Nirwan Ahmad Arsuka*
Kompas, 27 Jan 2008
INDONESIA masih memerlukan sensor! Karena budaya masyarakat yang sangat beragam dan tingkat pendidikannya yang masih rendah, lembaga sensor masih perlu dipertahankan, bahkan sampai beberapa puluh tahun ke depan. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengeluarkan pernyataan ini dalam sidang pengujian Undang-Undang Perfilman yang diajukan oleh Masyarakat Film Indonesia di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (9/1) lalu.
Pernyataan Menteri Jero Wacik itu ditimpali oleh penegasan para ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), dan Persatuan Artis Sinetron Indonesia (PARSI). Mereka umumnya beranggapan bahwa tanpa sensor, bangsa Indonesia akan hancur berantakan, digerogoti oleh budaya asing. Banyak memang yang agaknya lupa bahwa media film dan sinetron, seperti halnya gagasan tentang republik dan Mahkamah Konstitusi (MK), adalah produk budaya asing—setidaknya, dirumuskan dan dikembangkan lebih awal oleh budaya asing itu. Sebelumnya, Lukman Hakim Syaefuddin, kuasa hukum DPR, menyatakan bahwa sensor adalah bentuk perlindungan negara pada masyarakat.
Dengan konteks yang berbeda, tapi dengan semangat yang mirip, pernyataan serupa pernah juga dikeluarkan di Tanah Air ini. Pernyataan itu datang dari Hendrikus Colijn, Ketua Anti Revolutionaire Partij, tokoh kolonial yang menjadi Menteri Urusan Daerah Jajahan lalu Perdana Menteri Kerajaan Belanda. Pada 1928, Colijn mengingatkan bahwa akan tiba masanya kaum inlander Hindia Belanda menuntut kemerdekaannya. Namun, kata Colijn, pemerintah kolonial harus berkata ”tidak” pada tuntutan itu. Bagi Colijn, rakyat tanah jajahan di Hindia Belanda itu belum cukup dewasa untuk merdeka dan memerintah dirinya. Kaum inlander berkulit coklat ini masih membutuhkan kekuasaan dan pemerintahan Kolonial Kerajaan Belanda, yang pusatnya yang mungil terletak jauh di separuh permukaan bumi. Kehadiran pemerintahan kolonial penting untuk kebaikan kaum inlander itu sendiri.
Meski terpaut oleh jarak hampir seabad, kedua gugus pernyataan di atas bertaut dalam sejumlah persamaan mendasar. Keduanya memandang bahwa masyarakat secara esensial lemah dan tak sanggup melindungi dirinya, dan bahwa kemerdekaan dan kebebasan hanya akan merusak kehidupan dan ketenteraman rakyat. Keduanya menganggap bahwa kebebasan dan tanggung jawab itu adalah dua zat yang mustahil bersenyawa, dan kehadiran yang satu akan dengan sendirinya memusnahkan yang lain.
Indonesia bisa menjadi sebuah bangsa dan tanah air, antara lain karena sejumlah orang, awalnya hanya segelintir, menampik pandangan penguasa seperti Hendrikus Colijn itu. Colijn menandaskan bahwa kesatuan Indonesia yang diperjuangkan oleh para inlander yang akan menuntut merdeka itu hanyalah konsep yang kosong melompong. Masing-masing pulau dan daerah di Hindia Belanda adalah etnis yang terpisah-pisah dan begitu beraneka ragam sehingga masa depan tanah jajahan ini tak mungkin terbentuk tanpa memecah dan membaginya dalam wilayah-wilayah. Kaum muda yang menentang pernyataan Colijn itu menjawab dengan mengorganisasi sebuah kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda.
Ketika pernyataan Colijn ditampik dan Sumpah Pemuda diikrarkan, belum semua memang penduduk Hindia Belanda punya kesadaran kebangsaan yang siap bergerak melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan. Sejumlah petinggi pribumi sendiri bahkan mungkin tak sanggup membayangkan bahwa pemerintah kolonial yang tampak baik dan pelindung itu sebaiknya ditentang saja.
Kini pandangan politik ala Meneer Colijn telah menjadi bagian dari masa silam, dan kolonialisme telah jadi aib yang tak lagi bisa diterima di mana pun. Namun, tak berarti bahwa penjajahan dan pembatasan kebebasan tak akan lagi menjelma dalam bentuk yang baru. Pembatasan kebebasan dan peremehan terhadap kemampuan belajar masyarakat tetap bisa terjadi bahkan ketika kedaulatan politik telah diperoleh dan kita diperintah oleh bangsa sendiri. Pembatasan kebebasan dan peremehan kemampuan masyarakat juga bisa datang dari masyarakat itu, bahkan dari mereka yang dianggap sebagai wakil masyarakat itu sendiri.
Orde Baru dikenang antara lain oleh kebiasaannya melakukan sensor, yang bahkan bisa lebih keras dari sensor Belanda, dan oleh kemampuannya merekayasa isi kepala banyak orang untuk menerima bahwa sensor memang mutlak dibutuhkan—dan bahwa pencurian aset negara perlu dimaafkan. Bersama dengan tumbangnya Orde Baru oleh Gerakan Reformasi yang dipelopori mahasiswa, berbagai perangkat sensor mulai dibongkar. Pada 1988, Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) Nomor 1 Tahun 1984 tentang Pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dicabut. Tradisi panjang pemberangusan kebebasan pers yang berusia satu setengah abad dan ditanam Belanda sejak 1846 akhirnya dibongkar di republik ini dengan ditetapkannya UU No 40/1999 tentang Kebebasan Pers.
Mereka yang gerah pada kebebasan berekspresi orang lain dan ingin agar kebebasan itu dihambat kembali mungkin akan bertanya sengit: apa yang telah diperoleh dari kebebasan pers selama hampir satu dekade ini? Dari perjalanan kebebasan pers di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sejumlah suara kerap mengeluh bahwa deregulasi media ternyata membawa akibat buruk berupa pendangkalan wacana publik, pembiakan bahasa yang kasar dan banal, dan pemujaan pada hal-hal yang sensasional dan miskin substansi. Dalam sejumlah kasus, pers yang bebas bahkan tampak sibuk menyiarkan berita yang memperkelam konflik etnis, religius, dan politik di sejumlah wilayah.
Berbagai gejala miring yang dikaitkan dengan pers bebas di atas memang sulit diingkari kehadirannya, tapi mereka muncul bukan karena diperolehnya kebebasan, tapi karena terlambatnya kebebasan itu diraih. Seluruh konflik etnik, religius, dan politik yang tampak kian rusuh oleh pemberitaan pers yang bebas berakar dari zaman ketika represi masih bekerja dan sensor masih tak terlawan. Andaikan saja kebebasan diperoleh lebih awal, disertai pelembagaan dan edukasi yang lebih baik, akan banyak sekali soal, jika bukan seluruhnya, yang tak perlu lagi muncul seperti sekarang. Pers yang bebas dan berusia panjang, seperti yang terlihat di Eropa Barat misalnya, telah menjadi salah satu komponen paling esensial dari masyarakat demokratis, pilar kokoh yang menopang perkembangan sosial dan ekonomi yang baik.
Di negeri-negeri yang telah lama melembagakan kebebasan, termasuk kebebasan pers, sejumlah pertanyaan yang kerap mengganggu kaum reformis dan intelektual publik kita tak lagi muncul mencemaskan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, meminjam rumusan David Celdran yang disampaikan dalam rangkaian acara The Asia-Europe Foundation (ASEF), antara lain adalah: mengapa kebebasan pers yang melonjak tak berjalan seiring dengan peningkatan berarti dalam partisipasi politik rakyat dan akuntabilitas para pemimpin mereka? Bagaimana mengukuhkan pers yang merdeka sembari melembagakan reformasi yang memungkinkan pers merdeka itu mengukuhkan diri secara terpercaya dalam ruang publik? Bagaimana pers bisa menjadi pengawas atas kekuasaan dalam lingkungan di mana tekanan pasar bersekutu dengan kekuatan ekonomi dan politik yang belum berkembang matang?
Kebebasan yang dikukuhkan oleh hukum yang taat asas adalah sarana ampuh untuk memecahkan berbagai soal dengan adil dan jernih, penopang penting masyarakat madani. Kritik terhadap tatanan hukum di Indonesia yang tak taat asas sudah lama dilontarkan, dan kian bertahan kesemrawutan itu kian sulit supremasi hukum ditegakkan. Sensor film adalah salah satu bentuk inkonsistensi itu. Alangkah lucu dan ngawur jika di satu sisi sensor pers sudah dicabut sejak satu dekade yang silam, sementara di sisi lain sensor film justru hendak diperkuat hingga beberapa puluh tahun ke depan. SIUPP mungkin memang tak persis sama dengan sensor film, tapi kemiripan keduanya sangat banyak sehingga jika institusi SIUPP dihilangkan, maka sensor film juga harus dihapuskan. LSF yang—secara sangat sepihak dan amat sulit diperkarakan—bisa menyensor, memotong-motong, bahkan melarang peredaran film memang harus segera direformasi.
Kesanggupan kita untuk menyelaraskan tatanan hukum di Tanah Air ditakar lewat kesungguhan mengikis dengan sistematis produk hukum yang inkonstitusional, yang secara jelas atau tersamar, melanggar hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang telah ditetapkan oleh konstitusi. Dari sinilah memang, kita antara lain bisa berharap—meminjam rumusan tertulis misi MK republik ini—tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
* Nirwan Ahmad Arsuka, anggota MFI
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar