Budi P Hatees
http://www.analisadaily.com/
Menulis dalam bahasa daerah? Tentu saja ini sebuah pilihan kreatif yang tidak akan dipilih semua penulis. Apalagi di era ketika grafik penutur bahasa daerah di negeri ini menunjukkan penurunan setiap tahun. Sangat mungkin, para sastrawan yang tumbuh di lingkungan masyarakat berkebudayaan Jawa dan karenanya bisa bertutur dalam bahasa Jawa, belum tentu akan menulis dalam bahasa Jawa sekalipun penutur bahasa Jawa begitu masif di negeri ini.
Orang-orang tertentu dengan alasan-alasan yang layak menginspirasi orang banyak, pasti memilih menulis dalam bahasa daerahnya.
Tak banyak penulis seperti mereka. Dari lingkungan penutur bahasa Jawa, Lanang Setiawan pantas dicatat. Dari lingkungan penutur bahasa Sunda, Acep Zamzam Noor bisa juga menjadi inspirasi.
Kita tahu, baik penutur bahasa Jawa maupun bahasa Sunda, sama-sama masif di negeri ini. Penutur kedua bahasa daerah ini pun memiliki masyarakat yang tingkat kesadarannya sangat tinggi dalam melestarikan bahasa daerah. Di lingkungan masyarakat Jawa misalnya, berbahasa Jawa bukan untuk melestarikan bahasa Jawa. Bahasa Jawa menjadi bahasa pengantar yang paling resap dalam diri masyarakat Jawa. Begitu juga halnya dengan masyarakat berkebudayaan Sunda. Bagi mereka berbahasa Sunda jauh lebih resap daripada berbahasa Indonesia. Bahkan, pemerintah daerah setempat mewajibkan satu hari berbahasa Sunda di lingkungan birokrasi agar bahasa Sunda semakin melimpah penuturnya.
Sebab itu, menulis dalam bahasa Jawa bagi Lanang Setiawan atau menulis dalam bahasa Sunda bagi Acep Zamzam Noor, sama pentingnya dengan menulis dalam bahasa Indonesia. Tidak heran jika Lanang Setiawan maupun Acep Zamzam Noor dikenal luas sebagai sastrawan di seantero negeri, terutama di lingkungan masyarakat penganut kebudayaannya masing-masing.
Bandingkan dengan sastrawan yang berasal dari lingkungan masyarakat berkebudayaan Batak.
Sulit menemukan karya sastra dalam bahasa Batak sekalipun jumlah sastrawan yang lahir dan besar sebagai penganut kebudayaan Batak sangat melimpah. Padahal, perbedaan jumlah penutur bahasa Batak tidak kalah banyak dibanding penutur bahasa Jawa atau Sunda. Sebab itu, tidak ada alasan bagi sastrawan berkebudayaan Batak untuk kehilangan pembaca seandainya tetap menulis dalam bahasa Batak.
Folklor
Pembuka tulisan ini pastilah dibantah mahasiswa Program Studi Sastra Daerah Fakultas Sastra USU yang berdiri tahun 1979. Di Jurusan Sastra Daerah, terutama pada Program Studi Bahasa dan Sastra Batak, dikajian banyak karya sastra berbahasa Batak dari semua sub etnis: Toba, Angkola, Mandailing, Simalungun, Karo, Pakpak dan Dairi. Mereka, tentu, sering membaca sastra berbahasa Batak.
Harus diakui, sastra berbahasa Batak yang menjadi objek kajian para mahasiswa itu, merupakan sastra lama yang lebih tepat kita kelompokkan ke dalam foklor. Tradisi sastra lisan yang tumbuh di lingkungan masyarakat berkebudayaan Batak sangat melimpah, dilisankan secara turun-temurun dan nyaris tidak ada upaya untuk mendokumentasikannya.
Sastra berbahasa Batak yang dimaksud dalam esai ini adalah sastra moderen yang ditulis dalam bahasa Batak. Defenisi ini saya pinjam dari panitia penghargaan Hadiah Sastra Rancage. Setiap awal tahun, Yayasan Rancage yang digagas sastrawan Ajip Rosidi memberikan penghargaan kepada karya sastra berbahasa daerah, juga penghargaan kepada penulis (penyastra) yang menulis dalam bahasa ibu.
Pada awalnya, hadiah sastra Rancage untuk melestarikan warisan-warisan kebudayaan Sunda. Belakangan, penghargaan serupa diberikan kepada sastra berbahasa Jawa, kemudian menyusul pada 2008 sastra berbahasa Lampung masuk dalam penilaian.
Dalam rangka mempromosikan sastra berbahasa Lampung agar masuk dalam penilaian Rancage Award pada 2008, sastrawan Hawe Setiawan, panitia penyelenggaran Rancage Award pada 2007, mensyaratkan karya sastra bahasa daerah yang akan dinilai, harus berupa buku. Selain itu, penerbitan buku sastra berbahasa daerah harus memiliki kontinuitas, sehingga tujuan awal pemberian hadiah untuk pelestarian dan peningkatan jumlah penutur bahasa daerah bersangkutan akan tercapai.
Syarat lain yang tak kalah penting adalah buku karya sastra berbahasa daerah itu bukanlah buku yang merangkum tradisi sastra lisan. Buku yang berisi karya sastra moderen sebagaimana sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia, sehingga perkembangan sastra berbahasa daerah setidaknya bisa mengikuti perkembangan sastra berbahasa Indonesia.
Alasan seperti ini, karya sastra berbahasa Lampung tidak lagi masuk dalam penilaian Rancage Award pada 2012. Pasalnya, masyarakat Lampung mengirimkan dua buku berbahasa Lampung yang merupakan kumpulan sastra lisan, Cerita Rakyat Raden Intan karya Rudi Suhaimi dan Hikayat Radin Jambat karya Iwan Nurdayah Djaffar.
Budaya Leluhur
Tentu saja tak ada kaitan antara Hadiah Sastra Rancage dengan pilihan kreatif Saut Poltak Tambunan (SPT) ketika sastrawan asal Sumatera Utara ini, memilih menerbitkan sebuah buku kumpulan cerpen berbahasa Batak dengan tajuk Mangongkal Holi (Penerbit Selasar Pena Talenta, 2012). Buku setebal 170 halaman ini berisi 10 cerpen, semuanya berbahasa Batak dari lingkungan masyarakat Batak beradat Toba, ditulis dengan pretensi “untuk menghargai dan melestarikan kekayaan tradisi warisan leluhur budaya Batak”.
Upaya SPT pantas menginspirasi siapa saja. Seperti halnya masyarakat berbahasa Jawa maupun berbahasa Sunda, penutur bahasa Batak sangat masif. Masyarakat Batak identik sebagai masyarakat perantau, tapi mereka tidak akan pernah meninggalkan akar tradisi yang menghidupinya. Bahasa Batak, salah satu tradisi yang juga bukti konkret dari tingginya peradaban masyarakat Batak, selalu akan dituturkan orang Batak dalam situasi apa pun. Sebab itu, ketika masyarakat Batak menjadi perantau di negeri orang, mereka bisa dengan mudah ditandai dari bahasa Batak yang tetap mereka pakai sebagai alat berkomunikasi sekaligus bahasa persatuan.
Tampaknya, realitas masyarakat Batak yang mencintai bahasanya inilah yang lebih banyak mendorong SPT untuk menulis karya sastra dalam bahasa Batak dan menerbitkannya sebagai buku.
Tentu, SPT bukan orang pertama yang menulis dalam bahasa Batak. Karya sastra moderen berbahasa Batak memiliki sejarah panjang di Sumatra Utara. Di lingkungan masyarakat berbahasa Batak dari sub kultur Angkola, pada dekade 1920-an, banyak lahir sastrawan yang menulis dalam bahasa Batak dari sub kultur Angkola. Sitti Djaoerah: Padan Djanji Na Togoe (1927), novel yang ditulis Soetan Hasoendoetan Siregar, satu dari banyak novel berbahasa Batak dari sub kultur Angkola.
Soetan Hasoendutan Siregar, satu di antara sekian banyak sastrawan cum jurnalis yang lahir dari lingkungan masyarakat Kecamatan Sipirok. Karya-karyanya fenomenal bagi masyarakat di lingkungan Batak Angkola, karena setting cerita memiliki kedekatan dengan masyarakat setempat. Selain Soetan Hasoendoetan Siregar, ada juga Soetan Pangoerabaan Pane dengan novelnya Toelboek Haleon – juga berbahasa Batak. Soetan Pangoerabaan Pane, kemudian melahirkan anak-anak yang kelak namanya mengukir sejarah sastra moderen di negeri ini, yakni Armijn Pane dan Sanusi Pane. Salah seorang anaknya, Lapran Pane menyejarah sebagai pendiri HMI, yang banyak melahirkan elite di negeri ini.
Soetan Hasoendoetan Siregar lahir di Desa Paranjulu, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan pada 1890. Dia masuk sekolah dasar yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda dengan pengantar bahasa Batak. Dia menikah pada usia 18 tahun dengan gadis sekampung, lalu hijrah ke Tano Doli (Kota Medan) tahun 1908. Semasa hidup, dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja di perkebunan teh milik Belanda di Sumatra Timur. Pada tahun 1919, dia pernah menjadi editor surat kabar Tapian Na Oeli yang terbit di Sibolga.
Sitti Djaoerah: Padan Djandji Na Togoe pertamakali terbit tahun 1927 dan dipublikasikan secara serial antara 1929 dan 1931 di surat kabar Poestaha – surat kabar berbahasa Batak yang didirikan tahun 1914 di Padang Sidempuan oleh Sutan Casayangan Soripada Harahap. Setelah pemuatan serial, roman ini mendapat respon positif dari masyarakat luas di Tapanuli. Atas dasar itu, roman itu diterbitkan menjadi buku dalam dua jilid yang secara keseluruhan tebalnya 457 halaman. Kedua jilid buku roman ini diterbitkan oleh Tpy Drukkerij Philemon bin Haroen Siregar di Pematang Siantar.
Tema Sitti Djaoerah tak begitu berbeda dengan novel-novel sezaman. Kala itu, tema yang paling menonjol adalah kawin paksa dan perdebatan seputar ketradisionalan yang berhadapan dengan kemoderenan. Jika kita bandingkan dengan roman-roman yang terbit tahun 1920-an, terutama keluaran Balai Pustaka seperti Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar (1920), Moeda Teroena oleh Muhammad Kasim (1922), Sitti Noerbaja oleh Marah Roesli (1922), Darah Moeda oleh Adinegoro (1927), dan Sengsara Membawa Nikmat oleh Toelis Soetan Sati (1929).
Ke khasan dalam roman Sitti Djaoerah, nasib tokoh-tokohnya. Paman itu semua karakter berakhir dengan kematian, Sitti Djaoerah justru tidak. Seorang tokoh perempuan justru mampu memperjuangkan apa yang dikehendakinya (sebagai perempuan), yang tidak menerima begitu saja apa yang dikehendaki oleh orang lain sekalipun itu ayahnya sendiri. Dia perempuan, tahu apa yang dia mau dan mewujudkannya dalam hidupnya.
Sitti Djaoerah nama tokoh perempuan berakhir dengan hidup bahagia (happy ending) yang menikah dengan seorang laki-laki yang dicintai dan mencintainya.
Keunikan lain adalah bahasa. Roman-roman yang terbit zaman itu ditulis dalam bahasa melayu tinggi (terbitan Balai Pustaka) atau bahasa melayu rendah (terbit di luar Balai Pustaka). Soetan Hasoendoetan justru menulis dalam bahasa Batak Angkola. Untuk menegaskan pendiriannya di dalam kata pengantar singkat romannya, Soetan Hasoendoetan berasalan karena bahan-bahan bacaan di kampungnya di Tapanuli Selatan sangat kurang apalagi bacaan yang bisa dimengerti oleh semua lapisan masyarakat. Karena itulah dia menulis romannya dalam bahasa Batak.
Bahasa Batak Angkola merupakan bahasa Batak yang paling banyak dipakai oleh Hasoendoetan dalam Sitti Djaoerah. Bahasa Batak-Toba hanya dipakai saat tokoh utama, Dja Hoemarkar, berangkat ke Tano Doli ketika melewati daerah Toba. Saat Sitti Djaoerah dan ibunya tengah berada di Panyabungan (daerah Mandailing), Soetan Hasoendoetan memakai bahasa dialek Mandailing. Demikian, juga ketika tokohya lagi berada di Medan, Sitti Djaoerah saat mencari Dja Hoemarkar lewat iklan melalui surat kabar Pertja Timoer, digunakan bahasa Melayu. Juga, sepanjang kisah, pembaca akan menjumpai istilah-istilah dalam bahasa Arab yang umum dipakai sehari-hari sebagai identitas lain dari penulisan roman. Demikian juga penggunaan istilah-istilah dalam bahasa Belanda seperti vrij, schrijver, kantoor, advertentie dan administrateur akan dapat ditemukan dalam roman itu.
Roman ini jadi bahan Susan Rodger (antropolog Amerika Serikat) untuk belajar bahasa Batak ketika memulai studinya di daerah Tapanuli, di Kecamatan Sipirok. Bahkan, Rodgers menerjemahkan roman ini ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan tahun 1997 dengan judul, Sitti Djaoerah: A Novel of Colonial Indonesia. [M.J. Soetan Hasoendoetan, Sitti Djaoerah, A Novel of Colonial Indonesia, University of Wisconsin-Madison Center for Southeast Asian Studies, 1997. Translated and with introduction by Susan Rodgers].
SPT bukan orang asing di dunia kesusastraan nasional. Karyanya melimpah. Dia piawai menulis dalam segala genre. Dia juga seorang jurnalis, pernah bekerja sebagai editor di sebuah majalah wanita terbitan Jakarta.
Sebagai penulis, sosok SPT sangat kompleks. Pada dekade 1980-an, orang membicarakan SPT semata sebagai novelis. Banyaknya novel yang dihasilkan menjadikan dirinya lebih identik sebagai novelis. Padahal, cerpen, skenario, sajak dan esai yang dihasilkannya juga melimpah. Bahkan, kulitas setiap karyanya selalu terjaga.
Dibandingkan sastrawan lain yang segenerasi dengannya, Saut jauh lebih produktif. Bahkan, pada masa ketika rekan-rekan sastrawan seangkatannya mulai meredup dalam berkarya, Saut tetap menunjukkan produktivitas yang tinggi. Perhatiannya pun sangat total terhadap perkembangan dunia sastra ditandai dengan posisinya sebagai ketua umum Yayasan Pengarang AKSARA, sebuah yayasan yang didirikan oleh Himpunan Pengarang AKSARA.
Yayasan ini memberikan perhatian besar terhadap perkembangan dunia sastra dengan merangsang munculnya kreativitas para sastrawan lewat kegiatan diskusi dan penerbitan buku. Dalam hal diskusi, Saut juga mempelopori berdirinya Komunitas Kedai Ilalang, yang senantiasa eksis dengan ragam diskusi tentang perkembangan sastra juga penerbitan buku sastra.
Beragamnya aktivitas SPT dalam dunia kesusastraan, mendorongnya pada suatu saat menulis dalam bahasa Batak. Terbitnya buku kumpulan cerpen berbahasa Batak (torsatorsa Hata Batak), Mangongkal Holi (Penerbit Selasar Pena Talenta, 2012), merupakan bukti keuletan Saut untuk mewujudkan apa yang diinginkannya. Buku ini akan menjadi pelecut sejarah bagi masyarakat Batak untuk tidak takut kehilangan pembaca bila menulis dalam bahasa Batak.
Memang, dari 10 cerpen dalam buku ini, sebagian merupakan cerpen yang awalnya ditulis dalam bahasa Indonesia, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Batak. Justru karena diterjemahkan itulah cerpen tersebut menjadi lebih memiliki roh. Sebab, sesungguhnya roh dari cerpen itu akan muncul apabila ditulis dalam bahasa Batak, terutama karena kapital-kapital sosial masyarakat Batak menjadi lebih awet dalam teks-teks bahasa Batak.
Dalam cerpen Mangongkal Holi, yang bercerita tentang tradisi memindahkan makam leluhur (mangongkal holi) di lingkungan masyarakat Batak perantau yang tak resap lagi terhadap tradisi seperti itu. Dialok yang dibangun Saut di antara para tokohnya, yang menunjukkan kuatnya tradisi bermufakat di lingkungan masyarakat Batak, menjadi lebih menarik disimak sebagai sebuah gambaran antropologi budaya karena disajikan dalam bahasa Batak. Makna yang terkandung dalam setiap item kultur tradisi mangongkal holi yang harus melibatkan semua masyarakat di kampung, menerangkan kepada pembaca betapa masyarakat Batak merupakan sosok masyarakat yang hanya akan melakukan sebuah pekerjaan jika sudah dibicarakan dan diputuskan secara demokrasi.
Seandainya cerpen ini ditulis dalam bahasa Indonesia, akan banyak nilai-nilai habatahon (budaya Batak) yang tak bisa ditemukan. Bahasa Batak membuat nilai-nilai itu tetap terjaga. Begitu juga halnya dengan cerpen Lanteung. Awalnya cerpen ini ditulis dalam bahasa Indonesia, tapi ketika membacanya dalam bahasa Batak, ruh cerita tentang Lanteung lebih terasa.
Cerita-cerita lain dalam buku ini menjadi lebih tepat dikisahkan dalam bahasa Batak. Sebab itu, upaya Saut untuk melestarikan bahasa Batak dengan menulis karya sastra berbahasa Batak, layak menginspirasi banyak pihak. Sangat layak pula apabila panitia Hadiah Sastra Rancage pun mulai melirik karya sastra berbahasa Batak untuk diikutsertakan dalam penilaian. Pasti, kontinuitas penerbitan buku sastra berbahasa Batak akan terjaga sebagaimana kontinuitas penerbitan buku sastra berbahasa Sunda dan Jawa.
Akhir kata, salut untuk kreativitas SPT. Semoga jalan lama yang dibuka kembali makin diikuti banyak sastrawan asal Sumatra Utara, yang lahir dan besar dari tradisi masyarakat Batak.
/04 Mar 2012
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar