Senin, 11 Juni 2012

Labirin Kekejaman

Triyanto Triwikromo
Koran Tempo, 10 Juni 2012

Aku tahu ketika saat itu tiba kau akan mencariku. Mirip para penjelajah agung, kau akan menafsirkan setiap jejak yang kutinggalkan. Tidak gampang, karena bertahun-tahun aku bungkam, bertahun-tahun aku menyimpan riwayatku di keheningan lereng gunung, di kesunyian ujung tanjung. Mungkin kau tidak akan pernah menemukan aku.
Mungkin kau hanya akan memergoki jejak-jejak kaburku.

MEREKA, pada Oktober tanpa tipus atau desen tri, mengetuk pintu se tiap rumah di Alas, me nangkap, dan menciduk secara sembarangan orang-orang yang dianggap berkomplot membunuh para jenderal dalam Tarian Harum Bunga di Lubang Buaya. Para serdadu rahasia yang tidak pernah tercatat dalam kesatuan itu datang seperti wabah. Malam itu, mereka dengan dingin menembak siapa pun yang berlari ke hutan. Mereka juga dengan dingin menusukkan bayonet ke lambung orang-orang malang yang saat diinterogasi menjawab berbelit-belit segala pertanyaan yang merontokkan keberanian.

Jika kau tidak ingin merasakan kekejaman tiada tara, jangan pernah berharap bertemu mereka. Baiklah, jika kau tidak percaya, akan kuceritakan apa yang terjadi pada Magdalena Markini. Hanya karena tidak mau menunjukkan persembunyianku, Magda, kakak perempuanku, dibakar hidup-hidup, di halaman rumah.

Sungguh, sebelum dibakar, kusaksikan dari atas pohon rambutan, seorang serdadu menghajar kepala Magda dengan gagang senapan. Bukan hanya itu. Begitu tersungkur, serdadu yang lain menginjak kepala rapuh Magda dengan sepatu lars, sehingga hidung dan mulutnya penyok.

"Kau sembunyikan di mana Elisabet Rukmini, penari pembunuh itu?" Magda tidak menjawab. Ia membuat tanda salib dengan menempelkan ujung jari di kening, dada, dan kedua bahu, sambil berkomat-kamit.

"Jangan menipu kami dengan pura-pura berdoa!" seorang serdadu menghunjamkan sepatu lars ke dada Magda, "Bukankah telah lama Tuhan telah kalian bunuh? Kenapa sekarang pura-pura memuja-Nya?" Magda tetap bungkam dan sekali lagi berkomat-kamit. Mungkin dia berharap Kristus akan datang menyelamatkan dirinya pada saat tak seorang pun berani melawan para serdadu bengis itu. Dan Kristus memang telah terbunuh, sehingga tak mungkin turun ke bumi hanya untuk menyelamatkan Magda.

Karena itu, tak ada keajaiban ketika seorang serdadu tiba-tiba berjongkok dan menyundutkan rokok yang masih menyala ke mata Magda. Magda menjerit, tetapi tak satu penduduk kampung mendengar suaranya. Mungkin mereka sudah dibakar juga. Mungkin mereka telah pergi sebelum para serdadu pembunuh tiba.

"Sekali lagi... di mana kau sembunyikan Elisabet Rukmini? Kau tahu apa yang diperbuat adikmu pada 30 September?" Magda, yang disiksa hanya karena menjadi kakak seorang yang dianggap sebagai pembunuh para jenderal, menggeleng.

"Kau tahu hukuman orang yang menyembunyikan pengkhianat negara?" Magda tetap menggeleng.

"Baiklah. Sebentar lagi kau akan tahu apa hukuman yang pas untukmu..." Lalu seorang serdadu mengguyurkan minyak tanah ke tubuh Magda. Mereka membakar tubuh indah kakak perempuanku yang senantiasa merasa hidup sehati de

ngan Kritus, tetapi tak pernah mendapatkan pertolongan dari Putra Nazareth itu.

Sebenarnya saat melihat Magda berlari ke sana kemari dengan tubuh penuh nyala api itu, aku ingin menjerit. Aku ingin setidak-tidaknya bisa mengalihkan pandangan para serdadu agar mereka tidak terus-menerus menyiksa Magda.Tetapi niat itu kuurungkan. Aku harus hidup. Kelak aku harus mewartakan kekejaman para serdadu bengis itu. Aku tidak mungkin bisa menceritakan apa pun kepadamu jika mereka membunuhku saat itu.

Karena itu, apa boleh buat aku harus menyaksikan tubuh Magda pelan-pelan jadi abu dan debu. Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menunggu para serdadu pergi.

Sambil menunggu aku tidak berdoa untuk keselamatanku.Tubuh Magda yang pelan-pelan meleleh, mata yang tak bisa berteriak saat disundut rokok, atau bibir yang mengatup saat bayonet ditusukkan ke lam bung itu, bagiku cukup menjelaskan Kristus berada di pihak mana?

BULAN tidak menyala di ujung B hutan saat aku meninggalkan kampung yang terbakar itu.

Karena itu, setelah turun dari pohon rambutan, aku berlari menembus jalanan gelap yang berlawanan dari arah para serdadu pergi. Meskipun demikian, aku tahu ke mana harus melesat, ke mana harus mencari keselamatan.

Hanya, tidak mudah dalam kegelapan yang teramat pekat, aku menemukan tempat persembunyian.

Sebab untuk mencapai persembunyian teraman, yakni sebuah gereja di seberang desa, aku harus menembus puluhan kebun mawar penuh duri, menyeberang sungai cukup deras, dan menyusup ke gua penuh kelelawar.

Penderitaanku sepertinya melebihi kesakitan Kristus. Agar sampai ke tiang salib, tiang penyelamatan Allah untuk putra terindah, Kristus memang harus mengenakan mahkota duri. Tetapi aku? Seluruh tubuhku harus ditancap ribuan duri runcing agar sampai ke sungai itu.

Cukup lama aku harus terjebak dalam keindahan kebun mawar yang menyakitkan itu. Cukup lama karena setiap bisa menembus satu kebun, aku harus menembus kebun mawar yang lain.

Pada saat seperti itu, pikiranku sudah melesat ke gereja. Aku bertemu dengan Romo Sindhu dan segera memberi tahu segala hal yang telah terjadi pada Magda. Aku bilang pada paderi santun itu betapa Kristus tidak berkutik di hadapan para serdadu yang bengis dan begitu digdaya.

Akan tetapi, nyatanya, tubuhku masih terjepit di kebun mawar berduri. Jika beberapa saat lagi aku bisa melepaskan diri dari jebakan kesakitan dan keindahan ini, aku juga masih harus berenang di sungai deras dan dingin. Jika sungai itu bisa kutaklukkan, belum tentu aku bisa menyusup gua tanpa obor.

Jadi, memang rasanya mustahil mewartakan kekejaman serdadu kepada orang lain. Sebab jika bisa keluar dari jebakan gua, tidak mungkin para serdadu rahasia dari kesatuan lain membiarkan aku melenggang ke gereja Romo Sindhu.

Meskipun demikian, aku yakin Romo Sindhu menantiku dengan sabar. Romo Sindhu akan sabar pula mendengarkan seorang perempuan yang terluka mewartakan kabar tak menggembirakan tentang sebuah kampung yang terbakar dan puluhan warga yang dihajar serdadu dalam kegelapan.

KU terjun ke sungai tepat ketiA ka puluhan ular keluar dari lu bang persembunyian. Ular-ular itu hendak bermigrasi ke lubang-lubang lain. Aku tak bertanya kepada ular mengapa mereka harus berpindah dari hilir ke muara. Dan karena tidak ingin bersentuhan dengan ular-ular menjijikkan yang hanyut di permukaan air, aku memilih menyelam dan sesekali menongolkan kepala untuk menghirup udara.

Rupa-rupanya ular-ular itu tidak disusupi oleh iblis atau Lucifer, sehingga mereka tidak berhasrat menggoda keturunan Hawa. Bahkan karena pada saat sama mereka memiliki keinginan lain, sedikit pun mereka tidak berkehendak memagut atau membelit tubuh manusia yang telah terluka. Karena itu sambil menahan perih, aku terus menghanyutkan tubuh hingga mencapai ujung, hingga mencapai bibir gua.

Kau tahu, di bibir gua itu, air tak lagi mengalir dengan deras. Sungai di bawah gua juga tidak ganas. Ini memudahkan aku melewati jebakan terakhir dengan sedikit tenang.

Meskipun demikian, aku tidak boleh lengah. Di tengah gua yang dialiri sungai di bawah tanah itu, aku pernah mendengar dari para penjelajah, ada pusaran air yang bisa menyedot siapa pun hingga ke kedalaman 20 meter. Jika aku tidak beruntung, bukan tidak mungkin tubuhku akan tersedot dan akhirnya terjepit di gorong-gorong gua.

Hanya, kau pun tahu, gua tidak akan menyakiti siapa pun yang menjelajah rongga-rongga tubuhnya jika mereka patuh pada aturanaturan yang seakan-akan telah diguratkan di dinding-dindingnya.

Pertama, jangan pernah meneriakkan kata-kata konyol ketika berada di zona kegelapan abadi yang tepat berada di pusat gua. Kata-kata yang kemudian bergema berulang-ulang itu hanya akan membingungkan dan akhirnya berubah jadi dengung yang menyiksa telinga.

Jika telinga sudah tersiksa, kau akan bingung, dan akhirnya mencoba menghindar dengan menyusup ke kedalaman sungai di bawah tanah. Pada saat itulah kau tidak tahu pusaran air akan menyedot dan menenggelamkanmu.

Kedua, jangan pernah membunuh segala satwa yang ada di dalam gua.

Para satwa sangat peka dan tahu siapa yang berbuat jahat kepada mereka dan sanak saudara. Jika yang kausakiti seekor ular, ular itu akan menyimpan wajahmu di matanya. Sanak saudara ular akan bisa melihat wajahmu di mata ular yang terbunuh sehingga dalam waktu singkat mereka akan memburumu.

Ke ujung dunia kau pergi, ular-ular itu akan menguntitmu.

Ketiga, jangan membawa dan meninggalkan apa pun di dalam gua.

Kau jangan berhasrat memotong stalaktit atau stalakmit, karena pada saat sama batu-batu runcing itu akan berhasrat menusuk lambungmu.

Karena itu dengan rasa hormat pada segala yang hidup di dalam gua, aku berenang di sungai bawah tanah itu. Aku hafal lekuk liku gua karena sejak kecil bersama temanteman sebaya, telah berulang-ulang melintasi keindahan alam berjarak kurang lebih 350 meter itu untuk sampai ke gereja Romo Sindhu.

Pada waktu kecil, kami seperti menemukan surga ketika bisa menembus gua itu. Dan selalu sesudah itu Romo Sindhu bilang kepada kami, "Ya, kalian telah menemukan surga!", sehingga kami berulangulang berlomba-lomba menuju ke gereja Romo Sindhu ketika hari Minggu tiba.

Apakah aku akan sampai di ujung gua? Aku tidak tahu. Aku hanya merasa Romo Sindhu dengan wajah berbinar menyambut kedatanganku.

DULU pada usia 12 tahunan, D setelah aku berhasil menyem bul dari sungai di bawah gua, Romo Sindhu bertanya kepadaku, "Apa saja yang telah kau lihat di dalam gua, Elisabet Rukmini?" "Aku tidak melihat apa-apa, Romo, kecuali kelelawar dan kegelapan?" "Kau tidak melihat pahatan tubuh Kristus tersalib?" "Aku tidak melihat tubuh Kris tus, Romo."

"Kau tidak melihat tubuh Magda dewasa dibakar oleh para serdadu?" "Aku tidak melihat tubuh Magda, Romo."

"Kau tidak melihat tubuh dewasamu diburu oleh para serdadu?" "Aku tidak melihat tubuhku, Romo."

"Kau tidak melihat semua yang akan terjadi telah diguratkan di dinding gua?" "Aku tidak melihat semua yang akan terjadi tergurat di dinding gua, Romo."

"Sungguh?" "Sungguh, Romo."

Romo Sindhu tidak marah mendengar jawaban-jawabanku saat itu. Ia mengusap rambutku dan berbicara lirih sekali,"Kelak kau akan melihat semua yang telah tergurat di dinding gua jika waktunya telah tiba."

ALU, apa yang sesungguhnya L kulihat di dalam gua pada Ok tober 1965 yang perih itu?

Mungkin karena halusinasi, aku seperti melihat tubuhku disalib oleh para serdadu bengis. Mereka beramai-ramai menusukkan bayonet ke lambung, hingga tubuhku terku lai, hingga aku tidak mampu berbuat apa pun.

Tidak kupedulikan pahatan-pahatan aneh itu. Aku hanya ingin segera bertemu Romo Sindhu, paderi yang tampak tidak pernah uzur itu.

Aku hanya ingin tersungkur di halaman gereja dan berharap Romo Sindhu membopongku sebagaimana Bunda Maria melakukan hal sama pada tubuh Kritus yang terkulai tak berdaya.

Akan tetapi, nyatanya, aku masih harus melewati sedotan air di zona kegelapan abadi. Sedotan itu sungguh tidak terhindarkan sehingga tidak ada gunanya mengingat apa pun yang layak kita sebut sebagai kehidupan. Pada saat kritis semacam itu, aku hanya percaya pada kata-kata ibuku: ngelia ning aja keli, ikutilah arus, tetapi jangan sampai hanyut.

Karena itu, aku tidak melawan pusaran air. Kubiarkan tubuhku disedot. Kubiarkan tubuhku dilemparkan ke permukaan. Kubiarkan arus yang tenang membawaku ke bibir gua, bibir yang mendekatkan aku pada gereja Romo Sindhu.

AKU merangkak untuk sampai A ke pintu gereja. Aku mengetuk keras-keras pintu itu agar Romo Sindhu bergegas membuka dan membopong tubuhku yang tidak berdaya. Akan tetapi seperti tak ada kehidupan di gereja itu. Seperti tak ada yang mendengar ketukanku di pintu yang telah rapuh itu.

"Romo, buka pintu! Tolong aku!" Tetap tidak ada sahutan dari dalam.

DI MANA paderi terindah itu D sekarang? Mengapa dia justru meninggalkan aku pada saat kubutuhkan? Sebagaimana Kristus meninggalkan Magda, mengapa Romo Sindhu juga meninggalkan aku pada saat aku begitu berhasrat memohon pertolongannya?

Jawabannya sungguh di luar dugaan. Begitu pintu yang ternyata tidak terkunci bisa kubuka, aku melihat kepala Romo Sindhu pecah berlumur darah. Matanya yang mendelik ke arahku seakan menahan kesakitan.

Aku tahu: beberapa orang pasti telah menghajar Romo Sindhu dengan sangat kejam. Darah juga mengucur dari lambung Romo. Itu berarti seseorang telah menusukkan semacam tombak atau bayonet atau lembing ke lambung Romo yang rapuh. Dada Romo juga hancur. Sese orang--mungkin lebih--pasti telah menginjak tubuh ramping Romo dengan hentakan sepatu lars yang keras.Yang mengejutkan zakar Romo juga dihabisi. Tampaknya ditembak dari jarak dekat, sehingga zakar itu kocar-kacir.

Kekejaman itu mungkin telah terjadi cukup lama sehingga begitu banyak lalat merubung mayat Romo Sindhu. Tentu saja aku kehilangan senyum Romo Sindhu. Mulutnya penyok. Giginya rompal.

Mayat Romo Sindhu memang belum membusuk. Akan tetapi siapa pun yang melihat, tidak akan sanggup menghindar dari kemualan yang menyodok-nyodok perut. Mayat itu begitu menjijikkan. Mungkin Kristus pun tidak akan sanggup menahan kematian yang mengenaskan itu karena para pembunuh menghabisi Romo Sindhu seperti membantai seekor kambing.

ENGKAU mungkin mengira paE ra iblis sengaja berkomplot menyerbu desa itu untuk membunuh Romo Sindhu. Aku tidak percaya sangkaan semacam itu. Aku punya kesimpulan lain. Mungkin sebagaimana Magda tidak mau membocorkan di mana persembunyianku, Romo juga tidak mau menun jukkan di mana umat-umat yang dicurigai terlibat sebagai pembunuh para jenderal itu berada. Dan karena Romo Sindhu bungkam, para serdadu itu membunuhnya. Ya, sesederhana itu perkiraanku.

Mungkin dugaanku salah. Akan tetapi jika melihat luka-luka di sekujur tubuh Romo Sindhu yang teramat mirip dengan luka-luka Magda, aku yakin pembunuh mereka berdua berasal dari kamp latihan yang sama. Itu berarti jika pembunuh Magda tak kurang dan tak lebih adalah para serdadu, maka pembunuh Romo Sindhu pun tak jauh-jauh amat dari lembaga ketentaraan.

Tentu saja jangan kau tanyakan dari kesatuan mana para serdadu itu. Kehadiran mereka yang bagai wabah jelas tidak tercatat di dokumen mana pun. Para pengadil kejahatan perang tak akan bisa menghukum para petinggi militer karena memang tidak ada satu catatan pun yang mampu melibatkan mereka sebagai otak pembunuhan paling keji di negeri ini.

Lalu, siapa yang membunuh Romo Sindhu? Saat itu tak seorang pun tergerak untuk menjawab. Jika tahu jawabannya pun, mereka tidak akan pernah mewartakan kabar pembunuhan itu kepada orang lain. Pengetahuan tentang pembunuhan, kau tahu, hanya akan berputar-putar di hati dan terkubur bagai mumi.

ADI apa yang bisa kulakukan J saat itu? Tak ada.Tindakan ajaib tidak pernah dimiliki oleh perempuan rapuh. Kemenangan dan kedigdayaan dikuasai oleh mereka yang mempunyai senapan dan sepatu lars, sehingga mustahil aku bisa mengubah dunia hanya bermodal keinginan untuk mewartakan kekejaman para serdadu kepada orang lain yang telah kehilangan telinga.

Karena itu lebih baik aku tidak perlu berbuat apa-apa. Aku akan pura-pura mati sehingga ketika para serdadu tiba, mereka tidak perlu capai-capai membunuhku.Ya ya, ini pilihan cerdas. Sebagaimana macan bodoh yang tak mengendus mangsa tak berdaya, para serdadu tidak akan menjamahku. Aku tahu para serdadu akan beringas jika mereka berhadapan dengan mangsa yang juga beringas.

Tetapi untuk pura-pura mati bukanlah pekerjaan gampang. Aku harus bisa mengatur napas agar tidak menimbulkan deru. Aku harus mengatur detak jantung agar tak seorang pun mendengarkan bunyinya yang gaduh.

Dan sial, sebisa-bisa kulakoni kepura-puraan itu tetap saja aku gagal menahan kentut. Entah akibat suara kentut atau memang telah lama para serdadu mengintip seluruh gerak-gerikku, mereka tiba-tiba muncul dari persembunyian dan beradu cepat mengepungku.

"Kau tidak perlu bersembunyi lagi! Kau tidak punya lagi kesempatan untuk lari!"

LARI? Ke mana harus berlari?

 Pikiranku mungkin bisa berla ri, tetapi tubuhku mustahil digerakkan untuk sekadar merangkak. Karena itu, kuputuskan untuk diam saja. Aku yakin begitu aku mematung, para serdadu akan bergeming. Mereka tidak akan menusukkan bayonet ke lambungku. Mereka tidak akan menyundutkan rokok ke mataku. Mereka tidak akan menginjakkan sepatu lars ke wajah sehingga mulutku tidak penyok dan gigi tidak rompal.

"Namamu Elisabet Rukmini?" Aku diam.

"Namamu Elisabet Rukmini? Jangan sampai kami salah membunuh!" Aku tetap diam.

"Sekali lagi namamu Elisabet Rukmini? Kau tak ingin kami membunuhmu bukan? Ayo jawab?" Tak ada gunanya menjawab pertanyaan itu.Aku tahu mungkin mereka memang tidak diperintahkan membunuhku sehingga tidak perlu aku mematuhi gertak sambal sialan itu.

Pada saat-saat seperti itu aku justru punya kekuatan. Kekuatan meredam amarah. Kekuatan untuk tidak melawan kekejaman.

Apakah salah tidak melawan kekejaman?

Aku tidak perlu menjawab pertanyaan itu. Dijawab atau tak dijawab tetap saja salah seorang serdadu menggebuk tengkukku dengan gagang senapan hingga aku pingsan, hingga aku tak tahu ke mana mereka mereka menyeret tubuhku.

Kekejaman telah menjelma kekuatan yang tidak bisa dilawan, sehingga akan sia-sialah siapa pun yang berusaha mencekik kedigdayaannya. Karena itu, setelah siuman, aku tak peduli lagi pada apa pun yang terjadi. Aku tak takut lagi pada senapan atau sepatu lars yang mengancam. Aku tak takut lagi pada tusukan bayonet di lambung.

Aku tak takut lagi apakah dalam semenit atau lima menit ke depan aku masih bisa bernapas atau memimpikan kebebasan.

Sungguh, saat itu aku benar-benar tak takut lagi mendengar hentakan sepatu lars dan senapan yang dikokang. Aku tak takut pada ketakutan.

Semarang, 20 Mei 2012
*) Triyanto Triwikromo bekerja sebagai wartawan dan dosen di Semarang, Jawa Tengah. Buku cerita pendeknya, Ular di Mangkuk Nabi (2009), yang beroleh Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa; dan buku puisinya, Pertempuran Rahasia (2010).
Dijumput dari:  http://www.facebook.com/notes/triyanto-triwikromo/labirin-kekejaman-koran-tempo-10-juni/10150937867304774

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae