Jumat, 26 Agustus 2011

Ziarah Budaya Fiksi Puasa-Lebaran

Rachmat H Cahyono
http://www2.kompas.com/

RITUAL tahunan Puasa-Lebaran memang mengandung banyak jejak dan makna, baik dari sudut pandang spiritual maupun sosiokultural. Mungkin karena itulah setiap tahun ada saja kita temukan penulis prosa tertarik menulis fiksi, umumnya cerpen, yang mengangkat tema Puasa-Lebaran-termasuk tema-tema mudik Lebaran yang sungguh merepotkan itu. Puasa-Lebaran atau peristiwa mudik yang diangkat bisa saja menjadi sekadar tempelan, latar cerita, atau menjadi bingkai utama yang mengikat cerita.

Sejumlah nama penting dalam jagat sastra Indonesia pernah menulis prosa (baca, cerpen) yang mengangkat tema Puasa-Lebaran dan mudik Lebaran dengan berbagai variasi. Sekadar menyebut beberapa nama, ada Ahmad Tohari dengan cerpen “Wangon Jatiwalang”, Danarto dengan cerpen “Lailatul Qadar”, Hamsad Rangkuti (“Reuni” dan “Lebaran”), Yanusa Nugroho (“Kurma”), AA Navis (“Tamu yang Datang di Hari Lebaran”), dan Jujur Prananto (“Jakarta Sunyi Sekali di Malam Hari”).

Yang paling banyak dan langganan menulis cerpen-cerpen tentang Puasa-(mudik) Lebaran adalah Umar Kayam dengan tujuh cerpen, yaitu “Ke Solo ke Njati”, “Mbok Jah”, “Ziarah Lebaran”, “Marti”, “Menjelang Lebaran”, “Lebaran Ini Saya Harus Pulang”, dan cerpen yang ditulis dekat-dekat akhir hayat pengarang ini, yaitu “Lebaran di Karet, di Karet…” yang kemudian menjadi judul antologi cerpen terakhir Umar Kayam.

Penerbit Kompas pada November 2002 meluncurkan Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas. Kecuali Ahmad Tohari, nama-nama penulis yang saya sebutkan di atas ikut memunculkan karyanya dalam Kurma, yang memuat sebelas cerpen bertema Puasa-Lebaran, yang sebelumnya pernah dipublikasikan di harian Kompas.

Antologi serupa yang mengangkat tema Puasa-Lebaran adalah kumpulan cerpen Mudik (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1996). Antologi ini memuat sepuluh cerpen dari tujuh penulis: Mohammad Diponegoro, Kuntowijoyo, Hamsad Rangkuti, Achmad Munif, Ahmad Tohari, Yudhistira ANM Massardi, dan Mustofa W Hasyim.

Dari segi pencapaian estetik, memang karya-karya bertema Puasa-Lebaran ini tidak menyodorkan terobosan baru. Namun, ketika pembaca ingin melakukan semacam ziarah budaya pemaknaan Puasa-Lebaran, karya-karya itu menjadi bermakna sebagai dokumen sosial yang merekam pergeseran makna Puasa-Lebaran yang terjadi di masyarakat dari tahun ke tahun.

Mengutip pengantar yang ditulis akademisi sastra Maman S Mahayana untuk antologi cerpen Kurma, prosa bertema Puasa-Lebaran memiliki sejarah yang cukup panjang, sudah sejak zaman Pandji Poestaka berjaya di tahun 1930-an. Armijn Pane pernah menulis cerpen berjudul “Jika Pohon Jati Berkembang” (Pandji Poestaka, No 15, 1937). Dalam cerpen ini digambarkan bagaimana orang-orang berkumpul dan terheran-heran mendengarkan suara gamelan atau khotbah Lebaran cukup dari sebuah kotak yang bernama radio. Radio yang sekarang dianggap ketinggalan zaman, untuk masa itu tentu saja dianggap sebagai benda ajaib hasil kemajuan teknologi.

Ada juga cerpen “Kartjis Lebaran…” karya Nur St Iskandar (Pandji Poestaka, 1 Januari 1935) yang menempatkan Lebaran sekadar latar waktu yang kurang memberikan kontribusi bagi unsur intrinsik lainnya. Sementara Soeman Hs dalam Kasih tak Terlarai (1929) melihat Lebaran sebagai momentum rekonsiliasi antara anak muda dan orang tua, meskipun di sana tidak ada acara halalbihalal dan maaf-memaafkan.

Tema Puasa-Lebaran berikut hiruk-pikuk mudik dalam cerpen bisa saja menjadi terkesan rutin. Namun, pengarang berbakat dapat menyiasatinya dengan kemampuannya mengolah komposisi cerita dan memaknainya dengan kualitas bahasa yang dimilikinya. Cerpen karya Umar Kayam, Lebaran Ini, Saya Harus Pulang, misalnya, tentulah dari segi kualitas masih jauh dari cerpen-cerpen terbaik Umar Kayam dalam kumpulan Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Namun, cerpen ini tetap menyimpan “mutiara”, dalam bangunan kisah protagonis, wakil kaum urban pinggiran bernama Nem yang begitu mendambakan mudik ke kampung halaman sekaligus pamit pensiun dari pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga. Meskipun Nem juga sudah bisa membayangkan, hari-hari “pensiunnya” di desa belum tentu seindah yang diinginkannya. Maklumlah, desa-desa di negeri kita sangat akrab dengan fenomena yang disebut antropolog Oscar Lewis sebagai the culture of poverty, budaya kemelaratan.

Fenomena Puasa-Lebaran berikut “ritual” mudik, diakui atau tidak, adalah sebuah peristiwa budaya. Mungkin itulah yang menarik perhatian para cerpenis kita. Bayangkan sukarnya mencari alasan yang masuk akal: mengapa jutaan warga (tahun ini diperkirakan mencapai sekitar 20 juta orang), mayoritas kaum urban yang terengah-engah mencari sesuap nasi di wilayah perkotaan, bisa-bisanya ikhlas atau memaksakan diri melakukan eksodus, sebuah “ritual tahunan” yang luar biasa berat yang namanya mudik Lebaran?

Pertama-tama, tentu saja karena biaya berlebaran di kampung tidak sedikit. Ditambah kenyataan angkutan umum kita yang sangat tidak memadai, dan kondisi infrastruktur yang menyedihkan di berbagai daerah (kalau tidak jembatan jebol, mungkin jalannya bolong-bolong rusak berat). Perjalanan mudik bisa menjadi sangat berat, berbahaya, dan meletihkan. Jutaan orang harus berjuang agar bisa terangkut untuk mudik ke kampung halamannya, menghadapi risiko mulai dari terjebak macet, kecopetan, hingga kecelakaan di jalan yang dipadati kendaraan.

Mengapa betapa pun beratnya, toh jutaan orang setiap tahun tetap tergerak melakukan mudik Lebaran? Padahal, “udik”, rumah lama, kampung halaman, belum tentu seindah yang dibayangkan (seperti Nem sudah membayangkan kesulitan yang akan ditemui di desanya). Kampung halaman pun menyimpan tragedi dan air matanya sendiri: sawah yang kekeringan, rezeki yang semakin sukar dicari, harga sembilan bahan pokok yang melangit tak terjangkau oleh kaum kerabat di desa…. Mudik hanya nikmat untuk hari-hari pertama. Selebihnya, para pemudik akan kembali disadarkan oleh kenyataan hidup yang juga berat di kampung halaman. Dan mereka pun akhirnya memilih kembali menjalani takdirnya: sebagai kaum urban yang mengais rezeki di perkotaan.

Ajaib, toh setiap tahun kita kembali dihadapkan pada fenomena mudik Lebaran yang sungguh kolosal itu. Jawabannya, mungkin karena kebanyakan kita diam-diam punya kerinduan sendiri pada titik awal tempat kita berangkat dan memulai kehidupan. “Pulang mudik” adalah ibarat kerinduan Harry Potter pada sekolah sihir Hogwarts yang begitu dicintainya, yang penuh dengan magic. Setiap orang berhak merasa berbahagia karena harapan menemukan kembali magic, “keajaiban” yang dirasakannya di masa silam: mungkin sayur asam buatan ibu di kampung, mungkin dodol yang dipersiapkan bersama-sama tetangga di kiri kanan rumah leluhur, mungkin kenangan indah mandi-mandi di sungai kampung kita di masa kecil dulu.

Dan bagi kaum urbanis, seperti dikatakan Kayam dalam salah satu kolomnya sekian tahun lalu, pulang (mudik) justru peneguhan ikatan dengan rentangan sanak famili. Harapan magic menjadi harapan akan bisa sekali lagi menyaksikan magic dari sentuhan si anak hilang dengan jaringan kerabat, lewat oleh-oleh (properti penting yang wajib dibawa para pemudik Lebaran) yang merata itu. Meskipun beberapa hari kemudian semacam keterasingan, dan mungkin ketakutan, merayapi mereka akibat melihat kondisi jagat lama yang tampak seakan semakin kusam. Dan buru-buru mungkin mereka mengepak tas mereka lagi untuk kembali ke kota, ke neraka yang aneh tetapi yang terus saja menarik mereka bagai besi berani (dan mungkin karena itu pula Kayam beberapa kali terpesona pada ide cerita mudik Lebaran yang kemudian dituangkannya ke dalam komposisi cerpen).

Sosiolog Karl Mannheim pernah mengajukan teori bahwa setiap karya seni (jadi termasuk karya sastra seperti cerpen) mau tak mau akan menyampaikan makna pada tiga tingkat berbeda. Nah, cerpen-cerpen bertema Puasa-Lebaran dan mudik mungkin dapat dikategorikan pada pemaknaan tingkat ketiga seperti yang dimaksudkan Mannheim. Yakni, documentary meaning atau makna dokumenter berupa hubungan antara karya itu dan konteks sosial penciptaan: pengaruh-pengaruh sosial politik atau kecenderungan budaya yang tercermin dalam suatu karya. Suatu karya sastra, tambah Mannheim, adalah suatu dokumen sosial atau dokumen human tentang keadaan masyarakat dan alam pikiran di mana suatu karya diciptakan dan dilahirkan (Karl Mannheim dalam Ignas Kleden, 1997).

Jadi, keterharuan kita dalam menghadapi kepolosan sikap Nem (pada cerpen Umar Kayam) dalam menyikapi perjalanan mudiknya yang belum tentu happy ending, bersumber dari dokumen sosial yang kita miliki tentang fenomena mudik Lebaran itu sendiri yang menyimpan begitu banyak kisah dahsyat kaum urban yang mencoba ikhlas menjalani kehidupannya yang berat. Jika Puasa-Lebaran berikut mudiknya ibarat “ziarah” sekaligus “eksodus budaya” yang menyimpan makna penting solidaritas sosial, kekerabatan dan keterikatan kita pada “udik”, rumah lama, kampung asal, pantaslah jika dari tahun ke tahun para pengarang pun akan selalu tergerak menuliskan cerita bertemakan Puasa-Lebaran.

*) Pengarang dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae