Edeng
Syamsul Ma’arif
DASAR babi! Bapak memang babi! Kalau bukan babi, mana
mungkin menempeleng ibu sampai terjengkang. Ibu yang ringkih hampir sekarat.
Bapak biasa membanting pintu sampai jebol, minggat berhari-hari.
Semua
karena ibu tak suka bapak terlalu sering menyatroni betina tetangga kampung.
Bukan ibu tak paham kebiasaan lacur ayah. Tapi ibu sudah tak tahan menanggung
penyakit yang ditularkan bapak. Sudah tidak terhitung kencing nanah berbau got,
kelamin borok dirubung lalat, berjingkat menahan nista, mata melotot muka pucat
ketika kencing dan berak.
Sementara
bapak asyik keloni betina menor simpanannya. Pulang larut mulut sengak bangkai.
Segrok-segrok menumpahkan kopi kurang gula.
”Bersihkan
pantatku, anak babi!” Mata merah kurang tidur kucek-kucek belek.
”Siapkan
tasku! Ambil dasiku! Cepat sedikit, Celeng!”
Bersungut-sungut mulut monyong hidung persegi. Taring
melengkung bulu kelabu kehitaman meriap-riap. Liur menetes slilit cacing
tambang. Mengira diri lebih terhormat ketimbang monyet buntung.
“Obati
kelamin ibumu! Besok aku akan memakainya lagi! Hari ini aku pergi ke luar kota!”
Persetan!
Paling-paling mau kangkangi betina menor tawarkan pantat megal-megol.
Harusnya bapak dipenggal. Dibikin babi guling atau disate
bumbu kecap, ditaburi bawang merah dan mentimun. Ditongseng pedas. Kepalanya
dikeringkan dibuat celengan. Kelaminnya diwadahi koteka, digantung di kusen
pintu. Kulitnya dibeset, disamak lalu dijual di pasar babi. Hik hik hik.
Suatu
malam, bapak pernah mengajakku ke pesta kebun. Aku dikenalkan pada
kawan-kawannya. Kepalaku ditoyor ke depan. Mereka tertawa cekakak-cekakak.
Memeluk betina megap-megap. Menenggak arak, melempar botol nyaris menyerempet
hidungku.
“Hahahaha! Kemari, anak babi! Cobalah minuman kebangsaan
kami!” Bapak menyodorkan sebotol minuman berwarna kemerahan.
“Kau tahu? Betina-betina sipilis seperti ibumu, menyisakan
pembalut-pembalut untuk diperas. Sedikit arak impor dan bubuk merica, cukuplah
untuk menghangatkan badan!”
Mereka tergelak. Ada yang tersedak. Hoek-hoek memuntahkan
bacin dan tahi kerbau. Ambruk. Menggelosor. Sementara yang lain mengencingi
muka si mabuk. Gembira ria. Bahagia sentosa.
**
“SUAMIKU memang babi. Benar-benar babi.” Perih ibu ketika
sakitnya semakin hebat tak tertahankan.
“Tidaklah kau meniru kelakuan bapakmu.” Mata ibu sayu.
Napasnya cengik-cengik. Mendengus kisahkan nasib. Tak ada air mata. Dulu, ibu
juga betina simpanan. Dilamar bapak di tengah kuburan, ketika bulan purnama.
Tak ada pernikahan hanya pesta-pesta. Sepakat ucap tinggal seatap. Kumpul babi.
Itu sudah cukup untuk beranak-pinak melahirkan anak-anak babi yang mati
diinjak-injak bapak. Aku yang masih tersisa karena disembunyikan ibu di rumah
tetangga. Mewarisi haram sepanjang hayat.
Di cermin ibu kuraba bapak. Persis! Aku mirip bapak! Anak
babi. Babi keparat yang kangkangi ibu meski menstruasi. Terjang perut
menguik-nguik, tuduh selingkuh berbuat bejat. Tak bercermin wajah masih tetap
babi. Tapi dasar laknat. Ibu dihajar dibabat-babat. Berguling-guling muntah
darah.
“Jangan
ceramahi dia dengan mimpi-mimpi musykil, babi betina!” Ketika ibu mendongeng
keluarga bahagia sejahtera.
“Mestinya kau ajari bagaimana caranya menggauli
betina-betina sebayanya. Dia sudah hampir birahi! Biar dia tahu, bagaimana
rasanya jadi babi dewasa!” Bapak sorongkan moncong semburkan cacing. Metingklak
kencingi piring singkong di pangkuan ibu. Berkelebat cecerkan tahi.
Bungkam. Mata ibu menetes. Sejak lama bersabar diri.
Menerima hinaan bertubi-tubi. Sampai waktu menyilet. Ibu tinggalkan rumah,
setelah babak-belur dihajar bapak. Menyeret luka berlaksa-laksa. Tapi bapak
suka. Bersorak berjingkrak-jingkrak. Lepas beban tanggal pikiran. Merasa diri
bagai pangeran.
Bapak
pesta berminggu-minggu, terkam betina ganjen bergincu. Sebarkan penguk dari
ketiak busuk. Menggandeng bapak mengerling juling. Gedubrak! Gedubrak! Dung!
Dung! Dung! Tralala tam-tam! Tralala tam-tam! Kreot kreot ranjang patah. Bilik
jebol awut-awutan. Dobrak pintu menggoda-goda, pamerkan dada menggantung busung.
“Hidup itu kudu mukti, kudu dinikmati.” Melinting daun
jagung udud kemenyan. Bersila rapat hadapi kopi kebul-kebul, jengkelit bersabda.
“Bangsa babi tak perlu iri, apalagi dengki. Agar tiada beban
di hati. Tengoklah! Usiaku kian beranjak pergi. Tak sempat esok menikmati, hari
ini pun jadi. Tak perlu risau karena aku berkicau. Tak perlu resah karena aku
menebah. Syukuri takdirmu sebagai babi sejati.” Nyinyir bapak terbatuk-batuk.
Khinjir!
Makhluk terkutuk sandangan paling kekal. Meski tobat jumpalitan memohon rahmat,
takkan berubah jadi anjing atau kucing garong.
***
“INI ibumu yang baru!” Suatu malam terhuyung menggandeng
pelacur bau kencur. ”Mulai hari ini sampai kiamat, dia berhak tinggal di rumah
ini. Cium kakinya!”
Puih! Meski sama-sama babi, tak sudi aku mencium kaki babi
pelacur. Kusikat ia. Kuhantam hingga kakinya sengkleh. Bapak membelanya. Aku
berlari secepat setan. Menjangkau ibu yang tak tentu rimbanya. Kugorok bapak
saatnya tiba.
Hingga datang kabar melenting. Ibu khusyuk mendekap kuburan
nenek, tempat pertama berjumpa bapak. Mata cekung semakin murung. Komat-kamit
mantra leluhur.
“Ibu masih menunggu bajingan itu?” Mual menonjok perutku.
“Durhaka!
Bagaimanapun dia tetap bapakmu!” Ibu mendengus tak suka.
Aku bergidik. Ibu amnesia. Ibu lupa siksaan-siksaan itu,
penyakit-penyakit itu, pelacur-pelacur itu.
“Tidak
ada betina lagi selain pelacur itu, Ibu. Tak ada Ibu dalam ingatannya.”
“Engkau
buta, Celeng. Cintanya takkan berpindah. Meski dia bersama betina lain,
pelacur-pelacur itu takkan bisa menggantikan aku, istrinya yang dicintainya.
Jika sampai waktu yang ditentukan, ia akan kembali padaku. Engkau tidak akan
pernah paham.”
Ibu mulai gila. Keparat itu telah memabukkan makhluk di
hadapanku. Bah! Sejak kapan babi mengenal adat? Babi kawin karena ingin
bersetubuh, tak peduli cinta sejati. Titik!
***
“IBU menunggu di kuburan. Temui dia. Ajak dia pulang dan
kawini sepuasnya!”
“Menjemput
ibumu? Hahahahaha! Sampai mampus, takkan sejengkal aku menemuinya! Apalagi
kawini tubuh peot penuh borok! Suruh ibumu menggali kuburnya sendiri! Katakan,
aku menunggunya di dasar neraka! Grrrookk! Grrokk! Grrrookk!”
Bukkk! Tendangan menyilang sepenuh nafsu. Bapak terjengkang.
Mendelik tak sempat mengelak. Rahang patah gigi rompal. Darah mengucur.
Menggeram hendak menerjang. Tapi limbung. Ambruk.
***
“AKU gagal membujuk bapak.”
”Waktu
yang salah. Bapakmu tak biasa dipermalukan di muka umum.”
”Tinggalkan
bapak.”
”Tindakanmu
semakin membuat sulit keadaan.”
”Cari
pengganti bapak.”
Plakkk! Darah mengucur dari hidungku. Ibu membalikkan tubuh.
Mendengus menahan amarah.
”Kau
memang tidak tahu diri! Sampai kiamat, akan kutunggu suamiku di tempat ini
sebagaimana ia melamarku di malam itu! Akan kunanti sampai ia puas meniduri
pelacur-pelacur itu, sampai ia teringat pada betina yang telah memberinya
seekor anak babi durhaka!”
Ibu tersedu. Tergugu. Ibu semakin gila. Aku ingin muntah.
Kelebat bayang hitam di balik kamboja mengilatkan dendam. Aku melompat memburu
laknat itu. Kakiku diserimpung ibu. Kepalaku membentur nisan batu. Bapak
terbahak. Ibu tergelak. Aku melayang, meninggalkan suara-suara yang kian
menjauh.
***
Cirebon,
2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar