Senin, 31 Desember 2012

Kalimire’ng (Sungai Mendengar) “Burung Gagak dan kupu-kupu” *

Nurel Javissyarqi **
http://sastra-indonesia.com

Sebelumnya saya ucapkan Selamat! Atas terbitnya kumpulan sajak berlabel “Burung Gagak dan kupu-kupu” yang memuat kekaryaannya: Didik Hendrik Y, B. Soeryanto, D’Panca Aulia, Ainul Khilmiah, RH Suhud, Chidir Amirullah, S. Huda, Muh Ali Sarbini, Abijar PeA, Rakai Lukman, Aji Ramadhan, dan Gus Bram. Yang dalam pengantar buku ada catatan semacam ini:
“Gresik, banyak melahirkan penulis dan penyair besar. Dapat kita lihat, Mardi Luhung, L. Machalli, Budi Palopo, Taqin, A. Rofiq, Tsalis Aziz, Mustakim, Dukut Imam Widodo, yang dalam gaya penulisannya mempunyai wilayah masing-masing, menjadikan Gresik, sebagaikota yang patut diperhitungkan dalam ranah sastra di regional ataupun nasional, salah satu di antara mereka, merupakan penyair Asia Tenggara. Nama-nama besar tersebut, merupakan penopang keberlangsungan kehidupan sastra di Gresik.”

Karena baru kemarin peroleh datanya lewat e-mail. Jadi tidak mungkin gegabah menghakimi kekaryaan mereka kecuali sepintas, istilah Mh Zaelani Tammaka ‘serampangan’ kala menilai puisi saya di TBS tahun 2001 silam. Maka hanya lihat kemungkinan terdekat mengisari kepala selepas baca sekilas. Hitung-hitung masa pendek dua hari bisa berbagi pengalaman, kala dialog bedah buku 30 Desember 2012. Semoga tidak sehakim konyol menentukan pilihan mematenkan nilai, tak grusa-grusu memandang nasib karya bersama penulisnya. Olehnya, diberangkatkan dari pijakan diri memandang yang sempat terlintas mengeram antara saya, dan tlatah Gresik bersama kehadiran para penyair kota pudak.

Di kala masih bocah, mungkin hanya dalam dunia kecil saya, seminimal lubang telinga pernah dengar sekaligus mata mungil menyaksikan; Gresik terkenal dengan kerajinan pembuat songkok / kopyah, tepatnya di Bungah. Ada rekaman kuat di benak, “songkok sedari Bungah, sarungnya (dari) Samarinda,” dua benda itu menemani saya ke langgar (musholla) masa-masa belia. Dua lubang telinga, dua mata saya, mungkin juga dirasai bebocah jaman itu di kampung Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan (tetangga kabupaten Gresik). Bisa jadi merambati seluruh Jawa Timur, meluas ke pelosok negeri RI, sebagaimana sarung Samarinda (sebuah nama ibu kota provinsi) Kalimantan Timur. Di sini, teringat penyebaran Islam oleh Raden Paku (Sunan Giri, nama lainnya: Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden ‘Ainul Yaqin dan Joko Samudra) lahir di Blambangan tahun 1442.

Dulu agak sering ke areal makam Sunan Giri. Tidak berziarah, sekadar ngopi di warung dekat parkiran kendaraan peziarah. Biasanya selepas dari Kota Pahlawan, tepatnya Jalan Semarang di Surabaya, sehabis membeli buku-buku loakan. Ya, sebelum sampai rumah, beberapa halaman buku saya habiskan baca di warung kopi di Giri, Kebomas, Gresik. Membaca buku lama, sambil nyeruput wedang kopi mengepulkan asap rokok depan makam Joko Samudra, rasanya mendapati ketenangan tersendiri, ketentraman melestari, meski tak berziarah serupa pengunjung nan terlihat sumringah wewajahnya. Jarak saya antara peziarah dengan Kanjeng Sunan Giri seakan tersekat dosa, dari itu memawas diri membetuli jiwa menginsafi kehilafan / kekentiran terlewat. Yang melahirkan puisi, salah satu lariknya tersemat di “Kitab Para Malaikat,” Bagian Muqaddimah: Waktu Di Sayap Malaikat, I – XXXIX, di urutan 28-29 menyebut nama lain serta padepokannya Raden ‘Ainul Yaqin:

Apabila menyelami inti sadarnya alam menjernihkan mata batin,
itulah embun di idep-nya kembang Prabusetmata (XXVIII).

Sengaja melibatkan hukum-hukum langit di bukit Giri
tersebab bumi menggosok-gosokkan tubuh mentari kian renta (XXIX).

Hampirlah seluruh daya “Muqaddimah” datang atas Beliau, yang saya tempa di makamnya Mbah Panji Asmoro, daerah Watucongol, Muntilan, Magelang. Sungguh melimpah kekayaan lahir-batin sejarah di dataran Nusantara, yang selayak dijadikan tembang syair. Itu seyogyanya bagi mereka yang berkehendak menguri-uri (merawat) keadaban, agar peradaban berlangsung indah penuh wibawa sedari nilai-nilai dikandungnya.

Tanah Gresik ada kemiripan dengan Pulau Garam, sebutan telatah Madura yang saya namakan pulau para penyair. Lantaran telah banyak melahirkan sastrawan: D. Zawawi Imron, Abdul Hadi W.M., M. Faizi, Mahwi Air Tawar, R. Timur Budi Raja, Ahmad Muchlis Amrin, Halimi Zuhdy, seterusnya. Gresik selain masyarakatnya bertambak udang, ikan bandang dan berdagang, juga melestarikan tambak garam. Pemandangannya membuat jiwa jenak menikmati hembusan bayu memutar-mutari kincir anginnya menggarami air lautan. Di kecamatan Bungah, selain dikenal songkok, terkenal kerajinan membuat rebana, gitar gambus, alat-alat musik pengiring sholawat; puja-pujian kepada nabi akhir zaman, sang revolusioner tercepat menurut Karen Armstrong di bukunya “Muhammad, A Biography of the Prophet.” Tak diragukan sebagai kota di pesisir pantai utara Jawa, Gresik salah satu kota santri antara kota-kota di Pantura. Hanya sedikit kota di wilayah selatan tanah Jawa disebut kota santri: Jombang, Ponorogo, Magelang, yang masih ada meski tidak semarak, ajaran kejawen bernafas di sana.

Gresik bersebelahan kota metropolitan terbesar kedua Indonesia setelah ibu kota Jakarta yakni Surabaya, juga punya pelabuhan lawas sampai kini digunakan sejalur mengangkuti penumpang menuju pulau Bawean, letak pelelangan ikan serta aktivitas lain. Tersiar kabar, bakal wujud pelabuhan berkelas internasional di Kalimireng oleh pemerintahan kabupaten Gresik, yang berniat mengulang kejayaan masa Maulana Ibrahim dan Sunan Giri, menjadikan pelabuhan sedenyut nadi lajunya perdagangan, untuk para saudagar bertebaran di bumi sholawat Cheng Ho.

Setiap gerak pertumbuhan itu niscaya, olehnya canangan nasib bersetia bakal mengunduh derajatnya. Kala pandangan menyebar bersama kemajuan teknologi di atas perangkat lunak, harum perkembangan informasi dalam dunia siber (cyber) tampak kentara ruang-wewaktu renung diringkus percepatannya. Hanya “Luwih begja kang eling lawan waspada” seujaran agung pujangga Surakarta R.Ng. Ronggowarsito pada seratnya Kala Tida.

Membaca peristiwa ini laksana mendapati pulung, bukan karena apa. Namun saya kerap baca tanda; apakah nama tempat, sebutan desa, pula bentuk lain nan dapat terserap sedinaya kreatif. Kebetulan pulang ke kampung halaman di Lamongan dari bumi Reog Ponorogo, kehendaknya bulan-tahun depan teruskan kembara ke telatah Banten, jadi meski tertuliskan di rumah, rasanya di persinggahan sementara. Keberuntungan berasal sedari kata “bungah,” dalam bahasa Jawa bermakna seneng (senang, gembira). Setidaknya menghibur diri seistilah “urip mung mampir ngombe” di tengah-tengah pengelanaan badan-jiwa. Belajar menyimak tetanda itu diperkuat pengalaman almarhum guru saya KRT. Suryanto Sastroatmodjo, disaat dulu berjalan kaki dengan Beliau ke desa-desa terpencil seputar Yogyakarta.

Di Bungah, terlebih luas Gresik bersederap sejarah masa silam-semilamnya kekinian, sangat layak bercokol insan intelektual di pelbagai pilar, tidak terkecuali kesusastraannya. Kota-kota tumbuh kembang pesantrennya, telah terbitkan berpuluh, kalau kurang pantas dibilang ratusan penyair handal di Tanah Air kita. Lantaran alam pesantren pun mempelajari sesyair, sebagai balutan pengajaran Islam. Mungkin paham sedemikian nekat, tapi nyatalah bibit sumbangsih generasinya menumbuhi sadar menuntut keilmuan sampai negeri Cina, semangat kepedulian mengenyam himkah, bersinahu hingga ke liang lahat, tertanam kuat di benaknya.

Atas kemakmuran lahir-batin sejarah Gresik; pengusaha, pelajar, seniman, khusus sastrawannya, bersungguh merekam purba jengkalan jejak perubahan kotanya. Di sadari, persinggungan terjadi di dunia industri, pendidikan, kesenian; tampaklah pamor mewah kekaryaannya. Secara umum terpandang karya-karyanya layak. Karena bentuknya serupa kumpulan juga terbatasnya waktu saya. Maka hanya menyimak tanda langit bagaimana, awan seperti apa memayungi kreativitas bersastra di kemudian harinya.

Setiap gerak penentu perubahan. Nama penyair di sini tak bisa dipandang remeh. Kumpulan sajak sekadar penanda esok bakal melangkah lebih. Sebab cikal-bakalnya mempuni, tinggal mantangkan waktu memanasi tabungan karya masih tersimpan di laci. Kepenuhan itu dinanti, kepurnaan ditunggu keyakinan sungguh memeram masa pedih. Seibarat daging muda disayat pedang jiwa, darah semangat ngucur beringas menderas sembuhkan luka-luka lama. Yang tidak dihitung mencipta daya membetot suntuk, dengan paksa tanpa terasa ke lubang jarum keindahan bahasanya.

Diri saya kepincut nama “Kalimireng.” Letak dibangunnya pelabuhan bertaraf internasional. Persengketaan tentu ada, seperti gagasan pelabuhan di Paciran, Lamongan. Kata “kalimireng” berasal dua kata, “kali” dan “mireng.” “Kali” artinya sungai, “mireng” saya maknai lewat dua perkara. Sebab perangainya terserapi bentuk penulisan bahasa Indonesia, dan belum tahu yang sebenarnya. Tafsiran melalui dua unsur belahan, demi mengurangi sifat kecelakaan dari kehilafan saya atau perubahan di sana, jika dirunut sampai moyangnya pembuat istilah. “Mire’ng” itu mendengar, kalau memakai huruf: e / i; “mireng atau miring” berarti tidak tegak, tetapi doyong segaris miring atau huruf tercetak miring.

Awal, Kalimire’ng ialah “sungai mendengar.” Kedua, Kalimireng diartikan “sungai yang bidang tanahnya mireng / miring.” Sekali lagi demi menekan tindak serampang berasal dari tumpukan waktu pergeseran keadaban di sana. Kekeliruan penulisan; tepatnya silang perbedaan ucap dari generasi berlanjut. Atau sebutan sedari warga kampungnya dengan warga lain menyatakannya. Dan saya belumlah tahu, apakah di Kalimireng ada kali-nya (sungai-nya)? Umpama ada, tiada perlu disoalkan. Andai tidak, bisa terjadi sungainya menghilang, tertimbun bencana masa silam, airnya mengering, lenyap sumber mata air melewati tubuhnya. Lalu diuruk (ditutup) tanah baru dari lain tempat sebangsanya.

Saya suka cita pengucapan Kalimireng adalah Kalimire’ng bermakna “sungai mendengar.” Ini tersimpan peristiwa makna puitika: Gejolak arus sungai mendengar segala yang dirasai perut bumi, jua yang mengambang di permukaan airnya. Dipetik suatu kisah, dulu ada seorang ibu memandikan anaknya yang masih belia, terseret arus deras sehingga si anak hilang. Sang ibu berkesedihan berat, tidak pulang-pulang sampai larut malam, berhari-hari mencari anaknya terhanyut. Kepedihan terdalam, perasaan melangut seawan kembara tanpa tujuan. Ibunda dari anaknya yang hilang selalu mendengarkan gemericik air kali. Terkadang seolah ada sekelebat bayangan, halusinasi didorong perut nan lapar, perasaan tidak tuntas habis, penderitaan berlarut. Dirinya ceburkan badan berenangan, tetapi tak mendapati jasad dirindu, anaknya yang tersayang.

Tak cukup itu sang suami bersama warga kampung turut mencari. Klenengan puluhan kentongan ditabuh terus bertalu-talu. Oncor (obor) dinyalakan bagi penerang pencarian malam-malam, tapi Sang Kuasa telah mengukir nasibnya, juga takdir sungai. Lenyaplah anak beserta keabadian kisah, sang ibunda senantiasa menanti keajaiban, sambil sesekali melantunkan untaian kata:

Kalimire’ng
dengarlah senandung batin pedih ini,
remuk sudah harapanku kepada hidup.
Anakku, kau dipersunting dengan maut.

Kidung selalu berkumandang dalam kesadaran pencarian, di bawah sadar penderitaan bagaikan lenyapnya awan-gemawan. Hikayat terekam kencang di tiap kepala masyarakat baru Kalimireng. Tumbuhlah tugu penanda kisah lama patut dilestarikan, sekecilnya di tulisan. Meski didera bayu kelupaan, kesilapan. Esok bakal dibuka kemungkinan sahaja, seturut kehendak Sang Maha Esa.

Suatu hari Sultan Abdul Faqih pulang ke Giri melewati desa Kalimire’ng dari lakon kembaranya. Mendengar cerita berkembang di penduduk setempat, kalbunya terenyuh. Di temui sang ibu yang kehilangan anaknnya, dihiburlah dengan ucapan:

“Ibu, tak usah berlarut-larut dalam kesedihan. Semua mewaktu bersegenap kepemilikannya, hanya milik Allah semata. Kita serahkan kehadirat SWT. Saya berdoa, semoga tak lama lagi berdiri pelabuhan, demi mengenang kekisah anak ibu bersama takdirnya. Karena doa-doa peneruslah memuliakan pandangan mata.” 

Sang ibu berlinangkan air mata. Berasa haru pada harapan hampir hambar nan berangsur manisnya. Setelah Sultan terlepas dari sorot penglihatannya.

Jika kata “Kalimireng” bukan berarti Kalimire’ng, namun Kalimireng atau Kalimiring. Asalnya sungai tersebut kerap menyeruak selisih paham. Pertumpahan darah memperebutkan air dialirkan ke perkebunan. Setiap lekuk tanah sungai miring, letak pembagian air tidak merata. Sekisah lama perihal perebutan kuasa, sumber hidup meminta tumbal anak-anaknya. Atas kedua alir peristiwa, terpetiklah balada. Mungkin lewat jalur seirama, para penyair berpesta adonan kata-kata, mencari rahmat-kemungkinan terdekat, merapati bebagian partikel aura kesadaran bersama anak kalimat. Senandung bunyi menyertai tuntunan inderawi, sepelangi melengkungi awan siang hari disertai gerimis. Cahaya surya sepasang bola mata gadis memantuli sungai belum tersentuh kelembutan bebulu mata lain yang meladeni, juga menyingkap kepurnaan ratri hayati.

Sekumpulan sajak ini pun Kalimire’ng ialah tanda, kata-kata bersimpankan peristiwa maknawi. Bukan sumpah, maklumat, atau pernyataan indah di atas harapan yang kemudian hari dikatakan sajak. Seperti sekelompok jahil menganggap Sumpah Pemuda puisi besar. Yang benar, mereka berbohong besar kepada sejarah, melupa suara-suara lama terekam di kali-kali kehidupan. Abai sungai-sungai hayati. Mengiranya ringan sajak-sajak mengalirkan waktu. Senjakala mengalami kebuntuan, apa saja diambil demi menambal jiwa rapuh. Barangkali pikun, kalau kurang pantas disebut tidak membaca pelajaran sejarah.

Sengaja titik akhir menyentil Deklarasi Hari Puisi Indonesia menyoal Sumpah Pemuda di bulan November lalu. Karena dalam tahap penulis Bagian 24: (kupasan ke tiga dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden); bertitel “Dialog Imajiner Mohammad Yamin tentang Deklarasi Hari Puisi Indonesia.” Catatan ini dalam lingkaran masa-masa penggarapan buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia.” Menjadi diperturutkan di lelembar lampiran belakang materi, kelak. Ini saya lakukan demi tidak melupa / terlupa proses dan memudahkan balik fokus yang terkerjakan. Akhirnya engsung tunggu antologi puisi tunggal sampean, reang nanti bersama tumbuhnya rambut ikal memanjang. Salam…

*) Makalah bedah buku kumpulan sajak “Burung Gagak dan kupu-kupu” di Bungah, Gresik, JaTim.
**) Pengelana asal Lamongan, di antara antologi puisi tunggalnya: Balada-balada Takdir Terlalu Dini, Kitab Para Malaikat, &ll.  Di antara buku kumpulan esainya: Trilogi Kesadaran (Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran dan Ras Pemberontak), Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri, &st.
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2012/12/kalimireng-sungai-mendengar-burung-gagak-dan-kupu-kupu/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae