Jumat, 18 November 2011

Cina Kreol Model Para Desainer

Seno Joko Suyono, Leila S. Chudori
http://www.tempo.co.id/

Sebuah film dengan setting Hindia Belanda tahun 1930-an sampai 1950-an dengan dana besar dan keinginan besar. Riset yang serius dan seabrek kostum toh tak membantu penonton untuk terkirim ke sebuah masa lalu.

CA BAU KAN
Sutradara : Nia Di Nata
Skenario : Nia Di Nata, berdasarkan novel karya Remy Sylado
Pemain : Ferry Salim, Lola Amaria, Alex Komang, Ninik L.Karim
Produksi : Kalyana Shira Film

Betawi, tahun 1944, di bawah gempuran hujan deras. Kapal penyelundup senjata dari Thailand merapat ke sisi Pelabuhan Sunda Kelapa. Tan Peng Lian turun dari kapal dan melakukan akting yang dramatis. Pedagang peranakan Cina asal Semarang itu menjejakkan kaki di pantai, terhuyung-huyung, lalu berlutut mencium tanah. Mukanya mengekspresikan rasa syukur: “Betawi, aku wis mulih (Betawi, saya sudah pulang).” Begitulah salah satu adegan akhir film Ca Bau Kan karya perdana sutradara Nia Di Nata.

Mengangkat jagat kata-kata dalam novel ke bioskop selalu terbuka kemungkinan penciutan dan penambahan. Sang sutradara tentu saja berhak memekarkan konflik tokoh, menyederhanakan plot, membuat karakter menjadi lebih kaya, atau bahkan menambah karakter atau subplot jika diperlukan. Mau membuat ending berakhir lain dari novel aslinya pun boleh. Artinya? Novel dan film adalah dua kesenian yang berbeda dan memiliki fitrah yang berbeda.

Nia Di Nata, sutradara baru itu, justru berbuat sebaliknya. Dia tidak hanya enggan mencincang novel Remy Sylado, tetapi juga tak kunjung memanfaatkan penjelajahan visual bagi imajinasi pembaca (atau, tepatnya, penonton). Ia taat mengikuti aliran bab per bab novel dan menjauhi interpretasi. Film berdurasi dua jam ini hanya berusaha memadatkan novel. Tapi justru kesetiaannya pada novel membuat alur tersendat. Ketidakmampuan atau mungkin keengganan bereksplorasi membuat film ini tampil—meski riuh dengan warna-warni yang meriah—nyaris tanpa nyawa.

Untuk menampilkan keseluruhan novel, mulanya naskah awal terlalu panjang, bila di layar perak menuai waktu 180 menit. Nia mengedit, tapi tampaknya tanpa mengubah struktur cerita. Alhasil, beberapa adegan dan pemunculan tokoh-tokoh kehilangan logika.

Misalnya, ya, adegan di Pelabuhan Sunda Kelapa, yang hujannya jelas betul hujan bikinan itu. Bagaimana mungkin Tan Peng Lian bisa selamat membawa berpeti-peti senapan ketika tentara Jepang berjaga-jaga di setiap sudut? Pada novel karya Remy Sylado ini, sosok Tan Peng Lian dikisahkan tertangkap Jepang setelah melalui rute berliku, berperahu dari Siam ke Selat Malaka, Bengkalis, Riau, Jambi, Sumatra Selatan. Ia kemudian melakukan perjalanan darat dari Lampung, masuk hutan belukar.

Harus diakui, keberanian Nia membesut Ca Bau Kan sebagai debutnya adalah sebuah langkah yang berani. Tentu saja bukan karena temanya berkisah tentang seorang pelacur bernama Tinung, melainkan karena membuat film epik berlatar belakang sejarah bukan perkara mudah. Setting novel Japi Tambayong—nama asli si Remy—ini tergolong unik. Inilah periode saat Indonesia diliputi suasana mestizo, suasana budaya kreol, dunia blasteran. Ada Cina totok (hoa kiau), ada Cina peranakan (kiau seng). Ada Belanda totok, ada sinyo Belanda.

Kita beruntung, koleksi cerpen dan novel “sastra Melayu rendahan” (sebutan Belanda untuk karya-karya pengarang Cina di Indonesia) milik Myra Sidharta sudah terbit. Dari cerpen Kwee Tek Hoay berjudul Ruma Sekola yang Saya Impiken (1925), misalnya, kita bisa membayangkan bagai-mana suasana Batavia saat itu di mata seorang totok atau peranakan Cina. Sedangkan Remy Sylado menulis suasana Batavia sebagai setting novel Ca Bau Kan menggunakan riset. Harus diakui, Remy mampu menampilkan adat-istiadat Konghucu di Batavia dengan detail yang mengagumkan. Ia juga mampu mengetengahkan segi-segi “kosmopolitan” dunia kolonial. Para pemain musik di berbagai tempat hiburan di Batavia, misalnya, saat itu menurut novel Remy adalah pemusik Rusia. Dan ini menjadi salah satu tantangan Nia untuk mampu mengangkat pluralitas etnis semacam itu ke layar lebar.

Namun, sejak menit pertama film ini, kita tak terlempar ke dalam sebuah suasana ataupun aura di masa kreol itu. Sesungguhnya, Nia dan sinematografer German G. Mintapradja memulai dengan sebuah gambar indah. Arak-arakan perkawinan Tinung mengirim aroma antropologis. Tapi selanjutnya set terasa artifisial. Perayaan Cina yang banyak bertaburan di film ini tak menghasilkan kewajaran. Lihatlah adegan-adegan Tan Peng Lian meluncur di atas sampan berkepala naga di pesta Peh Cun di bulan Imlek; suasana pesta Cio-Ko: Schouwburg (kini Gedung Kesenian Jakarta) di era tahun 1930-an; suasana di balai lelang lukisan, upacara penguburan peti mati Tan Peng Lian; di sini atmosfer set tak meninggalkan kesan alamiah. Kenapa setting yang didasari sebuah riset yang luar biasa menghasilkan adegan bak drama televisi? Kenapa tidak menggunakan lokasi kuburan Cina, yang lebih natural? Juga, kamera miskin dalam menjelujuri elemen-elemen ritual Cina, seperti upacara arwah atau dewa-dewa di kelenteng. Hasilnya, film ini menampilkan khazanah kecinaan lebih banyak hanya secara stereotip.

Itu semua diperparah dengan selera penggunaan filter-filter, seperti biru untuk malam dan oranye untuk siang, pada kamera. Bahasa fotografi yang cenderung salon itu semakin menjauhkan penampakan visual film ini dari suasana kelampauan. Kalijodo, yang ditata berkelap-kelip seperti kunang-kunang penuh lampion merah dengan kaligrafi Cina, menghasilkan visual yang elok tapi tak meyakinkan kita bahwa lokasi pelacuran itu dahulunya seperti itu. Musik gambang kromong, cokek, atau lagu dayung sampan dalam lirik Cina juga tak sampai menghidupkan suasana tempo doeloe. Soundtrack kelompok Warna, yang mengesankan pop kekinian, berperan untuk kekurangan itu. Padahal untuk urusan musik ini Nina sampai dipertemukan oleh yang empunya cerita, Remy Sylado, dengan Tan Beh Seng, ahli gambang kromong berusia 70 tahun lebih yang menguasai versi asli alat musik tersebut. Tapi toh hasilnya adalah musik—dan ilustrasi musik—yang justru menjengkelkan telinga setiap kali muncul pada adegan dramatik atau laga.

Harus dihargai, tim artistik serius mencari rumah-rumah kuno di Lasem, Ambarawa, Tay Kak Sie di Gang Lombok, Semarang. Perabotan, meja-meja dan kursi antik, dipinjam dari kolektor di Rembang, Lasem, dan Semarang untuk akurasi lokasi. Belum lagi kereta api tempo doeloe—yang, masya Allah, luar biasa sampai Nia Di Nata berhasil menemukan kereta api setua itu—yang berderak-derak mencoba mengajak penonton masuk ke sebuah mesin waktu. Tapi toh gagal, dan toh semua itu tak kunjung berbicara jauh tentang kelampauannya. Itu disebabkan oleh satu masalah lagi: kontras dengan kostum yang dikenakan pemain.

Nia terlihat ambisius dalam soal busana. Dia melibatkan 3.000 kostum sembari mengerahkan orang-orang fashion di negeri ini. Jadilah desainer macam Anton Diaz atau Sebastian Gunawan menangani sarung, kebaya, dan aneka kemeja. Sepatu didesain oleh Yongki Komaladi. Aksesori dan perhiasan oleh Thomas Sigar. Bahkan desainer seperti Chossy Latu, Robby Tumewu, dan Yongki Komaladi juga tampil sebagai aktor sembari mengenakan pakaian garapannya sendiri.

Lihatlah kebaya yang dikenakan Tinung atau sarung tuan-tuan Cina dan Belanda itu: kebaya taman teratai, terang bulan, buketan, pucuk rebung. Perhatikan kemeja gerombolan para jurnalis: semuanya tampak rapih, necis, licin. Sepatu terlalu gilap. Baju yang dikenakan para tokoh lelaki yang berkelahi seperti habis diseterika. Pendeknya, serba luxurious. Celana komprang dan baju logro yang dipakai sosok-sosok Cina ber-taucang kuncir panjang di punggung kadang seperti tuan-tuan kesiangan di rumah-rumah kuno.

Soal akting, ini yang paling gawat. Entah karena “beban” kostum ini, karakter utama berubah terlalu hitam-putih. Tan Pek Liang menjadi sosok perlente, sesekali kesannya sadar kamera. Padahal sesungguhnya orang ini juga memiliki sisi gelap. Dalam novel dikisahkan Tan Pek Liang rela mengorbankan mati anak perempuan sulungnya dalam kecelakan lalu-lintas untuk menjadi tumbal kesuksesan dagangnya. Tapi, percayalah, Ferry Salim—dengan segala kelemahannya—seolah menjadi “penyelamat” layar putih. Paling tidak, dibandingkan dengan aktingnya selama ini di sinetron, dia sudah lumayan “tergarap” oleh sutradara. Untuk kemampuan menjadi pedagang yang licin, kekasih yang penuh afeksi, dan lelaki yang flamboyan, lengkap dengan bahasa Melayu beraksen Cina-Jawa itu, Ferry boleh dikatakan yang tampil paling lumayan, di samping Ninik L. Karim (yang berperan sebagai Giok Lan dewasa, putri Tan Peng Lian Semarang).

Yang lainnya? Kenapa pula Nia harus memasang para desainer sebagai pemain jika mereka memang tak mampu tampil? Robby Tumewu sebagai Thio Boen Hiap, Joseph Ginting sebagai Oey Eng Goan, dan Alvin Adam sebagai Timothy Wu tampil karikatural, sibuk mengangguk-angguk jika setuju, memonyongkan mulutnya jika jengkel, atau tertawa ngakak tanpa sebab. Para musuh Tan Peng Liang ini betul-betul memenuhi stereotip klasik orang jahat dalam film-film silat Indonesia. Dan penampilan para centeng Tan Peng Liang sang Tauke Pisang (ini Tan Peng Liang yang lain dari tokoh Tan Peng yang diperankan Ferry Salim) sama sekali tak bisa dimaafkan. Aduh, kenapa adegan ini tak dibuang saja? Segalanya bak teater di atas panggung. Atau, lebih pas lagi jika dikatakan: sinetron televisi. Sementara itu, puncak penderitaan Tinung dilukiskan saat ia menjadi jugun ianfu. Menurut pengakuan Mardiyem, eks jugun ianfu dari Yogya, pelampiasan nafsu para tentara Jepang itu memiliki sistem. Para jugun ianfu ditempatkan di dalam rumah-rumah, dan setiap tentara yang menikmatinya harus menukarkan kupon. Dengan kupon itu, mereka tertib bergantian datang. Film ini menggambarkan lokasi Tinung sebagai jugun ianfu di Kantor Kenpei (sekarang Markas Besar Angkatan Darat). Tapi film ini langsung menggelar imajinasi paling stereotip. Tinung diperkosa dalam ruang gelap beralas jerami. Apa boleh buat, akting Lola Amaria tenggelam. Tak muncul kesan bahwa perannya adalah utama dalam cerita ini.

Ujung-ujung film ini menekankan Tan Peng Lian Cina sebagai Cina yang nasionalis. Novel Remy sedari awal tidak menampilkan cerita seorang peranakan Cina yang sadar pergerakan, seperti banyak aktivis Cina yang giat mengelola bacaan liar melawan propaganda Hindia Belanda saat itu. Ia hanya mendongengkan seorang pedagang yang membantu militer dan kelak kemudian hari hidupnya terjamin saat zaman berganti. Tapi sesungguhnya, tanpa memfokuskan ke arah itu, ia menyentil sesuatu yang substansial. Bukankah kedekatan Lim Soei Liong dengan Orde Baru berawal dari persahabatan penyelundupan semacam ini? Nia tak menggarap kemungkinan yang merefleksikan hal itu, kecuali dialog Tan Peng Liang yang menyatakan siap membantu para pejuang asal mereka ingat jika sudah mendapat kedudukan di pemerintahan.

Akhir cerita, Tan Peng Liang tewas diracun, diposisikan sebagai semacam hero. Bahkan tokoh-tokoh Ca Bau Kan mengutip kalimat verbal tentang perjuangan kemerdekaan. Alex Komang, yang memerankan R.M. Soetardjo Raharjo, bekas PNI, tokoh yang sarjana hukum, sama sekali tak tampak sebagai tokoh pergerakan. Adegan ia berlatih di kamp Jepang lebih mirip drama 17 Agustusan.

Apa boleh buat, film seharga lima miliar rupiah ini, lantaran pendekatannya mirip sinetron, jatuh menjadi roman melodramatik biasa yang lebih cocok bila disiarkan di televisi. Telah banyak novelis Indonesia yang kecewa ketika karyanya diangkat ke layar perak. Y.B. Mangunwijaya tak mau dicantumkan namanya tatkala Roro Mendut diangkat ke layar putih oleh Ami Prijono. Achdiat Kartamiharja merasa film Atheis garapan Sjuman Djaya tidak sepenuhnya menangkap amanat novelnya. Bagaimana tanggapan Remy Sylado atas film ini? Konon, ia mengeluh banyak konflik pada tokoh-tokohnya dihilangkan. Bagaimanapun, film ini tetap harus dihargai sebagai bagian dari semaraknya kebangkitan sineas muda.

24 Februari 2002

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae