Nur Ahmad Salman H *
Harian Haluan, 18 Des 2011
Sastra adalah karya seni yang merupakan ekspresi kehidupan manusia (Fananie, 2000:132), sedangkan sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang seluk-beluk aktivitas sosial manusia. Dengan demikian antara sastra dan sosiologi adalah suatu disiplin ilmu yang berbeda, namun karya sastra lahir tidak dari suatu yang hampa (kosong). Karya sastra diciptakan dari aktivitas sosial-budaya manusia, karena karya sastra merupakan refleksi dari kehidupan sosial-budaya manusia, aspek-aspek sosial-budaya ini dijadikan suatu tulisan yang mempunyai nilai estetik sebagai cerminan dari kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sosiologi dan sastra dapat dipadukan sebagai suatu bidang ilmu dalam mengkaji karya sastra, karena sastra merupakan hasil ciptaan manusia, sedangkan objek kajian dari sosiologi adalah manusia.
Endraswara menyatakan, bahwa dalam pandangan Wolff sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefenisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat (Endraswara, 2008:77).
Aspek-aspek sosial dalam masyarakat ini lah yang menjadi kajian dalam sosiologi sastra, bahwa pada karya sastra, keadaan sosial sering sekali menjadi objek dalam penciptaan suatu karya sastra. Hal ini bertolak dari pemikiran bahwa karya sastra itu lahir tidak dari suatu kekosongan, keadaan sosial menjadi pemicu dalam penciptaan suatu karya sastra, entah itu genre puisi, prosa maupun drama. Kemudian keadaan atau realita sosial ini diolah oleh pengarang dengan imajinasinya, sehingga menjadi suatu tulisan fiktif yang memiliki nilai estetik. Sosiologi sastra adalah kajian sastra mengenai seluk-beluk aktivitas sosial manusia, baik itu aspek sosial pengarang, aspek sosial dalam karya, maupun aspek sosial pembaca. Dengan demikian, untuk menganalisis tentang situasi sosial pada sastra, entah itu situasi sosial pengarang, situasi sosial karya, maupun situasi sosial pembaca, dapat menggunakan analisis teori sosiologi sastra. Perpaduan dua disiplin ilmu yang berbeda ini, menjadikan bidang kajian analisis sastra tidak terfokus pada unsur-unsur yang membangun suatu karya (unsur instrinsik), namun mampu mengkaji unsur-unsur yang berada di luar unsur yang membangun tersebut, seperti kajian terhadap pengarang dan pembaca.
Cerpen “Kartini Namaku” dalam kumpulan cerpen “Dan Tuhan Pun Berhasil Kutipu” adalah tulisan yang memiliki nilai estetik dan merupakan cerminan dari kehidupan manusia. Membaca cerpen “Kartini Namaku” karya bunda Nini, secara tidak langsung sebenarnya tidak sekedar hanya membaca karya sastra saja. “Kartini Namaku” karya bunda Nini ini, pada hakikatnya adalah realita sosial yang terjadi pada saat ini. Walaupun “Kartini Namaku” merupakan suatu tulisan fiktif (karya sastra), namun ini merupakan simbol yang mencuatkan gambaran sebuah fenomena tentang kehidupan seorang perempuan yang telah mempunyai suami. selain itu, membaca tokoh Kartini ini merupakan analisis dari kajian sosiologi sastra dengan menggunakan analisis sosiologi karya, yaitu keadaan sosial yang terdapat dalam karya.
Kartini adalah tokoh sentral dalam cerpen “Kartini Namaku”, ia merupakan wanita selain istri bagi suaminya juga ibu bagi kedua anaknya. Kartini adalah seorang istri yang harus “membanting tulang” untuk menafkahi keluarganya, ia bekerja sebagai guru di suatu Taman Kanak-kanak, suaminya merupakan orang yang pemalas, setiap disuruh untuk pergi ke ladang, selalu saja mengasuh anak merupakan alasan untuk berkelit, agar ia tidak bekerja. Padahal hari-hari sang suami hanya habis di palanta lapau yang tidak mendatangkan faedah. Oleh sebab itu, Kartini tidak hanya bergantung pada gaji yang ia peroleh dari mengajar di TK saja, pulang dari mengajar ia pergi ke ladang. Hasil panen dari ladang ia jual menuju suatu tempat dengan menggunakan gerobak.
Betapa kuatnya sosok seorang Kartini dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, selain menjadi guru ia juga pergi ke ladang. Namun pada suatu ketika, suaminya marah ketika anak mereka ngompol, suaminya marah-marah dan mempersalahkannya, sehingga terlontar dari mulut suaminya perkataan kasar yang menyakiti hati Kartini, yang meminta dia untuk berhenti mengajar di TK lagi, karena dengan mengajar di TK anak terlantar dan tidak ada yang mengurusi mereka. Entah apa yang akan dikatakannya oleh Kartini, sudah bekerja dengan benar tapi tetap juga dipersalahkan.
Hal ini tentunya menggambarkan, bahwa pada saat sekarang ini perempuan telah ikut mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Eksistensi perempuan dalam berkerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga merupakan realita sosial, betapa banyaknya berita yang menginformasikan tentang pekerja perempuan. Ini dapat terlihat dengan adanya TKW (Tenaga Kerja Wanita) dan buruh-buruh perempuan. Banyak sekali tenaga kerja wanita dikirim ke luar negri untuk bekerja, namun di sana ia tidak mendapatkan perlakuan yang baik, sering disiksa oleh majikan mereka. Selain itu, sering juga media pemberitaan menginformasikan tentang adanya KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), sering sekali istri dianiaya oleh suami, pokok permasalahannya sering pada masalah ekonomi.
Selain itu dalam cerita juga dikisahkan, bahwa tindakan dari suaminya tersebut membuat Kartini menyumpahinya, “laki-laki ini memang biadab” ini lah perkataan yang ia ucapkan, tentu saja ini terjadi dari tekanan batin yang ia rasakan. Setelah ia yang “banting tulang” untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tidak sedikit pun suaminya memperhatikan dia, bahkan hanya menjadikan istrinya sebagai budak yang harus memberi makan dia serta anak-anak. Seharusnya tanggungjawab ini dilakukan oleh suami, namun ia tak acuh saja terhadap tanggungjawabnya tersebut.
Ketika permasalah keluarga semakin rumit, si suami meminta kepada Kartini untuk berhenti mengajar dan mengurusi anak, maka ia mau untuk bekerja. Permintaan ini dipenuhi oleh kartini, besok paginya ia menyerahkan surat pengunduran dirinya kepada bu Ratna selaku Kepala TK tempat ia mengajar. Namun bu Ratna memberikan kesempatan kepada Kartini agar mempertimbangkan keputusannya tersebut, dengan memberikan waktu seminggu untuk melihat sikap dari suaminya, namun pada seminggu itu suaminya rajin untuk bekerja, akhirnya ia memutuskan untuk berhenti mengajar lagi.
Hanya berjalan tiga bulan saja suaminya rajin untuk bekerja, memasuki bulan keempat suaminya mulai malas lagi untuk bekerja. Pertama suaminya cepat pulang dengan alasan kepalanya pusing, bahkan hampir setia hari suaminya selalu mendahuli Kartini pulang ke rumah, hingga pada akhirnya suaminya sama sekali tidak mau untuk pergi ke ladang lagi. Tak jarang pula suaminya selalu marah-marah yang tak karuan kepada anaknya dan bersikap kasar kepada mereka, semakin berat siksaan batin yang diterima oleh Kartini, namun masih dapat menahannya dan bersabar.
Sampai pada suatu ketika, anaknya meminta beli buku pada suaminya, bukannya buku yang didapati oleh si anak malah ia ditampar oleh ayahnya, sehingga ibu dari Kartini atau nenek dari anaknya menegur suaminya. Ibunya pun dibentak oleh suaminya, dengan mengatakan tidak perlu ikut campur, sehingga amarah Kartini memuncak. Kartini tidak dapat lagi menahan beban batin yang ia rasakan, terlontar dari mulutnya permintaan cerai, namun suaminya tidak menanggapi dan pergi dengan membanting pintu. Kartini pun menangis, rasa frustasi berat yang ia rasakan menjadikan ia tidak sadarkan diri. Akhirnya ia depresi dan diantarkan oleh ibu dan kakaknya ke rumah sakit jiwa.
Cerita tersebut merupakan simbol dari sosok seorang perempuan yang sangat pandai menyimpan beban batin, cukup dia sendiri yang merasakannya. Namun walaupun begitu, tetap saja jika telah sampai pada titik jenuhnya, maka tidak dapat lagi ditahan beban batin dan amarah yang ia rasakan, bahkan dapat menyebabkan depresi yang sangat berat yang dapat berakibatkan pada gangguan jiwa.
Pada cerpen ini, sosok Kartini diceritakan pada mulanya seorang perempuan yang hebat. Ia seorang guru dan ibu yang hebat, tidak hanya di lingkungan sosial sekolah saja ia disegani, namun pada lingkungan sosial di rumah pun termasuk orang yang disegani. Karena ia aktif dalam kegiatan sosial masyarakat, seperti peengurus PKK dan masjid.
Namun, pada akhir cerita sosok Kartini berbanding terbalik dengan apa yang telah diceritakan pada awal cerita, yang berakhir pada kisah ia menjadi gila. Dalam realita sosial masyarakat sering mengenal bahwa Kartini itu adalah sosok perempuan yang kuat, setidaknya inilah pemahaman masyarakat ketika mendengar nama Kartini, bahkan dalam sejarah Indonesia nama Kartini merupakan nama wanita yang kuat dan tegar, ia adalah seorang pahlawan yang memperjuangkan emansipasi wanita. Bunda Nini selaku penulis cerpen “Kartini Namaku” merubah nilai yang telah tertanam pada masyarakat itu, dengan tokoh Kartini yang berakhir gila. Walaupun sempat berjiwa pahlawan, seperti cerdas, kuat dan sabar dalam mengahadapi cobaan.
Namun apa boleh buat, dalam penulisan tokoh dan penokohan adalah hak dari seorang penulis, tapi bunda Nini telah menjadikan cerpen ini menjadi suatu tulisan yang sangat bagus dan menarik untuk dibaca, karena setiap alur cerita merupakan realita sosial yang sering dirasakan dan didengar pada saat sekarang. Walaupun ini merupakan keadaan sosial dari suatu karya sastra, tidak berarti ini adalah suatu fiksi belaka saja. Karena sastra tidak lahir dari suatu kekosongan, melainkan cerminan dari kehidupan manusia, kisah yang diceritakan oleh bunda Nini dalam cerpen “Kartini Namaku” merupakan cerminan dari realita keadaan sosial manusia.
*) Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.
Dijumput dari: http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=11100:kartini-dan-tuhan-pun-berhasil-kutipu&catid=41:kultur&Itemid=193
Harian Haluan, 18 Des 2011
Sastra adalah karya seni yang merupakan ekspresi kehidupan manusia (Fananie, 2000:132), sedangkan sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang seluk-beluk aktivitas sosial manusia. Dengan demikian antara sastra dan sosiologi adalah suatu disiplin ilmu yang berbeda, namun karya sastra lahir tidak dari suatu yang hampa (kosong). Karya sastra diciptakan dari aktivitas sosial-budaya manusia, karena karya sastra merupakan refleksi dari kehidupan sosial-budaya manusia, aspek-aspek sosial-budaya ini dijadikan suatu tulisan yang mempunyai nilai estetik sebagai cerminan dari kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sosiologi dan sastra dapat dipadukan sebagai suatu bidang ilmu dalam mengkaji karya sastra, karena sastra merupakan hasil ciptaan manusia, sedangkan objek kajian dari sosiologi adalah manusia.
Endraswara menyatakan, bahwa dalam pandangan Wolff sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefenisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat (Endraswara, 2008:77).
Aspek-aspek sosial dalam masyarakat ini lah yang menjadi kajian dalam sosiologi sastra, bahwa pada karya sastra, keadaan sosial sering sekali menjadi objek dalam penciptaan suatu karya sastra. Hal ini bertolak dari pemikiran bahwa karya sastra itu lahir tidak dari suatu kekosongan, keadaan sosial menjadi pemicu dalam penciptaan suatu karya sastra, entah itu genre puisi, prosa maupun drama. Kemudian keadaan atau realita sosial ini diolah oleh pengarang dengan imajinasinya, sehingga menjadi suatu tulisan fiktif yang memiliki nilai estetik. Sosiologi sastra adalah kajian sastra mengenai seluk-beluk aktivitas sosial manusia, baik itu aspek sosial pengarang, aspek sosial dalam karya, maupun aspek sosial pembaca. Dengan demikian, untuk menganalisis tentang situasi sosial pada sastra, entah itu situasi sosial pengarang, situasi sosial karya, maupun situasi sosial pembaca, dapat menggunakan analisis teori sosiologi sastra. Perpaduan dua disiplin ilmu yang berbeda ini, menjadikan bidang kajian analisis sastra tidak terfokus pada unsur-unsur yang membangun suatu karya (unsur instrinsik), namun mampu mengkaji unsur-unsur yang berada di luar unsur yang membangun tersebut, seperti kajian terhadap pengarang dan pembaca.
Cerpen “Kartini Namaku” dalam kumpulan cerpen “Dan Tuhan Pun Berhasil Kutipu” adalah tulisan yang memiliki nilai estetik dan merupakan cerminan dari kehidupan manusia. Membaca cerpen “Kartini Namaku” karya bunda Nini, secara tidak langsung sebenarnya tidak sekedar hanya membaca karya sastra saja. “Kartini Namaku” karya bunda Nini ini, pada hakikatnya adalah realita sosial yang terjadi pada saat ini. Walaupun “Kartini Namaku” merupakan suatu tulisan fiktif (karya sastra), namun ini merupakan simbol yang mencuatkan gambaran sebuah fenomena tentang kehidupan seorang perempuan yang telah mempunyai suami. selain itu, membaca tokoh Kartini ini merupakan analisis dari kajian sosiologi sastra dengan menggunakan analisis sosiologi karya, yaitu keadaan sosial yang terdapat dalam karya.
Kartini adalah tokoh sentral dalam cerpen “Kartini Namaku”, ia merupakan wanita selain istri bagi suaminya juga ibu bagi kedua anaknya. Kartini adalah seorang istri yang harus “membanting tulang” untuk menafkahi keluarganya, ia bekerja sebagai guru di suatu Taman Kanak-kanak, suaminya merupakan orang yang pemalas, setiap disuruh untuk pergi ke ladang, selalu saja mengasuh anak merupakan alasan untuk berkelit, agar ia tidak bekerja. Padahal hari-hari sang suami hanya habis di palanta lapau yang tidak mendatangkan faedah. Oleh sebab itu, Kartini tidak hanya bergantung pada gaji yang ia peroleh dari mengajar di TK saja, pulang dari mengajar ia pergi ke ladang. Hasil panen dari ladang ia jual menuju suatu tempat dengan menggunakan gerobak.
Betapa kuatnya sosok seorang Kartini dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, selain menjadi guru ia juga pergi ke ladang. Namun pada suatu ketika, suaminya marah ketika anak mereka ngompol, suaminya marah-marah dan mempersalahkannya, sehingga terlontar dari mulut suaminya perkataan kasar yang menyakiti hati Kartini, yang meminta dia untuk berhenti mengajar di TK lagi, karena dengan mengajar di TK anak terlantar dan tidak ada yang mengurusi mereka. Entah apa yang akan dikatakannya oleh Kartini, sudah bekerja dengan benar tapi tetap juga dipersalahkan.
Hal ini tentunya menggambarkan, bahwa pada saat sekarang ini perempuan telah ikut mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Eksistensi perempuan dalam berkerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga merupakan realita sosial, betapa banyaknya berita yang menginformasikan tentang pekerja perempuan. Ini dapat terlihat dengan adanya TKW (Tenaga Kerja Wanita) dan buruh-buruh perempuan. Banyak sekali tenaga kerja wanita dikirim ke luar negri untuk bekerja, namun di sana ia tidak mendapatkan perlakuan yang baik, sering disiksa oleh majikan mereka. Selain itu, sering juga media pemberitaan menginformasikan tentang adanya KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), sering sekali istri dianiaya oleh suami, pokok permasalahannya sering pada masalah ekonomi.
Selain itu dalam cerita juga dikisahkan, bahwa tindakan dari suaminya tersebut membuat Kartini menyumpahinya, “laki-laki ini memang biadab” ini lah perkataan yang ia ucapkan, tentu saja ini terjadi dari tekanan batin yang ia rasakan. Setelah ia yang “banting tulang” untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tidak sedikit pun suaminya memperhatikan dia, bahkan hanya menjadikan istrinya sebagai budak yang harus memberi makan dia serta anak-anak. Seharusnya tanggungjawab ini dilakukan oleh suami, namun ia tak acuh saja terhadap tanggungjawabnya tersebut.
Ketika permasalah keluarga semakin rumit, si suami meminta kepada Kartini untuk berhenti mengajar dan mengurusi anak, maka ia mau untuk bekerja. Permintaan ini dipenuhi oleh kartini, besok paginya ia menyerahkan surat pengunduran dirinya kepada bu Ratna selaku Kepala TK tempat ia mengajar. Namun bu Ratna memberikan kesempatan kepada Kartini agar mempertimbangkan keputusannya tersebut, dengan memberikan waktu seminggu untuk melihat sikap dari suaminya, namun pada seminggu itu suaminya rajin untuk bekerja, akhirnya ia memutuskan untuk berhenti mengajar lagi.
Hanya berjalan tiga bulan saja suaminya rajin untuk bekerja, memasuki bulan keempat suaminya mulai malas lagi untuk bekerja. Pertama suaminya cepat pulang dengan alasan kepalanya pusing, bahkan hampir setia hari suaminya selalu mendahuli Kartini pulang ke rumah, hingga pada akhirnya suaminya sama sekali tidak mau untuk pergi ke ladang lagi. Tak jarang pula suaminya selalu marah-marah yang tak karuan kepada anaknya dan bersikap kasar kepada mereka, semakin berat siksaan batin yang diterima oleh Kartini, namun masih dapat menahannya dan bersabar.
Sampai pada suatu ketika, anaknya meminta beli buku pada suaminya, bukannya buku yang didapati oleh si anak malah ia ditampar oleh ayahnya, sehingga ibu dari Kartini atau nenek dari anaknya menegur suaminya. Ibunya pun dibentak oleh suaminya, dengan mengatakan tidak perlu ikut campur, sehingga amarah Kartini memuncak. Kartini tidak dapat lagi menahan beban batin yang ia rasakan, terlontar dari mulutnya permintaan cerai, namun suaminya tidak menanggapi dan pergi dengan membanting pintu. Kartini pun menangis, rasa frustasi berat yang ia rasakan menjadikan ia tidak sadarkan diri. Akhirnya ia depresi dan diantarkan oleh ibu dan kakaknya ke rumah sakit jiwa.
Cerita tersebut merupakan simbol dari sosok seorang perempuan yang sangat pandai menyimpan beban batin, cukup dia sendiri yang merasakannya. Namun walaupun begitu, tetap saja jika telah sampai pada titik jenuhnya, maka tidak dapat lagi ditahan beban batin dan amarah yang ia rasakan, bahkan dapat menyebabkan depresi yang sangat berat yang dapat berakibatkan pada gangguan jiwa.
Pada cerpen ini, sosok Kartini diceritakan pada mulanya seorang perempuan yang hebat. Ia seorang guru dan ibu yang hebat, tidak hanya di lingkungan sosial sekolah saja ia disegani, namun pada lingkungan sosial di rumah pun termasuk orang yang disegani. Karena ia aktif dalam kegiatan sosial masyarakat, seperti peengurus PKK dan masjid.
Namun, pada akhir cerita sosok Kartini berbanding terbalik dengan apa yang telah diceritakan pada awal cerita, yang berakhir pada kisah ia menjadi gila. Dalam realita sosial masyarakat sering mengenal bahwa Kartini itu adalah sosok perempuan yang kuat, setidaknya inilah pemahaman masyarakat ketika mendengar nama Kartini, bahkan dalam sejarah Indonesia nama Kartini merupakan nama wanita yang kuat dan tegar, ia adalah seorang pahlawan yang memperjuangkan emansipasi wanita. Bunda Nini selaku penulis cerpen “Kartini Namaku” merubah nilai yang telah tertanam pada masyarakat itu, dengan tokoh Kartini yang berakhir gila. Walaupun sempat berjiwa pahlawan, seperti cerdas, kuat dan sabar dalam mengahadapi cobaan.
Namun apa boleh buat, dalam penulisan tokoh dan penokohan adalah hak dari seorang penulis, tapi bunda Nini telah menjadikan cerpen ini menjadi suatu tulisan yang sangat bagus dan menarik untuk dibaca, karena setiap alur cerita merupakan realita sosial yang sering dirasakan dan didengar pada saat sekarang. Walaupun ini merupakan keadaan sosial dari suatu karya sastra, tidak berarti ini adalah suatu fiksi belaka saja. Karena sastra tidak lahir dari suatu kekosongan, melainkan cerminan dari kehidupan manusia, kisah yang diceritakan oleh bunda Nini dalam cerpen “Kartini Namaku” merupakan cerminan dari realita keadaan sosial manusia.
*) Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.
Dijumput dari: http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=11100:kartini-dan-tuhan-pun-berhasil-kutipu&catid=41:kultur&Itemid=193
Tidak ada komentar:
Posting Komentar