Anjrah Lelono Broto
http://www.kompasiana.com/anjrah_lelono_broto
Bahasa adalah Bangsa (Muhamad Yamin)
Bahasa adalah bagian integral materi yang dipergunakan manusia untuk menilai manusia lain. Ajining raga saka busana, ajining diri saka ing lathi (nilai fisik manusia diukur dari pola estetika berbusana, nilai moral dan spiritual manusia diukur dari bahasa, pen). Demikian sebuah unen-unen Jawa klasik yang mungkin pernah atau sering kita dengarkan. Harga diri kita dinilai dan dipersepsikan oleh orang lain (masyarakat) dari estetika berbusana dan berbicara (tindak bahasa aktif dengan menggunakan media lisan).
Pemimpin partai berlambang banteng moncong putih, Megawati Sukarnoputri, pernah dipersepsikan publik sebagai individu yang kurang cerdas, hanya karena jarang berpidato atau berdiskusi dalam forum-forum terbuka. Padahal ayahanda beliau, Bung Karno, dikenal oleh dunia internasional sebagai orator yang ulung. Konon, Bung Karno mampu memelihara audiens agar tidak terserang kantuk hingga 3-4 jam dengan tuturan yang mempesona. Tahukah kita bahwa di tahun 1890-an, parlemen Belanda, Inggris, Perancis, dan Rusia, dibuat terpesona oleh Sosrokartono (Om Sos) – kakak R.A. Kartini - yang mampu berpidato dengan 64 macam bahasa dengan tujuan memperkenalkan Indonesia.Sosrokartono dipandang sebagai figur yang cerdas hingga mendapatkan sebutan ‘De Mooi Sos’ dan ditawari kursi parlemen Belanda.
Obama dipersepsikan publik Amerika kurang serius menangani krisis ekonomi yang sedang melanda hanya karena bahasa-bahasa humorisnya di sebuah acara talk show. Sedangkan, SBY sempat mendapat julukan “meloww” karena sering curhat tentang apa saja yang sedang menghantam dirinya dalam agenda apa saja, di mana saja, dan mungkin kapan saja. Kemudian, Ruhut Sitompul kemarin dihujat habis-habisan oleh publik karena menggunakan kosakata yang tidak pantas dalam sebuah agenda kenegaraan (rapat pansus century).
Lalu, bagaimana dengan tindak tutur kita sekarang? Apakah bahasa Indonesia benar-benar telah menempati fungsi dan kedudukannya sebagai bahasa nasional (bahasa pemersatu bangsa)? Ataukah kita lebih menyukai bahasa SMS dalam menyampaikan pesan-pesan kita?
Revitalisasi
Revitalisasi secara etimologis bermakna ‘proses penghidupan kembali’. Sesuatu yang telah ‘mati’ dihidupkan kembali melalui sebuah proses yang berpijak pada metodologi ilmiah, dengan refleksi dalam setiap tahapan siklus proses, dan berkesinambungan. Upaya revitalisasi merupakan usaha secara intens menggali dan membangkitkan kembali nilai-nilai yang lama terkubur (tenggelam). Revitalisasi makna kultural Bahasa Indonesia adalah usaha membangkitkan kembali makna kultural Bahasa Indonesia sebagai media mempersatukan bangsa. Tentu saja, bahasa bukan satu-satunya wahana untuk menyembuhkan degradasi multidimensional bangsa Indonesia yang menyerang sel kekebalan tubuh bangsa, yaitu persatuan dan kesatuan. Paling tidak, upaya tersebut mampu memberi kontribusi positif dalam rangka menciptakan Indonesia yang lebih baik.
Penobatan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional oleh Bapak Pendiri Bangsa adalah sebuah upaya penanaman nasionalisme. Penggunaan bahasa Indonesia dapat menjadi piranti komunikasi antar suku maupun golongan yang memiliki bahasa dan kultural berbeda. Bahasa Indonesia jika dikaji secara semantis maupun sosiolinguistik memiliki kandungan nilai kultural yang mencerminkan watak dan karakter bangsa secara menyeluruh.
Di antara bahasa-bahasa rumpun Melanesia, seperti Bahasa Melayu, Bahasa Indonesia memiliki bobot kultural yang kental dan hanya mencerminkan satu watak masyarakat, yakni Indonesia. Namun sayang, kekayaan makna kultural ini, hari ini, telah banyak dilupakan.
Di era globalisasi, ketika teknologi informasi seolah menjadi ‘Raja’ dalam multi-aktifitas manusia, bahasa menjadi semakin inferior. Fungsi bahasa tak lebih hanya sebagai alat komunikasi yang miskin makna. Bahkan tak jarang bahasa digantikan oleh kecanggihan ‘mesin’ sehingga tak perlu menggunakan kata-kata yang terikat struktur gramatikal maupun semantik, karena dinilai terlalu primitif (ketinggalan jaman). Pendeknya, bahasa kian terpojok di tengah riuhnya kehidupan modern. Contoh konkretnya, pembelajaran bahasa Indonesia hanya berhenti di tataran materi pembelajaran di sekolah dan terperosok hanya pada persiapan UNAS semata, dengan fokus pembelajaran bahasa pada model soal pilihan ganda yang memasifkan aplikasi bahasa itu sendiri. Implikasinya, bahasa menjadi kehilangan makna semantis, estetis, serta sosiolingistik-nya. Padahal ketiganya menyiratkan makna kultural yang mampu memberi kontribusi positif menuju masyarakat yang lebih beradab.
Anasir semantik menghadirkan kebermaknaan kosakata bahasa. Tinjauan makna ini memberi kekayaan estetika bahasa. Apabila sebuah komunitas mampu menemukan nilai-nilai estetis dalam alat komunikasinya, yakni bahasa yang dipergunakan, maka komunitas tersebut mampu berkomunikasi secara santun dan memiliki pola pendekatan yang beradab. Pola komunikasi dalam segala aktivitas kehidupan jika menggunakan anasir estetis ‘dijamin’ akan terhindar dari kesalahpahaman komunikasi yang berpotensi konflik. Sebuah pesan dari komunikator apabila diterima dengan gejala keliru-tafsir akan melahirkan pemahaman yang berbeda dari komunikan. Faktanya, seorang komunikator dewasa ini dalam menyampaikan pesan cenderung menyukai untuk menggunakan tuturan provokatif dan mengabaikan estetika bahasa. Jika tujuannya hanya untuk mendapatkan perhatian dari komunikan, tujuan tersebut sudah lama tercapai. Tetapi jika tujuannya adalah menyampaikan pesan maka konfliklah yang mungkin tercapai.
Bahasa Iklan Politik
Saat pemilu kemarin, setiap waktu berdetik, publik dijejali beragam iklan politik melalui televisi, koran, pamflet, hingga kampanye-kampanye terbuka. Iklan politik merupakan bentuk kegiatan yang berperan besar dalam pendistorsian makna bahasa. Sehingga muncul ambiguitas makna atau multi-tafsir yang mengundang ‘kebingungan’ masyarakat sebagai komunikan. Dalam iklan politik, bahasa diolah sedemikian rupa sehingga makin jauh dari makna sebenarnya. Misalnya dalam jargon; Bersama Kita Bisa, Saya Saja Dikhianati Apalagi Kalian!, PKB adalah Anak Tunggal NU, IMF Lunas, Garuda Pancasila Tak Bisa Terbang Tinggi Jika Sayapnya Hanya Satu, yaitu Sayap Laki-laki, dan lain-lain. Kalimat-kalimat dalam iklan politik ini hanya dititikberatkan pada aspek provokatif dan jauh dari aspek gramatikal, semantik apalagi makna estetis.
Provokasi dalam bahasa iklan politik memang menemukan keberhasilan, sisi menarik membuat masyarakat terangsang untuk membaca. Tetapi, materi pesan yang disampaikan dalam bahasa iklan politik tersebut tercerai-berai bak mobil-mobil yang tersangkut di pohon akibat Tsunami Situ Gintung. Apa yang dipahami masyarakat dari iklan politik ‘PKB Adalah Anak Tunggal NU’ yang disampaikan Muhaimin. Apakah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi masyarakat bisa menikah dan memiliki keturunan, pertanyaan konyolnya adalah; ‘Siapa Bapaknya PKB?’. Kemudian iklan politik Partai Demokrat; ‘IMF Lunas’.
Internatinational Monetary Found (IMF) adalah nama lembaga yang memberikan pinjaman, bukan nama jenis pinjaman. Secara semantik, kata ‘lunas’ digunakan untuk menerangkan kondisi terbebas dari pinjaman, tidak mengacu kepada nama lembaga pemberi pinjaman. Jika diperbaiki, maka bahasa yang tepat adalah ‘Hutang Kita di IMF telah Lunas’. Lebih panjang, memang. Tetapi, aspek gramatikal dan semantik kalimat tidak rusak dan pesan dapat dipahami oleh komunikan. Sebuah artikel dalam jurnal bahasa terbitan Cambridge University (2007) bertajuk Aesthetics Linguistic on Politic Ads menyatakan, “Iklan politik menduduki ranking pertama sebagai agen perusak dimensi estetik bahasa. Ragam tutur ranah politik cenderung memanipulir makna bahasa menjadi sangat provokatif sehingga kata kehilangan makna sebenarnya. Jika dilakukan terus-menerus, dalam fase tertentu akan menimbulkan pertikaian karena perbedaan persepsi tentang suatu obyek”.
Makna Bahasa Kultural
Berikutnya, dalam tataran sosiolinguistik, bahasa dewasa ini telah mengalami pergeseran fungsi. Kajian sosiolinguistik menitikberatkan peran bahasa sebagai medium untuk menyampaikan pesan dan mempertemukan pemahaman terhadap perbedaan ragam tutur dalam masyarakat. Tujuannya agar dicapai kesamaan persepsi menuju terciptanya tatanan sosio-kultural yang lebih baik. Analisis sosiolinguistik merupakan upaya intektual mengkaji fungsi sosial bahasa. Selain itu, sosiolinguistik menyajikan metode pengkajian untuk membedah potensi sosial bahasa.
Sebagai alat komunikasi, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi antar institusi sosial. Setiap komunitas sosial melakukan interaksi menggunakan ragam tutur berbeda, tergantung karakter masing-masing komunitas. Masing-masing ragam tutur menyiratkan perilaku, sikap, dan sifat penuturnya. Kenyataan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 2000 ragam tutur. Bahasa yang dipergunakan di seluruh Indonesia adalah Bahasa Indonesia, namun realitasnya ada bahasa Indonesia Jakarta-an, Model Indonesia Timur, Gaya Kebatak-batakan, Gaya Mirip Madura, Gaya Bencong Punya, Ragam Bahasa SMS, dan lain-lain.
Para Linguis menyebut fenomena ini sebagai dampak dialek bahasa masing-masing regional dan perubahan sosial masyarakat yang menginterferensi Bahasa Indonesia. Sementara itu, fenomena kekerasan, perang antar suku, selisih paham antar komunitas dan etnis yang berujung pada tindakan agresif merupakan wujud tersumbatnya interaksi sosial di antara mereka. Kondisi ini berangkat dari ketidakpahaman kultural antar komunitas dalam masyarakat. Bentrok karena perbedaan persepsi pun terjadi. Kasus Poso, Tragedi Sampit, Perang Suku di Irian Jaya, Perang Tarkam (antar kampung) di Jakarta, dilatarbelakangi minimnya komunikasi antar kelompok dan penggunaan bahasa yang mempertimbangkan unsur estetis-kultural.
Dalam komunikasi di media massa, dunia hiburan kita kental dengan karakter yang mempergunakan bahasa Indonesia yang carut-marut dengan dialek etnik tertentu. Kesadaran kita memahami bahwa penggunaan tuturan tersebut hanya untuk kepentingan entertainment, namun apakah kita menyadari bahwa kegiatan tersebut dapat menyinggung humanitas pemilik tutur karena dilakukan dengan minimaliasi pemahaman tentang kultur pemilik tutur itu sendiri? Gaya tutur masyarakat Bali, Tapanuli (Batak), Madura, Papua, Jawa Tengah (Kulonan), Banyumas, dan lain-lain menjadi komoditi yang menjual dalam dunia hiburan, namun sadarkah kita bahwa kita juga sedang memelihara materi komoditi konflik? Kenyataan tersebut adalah wujud hilangnya makna kultural bahasa. Seharusnya dengan potensi kultural-nya, bahasa mampu duduk sebagai media komunikasi universal lintas suku, agama, dan ras.
Memahami bahasa, seyogyanya juga diikuti pemahaman makna kultural yang terkandung di dalamnya, sehingga bahasa tidak hanya dipahami sebagai rangkaian kalimat untuk menyampaikan maksud tertentu. Tetapi sekaligus memahami makna yang terkandung ‘di balik’ kalimat itu sendiri. Inilah komunikasi dengan pendekatan kultural bahasa! Kegagalan menyampaikan pesan antara komunikator dan komunikan yang berakibat pada kesalahpahaman persepsi dan konflik terbuka merupakan kelemahan kita yang cenderung menyepelekan estetika bahasa. Bahasa adalah bagian integral dari budaya (kultur), apabila sebuah masyarakat menggunakan bahasa yang compang-camping, bersediakah kita disebut sebagai masyarakat yang berbudaya compang-camping? Mau?
(Tolong jangan dijawab; “Mau… Mau…. Mau”!)
Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2010/02/05/kematian-makna-kultural-bahasa/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar