Darwis Rifai Harahap
http://www.analisadaily.com/
Bagi saudara-saudara kita yang tinggal di perkebunan, seperti Desa Sentis, Sampali, Hamparan Perak dan Marelan, kesenian Ludruk adalah kesenian rakyat yang akrab dengan mesyarakat setempat. Sayangnya, kesenian rakyat yang bernama Ludruk itu tak mampu bertahan hidup, karena kalah bersaing dengan saudara angkatnya yang dari barat.
Ludruk secara perlahan tergeser oleh film dan televisi. Jangankan di Sumatera Utara , di daerah asalnya Jawa Timur, Ludruk juga tinggal kenangan. Satu-satunya grup ludruk yang masih bertahan di Surabaya adalah kelompoknya Sakia Sunaryo yang masih setia manggung di Taman Hiburan Rakyat Tambak Sari. Walau jadwal mentas Ludruk Tobong pimpinan Sakia Sunaryo, seminggu dua kali dengan penonton paling banyak 10 sampai 30 orang saja.
Itu tidak menurunkan semangat buat Sakia dan teman-temannya untuk tidak manggung lagi walau hasil yang diperoleh jauh dari mencukupi. Ludruk Tobong yang dia dirikan sejak tahun 1987 itu memang tidak berharap hidup dari penjualan tiket yang mereka peroleh.
Supri, waria yang usianya tidak muda lagi, membuka salon kecantikan. Begitu juga Ani yang nama sebenarnya adalah Wono, membuka usaha jahit menjahit dan dia mengaku sangat mencintai kesenian Ludruk yang dia ikuti sejak usia remaja.
Kini usia Ani sudah mendekati setengah abad. Kecintaannya kepada seni lakon yang dia dapat sebagai warisan dari kedua orang tuanya, tak mungkin dia tinggalkan walau seni Ludruk tak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ternyata hal yang sama juga dialami kelompok Ludruk yang ada di desa Sampali dan Sentis. Seni Ludruk , seperti yang dialami saudara-saudaraya di Surabaya, grup Ludruk yang pernah jaya di perkebunan-perkebunan yang ada di Sumatra Utara, kini hampir tak terdengar lagi kegiatan mereka.
Kembali ke Ludruk Tobong yang ada di Surabaya. Walau main Ludruk tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, Sakia, Ani, Supri dan teman-teman mereka yang lainnya, sebagai seniman ludruk, mereka bekerja secara professional. Pemain tidak perlu sibuk sendiri memakai costum, make up dan menyetrika pakaian yang akan di pakai manggung. Masing-masing bidang sudah ada yang mengurusi.
Ludruk Tobong memang tidak mampu menghidupi pemainnya dari hasil penjualan tiket. Mereka yang terlibat dikelompok Sakia Sumaryo itu memang tidak berharap selain dikarenakan kecintaan mereka pada seni Ludruk yang mereka warisi. Mengharap berjubelnya penonton yang membeli karcis masuk, sekarang ini cuma ada dalam mimpi. Itu sepertinya tak mungkin. Saingan dari acara-acara yang disiarkan televisi, film bioskop dan beragam jenis hiburan lainnya, buat Sakia dan teman-temannya yang terpenting adalah menjaga kesenian Ludruk Tobong jangan sampai musnah di telan zaman.
Bagaimana dengan seniman-seniman Ludruk yang ada Sumatera Utara? Manggung rutin di sebuah gedung pertunjukan, Ludruk di Sumatera Utara memang tak pernah mendapat kesempatan. Seperti kelompok seni pertunjukan lainnya, Ketoprak Dor, Bangsawan dan grup-grup teater Modern yang ada di Sumatera Utara menyelenggarakan pertunjukan menunggu sponsor yang memang perduli akan kesinambungan seni pertunjukan yang begitu lama dijauhi penonton. Atau paling tidak menunggu hajatan yang memang memilih Ludruk sebagai suguhan hiburan untuk para undangan.
Seni Ludruk sebenarnya masih ada di Sumatera Utara walau jumlahnya tidak begitu banyak. Salah seorang tokoh Ludruk satu angkatan dengan Sirtoyono Almahrum, yaitu Jalal, yang juga seorang pelawak yang handal di Sumatera Utara, diwaktu senggangnya aktif bermain Ludruk.
Apa sebenarnya keistimewaan dari kelompoknya Sakia Sunaryo dan semua personil Ludruk Tobong yang terdiri dari seluruhnya pria dan waria itu? Sebagai pewaris setia dari kejayaan Ludruk Marhaen di tahun 60-an yang pernah membuat film tentang profail Ludruk Marhaen di zaman pemerintahan Presiden Soekarno yang memang sangat memenfaatkan seni teater selama di pembuangan sebagai sarana pendidikan kala itu, Ludruk Tobong pimpinan Sakia bekerja secara prfesional. Dedikasi anggota yang memang benar-benar setia, kecintaan mereka pada seni Ludruk itulah yang membuat mereka terus bertahan menampilkan seni Ludruk Tobong di Gedung Ludruk Taman Hiburan Rakyat Jalan Bumi Harjo Wonokromo Surabaya.
Kehidupan rata-rata personil Ludruk Tobong yang semua anggotanya pria dan waria itu memang jauh dari kehidupan gemerlapan bintang-bintang yang sering nongol di televisi. Kegiatan bintang Lenong Tobong luput dari kejaran infotaintmen. Berita tentang pertunjukan Ludruk Tobong yang terkadang memasang judl-judul seram diposter yang terpajang, seperti judul “Cincin Berdarah” , ” Maut di Ujung Keris” dan puluhan judul seram lainnya tetap tidak menarik minat orang banyak untuk datang berbondong-bondong menonton pertunjukan Ludruk Tobong.
Barangkali itu juga yang membuat banyak orang muda tidak begitu tertarik untuk menggeluti kesenian Ludruk. Bila ada audisi acting untuk pembuatan senetron atau film, peminatnya berjibun. Untuk seni Ludruk? Tunggu dulu. Barangkali banyak orang muda yang beranggapan kesenian Ludruk pantasnya cuma ditampilkan di pinggiran sebagai hiburan kelas murahan. Pada hal Ludruk Tobong pimpinan Sakia yang dibentuknya sejak tahun 1987 itu, dan masih bertahan sampai sekarang, bekerja secara profesional dengan penghasilan yang jauh dari cukup.
Ani (waria) mengaku senang ikut Ludruk Tobong bukan karena ingin tenar dan mendapatkan rezeki berlimpah, tapi karena dia kadung telah jatuh cinta kepada seni Ludruk. Begitu juga dengan Supri yang juga waria. Supri tidak menggantungkan hidupnya dari bermain Ludruk. Dia membuka salon kecantikan. Dia hidup dari rejeki lain. Begitu juga dengan yang lainnya. Ada yang pedagang kaki lima, supir angkot dan ada juga yang pegawai honor di salah satu instansi pemerintahan.
Sri Mulat, salah satu kelompok sandiwara profesional yang pernah eksis di tahun 80-an, satu-satunya grup sandiwara yang tiap malam manggung dua kali di taman ria remaja Jakarta, dengan personil pemain bintang seperti Gepeng (Alm), Tarzan, Asmuni, Juju, Nunung, Basuki (Alm) dan yang lainnya, tersohor karena kemampuan Teguh sebagai pimpinan memanej Srimulat dan terkenal bertangan dingin, benar-benar mempercayai anggotanya menangani urusan menerima pesanan kepada Tarzan.
Di tahun 80-an Basuki, Tarzan dan Gepeng menerima honor paling tinggi Rp. 6.000,- untuk dua kali pementasan. Urusan keuangan tanggung jawab bendahara. Sebagai Pimpinan Teguh (Alm) tidak pernah mau tahu dengan urusan keuangan. Akhirnya Srimulat pecah kongsi juga, dikarenakan masalah sepele. Yaitu “duit”.
Ditahun 70-an Teater Populer pimpinan Teguh Karya dipercaya untuk tetap mentas di aula Hotel Indonesia. Memang tidak setiap malam ada pementasan. Setiap Teater Populer manggung di Hotel Indonesia, kursi penonton tetap padat. Ternyata Teguh Karya (Alm) menerapkan system donator. Kiat ini dipakai Teater Populer agar antara penontonnya dan pekerja seni teater terjalin keakraban.
Teguh berhasil. Begitu Teguh Karya sibuk menyutradarai film, aksi panggung Teater Populer menjadi goyang. Kalaupun ada pementasan dari Teater Populer, mereka cukup mentas di sangar atau mentas di Taman Ismail Marzuki. Tak berapa lama kemudian, Nano Riantiarno membentuk Teater Koma. Setelah Teater Populer tidak lagi meneruskan penonton yang dijemput, Nano sebagai salah seorang anggota Teater Populer meneruskan pola gurunya. Jadilah Teater Koma satu-satunya grup teater modern di Indonesia yang memiliki puluhan ribu penonton.
Sayang kelompok Ludruk Tobong pimpinan Sakia tak menerapkan kiat yang dipakai teater Populer dan Teater Koma. Penonton harus dijemput. Penonton setia Teater Koma juga diundang pada saat latihan persiapan. Beberapa penonton diminta menyampaikan pendapatnya secara kekeluargaan. Barangkali bila hal serupa diterapkan oleh Ludruk Tobong atau kelompok-kelompok tradisi lainnya, dengan kesabaran dan system yang professional, bukan tidak mungkin teater kembali diminati banyak orang.
26 Feb 2012
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 18 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar