Senin, 11 Juni 2012

“Jong Bataks Bond” dan Nasionalisme Sanusi Pane

A. Yusrianto Elga
http://jejakpengelana.blogspot.com/

“Tiada satu pun di antara kedua pihak berhak mencaci maki pihak lainnya oleh karena dengan demikian berarti bahwa kita menghormati jiwa suatu bangsa yang sedang menunjukkan sikapnya.” Demikianlah pernyataan Sanusi Pane tentang akan dibentuknya perhimpunan pemuda-pemuda Batak yang kemudian disepakati bernama “Jong Bataks Bond.”
Pernyataan itu saya kutip dari Nationalisme, Jong Batak, (Januari, 1926). Dalam naskah itu, Sanusi Pane menyampaikan gagasannya bahwa perhimpunan bagi pemuda-pemuda Batak bukan berarti upaya pembongkaran terhadap de Jong Sumateranen Bond (JSB). Tetapi sebaliknya, menumbuhkan persaudaraan dan persatuan orang-orang Sumatera. Karena itu, Sanusi Pane mengingatkan agar tak ada caci maki antara kedua belah pihak. Semua harus saling menghargai dan menghormati sebagai sesama bangsa, lebih-lebih sebagai sesama Sumatera.

Sebagai pulau yang memiliki keanekaragaman bangsa, tentu hanya persatuanlah yang bisa memajukan Sumatera. Gagasan mendirikan Jong Bataks Bond sebenarnya adalah salah satu upaya untuk mewujudkan persatuan yang bersifat massif di kalangan orang-oarang Sumatera. Sebab bagaimana pun baik bagi orang-orang Minangkabau, Batak, Aceh dan sebagainya, Sumatera adalah tanah tumpah. Hal ini tercermin dalam sajak Mohammad Jamin (1920) yang berumbul “Tanah Air”:

Pada batasan, Bukit barisan,
Memandang aku, ke bawah memandang;
Tampaklah hutan rimba dan ngarai;
Lagi pun sawah, sungai yang permai;
Serta gerangan, lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk, daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatera namanya, tumpah darahku

Sesayup mata, hutan semata,
Bergunung bukit, lembah sedikit;
Jauh di sana, di sebelah situ,
Dipagari gunung, satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya jahat bumi kedunia
– firdaus melayu di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatera namanya, yang kujunjungi

Pada batasan, bukit barisan,
Memandang ke pantai, teluk permai;
Tampaklah air, air segala,
Itulah laut, samudera Hindia.
Tampaklah ombak, gelombang pelbagai
Memecah ke pasir, lalu berderai,
Ia memekik, berandai-andai:
“Wahai Andalas, pulau Sumatera,
Harumkan nama, selatan utara!”

Sajak yang kemudian selalu dinyanyikan oleh para pelajar Sumatera itu menggambarkan suatu spirit dalam menjunjung tanah kelahiran. Teeuw I 1967: 9-13, 20-22), sebagaimana dikutip oleh Hans van Miert dalam bukunya Dengan Semangat Berkobar (2003), mengatakan bahwa dalam sajak itu – dan dalam banyak sajak lain yang diciptakannya di masa itu – mengungkapkan perasaan banyak pelajar Sumatera yang seperti dia menyeberangi selat Sunda untuk meneruskan pendidikan di Jawa. Ketika mereka berada di lingkungan yang asing di kota Batavia, Buitonzorg atau kota yang lain di Jawa, mereka pun mengangankan tanah kelahirannya, lalu mengangankan keindahan alam yang melimpah di Andalas, Firdaus Melayu atau Sorga Melayu yang jauh di mata tapi dekat di hati. Nasion mereka itu tidak salah lagi adalah nasion Sumatera.

Dengan demikian, dalam kaitannya dengan gagasan untuk mendirikan suatu perhimpunan harus disadari sebagai bagian dari komitmen kebangsaan dalam maknanya yang luas. Karena bagaimana pun melalui perhimpunan itu, semangat, aspirasi, dan gagasan pemuda-pemuda dapat terwadahi. Hanya pemuda-pemuda dengan semangat juang penuh motivasi yang tinggi tentunya yang mau mengabdikan hidup dan perjuangannya untuk bangsa.

Dan perhimpunan Jong Bataks Bond bukanlah “perhimpunan tandingan” terhadap JSB. Walaupun banyak yang mengatakan bahwa disamping sentimen nasionalis, motif-motif duniawi lebih memainkan peranan dalam usha mendirikan perhimpunan yang khas Batak, yaitu jengkel dengan keadaan Jong Sumateranen Bond yang selama beberapa tahun berada dalam keadaan limbung, dan menolak dominasi Minangkabau. Ada “suasana menekan” di dalam perhimpunan itu, ada “sikap menahan diri” antara sesama anggota klub (Aminoedin Pohan, JB, 1926).

Namun, sebagaimana yang dikatakan Sanusi pane, berdirinya perhimpunan pemuda-pemuda Batak lebih pada tumbuhnya persatuan yang lebih besar di antara orang-orang Sumatera. “Sekali memilih dalil bahwa kekuatan suatu bangsa sebagian terdapat dalam kebudayaannya maka dengan berpikir secara konsekuen kami telah sampai kepada kesimpulan bahwa suatu Jong Bataks Bond mempunyai hak untuk berdiri.” Demikianlah Sanusi Pane menegaskan.

Selanjutnya, ia tak lupa mengingatkan kepada pemuda-pemuda Batak ihwal komitmen dasar dalam sebuah perhimpunan: “Jika kita ingin agar perhimpunan ini berumur panjang, maka jangan sekali-kali kita memasuki perhimpunan ini dengan pertanyaan keuntungan apakah yang akan kita peroleh, melainkan dengan pertanyaan apakah yang dapat kita berikan. Janganlah kepentingan kita sendiri menjadi pendorong kita untuk menjadi anggota, melainkan rasa cinta terhadap rakyat Batak, yang menantikan tuan-tuan sebagai anak-anaknya dan cinta terhadap cita-cita Pemuda Sumatera.”

Pesan sederhana tapi sarat makna itu memberikian suatu bekal yang cukup berharga agar perhimpunan yang kelak akan menjadi wadah persatuan pemuda-pemuda Batak tidak sia-sia.

Tentang Nasionalisme

Kalau nasionalisme kita pahami sebagai kecintaan kepada bangsa atau Tanah Air, maka internasionalisme mempunyai titik jangkauan yang lebih luas. Seorang internasionalis tidak lagi mepersoalkan identitas bangsa atau negara apa ketika melakukan kerja-kerja kemanusiaan. Semuanya sama, sederajat, dan berhak mendapatkan curahan kasih sayang sebagai sesama manusia.

“Seorang internasionalisme,” kata Sanusi Pane dalam Nationalisme, Jong Batak, (Januari, 1926), “tidak usah berhenti bekerja buat negaranya, ya, bahkan cita-citanya itu merupakan cambuk untuk bekerja terus tanpa lelah bagi tanah tumpah darahnya. Akan tetapi pekerjaannya tidak semata-mata dibaktikannya kepada bangsanya melainkan kepada kemanusiaan pada umumnya.”

Jangkauan dari internasionalisme, dengan demikian, jelas lebih luas karena semangat kemanusiaanlah yang sejatinya mendorong nuraninya untuk berbakti. Sebab semangat kemanusiaan berada di atas segala. Dalam konteks inilah Sanusi Pane mengingatkan, utamanya kepada pemuda-pemuda Batak, bahwa yang mendorong internasionalisme bukanlah kebencian, melainkan cinta, yang tidak mengenal batas materi, ia bekerja untuk bangsanya, demi kepentingan manusia seluruhnya, oleh karena bangsa adalah sebagian dari seluruh manusia.

Dengan begitu gagasan internasionalisme tidak menutup pintu bagi nasionalisme. Banyak orang mengatakan bahwa antara nasionalisme dan internasionalisme tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan satu asumsi : keduanya terpisah. Nasionalisme bagaimana pun adalah paham yang mengajarkan kesejatian, bagaimana kita mampu mencurahkan segala daya demi Tanah Air tercinta. Seorang nasionalis tidak tertutup kemungkinan menjadi penganut internasionalisme atau sebaliknya oleh karena rasa cinta terhadap manusia dan kemanusiaan. Jadi, atas dasar kemanusiaanlah yang mendorong nurani setiap manusia untuk saling berbagi, tolong-menolong, hingga terjalin persatuan yang meniscayakan kedamaian.

Di Indonesia, kita mendapatai kenyataan yang kurang menggembirakan, yakni ihwal nasionalisme dan internasionalisme yang diasumsikan sebagai dua paham yang tidak bisa didamping-dampingkan atau disatupadukan menjadi satu kekuatan. Seorang internasionalisme yang mengimpikan perdamaian di dunia, misalnya, seringkali tidak mendapatkan apresiasi dan bahkan dianggap sebagai utopian belaka oleh karena gagasannya dianggap tidak sejalan atau bahkan mungkin keliru.

Dalam konteks ini menarik apa yang digambarkan oleh Sanusi Pane: “Dalalam bergeloranya ombak gagasan timbul pikiran tentang perdamaian dunia bagaikan sebuah bintang pada pekatnya langit hitam di cakrawala, sambil mendendangkan lagu bagi orang-orang yang haus akan pembebasan dari lumpur hidup yang melandasi segala tipu daya politik, dengan kata-kata sebagai berikut: Pilihlah saya yang sedang kemilau di atas segala orang besar sedunia sebagai penunjuk jalanmu! Ikutilah saya ke ruangan penuh berisikan kebahagiaan rohani, ke ruang-ruang tanpa batas, penuh dengan paduan suara menggelora dengan riangnya! Saya adalah utusan Sang Cahaya nan Remaja Kembali, saya adalah nada Symphoni yang mengelu-elukan tuan dari Kehidupan Abadi, Mari, kemari, ikutilah saya!”

Namun lagu dari Dunia Kemilau itu, demikian menurut Sanusi Pane, hanya separuh dipahami orang. Mereka yang membangunkan cinta internasionalisme dari deburan ombak di masa itu, masih dinamakan kaum utopia, tukang mimpi yang tak berdaya yang hanya mampu melagukan lagu tentang indahnya bulan dan damianya kelap-kelipnya bintang di langit. Seorang internasionalisme tak lebih hanya dianggap sebagai penghayal akan idealisme atau sesuatu yang diimpikan.

Bagaimana mungkin kita bisa menerima dengan asumsi ini kalau pada kenyataannya internasionalisme mempunyai visi kemanusiaan yang cukup mendasar, yakni cinta dan pengabdian. Jelas tak ada yang bertentangan, antara nasionalisme dan internasionalisme saling mendukung. Bahkan kedua-duanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Kalau saya berpendapat, seorang sejati adalah ia yang mempunyai spirit nasionalisme sekaligus internasionalisme. Nasionalisme tanpa internasionalisme hanya akan memunculkan pandangan yang sempit (nasionalisme ekslusif). Memang pada satu sisi hal semacam ini sangat positif karena meniscayakan adanya suatu kekuatan, yakni kecintaan yang maha dahsyat terhadap bangsa dan Tanah Airnya. Tetapi pada sisi yang lain, nasionalisme sempit atau ekslusif akan mengobarkan api egoisme, yakni memandang bangsa lain dengan amat rendah.

Karena itu, nasionalisme harus selalu disandingkan dengan internasionalisme agar memunculkan suatu pandangan yang terbuka. Internasionalisme meniscayakan adanya penghormatan dan penghargaan terhadap manusia lain terlepas ia berasal dari bangsa dan negara mana.

Dijumput dari: http://jejakpengelana.blogspot.com/2008/03/jong-bataks-bond-dan-nasionalisme_15.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae