Minggu, 18 Maret 2012

Membuka Jalan bagi Sastra Berbahasa Batak

Budi P Hatees
http://www.analisadaily.com/

Menulis dalam bahasa daerah? Tentu saja ini sebuah pilihan kreatif yang tidak akan dipilih semua penulis. Apalagi di era ketika grafik penutur bahasa daerah di negeri ini menunjukkan penurunan setiap tahun. Sangat mungkin, para sastrawan yang tumbuh di lingkungan masyarakat berkebudayaan Jawa dan karenanya bisa bertutur dalam bahasa Jawa, belum tentu akan menulis dalam bahasa Jawa sekalipun penutur bahasa Jawa begitu masif di negeri ini.

Orang-orang tertentu dengan alasan-alasan yang layak menginspirasi orang banyak, pasti memilih menulis dalam bahasa daerahnya.

Tak banyak penulis seperti mereka. Dari lingkungan penutur bahasa Jawa, Lanang Setiawan pantas dicatat. Dari lingkungan penutur bahasa Sunda, Acep Zamzam Noor bisa juga menjadi inspirasi.

Kita tahu, baik penutur bahasa Jawa maupun bahasa Sunda, sama-sama masif di negeri ini. Penutur kedua bahasa daerah ini pun memiliki masyarakat yang tingkat kesadarannya sangat tinggi dalam melestarikan bahasa daerah. Di lingkungan masyarakat Jawa misalnya, berbahasa Jawa bukan untuk melestarikan bahasa Jawa. Bahasa Jawa menjadi bahasa pengantar yang paling resap dalam diri masyarakat Jawa. Begitu juga halnya dengan masyarakat berkebudayaan Sunda. Bagi mereka berbahasa Sunda jauh lebih resap daripada berbahasa Indonesia. Bahkan, pemerintah daerah setempat mewajibkan satu hari berbahasa Sunda di lingkungan birokrasi agar bahasa Sunda semakin melimpah penuturnya.

Sebab itu, menulis dalam bahasa Jawa bagi Lanang Setiawan atau menulis dalam bahasa Sunda bagi Acep Zamzam Noor, sama pentingnya dengan menulis dalam bahasa Indonesia. Tidak heran jika Lanang Setiawan maupun Acep Zamzam Noor dikenal luas sebagai sastrawan di seantero negeri, terutama di lingkungan masyarakat penganut kebudayaannya masing-masing.

Bandingkan dengan sastrawan yang berasal dari lingkungan masyarakat berkebudayaan Batak.

Sulit menemukan karya sastra dalam bahasa Batak sekalipun jumlah sastrawan yang lahir dan besar sebagai penganut kebudayaan Batak sangat melimpah. Padahal, perbedaan jumlah penutur bahasa Batak tidak kalah banyak dibanding penutur bahasa Jawa atau Sunda. Sebab itu, tidak ada alasan bagi sastrawan berkebudayaan Batak untuk kehilangan pembaca seandainya tetap menulis dalam bahasa Batak.

Folklor

Pembuka tulisan ini pastilah dibantah mahasiswa Program Studi Sastra Daerah Fakultas Sastra USU yang berdiri tahun 1979. Di Jurusan Sastra Daerah, terutama pada Program Studi Bahasa dan Sastra Batak, dikajian banyak karya sastra berbahasa Batak dari semua sub etnis: Toba, Angkola, Mandailing, Simalungun, Karo, Pakpak dan Dairi. Mereka, tentu, sering membaca sastra berbahasa Batak.

Harus diakui, sastra berbahasa Batak yang menjadi objek kajian para mahasiswa itu, merupakan sastra lama yang lebih tepat kita kelompokkan ke dalam foklor. Tradisi sastra lisan yang tumbuh di lingkungan masyarakat berkebudayaan Batak sangat melimpah, dilisankan secara turun-temurun dan nyaris tidak ada upaya untuk mendokumentasikannya.

Sastra berbahasa Batak yang dimaksud dalam esai ini adalah sastra moderen yang ditulis dalam bahasa Batak. Defenisi ini saya pinjam dari panitia penghargaan Hadiah Sastra Rancage. Setiap awal tahun, Yayasan Rancage yang digagas sastrawan Ajip Rosidi memberikan penghargaan kepada karya sastra berbahasa daerah, juga penghargaan kepada penulis (penyastra) yang menulis dalam bahasa ibu.

Pada awalnya, hadiah sastra Rancage untuk melestarikan warisan-warisan kebudayaan Sunda. Belakangan, penghargaan serupa diberikan kepada sastra berbahasa Jawa, kemudian menyusul pada 2008 sastra berbahasa Lampung masuk dalam penilaian.

Dalam rangka mempromosikan sastra berbahasa Lampung agar masuk dalam penilaian Rancage Award pada 2008, sastrawan Hawe Setiawan, panitia penyelenggaran Rancage Award pada 2007, mensyaratkan karya sastra bahasa daerah yang akan dinilai, harus berupa buku. Selain itu, penerbitan buku sastra berbahasa daerah harus memiliki kontinuitas, sehingga tujuan awal pemberian hadiah untuk pelestarian dan peningkatan jumlah penutur bahasa daerah bersangkutan akan tercapai.

Syarat lain yang tak kalah penting adalah buku karya sastra berbahasa daerah itu bukanlah buku yang merangkum tradisi sastra lisan. Buku yang berisi karya sastra moderen sebagaimana sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia, sehingga perkembangan sastra berbahasa daerah setidaknya bisa mengikuti perkembangan sastra berbahasa Indonesia.

Alasan seperti ini, karya sastra berbahasa Lampung tidak lagi masuk dalam penilaian Rancage Award pada 2012. Pasalnya, masyarakat Lampung mengirimkan dua buku berbahasa Lampung yang merupakan kumpulan sastra lisan, Cerita Rakyat Raden Intan karya Rudi Suhaimi dan Hikayat Radin Jambat karya Iwan Nurdayah Djaffar.

Budaya Leluhur

Tentu saja tak ada kaitan antara Hadiah Sastra Rancage dengan pilihan kreatif Saut Poltak Tambunan (SPT) ketika sastrawan asal Sumatera Utara ini, memilih menerbitkan sebuah buku kumpulan cerpen berbahasa Batak dengan tajuk Mangongkal Holi (Penerbit Selasar Pena Talenta, 2012). Buku setebal 170 halaman ini berisi 10 cerpen, semuanya berbahasa Batak dari lingkungan masyarakat Batak beradat Toba, ditulis dengan pretensi “untuk menghargai dan melestarikan kekayaan tradisi warisan leluhur budaya Batak”.

Upaya SPT pantas menginspirasi siapa saja. Seperti halnya masyarakat berbahasa Jawa maupun berbahasa Sunda, penutur bahasa Batak sangat masif. Masyarakat Batak identik sebagai masyarakat perantau, tapi mereka tidak akan pernah meninggalkan akar tradisi yang menghidupinya. Bahasa Batak, salah satu tradisi yang juga bukti konkret dari tingginya peradaban masyarakat Batak, selalu akan dituturkan orang Batak dalam situasi apa pun. Sebab itu, ketika masyarakat Batak menjadi perantau di negeri orang, mereka bisa dengan mudah ditandai dari bahasa Batak yang tetap mereka pakai sebagai alat berkomunikasi sekaligus bahasa persatuan.

Tampaknya, realitas masyarakat Batak yang mencintai bahasanya inilah yang lebih banyak mendorong SPT untuk menulis karya sastra dalam bahasa Batak dan menerbitkannya sebagai buku.

Tentu, SPT bukan orang pertama yang menulis dalam bahasa Batak. Karya sastra moderen berbahasa Batak memiliki sejarah panjang di Sumatra Utara. Di lingkungan masyarakat berbahasa Batak dari sub kultur Angkola, pada dekade 1920-an, banyak lahir sastrawan yang menulis dalam bahasa Batak dari sub kultur Angkola. Sitti Djaoerah: Padan Djanji Na Togoe (1927), novel yang ditulis Soetan Hasoendoetan Siregar, satu dari banyak novel berbahasa Batak dari sub kultur Angkola.

Soetan Hasoendutan Siregar, satu di antara sekian banyak sastrawan cum jurnalis yang lahir dari lingkungan masyarakat Kecamatan Sipirok. Karya-karyanya fenomenal bagi masyarakat di lingkungan Batak Angkola, karena setting cerita memiliki kedekatan dengan masyarakat setempat. Selain Soetan Hasoendoetan Siregar, ada juga Soetan Pangoerabaan Pane dengan novelnya Toelboek Haleon – juga berbahasa Batak. Soetan Pangoerabaan Pane, kemudian melahirkan anak-anak yang kelak namanya mengukir sejarah sastra moderen di negeri ini, yakni Armijn Pane dan Sanusi Pane. Salah seorang anaknya, Lapran Pane menyejarah sebagai pendiri HMI, yang banyak melahirkan elite di negeri ini.

Soetan Hasoendoetan Siregar lahir di Desa Paranjulu, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan pada 1890. Dia masuk sekolah dasar yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda dengan pengantar bahasa Batak. Dia menikah pada usia 18 tahun dengan gadis sekampung, lalu hijrah ke Tano Doli (Kota Medan) tahun 1908. Semasa hidup, dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja di perkebunan teh milik Belanda di Sumatra Timur. Pada tahun 1919, dia pernah menjadi editor surat kabar Tapian Na Oeli yang terbit di Sibolga.

Sitti Djaoerah: Padan Djandji Na Togoe pertamakali terbit tahun 1927 dan dipublikasikan secara serial antara 1929 dan 1931 di surat kabar Poestaha – surat kabar berbahasa Batak yang didirikan tahun 1914 di Padang Sidempuan oleh Sutan Casayangan Soripada Harahap. Setelah pemuatan serial, roman ini mendapat respon positif dari masyarakat luas di Tapanuli. Atas dasar itu, roman itu diterbitkan menjadi buku dalam dua jilid yang secara keseluruhan tebalnya 457 halaman. Kedua jilid buku roman ini diterbitkan oleh Tpy Drukkerij Philemon bin Haroen Siregar di Pematang Siantar.

Tema Sitti Djaoerah tak begitu berbeda dengan novel-novel sezaman. Kala itu, tema yang paling menonjol adalah kawin paksa dan perdebatan seputar ketradisionalan yang berhadapan dengan kemoderenan. Jika kita bandingkan dengan roman-roman yang terbit tahun 1920-an, terutama keluaran Balai Pustaka seperti Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar (1920), Moeda Teroena oleh Muhammad Kasim (1922), Sitti Noerbaja oleh Marah Roesli (1922), Darah Moeda oleh Adinegoro (1927), dan Sengsara Membawa Nikmat oleh Toelis Soetan Sati (1929).

Ke khasan dalam roman Sitti Djaoerah, nasib tokoh-tokohnya. Paman itu semua karakter berakhir dengan kematian, Sitti Djaoerah justru tidak. Seorang tokoh perempuan justru mampu memperjuangkan apa yang dikehendakinya (sebagai perempuan), yang tidak menerima begitu saja apa yang dikehendaki oleh orang lain sekalipun itu ayahnya sendiri. Dia perempuan, tahu apa yang dia mau dan mewujudkannya dalam hidupnya.

Sitti Djaoerah nama tokoh perempuan berakhir dengan hidup bahagia (happy ending) yang menikah dengan seorang laki-laki yang dicintai dan mencintainya.

Keunikan lain adalah bahasa. Roman-roman yang terbit zaman itu ditulis dalam bahasa melayu tinggi (terbitan Balai Pustaka) atau bahasa melayu rendah (terbit di luar Balai Pustaka). Soetan Hasoendoetan justru menulis dalam bahasa Batak Angkola. Untuk menegaskan pendiriannya di dalam kata pengantar singkat romannya, Soetan Hasoendoetan berasalan karena bahan-bahan bacaan di kampungnya di Tapanuli Selatan sangat kurang apalagi bacaan yang bisa dimengerti oleh semua lapisan masyarakat. Karena itulah dia menulis romannya dalam bahasa Batak.

Bahasa Batak Angkola merupakan bahasa Batak yang paling banyak dipakai oleh Hasoendoetan dalam Sitti Djaoerah. Bahasa Batak-Toba hanya dipakai saat tokoh utama, Dja Hoemarkar, berangkat ke Tano Doli ketika melewati daerah Toba. Saat Sitti Djaoerah dan ibunya tengah berada di Panyabungan (daerah Mandailing), Soetan Hasoendoetan memakai bahasa dialek Mandailing. Demikian, juga ketika tokohya lagi berada di Medan, Sitti Djaoerah saat mencari Dja Hoemarkar lewat iklan melalui surat kabar Pertja Timoer, digunakan bahasa Melayu. Juga, sepanjang kisah, pembaca akan menjumpai istilah-istilah dalam bahasa Arab yang umum dipakai sehari-hari sebagai identitas lain dari penulisan roman. Demikian juga penggunaan istilah-istilah dalam bahasa Belanda seperti vrij, schrijver, kantoor, advertentie dan administrateur akan dapat ditemukan dalam roman itu.

Roman ini jadi bahan Susan Rodger (antropolog Amerika Serikat) untuk belajar bahasa Batak ketika memulai studinya di daerah Tapanuli, di Kecamatan Sipirok. Bahkan, Rodgers menerjemahkan roman ini ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan tahun 1997 dengan judul, Sitti Djaoerah: A Novel of Colonial Indonesia. [M.J. Soetan Hasoendoetan, Sitti Djaoerah, A Novel of Colonial Indonesia, University of Wisconsin-Madison Center for Southeast Asian Studies, 1997. Translated and with introduction by Susan Rodgers].

SPT bukan orang asing di dunia kesusastraan nasional. Karyanya melimpah. Dia piawai menulis dalam segala genre. Dia juga seorang jurnalis, pernah bekerja sebagai editor di sebuah majalah wanita terbitan Jakarta.

Sebagai penulis, sosok SPT sangat kompleks. Pada dekade 1980-an, orang membicarakan SPT semata sebagai novelis. Banyaknya novel yang dihasilkan menjadikan dirinya lebih identik sebagai novelis. Padahal, cerpen, skenario, sajak dan esai yang dihasilkannya juga melimpah. Bahkan, kulitas setiap karyanya selalu terjaga.

Dibandingkan sastrawan lain yang segenerasi dengannya, Saut jauh lebih produktif. Bahkan, pada masa ketika rekan-rekan sastrawan seangkatannya mulai meredup dalam berkarya, Saut tetap menunjukkan produktivitas yang tinggi. Perhatiannya pun sangat total terhadap perkembangan dunia sastra ditandai dengan posisinya sebagai ketua umum Yayasan Pengarang AKSARA, sebuah yayasan yang didirikan oleh Himpunan Pengarang AKSARA.

Yayasan ini memberikan perhatian besar terhadap perkembangan dunia sastra dengan merangsang munculnya kreativitas para sastrawan lewat kegiatan diskusi dan penerbitan buku. Dalam hal diskusi, Saut juga mempelopori berdirinya Komunitas Kedai Ilalang, yang senantiasa eksis dengan ragam diskusi tentang perkembangan sastra juga penerbitan buku sastra.

Beragamnya aktivitas SPT dalam dunia kesusastraan, mendorongnya pada suatu saat menulis dalam bahasa Batak. Terbitnya buku kumpulan cerpen berbahasa Batak (torsatorsa Hata Batak), Mangongkal Holi (Penerbit Selasar Pena Talenta, 2012), merupakan bukti keuletan Saut untuk mewujudkan apa yang diinginkannya. Buku ini akan menjadi pelecut sejarah bagi masyarakat Batak untuk tidak takut kehilangan pembaca bila menulis dalam bahasa Batak.

Memang, dari 10 cerpen dalam buku ini, sebagian merupakan cerpen yang awalnya ditulis dalam bahasa Indonesia, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Batak. Justru karena diterjemahkan itulah cerpen tersebut menjadi lebih memiliki roh. Sebab, sesungguhnya roh dari cerpen itu akan muncul apabila ditulis dalam bahasa Batak, terutama karena kapital-kapital sosial masyarakat Batak menjadi lebih awet dalam teks-teks bahasa Batak.

Dalam cerpen Mangongkal Holi, yang bercerita tentang tradisi memindahkan makam leluhur (mangongkal holi) di lingkungan masyarakat Batak perantau yang tak resap lagi terhadap tradisi seperti itu. Dialok yang dibangun Saut di antara para tokohnya, yang menunjukkan kuatnya tradisi bermufakat di lingkungan masyarakat Batak, menjadi lebih menarik disimak sebagai sebuah gambaran antropologi budaya karena disajikan dalam bahasa Batak. Makna yang terkandung dalam setiap item kultur tradisi mangongkal holi yang harus melibatkan semua masyarakat di kampung, menerangkan kepada pembaca betapa masyarakat Batak merupakan sosok masyarakat yang hanya akan melakukan sebuah pekerjaan jika sudah dibicarakan dan diputuskan secara demokrasi.

Seandainya cerpen ini ditulis dalam bahasa Indonesia, akan banyak nilai-nilai habatahon (budaya Batak) yang tak bisa ditemukan. Bahasa Batak membuat nilai-nilai itu tetap terjaga. Begitu juga halnya dengan cerpen Lanteung. Awalnya cerpen ini ditulis dalam bahasa Indonesia, tapi ketika membacanya dalam bahasa Batak, ruh cerita tentang Lanteung lebih terasa.

Cerita-cerita lain dalam buku ini menjadi lebih tepat dikisahkan dalam bahasa Batak. Sebab itu, upaya Saut untuk melestarikan bahasa Batak dengan menulis karya sastra berbahasa Batak, layak menginspirasi banyak pihak. Sangat layak pula apabila panitia Hadiah Sastra Rancage pun mulai melirik karya sastra berbahasa Batak untuk diikutsertakan dalam penilaian. Pasti, kontinuitas penerbitan buku sastra berbahasa Batak akan terjaga sebagaimana kontinuitas penerbitan buku sastra berbahasa Sunda dan Jawa.

Akhir kata, salut untuk kreativitas SPT. Semoga jalan lama yang dibuka kembali makin diikuti banyak sastrawan asal Sumatra Utara, yang lahir dan besar dari tradisi masyarakat Batak.

/04 Mar 2012

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae