Seno Joko Suyono, Leila S. Chudori
http://www.tempo.co.id/
Sebuah film dengan setting Hindia Belanda tahun 1930-an sampai 1950-an dengan dana besar dan keinginan besar. Riset yang serius dan seabrek kostum toh tak membantu penonton untuk terkirim ke sebuah masa lalu.
CA BAU KAN
Sutradara : Nia Di Nata
Skenario : Nia Di Nata, berdasarkan novel karya Remy Sylado
Pemain : Ferry Salim, Lola Amaria, Alex Komang, Ninik L.Karim
Produksi : Kalyana Shira Film
Betawi, tahun 1944, di bawah gempuran hujan deras. Kapal penyelundup senjata dari Thailand merapat ke sisi Pelabuhan Sunda Kelapa. Tan Peng Lian turun dari kapal dan melakukan akting yang dramatis. Pedagang peranakan Cina asal Semarang itu menjejakkan kaki di pantai, terhuyung-huyung, lalu berlutut mencium tanah. Mukanya mengekspresikan rasa syukur: “Betawi, aku wis mulih (Betawi, saya sudah pulang).” Begitulah salah satu adegan akhir film Ca Bau Kan karya perdana sutradara Nia Di Nata.
Mengangkat jagat kata-kata dalam novel ke bioskop selalu terbuka kemungkinan penciutan dan penambahan. Sang sutradara tentu saja berhak memekarkan konflik tokoh, menyederhanakan plot, membuat karakter menjadi lebih kaya, atau bahkan menambah karakter atau subplot jika diperlukan. Mau membuat ending berakhir lain dari novel aslinya pun boleh. Artinya? Novel dan film adalah dua kesenian yang berbeda dan memiliki fitrah yang berbeda.
Nia Di Nata, sutradara baru itu, justru berbuat sebaliknya. Dia tidak hanya enggan mencincang novel Remy Sylado, tetapi juga tak kunjung memanfaatkan penjelajahan visual bagi imajinasi pembaca (atau, tepatnya, penonton). Ia taat mengikuti aliran bab per bab novel dan menjauhi interpretasi. Film berdurasi dua jam ini hanya berusaha memadatkan novel. Tapi justru kesetiaannya pada novel membuat alur tersendat. Ketidakmampuan atau mungkin keengganan bereksplorasi membuat film ini tampil—meski riuh dengan warna-warni yang meriah—nyaris tanpa nyawa.
Untuk menampilkan keseluruhan novel, mulanya naskah awal terlalu panjang, bila di layar perak menuai waktu 180 menit. Nia mengedit, tapi tampaknya tanpa mengubah struktur cerita. Alhasil, beberapa adegan dan pemunculan tokoh-tokoh kehilangan logika.
Misalnya, ya, adegan di Pelabuhan Sunda Kelapa, yang hujannya jelas betul hujan bikinan itu. Bagaimana mungkin Tan Peng Lian bisa selamat membawa berpeti-peti senapan ketika tentara Jepang berjaga-jaga di setiap sudut? Pada novel karya Remy Sylado ini, sosok Tan Peng Lian dikisahkan tertangkap Jepang setelah melalui rute berliku, berperahu dari Siam ke Selat Malaka, Bengkalis, Riau, Jambi, Sumatra Selatan. Ia kemudian melakukan perjalanan darat dari Lampung, masuk hutan belukar.
Harus diakui, keberanian Nia membesut Ca Bau Kan sebagai debutnya adalah sebuah langkah yang berani. Tentu saja bukan karena temanya berkisah tentang seorang pelacur bernama Tinung, melainkan karena membuat film epik berlatar belakang sejarah bukan perkara mudah. Setting novel Japi Tambayong—nama asli si Remy—ini tergolong unik. Inilah periode saat Indonesia diliputi suasana mestizo, suasana budaya kreol, dunia blasteran. Ada Cina totok (hoa kiau), ada Cina peranakan (kiau seng). Ada Belanda totok, ada sinyo Belanda.
Kita beruntung, koleksi cerpen dan novel “sastra Melayu rendahan” (sebutan Belanda untuk karya-karya pengarang Cina di Indonesia) milik Myra Sidharta sudah terbit. Dari cerpen Kwee Tek Hoay berjudul Ruma Sekola yang Saya Impiken (1925), misalnya, kita bisa membayangkan bagai-mana suasana Batavia saat itu di mata seorang totok atau peranakan Cina. Sedangkan Remy Sylado menulis suasana Batavia sebagai setting novel Ca Bau Kan menggunakan riset. Harus diakui, Remy mampu menampilkan adat-istiadat Konghucu di Batavia dengan detail yang mengagumkan. Ia juga mampu mengetengahkan segi-segi “kosmopolitan” dunia kolonial. Para pemain musik di berbagai tempat hiburan di Batavia, misalnya, saat itu menurut novel Remy adalah pemusik Rusia. Dan ini menjadi salah satu tantangan Nia untuk mampu mengangkat pluralitas etnis semacam itu ke layar lebar.
Namun, sejak menit pertama film ini, kita tak terlempar ke dalam sebuah suasana ataupun aura di masa kreol itu. Sesungguhnya, Nia dan sinematografer German G. Mintapradja memulai dengan sebuah gambar indah. Arak-arakan perkawinan Tinung mengirim aroma antropologis. Tapi selanjutnya set terasa artifisial. Perayaan Cina yang banyak bertaburan di film ini tak menghasilkan kewajaran. Lihatlah adegan-adegan Tan Peng Lian meluncur di atas sampan berkepala naga di pesta Peh Cun di bulan Imlek; suasana pesta Cio-Ko: Schouwburg (kini Gedung Kesenian Jakarta) di era tahun 1930-an; suasana di balai lelang lukisan, upacara penguburan peti mati Tan Peng Lian; di sini atmosfer set tak meninggalkan kesan alamiah. Kenapa setting yang didasari sebuah riset yang luar biasa menghasilkan adegan bak drama televisi? Kenapa tidak menggunakan lokasi kuburan Cina, yang lebih natural? Juga, kamera miskin dalam menjelujuri elemen-elemen ritual Cina, seperti upacara arwah atau dewa-dewa di kelenteng. Hasilnya, film ini menampilkan khazanah kecinaan lebih banyak hanya secara stereotip.
Itu semua diperparah dengan selera penggunaan filter-filter, seperti biru untuk malam dan oranye untuk siang, pada kamera. Bahasa fotografi yang cenderung salon itu semakin menjauhkan penampakan visual film ini dari suasana kelampauan. Kalijodo, yang ditata berkelap-kelip seperti kunang-kunang penuh lampion merah dengan kaligrafi Cina, menghasilkan visual yang elok tapi tak meyakinkan kita bahwa lokasi pelacuran itu dahulunya seperti itu. Musik gambang kromong, cokek, atau lagu dayung sampan dalam lirik Cina juga tak sampai menghidupkan suasana tempo doeloe. Soundtrack kelompok Warna, yang mengesankan pop kekinian, berperan untuk kekurangan itu. Padahal untuk urusan musik ini Nina sampai dipertemukan oleh yang empunya cerita, Remy Sylado, dengan Tan Beh Seng, ahli gambang kromong berusia 70 tahun lebih yang menguasai versi asli alat musik tersebut. Tapi toh hasilnya adalah musik—dan ilustrasi musik—yang justru menjengkelkan telinga setiap kali muncul pada adegan dramatik atau laga.
Harus dihargai, tim artistik serius mencari rumah-rumah kuno di Lasem, Ambarawa, Tay Kak Sie di Gang Lombok, Semarang. Perabotan, meja-meja dan kursi antik, dipinjam dari kolektor di Rembang, Lasem, dan Semarang untuk akurasi lokasi. Belum lagi kereta api tempo doeloe—yang, masya Allah, luar biasa sampai Nia Di Nata berhasil menemukan kereta api setua itu—yang berderak-derak mencoba mengajak penonton masuk ke sebuah mesin waktu. Tapi toh gagal, dan toh semua itu tak kunjung berbicara jauh tentang kelampauannya. Itu disebabkan oleh satu masalah lagi: kontras dengan kostum yang dikenakan pemain.
Nia terlihat ambisius dalam soal busana. Dia melibatkan 3.000 kostum sembari mengerahkan orang-orang fashion di negeri ini. Jadilah desainer macam Anton Diaz atau Sebastian Gunawan menangani sarung, kebaya, dan aneka kemeja. Sepatu didesain oleh Yongki Komaladi. Aksesori dan perhiasan oleh Thomas Sigar. Bahkan desainer seperti Chossy Latu, Robby Tumewu, dan Yongki Komaladi juga tampil sebagai aktor sembari mengenakan pakaian garapannya sendiri.
Lihatlah kebaya yang dikenakan Tinung atau sarung tuan-tuan Cina dan Belanda itu: kebaya taman teratai, terang bulan, buketan, pucuk rebung. Perhatikan kemeja gerombolan para jurnalis: semuanya tampak rapih, necis, licin. Sepatu terlalu gilap. Baju yang dikenakan para tokoh lelaki yang berkelahi seperti habis diseterika. Pendeknya, serba luxurious. Celana komprang dan baju logro yang dipakai sosok-sosok Cina ber-taucang kuncir panjang di punggung kadang seperti tuan-tuan kesiangan di rumah-rumah kuno.
Soal akting, ini yang paling gawat. Entah karena “beban” kostum ini, karakter utama berubah terlalu hitam-putih. Tan Pek Liang menjadi sosok perlente, sesekali kesannya sadar kamera. Padahal sesungguhnya orang ini juga memiliki sisi gelap. Dalam novel dikisahkan Tan Pek Liang rela mengorbankan mati anak perempuan sulungnya dalam kecelakan lalu-lintas untuk menjadi tumbal kesuksesan dagangnya. Tapi, percayalah, Ferry Salim—dengan segala kelemahannya—seolah menjadi “penyelamat” layar putih. Paling tidak, dibandingkan dengan aktingnya selama ini di sinetron, dia sudah lumayan “tergarap” oleh sutradara. Untuk kemampuan menjadi pedagang yang licin, kekasih yang penuh afeksi, dan lelaki yang flamboyan, lengkap dengan bahasa Melayu beraksen Cina-Jawa itu, Ferry boleh dikatakan yang tampil paling lumayan, di samping Ninik L. Karim (yang berperan sebagai Giok Lan dewasa, putri Tan Peng Lian Semarang).
Yang lainnya? Kenapa pula Nia harus memasang para desainer sebagai pemain jika mereka memang tak mampu tampil? Robby Tumewu sebagai Thio Boen Hiap, Joseph Ginting sebagai Oey Eng Goan, dan Alvin Adam sebagai Timothy Wu tampil karikatural, sibuk mengangguk-angguk jika setuju, memonyongkan mulutnya jika jengkel, atau tertawa ngakak tanpa sebab. Para musuh Tan Peng Liang ini betul-betul memenuhi stereotip klasik orang jahat dalam film-film silat Indonesia. Dan penampilan para centeng Tan Peng Liang sang Tauke Pisang (ini Tan Peng Liang yang lain dari tokoh Tan Peng yang diperankan Ferry Salim) sama sekali tak bisa dimaafkan. Aduh, kenapa adegan ini tak dibuang saja? Segalanya bak teater di atas panggung. Atau, lebih pas lagi jika dikatakan: sinetron televisi. Sementara itu, puncak penderitaan Tinung dilukiskan saat ia menjadi jugun ianfu. Menurut pengakuan Mardiyem, eks jugun ianfu dari Yogya, pelampiasan nafsu para tentara Jepang itu memiliki sistem. Para jugun ianfu ditempatkan di dalam rumah-rumah, dan setiap tentara yang menikmatinya harus menukarkan kupon. Dengan kupon itu, mereka tertib bergantian datang. Film ini menggambarkan lokasi Tinung sebagai jugun ianfu di Kantor Kenpei (sekarang Markas Besar Angkatan Darat). Tapi film ini langsung menggelar imajinasi paling stereotip. Tinung diperkosa dalam ruang gelap beralas jerami. Apa boleh buat, akting Lola Amaria tenggelam. Tak muncul kesan bahwa perannya adalah utama dalam cerita ini.
Ujung-ujung film ini menekankan Tan Peng Lian Cina sebagai Cina yang nasionalis. Novel Remy sedari awal tidak menampilkan cerita seorang peranakan Cina yang sadar pergerakan, seperti banyak aktivis Cina yang giat mengelola bacaan liar melawan propaganda Hindia Belanda saat itu. Ia hanya mendongengkan seorang pedagang yang membantu militer dan kelak kemudian hari hidupnya terjamin saat zaman berganti. Tapi sesungguhnya, tanpa memfokuskan ke arah itu, ia menyentil sesuatu yang substansial. Bukankah kedekatan Lim Soei Liong dengan Orde Baru berawal dari persahabatan penyelundupan semacam ini? Nia tak menggarap kemungkinan yang merefleksikan hal itu, kecuali dialog Tan Peng Liang yang menyatakan siap membantu para pejuang asal mereka ingat jika sudah mendapat kedudukan di pemerintahan.
Akhir cerita, Tan Peng Liang tewas diracun, diposisikan sebagai semacam hero. Bahkan tokoh-tokoh Ca Bau Kan mengutip kalimat verbal tentang perjuangan kemerdekaan. Alex Komang, yang memerankan R.M. Soetardjo Raharjo, bekas PNI, tokoh yang sarjana hukum, sama sekali tak tampak sebagai tokoh pergerakan. Adegan ia berlatih di kamp Jepang lebih mirip drama 17 Agustusan.
Apa boleh buat, film seharga lima miliar rupiah ini, lantaran pendekatannya mirip sinetron, jatuh menjadi roman melodramatik biasa yang lebih cocok bila disiarkan di televisi. Telah banyak novelis Indonesia yang kecewa ketika karyanya diangkat ke layar perak. Y.B. Mangunwijaya tak mau dicantumkan namanya tatkala Roro Mendut diangkat ke layar putih oleh Ami Prijono. Achdiat Kartamiharja merasa film Atheis garapan Sjuman Djaya tidak sepenuhnya menangkap amanat novelnya. Bagaimana tanggapan Remy Sylado atas film ini? Konon, ia mengeluh banyak konflik pada tokoh-tokohnya dihilangkan. Bagaimanapun, film ini tetap harus dihargai sebagai bagian dari semaraknya kebangkitan sineas muda.
24 Februari 2002
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar