Senin, 12 September 2011

Sensor dan Kebebasan

Nirwan Ahmad Arsuka*
Kompas, 27 Jan 2008

INDONESIA masih memerlukan sensor! Karena budaya masyarakat yang sangat beragam dan tingkat pendidikannya yang masih rendah, lembaga sensor masih perlu dipertahankan, bahkan sampai beberapa puluh tahun ke depan. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengeluarkan pernyataan ini dalam sidang pengujian Undang-Undang Perfilman yang diajukan oleh Masyarakat Film Indonesia di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (9/1) lalu.

Pernyataan Menteri Jero Wacik itu ditimpali oleh penegasan para ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), dan Persatuan Artis Sinetron Indonesia (PARSI). Mereka umumnya beranggapan bahwa tanpa sensor, bangsa Indonesia akan hancur berantakan, digerogoti oleh budaya asing. Banyak memang yang agaknya lupa bahwa media film dan sinetron, seperti halnya gagasan tentang republik dan Mahkamah Konstitusi (MK), adalah produk budaya asing—setidaknya, dirumuskan dan dikembangkan lebih awal oleh budaya asing itu. Sebelumnya, Lukman Hakim Syaefuddin, kuasa hukum DPR, menyatakan bahwa sensor adalah bentuk perlindungan negara pada masyarakat.

Dengan konteks yang berbeda, tapi dengan semangat yang mirip, pernyataan serupa pernah juga dikeluarkan di Tanah Air ini. Pernyataan itu datang dari Hendrikus Colijn, Ketua Anti Revolutionaire Partij, tokoh kolonial yang menjadi Menteri Urusan Daerah Jajahan lalu Perdana Menteri Kerajaan Belanda. Pada 1928, Colijn mengingatkan bahwa akan tiba masanya kaum inlander Hindia Belanda menuntut kemerdekaannya. Namun, kata Colijn, pemerintah kolonial harus berkata ”tidak” pada tuntutan itu. Bagi Colijn, rakyat tanah jajahan di Hindia Belanda itu belum cukup dewasa untuk merdeka dan memerintah dirinya. Kaum inlander berkulit coklat ini masih membutuhkan kekuasaan dan pemerintahan Kolonial Kerajaan Belanda, yang pusatnya yang mungil terletak jauh di separuh permukaan bumi. Kehadiran pemerintahan kolonial penting untuk kebaikan kaum inlander itu sendiri.

Meski terpaut oleh jarak hampir seabad, kedua gugus pernyataan di atas bertaut dalam sejumlah persamaan mendasar. Keduanya memandang bahwa masyarakat secara esensial lemah dan tak sanggup melindungi dirinya, dan bahwa kemerdekaan dan kebebasan hanya akan merusak kehidupan dan ketenteraman rakyat. Keduanya menganggap bahwa kebebasan dan tanggung jawab itu adalah dua zat yang mustahil bersenyawa, dan kehadiran yang satu akan dengan sendirinya memusnahkan yang lain.

Indonesia bisa menjadi sebuah bangsa dan tanah air, antara lain karena sejumlah orang, awalnya hanya segelintir, menampik pandangan penguasa seperti Hendrikus Colijn itu. Colijn menandaskan bahwa kesatuan Indonesia yang diperjuangkan oleh para inlander yang akan menuntut merdeka itu hanyalah konsep yang kosong melompong. Masing-masing pulau dan daerah di Hindia Belanda adalah etnis yang terpisah-pisah dan begitu beraneka ragam sehingga masa depan tanah jajahan ini tak mungkin terbentuk tanpa memecah dan membaginya dalam wilayah-wilayah. Kaum muda yang menentang pernyataan Colijn itu menjawab dengan mengorganisasi sebuah kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda.

Ketika pernyataan Colijn ditampik dan Sumpah Pemuda diikrarkan, belum semua memang penduduk Hindia Belanda punya kesadaran kebangsaan yang siap bergerak melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan. Sejumlah petinggi pribumi sendiri bahkan mungkin tak sanggup membayangkan bahwa pemerintah kolonial yang tampak baik dan pelindung itu sebaiknya ditentang saja.

Kini pandangan politik ala Meneer Colijn telah menjadi bagian dari masa silam, dan kolonialisme telah jadi aib yang tak lagi bisa diterima di mana pun. Namun, tak berarti bahwa penjajahan dan pembatasan kebebasan tak akan lagi menjelma dalam bentuk yang baru. Pembatasan kebebasan dan peremehan terhadap kemampuan belajar masyarakat tetap bisa terjadi bahkan ketika kedaulatan politik telah diperoleh dan kita diperintah oleh bangsa sendiri. Pembatasan kebebasan dan peremehan kemampuan masyarakat juga bisa datang dari masyarakat itu, bahkan dari mereka yang dianggap sebagai wakil masyarakat itu sendiri.

Orde Baru dikenang antara lain oleh kebiasaannya melakukan sensor, yang bahkan bisa lebih keras dari sensor Belanda, dan oleh kemampuannya merekayasa isi kepala banyak orang untuk menerima bahwa sensor memang mutlak dibutuhkan—dan bahwa pencurian aset negara perlu dimaafkan. Bersama dengan tumbangnya Orde Baru oleh Gerakan Reformasi yang dipelopori mahasiswa, berbagai perangkat sensor mulai dibongkar. Pada 1988, Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) Nomor 1 Tahun 1984 tentang Pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dicabut. Tradisi panjang pemberangusan kebebasan pers yang berusia satu setengah abad dan ditanam Belanda sejak 1846 akhirnya dibongkar di republik ini dengan ditetapkannya UU No 40/1999 tentang Kebebasan Pers.

Mereka yang gerah pada kebebasan berekspresi orang lain dan ingin agar kebebasan itu dihambat kembali mungkin akan bertanya sengit: apa yang telah diperoleh dari kebebasan pers selama hampir satu dekade ini? Dari perjalanan kebebasan pers di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sejumlah suara kerap mengeluh bahwa deregulasi media ternyata membawa akibat buruk berupa pendangkalan wacana publik, pembiakan bahasa yang kasar dan banal, dan pemujaan pada hal-hal yang sensasional dan miskin substansi. Dalam sejumlah kasus, pers yang bebas bahkan tampak sibuk menyiarkan berita yang memperkelam konflik etnis, religius, dan politik di sejumlah wilayah.

Berbagai gejala miring yang dikaitkan dengan pers bebas di atas memang sulit diingkari kehadirannya, tapi mereka muncul bukan karena diperolehnya kebebasan, tapi karena terlambatnya kebebasan itu diraih. Seluruh konflik etnik, religius, dan politik yang tampak kian rusuh oleh pemberitaan pers yang bebas berakar dari zaman ketika represi masih bekerja dan sensor masih tak terlawan. Andaikan saja kebebasan diperoleh lebih awal, disertai pelembagaan dan edukasi yang lebih baik, akan banyak sekali soal, jika bukan seluruhnya, yang tak perlu lagi muncul seperti sekarang. Pers yang bebas dan berusia panjang, seperti yang terlihat di Eropa Barat misalnya, telah menjadi salah satu komponen paling esensial dari masyarakat demokratis, pilar kokoh yang menopang perkembangan sosial dan ekonomi yang baik.

Di negeri-negeri yang telah lama melembagakan kebebasan, termasuk kebebasan pers, sejumlah pertanyaan yang kerap mengganggu kaum reformis dan intelektual publik kita tak lagi muncul mencemaskan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, meminjam rumusan David Celdran yang disampaikan dalam rangkaian acara The Asia-Europe Foundation (ASEF), antara lain adalah: mengapa kebebasan pers yang melonjak tak berjalan seiring dengan peningkatan berarti dalam partisipasi politik rakyat dan akuntabilitas para pemimpin mereka? Bagaimana mengukuhkan pers yang merdeka sembari melembagakan reformasi yang memungkinkan pers merdeka itu mengukuhkan diri secara terpercaya dalam ruang publik? Bagaimana pers bisa menjadi pengawas atas kekuasaan dalam lingkungan di mana tekanan pasar bersekutu dengan kekuatan ekonomi dan politik yang belum berkembang matang?

Kebebasan yang dikukuhkan oleh hukum yang taat asas adalah sarana ampuh untuk memecahkan berbagai soal dengan adil dan jernih, penopang penting masyarakat madani. Kritik terhadap tatanan hukum di Indonesia yang tak taat asas sudah lama dilontarkan, dan kian bertahan kesemrawutan itu kian sulit supremasi hukum ditegakkan. Sensor film adalah salah satu bentuk inkonsistensi itu. Alangkah lucu dan ngawur jika di satu sisi sensor pers sudah dicabut sejak satu dekade yang silam, sementara di sisi lain sensor film justru hendak diperkuat hingga beberapa puluh tahun ke depan. SIUPP mungkin memang tak persis sama dengan sensor film, tapi kemiripan keduanya sangat banyak sehingga jika institusi SIUPP dihilangkan, maka sensor film juga harus dihapuskan. LSF yang—secara sangat sepihak dan amat sulit diperkarakan—bisa menyensor, memotong-motong, bahkan melarang peredaran film memang harus segera direformasi.

Kesanggupan kita untuk menyelaraskan tatanan hukum di Tanah Air ditakar lewat kesungguhan mengikis dengan sistematis produk hukum yang inkonstitusional, yang secara jelas atau tersamar, melanggar hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang telah ditetapkan oleh konstitusi. Dari sinilah memang, kita antara lain bisa berharap—meminjam rumusan tertulis misi MK republik ini—tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.

* Nirwan Ahmad Arsuka, anggota MFI

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae