Raudal Tanjung Banua
Membaca novel Hans Gagas, Tembang Tolak Bala (LKiS Yogyakarta, Mei 2011) kita mendapatkan gambaran yang kaya tentang reog Ponorogo, tidak sekedar penampilannya yang atraktif dan indah, melainkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan di “belakang panggung”—dan ini jauh lebih menantang.
Warok, sebagai pelaku utama reog, digambarkan sosok dan laku hidupnya secara terbuka. Ia menjalani kehidupan yang tidak biasa terutama berhubungan dengan ritual-ritual khusus demi menjaga kesaktiannya. Susuk dan meditasi di sanggar pamujaan adalah dua di antaranya. Namun yang paling membedakannya dengan yang lain—karena berhubungan langsung dengan lingkungan sosial—ialah pantangannya untuk bercampur dengan perempuan. Konon, lelaku yang diturunkan dari Klonosewandono, pendiri Kerajaan Bentar Angin yang kelak dikenal sebagai Wengker, itu, pada mulanya dihasratkan untuk menjaga kesucian dirinya sebagai calon raja. Dalam prakteknya kemudian, pantangan itu memunculkan gemblak sebagai kata kunci berikutnya dalam khazanah seni reog Ponorogo, di mana warok akan memelihara seorang anak laki-laki (gemblak) sebagai “kawan intim”.
Demikianlah cerita tentang warok dan gemblak kemudian mengisi hampir separoh halaman novel ini. Lewat tokoh Aku (Hargo) kita bisa mengikuti dengan jelas dunia warok dan per-gemblak-an. Itu tak lain karena Hargo merupakan seorang bocah yang dijadikan gemblak oleh warok yang paling terkenal di wilayah bekas kerajaan Wengker: Eyang Tejowulan. Meskipun sang Eyang sebenarnya juga punya perempuan sendiri, Nyi Tejo atau Eyang Putri, dan Hargo punya orang tua juga yang bahkan masih kerabat Tejowulan. Ini menunjukkan bahwa dunia gemblak memiliki kultur sendiri yang “sah” karena semua berlangsung “sepengetahuan” ayah, ibu, istri dan anggota masyarakat semua. Bahkan tidak jarang prosesi lamaran seorang gemblak dilaksanakan secara besar-besaran, sebagaimana disaksikan sendiri oleh Hargo: Seorang dandan atau wakil dari pelamar (warok) beserta rombongannya menaiki dokar. Dokar itu taklah berlenggang tangan, di dalamnya terusung segala jenis bawaan: berslop-slop roko, gula tebu, berkarung-karung beras, abon-abon pisang raja dan sirih-kinang. Di tengah rombongan dituntun seekor sapi atau kerbau, sebagai mahar “perkawinan”. Semua bawaan itu diserahkan pada orang tua calon gemblak.” (hal. 56).
Sementara Hargo merasa “beruntung” karena tidak melalui prosesi itu,”…aku digemblak secara alami oleh “orang tuaku” sendiri.” Tentu saja “bayaran” yang diperoleh secara sosial bukan hanya benda-benda pinangan itu, namun juga kehormatan dan lebih jauh pengetahuan dan “kesaktian” warok yang biasanya diwarisi kepada si gemblak. Itulah sebabnya, sejarah dan mitologi, seni beladiri dan menabuh menjadi pelajaran setiap malam seperti didapatkan Hargo. Ia mendapatkan cerita tentang sejarah Wengker, Majapahit, Demak, SI, PKI atau Madiun. Ia pun mengenal tokoh-tokoh Ki Ageng Mirah, Ki Ageng Kutu, Raden Patah, bahkan Soekarno. Meski prosesi “pinangan” itu kadang berjalan tidak dalam keadaan “normal”: jika orang tua menolak lamaran warok akibatnya bisa fatal. Termasuk istri warok yang memiliki nestapanya sendiri: cemburu, iri dan ingin hidup normal sebagaimana keluarga lain.
Ancangan yang Meyakinkan
Namun sebelum masuk ke dunia yang sukar dinilai secara hitam-putih itu, penulis terlebih dahulu membuat ancangan yang meyakinkan, setidaknya pada rinci dan detail. Dan ia masuk lewat silsilah dan rumah. Silsilah dan rumah menjadi pembuka dalam novel ini yang membuat pembaca memiliki pijakan untuk masuk ke bagian yang lain, serta mendapat garansi bahwa cerita akan berjalan dengan cukup padat meskipun bahasanya sederhana. Maka pada halaman awal “Bab Satu: Adi Kembar” kita diperkenalkan satu persatu kepada anggota keluarga si anak, meskipun perkenalan itu tidak adil-merata, sebab ada yang diperkenalkan dengan cukup panjang ada juga yang sekedarnya. Kakak, ayah, ibu, nenek dan sahabat (Mei, Narko) diperkenalkan melalui satu atau dua paragraf. Ada yang panjang ada yang selintas, tapi itu tidak masalah sebab pada bab-bab berikutnya di antara mereka ini muncul kembali sebagai tokoh yang ikut mewarnai jalan cerita.
Tapi anehnya, perkenalannya paling sedikit dan kemunculannya pada bab berikut juga tak signifikan justru adalah orang-orang terdekat si anak. Ibu misalnya, memang meminta perkenalan satu paragraf cukup panjang, tapi kehadirannya kemudian tak terlalu “fungsional”. Begitu pula kakak-kakak si aku, bahkan nama dan jumlahnya pun tidak disebutkan, kecuali sedikit saja: …kakak-kakakku, uhh…mereka terlalu memikirkan diri sendiri. Kadang aku melihat bara persaingan di antara mereka. Ini bertolak belakang ketika ia memperkenalkan Mei Ling, sahabat masa kecil yang kemudian hidup di ingatannya. Paling penting lagi adalah perkenalan terhadap adi-kembarnya yang sudah meninggal sejak awal cerita, tapi selalu mewarnai cerita.
Di sini tampak, si aku cenderung menelisik dan menyimpan “sesuatu yang tak ada”, ketimbang merapat pada sosok yang wujudnya lebih dekat dan jelas. Ini tampaknya bukan tanpa rencana. Menurut saya, ini sebuah ancangan yang tak kalah penting untuk menciptakan dunia batin Hargo. Yakni, dunia batin yang berpaut pada dunia “tak kasat mata” sehingga ketika ia masuk ke kehidupan ganjil Eyang Tejo, ada alasan yang “masuk akal” untuk mengembara ke dalam cerita “antah-barantah” dan tak mungkin dijangkau oleh pikiran biasa.
Ancangan ini pula yang memungkinkan pengarangnya leluasa menerapkan konsep “realisme magis” dengan segala plus-minusnya. Konsep ini lebih terjelaskan lagi ketika di pengantar Hans mengatakan bahwa “ulang-alik peristiwa dan waktu di novel ini bergaya ala Tambo-nya Gus tf Sakai.” (hal. xi). Dan memang, dalam prakteknya, pola Tambo sangat terasa dalam Tembang Tolak Bala.
Ancangan berikutnya adalah soal rumah. Penulis, lewat Hargo, dengan detail dan menarik menggambarkan bagian-bagian arstitektur rumah Jawa bukan hanya dari sisi yang tampak (benda-benda dan properti) melainkan juga secara filosofis. Halaman, regol, ruang tengah, dapur, ruang belakang dan halaman belakang diuraikan sedemikian rupa. Tidak ketinggalan rumah-rumah lain yang berdiri terpisah seperti rumah pringgitan: (yang) berbentuk limasan tanpa dinding (….) berisi gamelan dan perlengkapan reog. Biasa dipakai untuk tetabuhan dan latihan reog.” Rumah belakang (…) masing-masing ada tiga kamar berderet ke belakang (…) sedangkan ruang tengah untuk sanggar pamujaan, tempat bersembahyang, semadi.”(hal. 9).
Ancangan yang Kurang Meyakinkan
Akan tetapi, ancangan yang dibangun dengan sabar dan penuh intensitas itu, kurang mendapat rujukan yang sepadan dengan “Tembang Tolak Bala” yang hendak diusung sebagai maindset cerita. Apa dan bagaimana tembang tolak bala itu kurang terjelaskan, kecuali sebuah cerita ringkas yang seolah tidak penting. Dimulai ketika Ki Ageng Kutu berseteru dengan sahabatnya Ki Ageng Mirah (soal tawaran memeluk Islam). Ki Ageng Kutu mula-mula menuju Gunung Wilis, semadi. Namun sesuara kemudian memerintahkannya berpindah ke Gunung Lawu agar menemui Sunan Lawu. Di puncak Gunung Lawu-lah ia mendengar nyanyian dari arah bayangan yang sempat membuat luruh hati Ki Ageng. “Nyanyian itu seperti syair tembang yang melenakan. Tembang yang jauh di hari depan dikenal dengan nama Tembang Tolak Bala.” (hal. 20).
Hanya itu, hanya sampai di situ. Selanjutnya apa korelasi tembang ini dengan cerita berikutnya dan bagaimana ia “bekerja”, tidak menyelusup ke bagian teks yang lain; tidak seperti bayangan adi-kembar atau Mei-Ling. Padahal, sebagai syair, sebagai suara-suara, kemungkinan teks ini untuk menyelusup secara “magis” justru lebih potensial, namun tidak dieksplorasi lebih lanjut. Bahkan ketika pecah huru-hara politik 65, tembang ini tidak “bekerja” sedikit pun, termasuk ketika Eyang Tejo dijemput musuh bebuyutannya, Wirolodaya, yang leluasa menudingnya sebagai “pengayom orang-orang PKI, maka harus dilenyapkan”. Tembang ini juga tak berfungsi ketika Mei Ling diusir dan rumahnya dibakar. Meskipun ada Bab Enam yang membahas khusus Tembang Tolak Bala, namun juga tak memberi fungsi berarti kecuali salinan baris-barisnya (hal. 102-103), tapi bagaimana ia beroperasi di dalam laku cerita tetap saja tak terjelaskan. Satu-satunya moment tembang itu berfungsi ialah ketika Hargo hendak diperkosa oleh gurunya sendiri, Martodirejo. Dalam keadaan kepepet, Hargo menembangkan syair itu dan aneh bin ajaib sang guru seketika lunglai dan berteriak,”Maafkan aku Ki Ageng, ampuni aku Ki Ageng…” (hal. 140).
Ternyata pula, Guru Martodirejo ini tak lain anak Wirolodaya, musuh bebuyutan Eyang Tejo. Leluhur mereka, Hanggodermo dan Wulunggeni, seorang antek Belanda, dulu juga bermusuhan. Kenyataan yang kebetulan ini tentu saja tanpa ancangan yang kurang meyakinkan. Hal ini sama dengan peristiwa meninggalnya ayah Hargo yang dianggap kena teluh atau guna-guna. Namun bagaimana teluh itu “bekerja” kurang terjelaskan, setidaknya berbeda saat Hargo dengan intens menceritakan hal-hal “magis” lainnya.
Puncak dari semua ini adalah ketika tanpa tedeng aling-aling, Tragedi 65 masuk ke dalam cerita. Memang, sebelumnya sudah diceritakan bahwa kelompok reog dan waroknya banyak yang berafiliasi atau sekedar bersimpati pada partai politik tertentu. Maka terkotak-kotaklah grup reog ke dalam Cakra NU, BRP PKI dan BREN PNI. Peristiwa Madiun 1948 juga dihadirkan ketika sejumlah “pemberontak” melarikan diri ke Ponorogo dan minta perlindungan Eyang Tejo (hal yang membuat Hargo berkenalan dengan Juni, anak seorang pelarian yang ditampung Eyang). Akan tetapi, kita tidak menduga bahwa “cerita tentang warok” dengan serta-merta diputus ketika Eyang Tejo dijemput massa. Tragedi 65 masuk ke dalam struktur cerita tanpa ancangan berarti. Hanya dimulai dengan cerita soal ritual bersih desa, yang seperti biasanya selalu menarik untuk diikuti sebab detail dan informatif.
“(….) ritual bersih desa diadakan setiap tahun, menjelang 1 Syuro. Pasangannya adalah sesajen yang nanti dipacak di pohon beringin tua di dekat jembatan. Sesajen berisi ayam ingkung, nasi tumpeng, jajan pasar, kembang tujuh rupa, dupa dan kopi pahit beserta rokok sebatang. Ritual ini bermaksud agar Eyang Mbaureksa melindungi penduduk dari malapetaka, baik disebabkan oleh manusia, wabah penyakit, maupun makhluk halus.
Tapi malapetaka adalah malapetaka. Musibah dan bencana tak bisa ditolak bahkan oleh kekuatan Eyang Mbaureksa. Apalagi malapetaka yang disebabkan oleh kekejaman manusia.” (hal. 88).
Demikianlah, seperti banyak informasi ritual lainnya, kita menduga ini juga hanya sekedar informasi memperkaya cerita, tetapi ternyata menjadi sesuatu yang menentukan. Kata malapetaka dijadikan kunci untuk menggambarkan malapetaka yang lebih besar yakni Tragedi 65, sampai “menghilangnya” tokoh sekaliber Eyang Tejo. Terasa sangat tiba-tiba. Hubungan kita seolah diputus dengan dunia warok, sama seperti “nestapa” Hargo sendiri yang diputus dengan dunia masa kecilnya, dengan Mei, dan adi-kembarnya!
Padahal, prosesi mencari “susuk kekebalan” bisa berpotensi menceritakan Tragedi 65 dengan cara tidak biasa, tidak seperti narasi sejarah resmi. Ini pula yang terjadi pada narasi diskriminasi etnis Cina. Banyak pernyataan yang klise dan agak berbau slogan, seperti banyak didapatkan pada Bab Tujuh “Episode Cinta Mei”. Narasi klise tentang hubungan homoseksual kemudian juga didapatkan dari surat-menyurat Hargo dengan Mei Ling, di mana rujukan Al-Kitab tentang Sodom dan Gomorah dicuplik secara utuh dalam sepucuk surat Mei Ling.
Waktu dan Kehadiran
Menghilangnya Eyang Tejo sekaligus menandai melindapnya dunia warok dalam Tembang Tolak Bala secara keseluruhan. Saya merasakan ada bangunan yang runtuh, bangunan yang sedari awal sudah dibangun susah-payah. Alih-alih penulis malah masuk ke cerita “remaja masa kini”, yakni ketika masa-masa bersekolah Hargo dan saat ia berkenalan dengan Juli, perempuan yang tanpa ancangan berarti juga hadir tiba-tiba.
Upaya perpindahan dari fokus utama ini (baca: warok dan dunianya) menurut saya didorong oleh hasrat Hans untuk merengkuh terlalu banyak peristiwa. Berbagai peristiwa dalam ranah sejarah maupun legenda, baik yang menjadi isu daerah maupun nasional, diakomodasi dengan lapang dada. Akibatnya, dunia cerita tidak lagi berkisar antara Wilis dan Lawu, namun melebar sampai ke semua tempat dan alamat. Untuk itu semua, novel ini tentu saja masih terlalu “mungil” sehingga muatannya berdesak-desakkan. Saya membayangkan, dengan mempertahankan intensitas bab-bab pembuka, niscaya “enclave” budaya di antara dua gunung ini akan memberi warna yang kaya pada lokalitas sastra Indonesia, suatu lokalitas yang selama ini berkisar pada budaya lokal yang mainstream.
Banyak pula informasi menarik yang belum sempat dikembangkan Hans, misalnya tentang warok perempuan, munculnya reog gajah-gajahan atau cerita tentang beberapa reog yang selamat karena para tentara “Pancasilais” takut kuwalat memusnahkannya. Ini sebenarnya bisa berbaur untuk mencairkan situasi umum secara lebih khas.
Hal lain yang perlu dikemukakan ialah soal waktu yang anakronis. Peng-gemblak-an Hargo dan peristiwa yang melingkupinya berkisar pada masa lawas, setidaknya sekitar tahun 60-an. Ini dibuktikan bahwa ketika Tragedi 65 terjadi, ketika Eyang Tejo dijemput massa, Hargo menyaksikan sendiri peristiwa itu (bukan dalam bayangan), bahkan ia sendiri menjadi korban. “Braaak!! Aku aget bukan kepalang! Pintuku didobrak musuh. Dalam tempo sekejap, tepat di hadapanku telah berdiri sejajar seorang berseragam menodongkan pistolnya ke kepalaku.” (hal. 95). Pembauran narasi antara nyata dan bayangan ini memang tidak asing dalam teks “realis-magis” Hans, namun dalam konteks ini Hargo benar-benar hadir secara harfiah, bukan halusinasi sehingga perpindahan dari era-Eyang Tejo ke pasca Eyang Tejo waktunya terasa kurang tepat.
Secara matematis, jika masa menjadi gemblak usia Harjo sekitar 6-10 tahun (pada tahun 60-an), maka mulai Bab Tujuh dan seterusnya, usia Harjo mestinya sudah di atas 30 tahun. Namun yang terjadi Hargo masih SMP. Tentu saja kita bisa beralasan bahwa waktu Hargo SMP bukan terjadi pada tahun 80 atau 90-an, melainkan pasca Tragedi 65 (tahun 60-an). Tapi, cobalah resapi narasi dan suasana yang terbangun sangatlah kekinian. Hargo dan kawan-kawannya biasa belajar bersama, bahkan membuat genk GAJJAH, surat-suratan dengan Mei yang sudah memasukkan unsur kemeriahan Imlek, dst. Narasi itu bahkan terasa seperti tahun 2000-an, misalnya dengan wacana tentang pemerintah yang tak mau merehabilitasi nama korban 65.
Jadi, meski tidak menyebut angka tahun secara telak, kita sebenarnya bisa merujuk waktu dengan suasana yang dibangun. Hal yang membuat kita kemudian mau tidak mau menghubungkannya dengan beberapa istilah yang penggunaannya perlu dipertanyakan. Misalnya, suara gaib yang bergema saat Raja Bantar Angin bertempur melawan Singo Ludro,”Klonoswandono, apakah janji itu serupa tinta yang diguyur airmata?” (hal. 54).
Sebagai penutup, sekali lagi saya tertarik melihat korelasi Tembang Tolak Bala dengan Tambo. Selain temanya yang sama-sama tentang asal-usul atau legenda sebuah daerah beserta puak dan punggawanya, mereka juga dihubungkan oleh teknik plot yang maju-mundur, membaurkan masa lalu dan kekinian. Bedanya, dalam Tambo pelaku-pelaku masa lalu tetaplah sosok yang hidup dalam legenda (yang kemudian hidup dalam kepala Sutan di hari ini) sehingga waktu kehadirannya logis. Dalam Tembang Tolak Bala, pada beberapa bagian, Hargo hadir bersama tokoh-tokoh lawas itu—kecuali dalam beberapa legenda yang lebih “antah-barantah”. Akibatnya, Gus tf Sakai bisa dengan lebih leluasa mengacak sejarah dan mitologi—tanpa terperangkap off side anakronisme—sementara Hans harus membuat peristiwa “hilang ingatan” pada Hargo, tokohnya. Peristiwa pertama, Hargo mati suri selama tujuh-hari tujuh malam (hal. 26) dan peristiwa kedua, ia koma selama sebulan (hal. 98). Keduanya, baik mati suri maupun koma, malah terasa mementahkan ancangan dunia adi-kembar yang magis; pulihnya Hargo, secara teknis, juga tanpa ancangan berarti; terjaga seperti biasa, didatangi ibu, lalu “normal” seketika.
Demikian beberapa catatan sekilas yang tentu saja beresiko memiliki cacatnya sendiri. Tapi semoga bisa diperbaiki melalui forum diskusi kali ini.
Lemahdadi, Desember 2011
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar