesia, studi pada Basic Humanities Program, Honolulu, Universitas Hawaii AS (1970-1971). Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada Majalah Horison, Basis, dan Kalam.

Penghargaan:
Pada 1986 ia mendapatkan anugerah SEA Write Award.
Pada 2003 menerima penghargaan Achmad Bakrie.

Karya-karya:

Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sampai sekarang telah ada delapan kumpulan puisi yang diterbitkan. Ia tidak saja menulis puisi, tetapi juga menerjemahkan berbagai karya asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.

Beberapa puisinya sangat populer. ”Aku Ingin” (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), ”Hujan Bulan Juni”, ”Pada Suatu Hari Nanti”, ”Akulah si Telaga”, dan ”Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari” kerap dimanfaatkan sebagai ungkapan liris dalam kartu.

Buku-buku:
- Duka-Mu Abadi, Bandung (1969)
- Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
- Mata Pisau (1974)
- Sepilihan Sajak George Seferis (1975; terjemahan karya George Seferis)
- Puisi Klasik Cina (1976; terjemahan)
- Lirik Klasik Parsi (1977; terjemahan)
- Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak (1982, Pustaka Jaya)
- Perahu Kertas (1983)
- Sihir Hujan (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
- Water Color Poems (1986; translated by JH McGlynn)
- Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono (1988; translated by JH McGlynn)
- Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
- Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama RF Brissenden dan David Broks)
- Hujan Bulan Juni (1994)
- Black Magic Rain (translated by Harry G Aveling)
- Arloji (1998)
- Ayat-ayat Api (2000)
- Pengarang Telah Mati (2001; kumpulan cerpen)
- Mata Jendela (2002)
- Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro? (2002)
- Membunuh Orang Gila (2003; kumpulan cerpen)
- Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870-an -1910-an) (2005; salah seorang penyusun)
- Mantra Orang Jawa (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae