Selasa, 06 September 2011

Kematian Makna Kultural Bahasa

Anjrah Lelono Broto
http://www.kompasiana.com/anjrah_lelono_broto

Bahasa adalah Bangsa (Muhamad Yamin)

Bahasa adalah bagian integral materi yang dipergunakan manusia untuk menilai manusia lain. Ajining raga saka busana, ajining diri saka ing lathi (nilai fisik manusia diukur dari pola estetika berbusana, nilai moral dan spiritual manusia diukur dari bahasa, pen). Demikian sebuah unen-unen Jawa klasik yang mungkin pernah atau sering kita dengarkan. Harga diri kita dinilai dan dipersepsikan oleh orang lain (masyarakat) dari estetika berbusana dan berbicara (tindak bahasa aktif dengan menggunakan media lisan).

Pemimpin partai berlambang banteng moncong putih, Megawati Sukarnoputri, pernah dipersepsikan publik sebagai individu yang kurang cerdas, hanya karena jarang berpidato atau berdiskusi dalam forum-forum terbuka. Padahal ayahanda beliau, Bung Karno, dikenal oleh dunia internasional sebagai orator yang ulung. Konon, Bung Karno mampu memelihara audiens agar tidak terserang kantuk hingga 3-4 jam dengan tuturan yang mempesona. Tahukah kita bahwa di tahun 1890-an, parlemen Belanda, Inggris, Perancis, dan Rusia, dibuat terpesona oleh Sosrokartono (Om Sos) – kakak R.A. Kartini - yang mampu berpidato dengan 64 macam bahasa dengan tujuan memperkenalkan Indonesia.Sosrokartono dipandang sebagai figur yang cerdas hingga mendapatkan sebutan ‘De Mooi Sos’ dan ditawari kursi parlemen Belanda.

Obama dipersepsikan publik Amerika kurang serius menangani krisis ekonomi yang sedang melanda hanya karena bahasa-bahasa humorisnya di sebuah acara talk show. Sedangkan, SBY sempat mendapat julukan “meloww” karena sering curhat tentang apa saja yang sedang menghantam dirinya dalam agenda apa saja, di mana saja, dan mungkin kapan saja. Kemudian, Ruhut Sitompul kemarin dihujat habis-habisan oleh publik karena menggunakan kosakata yang tidak pantas dalam sebuah agenda kenegaraan (rapat pansus century).

Lalu, bagaimana dengan tindak tutur kita sekarang? Apakah bahasa Indonesia benar-benar telah menempati fungsi dan kedudukannya sebagai bahasa nasional (bahasa pemersatu bangsa)? Ataukah kita lebih menyukai bahasa SMS dalam menyampaikan pesan-pesan kita?

Revitalisasi

Revitalisasi secara etimologis bermakna ‘proses penghidupan kembali’. Sesuatu yang telah ‘mati’ dihidupkan kembali melalui sebuah proses yang berpijak pada metodologi ilmiah, dengan refleksi dalam setiap tahapan siklus proses, dan berkesinambungan. Upaya revitalisasi merupakan usaha secara intens menggali dan membangkitkan kembali nilai-nilai yang lama terkubur (tenggelam). Revitalisasi makna kultural Bahasa Indonesia adalah usaha membangkitkan kembali makna kultural Bahasa Indonesia sebagai media mempersatukan bangsa. Tentu saja, bahasa bukan satu-satunya wahana untuk menyembuhkan degradasi multidimensional bangsa Indonesia yang menyerang sel kekebalan tubuh bangsa, yaitu persatuan dan kesatuan. Paling tidak, upaya tersebut mampu memberi kontribusi positif dalam rangka menciptakan Indonesia yang lebih baik.

Penobatan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional oleh Bapak Pendiri Bangsa adalah sebuah upaya penanaman nasionalisme. Penggunaan bahasa Indonesia dapat menjadi piranti komunikasi antar suku maupun golongan yang memiliki bahasa dan kultural berbeda. Bahasa Indonesia jika dikaji secara semantis maupun sosiolinguistik memiliki kandungan nilai kultural yang mencerminkan watak dan karakter bangsa secara menyeluruh.

Di antara bahasa-bahasa rumpun Melanesia, seperti Bahasa Melayu, Bahasa Indonesia memiliki bobot kultural yang kental dan hanya mencerminkan satu watak masyarakat, yakni Indonesia. Namun sayang, kekayaan makna kultural ini, hari ini, telah banyak dilupakan.

Di era globalisasi, ketika teknologi informasi seolah menjadi ‘Raja’ dalam multi-aktifitas manusia, bahasa menjadi semakin inferior. Fungsi bahasa tak lebih hanya sebagai alat komunikasi yang miskin makna. Bahkan tak jarang bahasa digantikan oleh kecanggihan ‘mesin’ sehingga tak perlu menggunakan kata-kata yang terikat struktur gramatikal maupun semantik, karena dinilai terlalu primitif (ketinggalan jaman). Pendeknya, bahasa kian terpojok di tengah riuhnya kehidupan modern. Contoh konkretnya, pembelajaran bahasa Indonesia hanya berhenti di tataran materi pembelajaran di sekolah dan terperosok hanya pada persiapan UNAS semata, dengan fokus pembelajaran bahasa pada model soal pilihan ganda yang memasifkan aplikasi bahasa itu sendiri. Implikasinya, bahasa menjadi kehilangan makna semantis, estetis, serta sosiolingistik-nya. Padahal ketiganya menyiratkan makna kultural yang mampu memberi kontribusi positif menuju masyarakat yang lebih beradab.

Anasir semantik menghadirkan kebermaknaan kosakata bahasa. Tinjauan makna ini memberi kekayaan estetika bahasa. Apabila sebuah komunitas mampu menemukan nilai-nilai estetis dalam alat komunikasinya, yakni bahasa yang dipergunakan, maka komunitas tersebut mampu berkomunikasi secara santun dan memiliki pola pendekatan yang beradab. Pola komunikasi dalam segala aktivitas kehidupan jika menggunakan anasir estetis ‘dijamin’ akan terhindar dari kesalahpahaman komunikasi yang berpotensi konflik. Sebuah pesan dari komunikator apabila diterima dengan gejala keliru-tafsir akan melahirkan pemahaman yang berbeda dari komunikan. Faktanya, seorang komunikator dewasa ini dalam menyampaikan pesan cenderung menyukai untuk menggunakan tuturan provokatif dan mengabaikan estetika bahasa. Jika tujuannya hanya untuk mendapatkan perhatian dari komunikan, tujuan tersebut sudah lama tercapai. Tetapi jika tujuannya adalah menyampaikan pesan maka konfliklah yang mungkin tercapai.

Bahasa Iklan Politik

Saat pemilu kemarin, setiap waktu berdetik, publik dijejali beragam iklan politik melalui televisi, koran, pamflet, hingga kampanye-kampanye terbuka. Iklan politik merupakan bentuk kegiatan yang berperan besar dalam pendistorsian makna bahasa. Sehingga muncul ambiguitas makna atau multi-tafsir yang mengundang ‘kebingungan’ masyarakat sebagai komunikan. Dalam iklan politik, bahasa diolah sedemikian rupa sehingga makin jauh dari makna sebenarnya. Misalnya dalam jargon; Bersama Kita Bisa, Saya Saja Dikhianati Apalagi Kalian!, PKB adalah Anak Tunggal NU, IMF Lunas, Garuda Pancasila Tak Bisa Terbang Tinggi Jika Sayapnya Hanya Satu, yaitu Sayap Laki-laki, dan lain-lain. Kalimat-kalimat dalam iklan politik ini hanya dititikberatkan pada aspek provokatif dan jauh dari aspek gramatikal, semantik apalagi makna estetis.

Provokasi dalam bahasa iklan politik memang menemukan keberhasilan, sisi menarik membuat masyarakat terangsang untuk membaca. Tetapi, materi pesan yang disampaikan dalam bahasa iklan politik tersebut tercerai-berai bak mobil-mobil yang tersangkut di pohon akibat Tsunami Situ Gintung. Apa yang dipahami masyarakat dari iklan politik ‘PKB Adalah Anak Tunggal NU’ yang disampaikan Muhaimin. Apakah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi masyarakat bisa menikah dan memiliki keturunan, pertanyaan konyolnya adalah; ‘Siapa Bapaknya PKB?’. Kemudian iklan politik Partai Demokrat; ‘IMF Lunas’.

Internatinational Monetary Found (IMF) adalah nama lembaga yang memberikan pinjaman, bukan nama jenis pinjaman. Secara semantik, kata ‘lunas’ digunakan untuk menerangkan kondisi terbebas dari pinjaman, tidak mengacu kepada nama lembaga pemberi pinjaman. Jika diperbaiki, maka bahasa yang tepat adalah ‘Hutang Kita di IMF telah Lunas’. Lebih panjang, memang. Tetapi, aspek gramatikal dan semantik kalimat tidak rusak dan pesan dapat dipahami oleh komunikan. Sebuah artikel dalam jurnal bahasa terbitan Cambridge University (2007) bertajuk Aesthetics Linguistic on Politic Ads menyatakan, “Iklan politik menduduki ranking pertama sebagai agen perusak dimensi estetik bahasa. Ragam tutur ranah politik cenderung memanipulir makna bahasa menjadi sangat provokatif sehingga kata kehilangan makna sebenarnya. Jika dilakukan terus-menerus, dalam fase tertentu akan menimbulkan pertikaian karena perbedaan persepsi tentang suatu obyek”.

Makna Bahasa Kultural

Berikutnya, dalam tataran sosiolinguistik, bahasa dewasa ini telah mengalami pergeseran fungsi. Kajian sosiolinguistik menitikberatkan peran bahasa sebagai medium untuk menyampaikan pesan dan mempertemukan pemahaman terhadap perbedaan ragam tutur dalam masyarakat. Tujuannya agar dicapai kesamaan persepsi menuju terciptanya tatanan sosio-kultural yang lebih baik. Analisis sosiolinguistik merupakan upaya intektual mengkaji fungsi sosial bahasa. Selain itu, sosiolinguistik menyajikan metode pengkajian untuk membedah potensi sosial bahasa.

Sebagai alat komunikasi, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi antar institusi sosial. Setiap komunitas sosial melakukan interaksi menggunakan ragam tutur berbeda, tergantung karakter masing-masing komunitas. Masing-masing ragam tutur menyiratkan perilaku, sikap, dan sifat penuturnya. Kenyataan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 2000 ragam tutur. Bahasa yang dipergunakan di seluruh Indonesia adalah Bahasa Indonesia, namun realitasnya ada bahasa Indonesia Jakarta-an, Model Indonesia Timur, Gaya Kebatak-batakan, Gaya Mirip Madura, Gaya Bencong Punya, Ragam Bahasa SMS, dan lain-lain.

Para Linguis menyebut fenomena ini sebagai dampak dialek bahasa masing-masing regional dan perubahan sosial masyarakat yang menginterferensi Bahasa Indonesia. Sementara itu, fenomena kekerasan, perang antar suku, selisih paham antar komunitas dan etnis yang berujung pada tindakan agresif merupakan wujud tersumbatnya interaksi sosial di antara mereka. Kondisi ini berangkat dari ketidakpahaman kultural antar komunitas dalam masyarakat. Bentrok karena perbedaan persepsi pun terjadi. Kasus Poso, Tragedi Sampit, Perang Suku di Irian Jaya, Perang Tarkam (antar kampung) di Jakarta, dilatarbelakangi minimnya komunikasi antar kelompok dan penggunaan bahasa yang mempertimbangkan unsur estetis-kultural.

Dalam komunikasi di media massa, dunia hiburan kita kental dengan karakter yang mempergunakan bahasa Indonesia yang carut-marut dengan dialek etnik tertentu. Kesadaran kita memahami bahwa penggunaan tuturan tersebut hanya untuk kepentingan entertainment, namun apakah kita menyadari bahwa kegiatan tersebut dapat menyinggung humanitas pemilik tutur karena dilakukan dengan minimaliasi pemahaman tentang kultur pemilik tutur itu sendiri? Gaya tutur masyarakat Bali, Tapanuli (Batak), Madura, Papua, Jawa Tengah (Kulonan), Banyumas, dan lain-lain menjadi komoditi yang menjual dalam dunia hiburan, namun sadarkah kita bahwa kita juga sedang memelihara materi komoditi konflik? Kenyataan tersebut adalah wujud hilangnya makna kultural bahasa. Seharusnya dengan potensi kultural-nya, bahasa mampu duduk sebagai media komunikasi universal lintas suku, agama, dan ras.

Memahami bahasa, seyogyanya juga diikuti pemahaman makna kultural yang terkandung di dalamnya, sehingga bahasa tidak hanya dipahami sebagai rangkaian kalimat untuk menyampaikan maksud tertentu. Tetapi sekaligus memahami makna yang terkandung ‘di balik’ kalimat itu sendiri. Inilah komunikasi dengan pendekatan kultural bahasa! Kegagalan menyampaikan pesan antara komunikator dan komunikan yang berakibat pada kesalahpahaman persepsi dan konflik terbuka merupakan kelemahan kita yang cenderung menyepelekan estetika bahasa. Bahasa adalah bagian integral dari budaya (kultur), apabila sebuah masyarakat menggunakan bahasa yang compang-camping, bersediakah kita disebut sebagai masyarakat yang berbudaya compang-camping? Mau?

(Tolong jangan dijawab; “Mau… Mau…. Mau”!)

Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2010/02/05/kematian-makna-kultural-bahasa/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae