Wendi *
Harian Haluan, 07 Feb 2012
Maraknya tindak pidana perikanan menjadi alasan mengapa keberadaan pengadilan khusus perikanan menjadi urgen. Sebagai negara bahari luas wilayah yuridiksi laut Nusantara menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk mengawasi berbagai bentuk pelanggaran atau tindak pidana khsususnya bidang perikanan.
Dari Segendong Kedatangan (ini bahasa Malaysia) yang berarti Alas Bakul, Menifes atau Pembukaan, Numera didirikan oleh sastrawan dan budayawan Malaysia, dan untuk kepentingan Malaysia. Numera ditubuhkan untuk mengisi cita-cita yang lebih dinamik bagi memerhatikan kepentingan sastrawan yang daif dan uzur.
Mencatut?
Pertanyaan yang menghadang adalah, apa hubungan Numera dengan Indonesia? Jelas, tidak seorang pun warga Indonesia, urang awak, ikut mendirikan Numera! Dengan demikian, tidak ada kepentingan, relevansi, kaitan Numera dengan dengan Sumatera Barat, dengan Padang! Bukankah Numera berbicara tentang bahasa dan pembangunan sastera Melayu di dunia modern? Lalu, mengapa harus ada Temu Sastrawan Numera 1 digelar di Padang 16-18 Maret 2011? Apa hubungan Numera dengan pengembangan pariwisata Kota Padang? Mengapa seratus persen pengelola Temu Sastrawan Numera 1 warga Sumatera Barat?
Panitia Temu Sastrawan Numera 1: Dr. Edi Hasymi (Ketua), Muharman (Sekretaris), Sastri Bakry (Ketua Pengarah) dengan tim kerja Muhammad Subhan, Romi Zarman dan Zusnelly Zubir. Kepanitiaan juga berasal dari Masyarakat Sejarahwan Indonesia (MSI) Sumbar. Apakah tokoh-tokoh besar sejarah seperti Prof. Dr. Mestika Zed, M.A., Prof. Dr. H. Azmi, M.A. sudah diberi tahu, MSI ambil-bagian dalam aktivitas Numera?
Pada salah satu rilis pertengahan Januari 2012 disebut, seorang pemakalah utama untuk Temu Sastrawan Numera adalah Taufiq Ismail dan akan ada perjalanan wisata sastra ke Rumah Puisi di Aie Angek. Setelah saya konfirmasi ke penyair besar dan terkenal itu, Taufiq Ismail membalas pesan pendek saya dalam bahasa Minangkabau yang kental: Onde baru iko ambo mandanga tu = Aduh baru ini saya mendengar itu (TI, 12/01/2012, 14:23.59).
Sungguh-sungguh, mencatut nama ini, persis seperti cara di masa Lekra sebelum 1965. Ini menggejala lagi dalam sastra Indonesia? Inilah yang pernah didiskusikan Wisran Hadi (alm.), Taufiq Ismail, Upita Agustine (Prof. Dr. Ir. Hj. Raudha Thaib, M.P.) dan saya dalam beberapa kali pertemuan. Dalam sosok lain, fenomena itu mengemuka dengan kasus ateis dan injak Kitab Suci Alquran. Itu semua mengerikan, sangat mengerikan!
Dana?
Salah satu rilis untuk pers akhir Januari berbunyi (tanpa penyuntingan, DM): “Pemerintah Kota Padang lewat Dinas Pariwisata Kota Padang pada 16-18 Maret 2012 mendatang menggelar iven internasional yaitu Temu Sastrawan Numera (Nusantara Melayu Raya). Iven ini diharapkan dapat mempromosikan pariwisata kota Padang khususnya dan Sumatera Barat umumnya, sebab para pesertanya melibatkan para sastrawan dari negara tetangga, diantaranya Malaysia, Brunei Darussalam, Philifina, Singapura dan Thailand. Kepala Dinas Kota Padang Dr. Edi Hasymi menyambut baik iven Temu Sastrawan Numera ini dan berharap agenda yang direncanakan dapat berjalan sukses. Pemerintah Kota Padang menyokong kegiatan-kegiatan yang dapat mempromosikan potensi pariwisata daerah.”
Pemerintah Kota Padang lewat Dinas Pariwisata Kota Padang?! Benarkah pemko menggelar iven itu? Saya ulangi pertanyaan, benarkah Pemerintah Kota Padang menggelar iven ini, Pak Walikota, Dr. H. Fauzi Bahar, M.Si.? Benarkan Dr. Edi Hasymi dan Muharman yang setahu saya, selama ini, tidak bersentuhan dengan dunia sastra, tiba-tiba menjadi ketua dan sekretaris panitia? Siapa yang mengangkat dan mengeskakan mereka?
Rilis tak menyebut pendanaan. Apakah dana disediakan Numera Malaysia dalam jumlah ringgit yang besar? Atau apakah pendanaan berasal dari upaya “mengemis” sana-sini? Dan, biasa, paling sering dan selalu dikenakan proposal permohonan bantuan adalah PT Semen Padang, Bank Nagari, Bank Indonesia, Pemda Sumbar, Pemkot dan Pemkab se-Sumbar, pengusaha seperti Christine Hakim (Ripik Balado) dan entah siapa lagi. Mungkinkah digunakan dana kantor Edi Hasymi? Riskan andai Kepala Dinas ini “diperiksa” inspektorat, BPK, dan KPK?
Dan di Kota Padang, di Sumbar, betapa lagi, uang masih jadi soal amat sulit. Kalau tidak sulit, mana mungkin Sekretaris Dewan, hanya sebagai akibat uang seratus ribu rupiah, berkelahi habis-habisan dengan salah seorang Anggota DPRD Kota Padang, sampai ke meja hijau. Sampai esai ini ditulis, perkara Sekwan (Sekretaris Dewan) dan Angwan (Anggota Dewan) bagarumeh itu belum putus, belum in kracht. Itu memasygulkan dan sangat memalukan (andai perasaan malu masih ada). Dan itu bukti nyata, bahwa uang memang sulit didapat.
Dan iven hendak diselenggarakan di Taman Budaya Sumatera Barat dan Museum Nagari di Kota Padang? Bagaimana lebih-kurang panitia memakai tempat-tempat itu?
Sumpah Pemuda, Agung Diksi yang digunakan adalah bahasa Melayu. Apa hubungan dengan bahasa Indonesia? Bagi Indonesia, persoalan kebahasaan sudah “duduk” sejak 28 Oktober 1928 dengan Sumpah Pemuda yang agung itu. Bahasa kebangsaan RI adalah bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu, bukan bahasa Minangkabau, bukan bahasa Jawa, bukan bahasa manapun! Sastrawan Indonesia, mulai dari Abdul Muis, M. Yamin sampai ke Gus tf Sakai, Iyut Fitra, Khairul Jasmi, Yusrizal KW dan Tegar Esha Putra, menulis dalam bahasa Indonesia, bukan dalam bahasa Minangkabau atau Melayu. Ini, secara semantik dan kutural, mencampur-adukkan penggunaan Melayu dan Minangkabau, mengandung dilema. Melayu adalah Melayu, Minangkabau adalah Minangkabau.
Tanpa mengintervensi, di Malaysia soal kebahasaan masih menimbulan konflik serius. Simak frasa: “Sampai sekarang sejak 54 tahun merdeka rakyatnya sendiri masih mempersoalkan akta yang menyebut bahasa kebangsaan, bahasa Melayu yang diaktakan itu. Hal ini amat melukakan.” Bahasa Mandarin, bahasa Urdu, bahasa Inggris, atau bahasa Melayu? Kelompok Numera, sebagaimana Pena dan Gapena, menginginkan bahasa Melayu. Tetapi itu belum pernah jalan. Sampai kini. Menggunakan ungkapan Kemala, hal itu “melukakan” benar. Di Indonesia, kebahasaan benar-benar tidak menjadi persoalan. Ini, meminjam rumus, Prof. Dr. Umar Kayam, M.A., merupakan satu bentuk keluarbiasaan bangsa Indonesia, bisa dan memang sudah lama berbahasa satu. Ini mukjizat.
Dalam konteks inilah, secara kultural, para sastrawan “Melayu” Malaysia mendekatkan diri ke Indonesia, ke Provinsi Riau, ke Provinsi Sumatera Barat, dan ke Minangkabau atau ke Dunia Melayu (kalau dunia itu memang ada). Malaysia minta perhatian Indonesia? Pertama kali menghadiri Hari Sastra 1980 di Ipoh, Perak Malaysia, antara lain bersama (secara persis, diajak) A.A. Navis, dan Rusli Marzuki Saria, saya menyiasati dan memahami kajian masalah bahasa dan kebahasaan Malaysia mengemuka sangat tajam. Di Malaysia tentu saja ada sastrawan berbahasa Urdu, berbahasa Mandarin dan berbahasa Inggris. Dan mereka tidak kalah hebat dibanding sastrawan Malaysia berbahasa Melayu. Dan pada tingkat tertentu, mereka memang bergaduh. Saya “menyaksikan langsung” pertarungan itu dalam pertemuan-pertemuan sastra di Penang, Kuala Lumpur, Johor Baharu, Malaka, Singapura, bahkan sampai ke Colombo di Sri Langka di hari dan tahun berbeda. Itu bahkan juga terjadi sekarang, dan entah sampai kapan!
Politik Kebudayaan
Dalam suasana demikian, Melayu Malaysia berupaya malakok (mendekatkan diri) ke Minangkabau. Tidak ada yang keliru ketika mereka mendekatkan diri. Tetapi masalah menjadi serius dan bahkan pelik ketika Dra. Hj. Sastri Bakry, Akt., M.Si. dan Dr. Edi Hasymi, dan kawan-kawan, jadi tuan rumah untuk Numera. Dengan segala daya-upaya, termasuk pendanaan, Edi Hasymi dan Sastri menyelenggarakan acara (untuk) Numera? Atau Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat, bangsa Indonesia menaruh atensi besar terhadap Numera dan Malaysia?
Namun, lebih-kurang, lalu apa yang dilakukan sastrawan dan bangsa Malaysia terhadap Indonesia? Kualitas sastra soal lain, namun bukankah beberapa Tenaga Kerja Indonesia tersiksa lahir-batin, babak belur, (maaf) mati anjing di negara tetangga itu? Sastrawan dan bangsa Malaysia tutup mulut, bukan? Bukankah di dunia maya dan di dunia nyata Indonesia diejek dan diolok-olok antara lain dengan kata indon yang menyakitkan? Bagaimana mungkin melupakan, Malaysia meributkan tapal-batas. Apa Sastri Bakry tidak menyadari, beberapa benda dan cipta budaya Indonesia dirampas? Tidakkah setelah peristiwa gempa bumi dahsyat 30 September 2009, Kemala mengeksploitasi duka becana dengan menerbitkan buku puisi Musibah Gempa Padang, Meditasi Dampak 70 (2011). Tidakkah perlakuan ini menggemaskan dan menimbulkan berang? Kita dilanda musibah, lantas Bung Kemala bergembira-ria menerbitkan buku puisi? Saya punya puisi tentang gempa bumi itu, tetapi tidak mengirim ke Kemala.
Menyangkut rencana Temu Sastrawan Numera 1, Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd., yang diminta Sastri Bakry memberi saran, menyatakan, “Ambo indak dalam kapasitas Melayu Raya, Sas. Tidak ada urgensinya terhadap kreativitas. Terima kasih.” Dr. Sastri Sunarti, M.Hum., menanyakan, “Numera ini apa bedanya dengan PSN?” (PSN adalah Pertemuan Sastrawan Nusantara yang punya legitimasi.) Dr. Eva Krisna, M.Hum., menilai pendek: “Sengkarut…” Dan Gus tf berkomentar: “Ah iya, tentu memang Subhan yang membuat Ni Sas berani mengklaim Rumah Puisi ikut mendukung. Trims, Bang …” Nelson Alwi dan Drs. H. Marjohan, M.M. juga memberikan catatan. Seorang dari Badan Bahasa (dulu Pusat Bahasa) Jakarta yang tidak mau namanya disebut, menyatakan, Temu Sastrawan Numera ini perlu disiasati dan disikapi dengan jeli. Ini menyangkut soal politik kesusastraan, politik kebudayaan.
*) Wendi, Mahasiswa Pascasarjana Unand
Dijumput dari: http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=12467:eksistensi-pengadilan-khusus-perikanan-&catid=11:opini&Itemid=187
Harian Haluan, 07 Feb 2012
Maraknya tindak pidana perikanan menjadi alasan mengapa keberadaan pengadilan khusus perikanan menjadi urgen. Sebagai negara bahari luas wilayah yuridiksi laut Nusantara menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk mengawasi berbagai bentuk pelanggaran atau tindak pidana khsususnya bidang perikanan.
Dari Segendong Kedatangan (ini bahasa Malaysia) yang berarti Alas Bakul, Menifes atau Pembukaan, Numera didirikan oleh sastrawan dan budayawan Malaysia, dan untuk kepentingan Malaysia. Numera ditubuhkan untuk mengisi cita-cita yang lebih dinamik bagi memerhatikan kepentingan sastrawan yang daif dan uzur.
Mencatut?
Pertanyaan yang menghadang adalah, apa hubungan Numera dengan Indonesia? Jelas, tidak seorang pun warga Indonesia, urang awak, ikut mendirikan Numera! Dengan demikian, tidak ada kepentingan, relevansi, kaitan Numera dengan dengan Sumatera Barat, dengan Padang! Bukankah Numera berbicara tentang bahasa dan pembangunan sastera Melayu di dunia modern? Lalu, mengapa harus ada Temu Sastrawan Numera 1 digelar di Padang 16-18 Maret 2011? Apa hubungan Numera dengan pengembangan pariwisata Kota Padang? Mengapa seratus persen pengelola Temu Sastrawan Numera 1 warga Sumatera Barat?
Panitia Temu Sastrawan Numera 1: Dr. Edi Hasymi (Ketua), Muharman (Sekretaris), Sastri Bakry (Ketua Pengarah) dengan tim kerja Muhammad Subhan, Romi Zarman dan Zusnelly Zubir. Kepanitiaan juga berasal dari Masyarakat Sejarahwan Indonesia (MSI) Sumbar. Apakah tokoh-tokoh besar sejarah seperti Prof. Dr. Mestika Zed, M.A., Prof. Dr. H. Azmi, M.A. sudah diberi tahu, MSI ambil-bagian dalam aktivitas Numera?
Pada salah satu rilis pertengahan Januari 2012 disebut, seorang pemakalah utama untuk Temu Sastrawan Numera adalah Taufiq Ismail dan akan ada perjalanan wisata sastra ke Rumah Puisi di Aie Angek. Setelah saya konfirmasi ke penyair besar dan terkenal itu, Taufiq Ismail membalas pesan pendek saya dalam bahasa Minangkabau yang kental: Onde baru iko ambo mandanga tu = Aduh baru ini saya mendengar itu (TI, 12/01/2012, 14:23.59).
Sungguh-sungguh, mencatut nama ini, persis seperti cara di masa Lekra sebelum 1965. Ini menggejala lagi dalam sastra Indonesia? Inilah yang pernah didiskusikan Wisran Hadi (alm.), Taufiq Ismail, Upita Agustine (Prof. Dr. Ir. Hj. Raudha Thaib, M.P.) dan saya dalam beberapa kali pertemuan. Dalam sosok lain, fenomena itu mengemuka dengan kasus ateis dan injak Kitab Suci Alquran. Itu semua mengerikan, sangat mengerikan!
Dana?
Salah satu rilis untuk pers akhir Januari berbunyi (tanpa penyuntingan, DM): “Pemerintah Kota Padang lewat Dinas Pariwisata Kota Padang pada 16-18 Maret 2012 mendatang menggelar iven internasional yaitu Temu Sastrawan Numera (Nusantara Melayu Raya). Iven ini diharapkan dapat mempromosikan pariwisata kota Padang khususnya dan Sumatera Barat umumnya, sebab para pesertanya melibatkan para sastrawan dari negara tetangga, diantaranya Malaysia, Brunei Darussalam, Philifina, Singapura dan Thailand. Kepala Dinas Kota Padang Dr. Edi Hasymi menyambut baik iven Temu Sastrawan Numera ini dan berharap agenda yang direncanakan dapat berjalan sukses. Pemerintah Kota Padang menyokong kegiatan-kegiatan yang dapat mempromosikan potensi pariwisata daerah.”
Pemerintah Kota Padang lewat Dinas Pariwisata Kota Padang?! Benarkah pemko menggelar iven itu? Saya ulangi pertanyaan, benarkah Pemerintah Kota Padang menggelar iven ini, Pak Walikota, Dr. H. Fauzi Bahar, M.Si.? Benarkan Dr. Edi Hasymi dan Muharman yang setahu saya, selama ini, tidak bersentuhan dengan dunia sastra, tiba-tiba menjadi ketua dan sekretaris panitia? Siapa yang mengangkat dan mengeskakan mereka?
Rilis tak menyebut pendanaan. Apakah dana disediakan Numera Malaysia dalam jumlah ringgit yang besar? Atau apakah pendanaan berasal dari upaya “mengemis” sana-sini? Dan, biasa, paling sering dan selalu dikenakan proposal permohonan bantuan adalah PT Semen Padang, Bank Nagari, Bank Indonesia, Pemda Sumbar, Pemkot dan Pemkab se-Sumbar, pengusaha seperti Christine Hakim (Ripik Balado) dan entah siapa lagi. Mungkinkah digunakan dana kantor Edi Hasymi? Riskan andai Kepala Dinas ini “diperiksa” inspektorat, BPK, dan KPK?
Dan di Kota Padang, di Sumbar, betapa lagi, uang masih jadi soal amat sulit. Kalau tidak sulit, mana mungkin Sekretaris Dewan, hanya sebagai akibat uang seratus ribu rupiah, berkelahi habis-habisan dengan salah seorang Anggota DPRD Kota Padang, sampai ke meja hijau. Sampai esai ini ditulis, perkara Sekwan (Sekretaris Dewan) dan Angwan (Anggota Dewan) bagarumeh itu belum putus, belum in kracht. Itu memasygulkan dan sangat memalukan (andai perasaan malu masih ada). Dan itu bukti nyata, bahwa uang memang sulit didapat.
Dan iven hendak diselenggarakan di Taman Budaya Sumatera Barat dan Museum Nagari di Kota Padang? Bagaimana lebih-kurang panitia memakai tempat-tempat itu?
Sumpah Pemuda, Agung Diksi yang digunakan adalah bahasa Melayu. Apa hubungan dengan bahasa Indonesia? Bagi Indonesia, persoalan kebahasaan sudah “duduk” sejak 28 Oktober 1928 dengan Sumpah Pemuda yang agung itu. Bahasa kebangsaan RI adalah bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu, bukan bahasa Minangkabau, bukan bahasa Jawa, bukan bahasa manapun! Sastrawan Indonesia, mulai dari Abdul Muis, M. Yamin sampai ke Gus tf Sakai, Iyut Fitra, Khairul Jasmi, Yusrizal KW dan Tegar Esha Putra, menulis dalam bahasa Indonesia, bukan dalam bahasa Minangkabau atau Melayu. Ini, secara semantik dan kutural, mencampur-adukkan penggunaan Melayu dan Minangkabau, mengandung dilema. Melayu adalah Melayu, Minangkabau adalah Minangkabau.
Tanpa mengintervensi, di Malaysia soal kebahasaan masih menimbulan konflik serius. Simak frasa: “Sampai sekarang sejak 54 tahun merdeka rakyatnya sendiri masih mempersoalkan akta yang menyebut bahasa kebangsaan, bahasa Melayu yang diaktakan itu. Hal ini amat melukakan.” Bahasa Mandarin, bahasa Urdu, bahasa Inggris, atau bahasa Melayu? Kelompok Numera, sebagaimana Pena dan Gapena, menginginkan bahasa Melayu. Tetapi itu belum pernah jalan. Sampai kini. Menggunakan ungkapan Kemala, hal itu “melukakan” benar. Di Indonesia, kebahasaan benar-benar tidak menjadi persoalan. Ini, meminjam rumus, Prof. Dr. Umar Kayam, M.A., merupakan satu bentuk keluarbiasaan bangsa Indonesia, bisa dan memang sudah lama berbahasa satu. Ini mukjizat.
Dalam konteks inilah, secara kultural, para sastrawan “Melayu” Malaysia mendekatkan diri ke Indonesia, ke Provinsi Riau, ke Provinsi Sumatera Barat, dan ke Minangkabau atau ke Dunia Melayu (kalau dunia itu memang ada). Malaysia minta perhatian Indonesia? Pertama kali menghadiri Hari Sastra 1980 di Ipoh, Perak Malaysia, antara lain bersama (secara persis, diajak) A.A. Navis, dan Rusli Marzuki Saria, saya menyiasati dan memahami kajian masalah bahasa dan kebahasaan Malaysia mengemuka sangat tajam. Di Malaysia tentu saja ada sastrawan berbahasa Urdu, berbahasa Mandarin dan berbahasa Inggris. Dan mereka tidak kalah hebat dibanding sastrawan Malaysia berbahasa Melayu. Dan pada tingkat tertentu, mereka memang bergaduh. Saya “menyaksikan langsung” pertarungan itu dalam pertemuan-pertemuan sastra di Penang, Kuala Lumpur, Johor Baharu, Malaka, Singapura, bahkan sampai ke Colombo di Sri Langka di hari dan tahun berbeda. Itu bahkan juga terjadi sekarang, dan entah sampai kapan!
Politik Kebudayaan
Dalam suasana demikian, Melayu Malaysia berupaya malakok (mendekatkan diri) ke Minangkabau. Tidak ada yang keliru ketika mereka mendekatkan diri. Tetapi masalah menjadi serius dan bahkan pelik ketika Dra. Hj. Sastri Bakry, Akt., M.Si. dan Dr. Edi Hasymi, dan kawan-kawan, jadi tuan rumah untuk Numera. Dengan segala daya-upaya, termasuk pendanaan, Edi Hasymi dan Sastri menyelenggarakan acara (untuk) Numera? Atau Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat, bangsa Indonesia menaruh atensi besar terhadap Numera dan Malaysia?
Namun, lebih-kurang, lalu apa yang dilakukan sastrawan dan bangsa Malaysia terhadap Indonesia? Kualitas sastra soal lain, namun bukankah beberapa Tenaga Kerja Indonesia tersiksa lahir-batin, babak belur, (maaf) mati anjing di negara tetangga itu? Sastrawan dan bangsa Malaysia tutup mulut, bukan? Bukankah di dunia maya dan di dunia nyata Indonesia diejek dan diolok-olok antara lain dengan kata indon yang menyakitkan? Bagaimana mungkin melupakan, Malaysia meributkan tapal-batas. Apa Sastri Bakry tidak menyadari, beberapa benda dan cipta budaya Indonesia dirampas? Tidakkah setelah peristiwa gempa bumi dahsyat 30 September 2009, Kemala mengeksploitasi duka becana dengan menerbitkan buku puisi Musibah Gempa Padang, Meditasi Dampak 70 (2011). Tidakkah perlakuan ini menggemaskan dan menimbulkan berang? Kita dilanda musibah, lantas Bung Kemala bergembira-ria menerbitkan buku puisi? Saya punya puisi tentang gempa bumi itu, tetapi tidak mengirim ke Kemala.
Menyangkut rencana Temu Sastrawan Numera 1, Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd., yang diminta Sastri Bakry memberi saran, menyatakan, “Ambo indak dalam kapasitas Melayu Raya, Sas. Tidak ada urgensinya terhadap kreativitas. Terima kasih.” Dr. Sastri Sunarti, M.Hum., menanyakan, “Numera ini apa bedanya dengan PSN?” (PSN adalah Pertemuan Sastrawan Nusantara yang punya legitimasi.) Dr. Eva Krisna, M.Hum., menilai pendek: “Sengkarut…” Dan Gus tf berkomentar: “Ah iya, tentu memang Subhan yang membuat Ni Sas berani mengklaim Rumah Puisi ikut mendukung. Trims, Bang …” Nelson Alwi dan Drs. H. Marjohan, M.M. juga memberikan catatan. Seorang dari Badan Bahasa (dulu Pusat Bahasa) Jakarta yang tidak mau namanya disebut, menyatakan, Temu Sastrawan Numera ini perlu disiasati dan disikapi dengan jeli. Ini menyangkut soal politik kesusastraan, politik kebudayaan.
*) Wendi, Mahasiswa Pascasarjana Unand
Dijumput dari: http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=12467:eksistensi-pengadilan-khusus-perikanan-&catid=11:opini&Itemid=187
Tidak ada komentar:
Posting Komentar