Minggu, 01 Januari 2012

Menjewer Kuping Taufiq Ismail

Membaca ‘kedangkalan’ logika Dr. Ignas Kleden? (bagian X kupasan ketiga dari paragraf keduanya)
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Sebelum masuk bagian ini, izinkan menulis perihal keheranan saya pada penyair atau yang mengakuinya, namun ungkapannya telah melampaui batas sejarah kodrat iradat insani. Oleh sangking keterlaluan menggumuli kata, seakan ‘kata’ menjelma sekutu terbaik, seolah gerak hasratnya mampu memerintah kalimat, bahasa sedari kekuasaan hidup dengan pandangan sebelah mata, tidak menengok profesi lain juga memakainya. Atau hilaf tak merasai gerakan terlembut kehidupan dari Sang Maha Hidup yang senantiasa mengatur segenap indra, mengurus planet-planet beserta peredaranya, tak terkecuali menghadiahi nafas bagi tukang-tukang syair.

Sepengetahuan saya, ungkapan bombastis apakah tentang tuhan telah mati, senjakala sejarah, -hal keterlaluan, biasanya diusung bersegenap gegugusan wacana argumentatif, sehingga kehadirannya tidak sepintas slogan yang kelak menjadi dagelan. Sekiranya ucapan orang ditokohkan tampak kebiasaannya membuat gosip, atau pendapat asal-asalan dekat keangkuhan, merasa ampuh sampai lepas dinaya ingat awalnya belajar menuntut ilmu. Kian gagal diikuti generasi bermental penurut, ‘nerimo eng pandum’ cepat-cepat puas, tidak menyelidik kehendak dikunyah. Pembodohan ini berantai sejauh kekuasaan penguasa tersebut, entah dari kekuatan modal / jargon lain terlihat mentereng angker bertuan, tetapi tidak bertuah.
***

Semalam saya menemukan artikelnya seorang dosen Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma, Elisa Dwi Wardani berjudul “Sastra dan Identitas” diterbitkan koran Kedaulatan Rakyat 10/05/2008, yang mengundang daya ganggu. Sepertinya sesuai alur jika diilustrasikan pada bacaan menguak SCB dari IK, sejenis guyonan namun tak lepas minat keseriusan. Di bawah ini larikannya:

Sebagaimana dikatakan oleh penyair Taufiq Ismail, penyair adalah penguasa kata-kata. Walaupun seorang penyair, seperti kata Taufiq Ismail, mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan.” Selengkapnya di sini: http://sastra-indonesia.com/2011/08/sastra-dan-identitas/
***

Sungguh saya kagum orang-orang di bidang sastra, mereka mampu mengungkapkan, mengatur baik irama ‘kata’ sampai batas tertentu mengaburkan demi mendapati temuan yang kehendaknya diterima khalayak. Dengan mengurangi tumbuhnya bibit protes, oleh tekanan musik dipunyai berlipat makna tergantung indra penerimanya, lewat menentukan jatuh-bangunnya menggurati kalimat. Keberhasilannya menuangkan kata-kata mempengaruhi kejiwaan pembaca, membuka kalbu seluas-luasnya menuju hawa kemungkinan rahmat nan terbuka.

Mari mencermati apa yang membentuk pola paragraf di atas, tentu tak lepas riwayat ‘kata’ serta kisah orang yang berada di dalamnya, untuk pahami seluk-beluk kenapa hal itu hadir?

Sosok Taufiq Ismail (TI) berpribadi ta’at dari awal berkarya hingga kini, setidaknya kerap memakai songkok. Kesetiaanya di jalan tersebut bukan kemarin sore, pasti didukung bacaan, serta gerak peribadatan di rumah tuhan juga pengabdian ke masyarakat. Pada dunia sastra seminimalnya penjaga gawang majalah sastra Horison. Muslim baik hati tentu terpaut sungguh keyakinannya, memiliki benteng kala menyikapi godaan-rayu.

Ada makolah; “Perang terbesar memerangi hawa nafsu sendiri, yang tergantung profesi diembanya sebagai jalanan memakmurkan hayati.” Dan pengalaman TI mengalir dibagi-bagikan bagi terima berlapang dada, tiada ketulungan pengurbananya di alam susastra Indonesia, menyumbangkan dinaya nalar-perasaan; puisi-puisinya mencapai berbantal-bantal tebalnya, ceramahnya menyegarkan kalbu sesama. Sampai saya mencurigai, jangan-jangan termasuk Islam garis keras yang mengharamkan rokok.

Pengabdian besar tidak lepas hilaf dan semoga yang diungkapkan Elisa Dwi Wardani hanyalah keterlepasan tak pakem masanya. Entah sehabis mendapati menghargaan, sesudah syuting baca puisi di sebuah stasiun televisi, atau teringat telah mengangkat banyak penyair hebat dari majalah sastra dipandeganinya, SCB misalnya. Lantas angin bertiup kencang mengaburkan paham meninggikan drajat kepenyairannya, sampai-sampai seolah penguasa kata-kata di jagad raya, atas nada:

“penyair adalah penguasa kata-kata” dengan menurunkan melodinya “mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan.””
***

Bagi saya yang awam mengenai soal agama, istilah ‘penguasa’ sedari perkembangan sejarah ajaran Islam memiliki dua tafsir; yakni Tuhan (juga berhubungan rasul-Nya, Muhammad SAW), kedua sultan / raja bersama pemerintahannya. Yang pertama maknanya tidak berubah, sedangkan kedua mengalami pergeseran, bisa jadi sosok intelektual sebagai penggerak laju keadaban? Namun saya tidak habis pikir ini: “penyair adalah penguasa kata-kata.”

Kata ‘penguasa’ di hadapan saya sungguh agung, jikalau ditempatkan kepada sebutan tuhan, maka yang mengatur / penguasa terbitnya fajar hingga bertemunya senja, mentari, gemintang, di sisi kecantikan bulan dan lainnya, merupakan tanda-tanda kuasa-Nya. Dan kuasa pemerintah, raja, sultan adalah bersegenap tanah air sebatas garis kerajaannya, ini diwarnai pergolakan intrik jegal tidak sedap dipandang mata.

Penyair di suatu negara, tentu memegang tanda kewarganegaraan, sekecilnya punya rasa cinta kepada tanah airnya. Meski kalimatnya mampu menembus belahan bebangsa, juga abad-abad di depannya, tetaplah manusia mengabdi pada kata, seperti pedagang mempunyai ‘kata sepakat’ di dalam pertukaran barang dagangannya. Profesi lain demikian adanya, menggunakan kata-kata untuk lajuan sejarah insan sebagai rangkaian menjelma panji-panji peradaban di masanya. Jadi bukan penyair saja, jika kata ‘penguasa’ ialah turunan dari kekuasaan lebih besar darinya. Sungguh sembrono sebola ditendang melambung tinggi, mengingat pendapat TI di atas.

Saya kira lebih tepat, penyair menggunakan kata-kata dalam kerja kepenyairannya. Mereka mengaduknya tak hanya indah, namun juga menyembulkan makna di kedalaman syair-syairnya, dan bukan sosok penguasa kata-kata. Ketika saya raba seungkapan TI muncul, mungkin sebab kejiwaan senioritasnya, merasa berkuasa menjadikan orang lain penyair atau sebaliknya. Maaf jika salah menduga wujud keblingernya.

Mari susuri turunan melodinya yang saya bagi tiga belahan: “mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur (1)” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya (2), dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan (3).””
***

Ungkapan “penyair adalah penguasa kata-kata.” Lantas mengalami turunan nilai saat dapati awalan ‘mungkin’ di belakangnya ialah sudah terkena pembatalan. Sebab kata ‘penguasa’ (kuasa) merupakan hal tak tertolak dengan apa pun. Karena kata ‘kuasa’ berdekatan kata ‘mutlak,’ (maha) berkehendak (perintahnya). Jika nada ini saya rendahkan sedikit menerima kata ‘penguasa’ sekadar pemanis, menjadi tak penting abang-abang lambe, gincunya perayu bagi yang tidak jeli selidiki drajat ‘kata’ sebagai pribadi nan mandiri maknanya.

TI sepertinya mengajak bercanda, kalau tak mau menerima disebut angkuh oleh berpaham penyair ialah penguasa kata-kata. “mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur (1)” Saya kira tidak sekadar tukang syair saja memiliki kemampuan demikian lihai berujar, jika kata ‘kuasa’ sebagai turunan dari perihal kedua saya sebut di atas (tuhan dan sultan). Lalu semakin menggelikan membaca cermat kalimat di dalam tanda petik itu serupa dinaya tarik mengelak sedari kesombongan awal daripada profesi lain. Gerakan suatu ‘kata’ yang meluncur dari orang-orang berkemampuan piawai pun tak “secara otoriter, memangkas ataupun mencukur (kata-kata).” Para sejarahwan, filsuf, psikolog sampai akuntan, kerja kata-katanya tak lebih mendialogkan yang jadi permasalahan diunggahnya. Malah kadang jadi titik temu kepahaman yang mengutarakan dengan para penerimaannya, sebagai bentuk ukuran tertentu yang memang tiada mutlak sama keadaannya.

“namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya (2).” Sungguh geli ungkapannya yang saya kira lebih dekat seorang guru / pendidik yang memiliki kuasa kata-kata, jikalau dimaksud penguasa ‘kata’ sekadar ke tataran insani. Betapa sang pengajar di suatu kelas misalkan, “membiarkan kata-kata mengukur emosinya” dan sedapat mungkin para murid menerima dengan kadar keinsfaan atas keilmuan tengah direguknya. Kalau TI mengelak, berpaham penyair sama persis profesi lain, kenapa mengangkat penyair saja? Apakah dekat profesinya? Ini serupa pribadi menutup diri di belahan bidang kehidupan lain di luar keahliannya, sampai mewujud undukan pasir aneh. Atau kacamata kuda tak tengak-tengok luasnya cakrawala, yang dianggapnya kerja bersyair lebih agung daripada pedagang klontong contohnya.

“dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan (3).” Saya terbayang ibunda atau bapak menggendong anaknya, untuk ditidurkan di ayunan tangannya. Mereka bernikmat-nikmat dengan kata-kata demi mendapatkan pencerah, yakni ruang penjumlahan aktivitas sehari-hari, dipantulkan berkasih sayang yang menghibur diri jua demi sang anak ialah penyejuk berkekuatan di atas kerja selanjutnya. Dan ‘kumandang lagu tidur’ bisa terjadi spontanitas oleh rindu menggebu, sehabis seharian berpeluh keringat mencarikan nafkah. Atau sosok pelajar ingusan mangalami jatuh cinta, bernikmat kata-kata untuk mendapati pencerah lewat surat-surat digubah demi kekasihnya. Begitukah penyair? Lalu kasir toko menikmati ‘angka-angka’, meski uang yang dihitung milik majikan dan seterusnya.

Demikian nikmat diberikan Sang Penguasa tak terkira nan teraba di belahan lain, rasanya enak berdialog saling menyepadankan paham sama menghargai. Menunjuk betapa indah kehidupan dengan tidak membentuk jalur kekuasaan ‘menindas’ profesi lain, meski berirama santun; nada dan dakwa istilah Roma Irama. Atas musik ini, alunan kehidupan harmonis seperti usaha majalah membutuhkan kerjanya distributor, agar tak kembang-kempis kerap mendekati nasib kolap.

Sebagai penutup, kala pelaku sebelumnya sudah merasa sebagai ‘penguasa kata-kata,’ maka turunannya mengalami kemalangan menjelma penyair ‘suka beralibi.’ Dan sepengetahuan saya, para intelektual muslim / sastrawannya yang diakui ketokohannya oleh dunia, dari generasi awal sampai akhir, belum saya temukan paham mereka senekat ungkapan tuan Taufiq Ismail tersebut. Wallahualam bi shawab.
***

Dijumput dari: http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_31.html
Catatan sebelumnya:
 
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/bagian-i-prolog-membaca-kedangkalan.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_25.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_4733.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_26.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_8478.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/normal-0-false-false-false.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_28.html
http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_3892.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae