Minggu, 18 Maret 2012

Ludruk Tobong

Darwis Rifai Harahap
http://www.analisadaily.com/

Bagi saudara-saudara kita yang tinggal di perkebunan, seperti Desa Sentis, Sampali, Hamparan Perak dan Marelan, kesenian Ludruk adalah kesenian rakyat yang akrab dengan mesyarakat setempat. Sayangnya, kesenian rakyat yang bernama Ludruk itu tak mampu bertahan hidup, karena kalah bersaing dengan saudara angkatnya yang dari barat.

Ludruk secara perlahan tergeser oleh film dan televisi. Jangankan di Sumatera Utara , di daerah asalnya Jawa Timur, Ludruk juga tinggal kenangan. Satu-satunya grup ludruk yang masih bertahan di Surabaya adalah kelompoknya Sakia Sunaryo yang masih setia manggung di Taman Hiburan Rakyat Tambak Sari. Walau jadwal mentas Ludruk Tobong pimpinan Sakia Sunaryo, seminggu dua kali dengan penonton paling banyak 10 sampai 30 orang saja.

Itu tidak menurunkan semangat buat Sakia dan teman-temannya untuk tidak manggung lagi walau hasil yang diperoleh jauh dari mencukupi. Ludruk Tobong yang dia dirikan sejak tahun 1987 itu memang tidak berharap hidup dari penjualan tiket yang mereka peroleh.

Supri, waria yang usianya tidak muda lagi, membuka salon kecantikan. Begitu juga Ani yang nama sebenarnya adalah Wono, membuka usaha jahit menjahit dan dia mengaku sangat mencintai kesenian Ludruk yang dia ikuti sejak usia remaja.

Kini usia Ani sudah mendekati setengah abad. Kecintaannya kepada seni lakon yang dia dapat sebagai warisan dari kedua orang tuanya, tak mungkin dia tinggalkan walau seni Ludruk tak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Ternyata hal yang sama juga dialami kelompok Ludruk yang ada di desa Sampali dan Sentis. Seni Ludruk , seperti yang dialami saudara-saudaraya di Surabaya, grup Ludruk yang pernah jaya di perkebunan-perkebunan yang ada di Sumatra Utara, kini hampir tak terdengar lagi kegiatan mereka.

Kembali ke Ludruk Tobong yang ada di Surabaya. Walau main Ludruk tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, Sakia, Ani, Supri dan teman-teman mereka yang lainnya, sebagai seniman ludruk, mereka bekerja secara professional. Pemain tidak perlu sibuk sendiri memakai costum, make up dan menyetrika pakaian yang akan di pakai manggung. Masing-masing bidang sudah ada yang mengurusi.

Ludruk Tobong memang tidak mampu menghidupi pemainnya dari hasil penjualan tiket. Mereka yang terlibat dikelompok Sakia Sumaryo itu memang tidak berharap selain dikarenakan kecintaan mereka pada seni Ludruk yang mereka warisi. Mengharap berjubelnya penonton yang membeli karcis masuk, sekarang ini cuma ada dalam mimpi. Itu sepertinya tak mungkin. Saingan dari acara-acara yang disiarkan televisi, film bioskop dan beragam jenis hiburan lainnya, buat Sakia dan teman-temannya yang terpenting adalah menjaga kesenian Ludruk Tobong jangan sampai musnah di telan zaman.

Bagaimana dengan seniman-seniman Ludruk yang ada Sumatera Utara? Manggung rutin di sebuah gedung pertunjukan, Ludruk di Sumatera Utara memang tak pernah mendapat kesempatan. Seperti kelompok seni pertunjukan lainnya, Ketoprak Dor, Bangsawan dan grup-grup teater Modern yang ada di Sumatera Utara menyelenggarakan pertunjukan menunggu sponsor yang memang perduli akan kesinambungan seni pertunjukan yang begitu lama dijauhi penonton. Atau paling tidak menunggu hajatan yang memang memilih Ludruk sebagai suguhan hiburan untuk para undangan.

Seni Ludruk sebenarnya masih ada di Sumatera Utara walau jumlahnya tidak begitu banyak. Salah seorang tokoh Ludruk satu angkatan dengan Sirtoyono Almahrum, yaitu Jalal, yang juga seorang pelawak yang handal di Sumatera Utara, diwaktu senggangnya aktif bermain Ludruk.

Apa sebenarnya keistimewaan dari kelompoknya Sakia Sunaryo dan semua personil Ludruk Tobong yang terdiri dari seluruhnya pria dan waria itu? Sebagai pewaris setia dari kejayaan Ludruk Marhaen di tahun 60-an yang pernah membuat film tentang profail Ludruk Marhaen di zaman pemerintahan Presiden Soekarno yang memang sangat memenfaatkan seni teater selama di pembuangan sebagai sarana pendidikan kala itu, Ludruk Tobong pimpinan Sakia bekerja secara prfesional. Dedikasi anggota yang memang benar-benar setia, kecintaan mereka pada seni Ludruk itulah yang membuat mereka terus bertahan menampilkan seni Ludruk Tobong di Gedung Ludruk Taman Hiburan Rakyat Jalan Bumi Harjo Wonokromo Surabaya.

Kehidupan rata-rata personil Ludruk Tobong yang semua anggotanya pria dan waria itu memang jauh dari kehidupan gemerlapan bintang-bintang yang sering nongol di televisi. Kegiatan bintang Lenong Tobong luput dari kejaran infotaintmen. Berita tentang pertunjukan Ludruk Tobong yang terkadang memasang judl-judul seram diposter yang terpajang, seperti judul “Cincin Berdarah” , ” Maut di Ujung Keris” dan puluhan judul seram lainnya tetap tidak menarik minat orang banyak untuk datang berbondong-bondong menonton pertunjukan Ludruk Tobong.

Barangkali itu juga yang membuat banyak orang muda tidak begitu tertarik untuk menggeluti kesenian Ludruk. Bila ada audisi acting untuk pembuatan senetron atau film, peminatnya berjibun. Untuk seni Ludruk? Tunggu dulu. Barangkali banyak orang muda yang beranggapan kesenian Ludruk pantasnya cuma ditampilkan di pinggiran sebagai hiburan kelas murahan. Pada hal Ludruk Tobong pimpinan Sakia yang dibentuknya sejak tahun 1987 itu, dan masih bertahan sampai sekarang, bekerja secara profesional dengan penghasilan yang jauh dari cukup.

Ani (waria) mengaku senang ikut Ludruk Tobong bukan karena ingin tenar dan mendapatkan rezeki berlimpah, tapi karena dia kadung telah jatuh cinta kepada seni Ludruk. Begitu juga dengan Supri yang juga waria. Supri tidak menggantungkan hidupnya dari bermain Ludruk. Dia membuka salon kecantikan. Dia hidup dari rejeki lain. Begitu juga dengan yang lainnya. Ada yang pedagang kaki lima, supir angkot dan ada juga yang pegawai honor di salah satu instansi pemerintahan.

Sri Mulat, salah satu kelompok sandiwara profesional yang pernah eksis di tahun 80-an, satu-satunya grup sandiwara yang tiap malam manggung dua kali di taman ria remaja Jakarta, dengan personil pemain bintang seperti Gepeng (Alm), Tarzan, Asmuni, Juju, Nunung, Basuki (Alm) dan yang lainnya, tersohor karena kemampuan Teguh sebagai pimpinan memanej Srimulat dan terkenal bertangan dingin, benar-benar mempercayai anggotanya menangani urusan menerima pesanan kepada Tarzan.

Di tahun 80-an Basuki, Tarzan dan Gepeng menerima honor paling tinggi Rp. 6.000,- untuk dua kali pementasan. Urusan keuangan tanggung jawab bendahara. Sebagai Pimpinan Teguh (Alm) tidak pernah mau tahu dengan urusan keuangan. Akhirnya Srimulat pecah kongsi juga, dikarenakan masalah sepele. Yaitu “duit”.

Ditahun 70-an Teater Populer pimpinan Teguh Karya dipercaya untuk tetap mentas di aula Hotel Indonesia. Memang tidak setiap malam ada pementasan. Setiap Teater Populer manggung di Hotel Indonesia, kursi penonton tetap padat. Ternyata Teguh Karya (Alm) menerapkan system donator. Kiat ini dipakai Teater Populer agar antara penontonnya dan pekerja seni teater terjalin keakraban.

Teguh berhasil. Begitu Teguh Karya sibuk menyutradarai film, aksi panggung Teater Populer menjadi goyang. Kalaupun ada pementasan dari Teater Populer, mereka cukup mentas di sangar atau mentas di Taman Ismail Marzuki. Tak berapa lama kemudian, Nano Riantiarno membentuk Teater Koma. Setelah Teater Populer tidak lagi meneruskan penonton yang dijemput, Nano sebagai salah seorang anggota Teater Populer meneruskan pola gurunya. Jadilah Teater Koma satu-satunya grup teater modern di Indonesia yang memiliki puluhan ribu penonton.

Sayang kelompok Ludruk Tobong pimpinan Sakia tak menerapkan kiat yang dipakai teater Populer dan Teater Koma. Penonton harus dijemput. Penonton setia Teater Koma juga diundang pada saat latihan persiapan. Beberapa penonton diminta menyampaikan pendapatnya secara kekeluargaan. Barangkali bila hal serupa diterapkan oleh Ludruk Tobong atau kelompok-kelompok tradisi lainnya, dengan kesabaran dan system yang professional, bukan tidak mungkin teater kembali diminati banyak orang.

26 Feb 2012

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae