Wawan Eko Yulianto
http://sastra-indonesia.com/
Seperlu apakah kita menggugat Sutardji Calzoum Bachri? Sangat, bagi Nurel Javissyarqi. Kenapa? Sepertinya cukup banyak alasan untuk melakukannya. Apa saja yang perlu digugat? Saya akan coba mendaftar beberapa saja yang berhasil saya tangkap dari buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri.
Gugatan Nurel dipicu oleh esai Tardji yang berjudul “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair,” di mana Nurel menemukan paragraf mono-kalimat ini:
“Peran penyair menjadi unik, karena–sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya–secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggunjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.” (89)
Selanjutnya, Nurel pun mulai menggugat panjang lebar. Dalam perjalanan gugatannya, Nurel juga mendudukkan satu esai lagi sebagai biang ketidaksesuaiannya dengan Tardji, yaitu esai “Menulis di atas Mantra.”
Sebelum membicarakan buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri, saya ingin meringkas sebentar kedua esai Tardji tersebut.
Pada esai “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair,” Tardji menyatakan bahwa Tuhan menciptakan semesta dari imajinasinya. Pada gilirannya, salah satu ciptaan Tuhan, yaitu penyair, juga menggunakan imajinasinya untuk mencipta. Tuhan dan penyair tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas ciptaannya. Bahkan, penyair, sebagaimana disitir dalam surat Asy-Syu’ara, cenderung tidak melakukan apa yang dia katakan, KECUALI penyair yang beriman, yang “jika ditafsirkan secara duniawi bisa berarti para penyair serius yang selalu melandaskan dirinya pada Kebenaran dalam meningkatkan atau mengembalikan martabat manusia sebagai makhluk termulia di bumi” (90). Yang dilakukan “penyair beriman” inilah yang menjadikan puisi penting, karena selain “meninggikan dan meluhurkan martabat manusia” (fungsi individunya), dia juga “bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan sejarah.” Puisi yang menurut Tardji bisa menjadi contoh puisi semacam itu adalah teks Sumpah Pemuda, yang sebenarnya juga imajinasi (karena waktu itu belum ada nusa, bangsa, dan bahasa Indonesia) yang sarat makna dan menjadi inspirasi “para pembaca dan pendengarnya yang kemudian merealisasikannya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan agar mimpi dalam sumpah pemuda menjadi kenyataan” (92). Kelak, cita-cita Sumpah Pemuda itu menggiring Indonesia pada pemahaman kebangsaan yang bersifat homogen. Adalah perpuisian tahun 70-an yang selanjutnya menunjukkan anak-anak bangsa yang mau merangkul kembali “unsur-unsur daerah yang mereka akrabi.” Bagi Tardji, ini merupakan sumbangan sekaligus koreksi atas Sumpah Pemuda. Tapi, pengangkatan unsur daerah (yang dianggap Tardji sebagai “aspirasi kultural”) ini tidak menunjukkan dampak terhadap kehidupan sosial. Ketika pada tahun 2000-an marak diterapkan otonomi daerah, yang memunculkannya bukanlah aspirasi kultural tadi, tapi “respons terhadap kebutuhan atau tekanan politik” (93). Akhirul esai, Tardji menyayangkan pemerintah kita yang tidak menganggap puisi sebagai aspirasi kultural, tidak seperti John F. Kennedy yang pernah bilang “Jika politik bengkok, puisi yang meluruskan.” Padahal, sekali lagi, menurut Tardji, puisi-puisi yang baik itu mencerminkan “aspirasi hati nurani bangsa.” (93).
Pada esai “Menulis di atas Mantra,” Tardji menyatakan bahwa landasan estetiknya adalah mantra. Tetapi, dia memilah-milih bagian dari landasan tersebut yang harus ditebalkan dan harus dihapus. Dia memandang landasan itu bukan sesuatu yang siap pakai, dan butuh kerja kreatif untuk menggunakannya. Yang dia lakukan itu banyak dilakukan oleh penyair 70-an lain. Mereka kembali ke tradisi alih-alih menjadi “binatang jalang” yang mengagungkan humanisme universal atau menjadi “malin kundang” (96). Menjadi “binatang jalang” dan “malin kundang” merupakan upaya pencarian karakter. Penyair tahun 70-an menemukan tempat nyaman di unsur-unsur yang mereka akrabi, yaitu unsur lokal. Lalu Tardji melompat dan ujug-ujug menyatakan bahwa puisi merupakan buah sekaligus bibit sejarah. Salah satu puisi yang menjadi bibit sejarah adalah teks Sumpah Pemuda (dengan argumen seperti di paragraf di atas). Tardji mengakhiri dengan penyesalannya kenapa para penyair tahun 70-an tidak mendapatkan “ventilasi politik” atas aspirasi mereka. Padahal, kalau berhasil, semestinya otonomi daerah sudah bisa dimulai 30-an tahun yang lalu. Hal itu karena “politik yang berlandaskan kultural memang masih merupakan cita-cita” (99).
Begitulah singkatnya kedua esai Tardji yang membuat Nurel “menggugat tanggung jawab kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri.” Selanjutnya, saya akan COBA mendaftar poin-poin penting dari gugatan Nurel tersebut.
Pada bagian pertama buku Menggugat, Nurel berargumen bahwa penyair tak beda dengan profesi lain, dan bila Tardji dalam esai pertama mengatakan bahwa penyair lebih tinggi dari orang berprofesi lain, maka “Hanya perasaan berlebihanlah yang menganggap capaiannya yang lebih agung” (21). Nurel berargumen bahwa syair cenderung jauh dari masyarakat karena “mereka membangun patung-patung mitos sebagai sesembahan. Dielu-elukan sebagai warisan kenabian tanpa memiliki fungsi yang jelas bagi masyarakat, sebagaimana napas kerja lain di belahan bumi kekinian” (23). Nurel juga berargumen bahwa kekeliruan penyair sepanjang jaman adalah karena mereka tergoda “meloloskan diri dari tanggung jawab dengan memanfaatkan ayat-ayat, nilai, dan corak lelaku sedurungnya, sehingga abai pada ikhtiar kehidupan” (23). Dia mengakhiri dengan pandangan bahwa surat Asy-Syu’ara adalah hardikan kepada para penyair.
Pada bagian kedua, Nurel mengkritik Tardji yang menyatakan dalam esai pertama bahwa Tuhan mencipta dari imajinasiNya. Nurel memandang ini sebagai kesembronoan Tardji dalam memahami salah satu pemikiran Ibnu Arabi (1165-1240). Padahal, yang sebenarnya: jagad raya adalah hasil Tuhan bertajalli atau beremanasi atau memancarkan cahayanya. Nurel pun menyuruh Tardji membaca Asy-Syu’ara dengan lebih serius. Kenapa? Karena, menurut Nurel, “Dalam pandangan Tardji, penyair seolah-olah tugasnya berleha-leha, mengigau kata-kata indah yang memabukkan, seakan-akan kesurupan Tuhannya, sebentuk umpatannya (tuduhannya) Fir’aun dan orang-orang celaka kepada para utusan Allah, di kala kalah di dalam perdebatan” (34). Jadi, kesalahan Tardji adalah pada penggunaan kata “imajinasi” yang bagi Nurel berasosiasi negatif, atau terlalu ringan.
Pada bagian ketiga, Nurel berargumen bahwa Tardji yang beraliran mantra itu posisinya cenderung tak tersentuh, dan “belum ada yang mengupas konsepnya lebih dalam (dari dalam), yakni watak ‘perdukunan’ intelektualnya, mantranya, dari akar-akar lokalitas, sehingga mewujud karya-karyanya” (35). Nurel mencurigai Tardji sebagai penyair yang berfaham, sekali lagi, “secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.” Padahal, bagi Nurel, semestinya mantra sangat “sarat makna, karena dari maknanyalah, daya aura menembus segala yang dikehendaki menuju batas-batas takaran dan terketahui” (36). Bagi Nurel, ini merupakan ketidaktepatan, dan semestnya Tardji mau merevisinya, bukannya “tiadalah perlu memusingkan perevisian pandang [karena] di sanalah dianggapnya tugas dari para kritikus” (37). Kemudian Nurel menarasikan dengan puitis kisah mulai diturunkannya waktu ke jagad raya hingga bagaimana kelak muncul yang namanya mantra dan jimat. Nurel mengakhiri dengan mempertanyakan apakah mantra Tardji “benar-benar karya pemilik rohaniah sekelas mantra” (44).
Di bagian keempat, Nurel membahas esai Mochtar Lubis yang berbicara tentang kecenderungan bangsa Indonesia yang mudah terpukau oleh mantra, jimat, lambang, yang dalam manifestasi mutakhirnya bisa berbentuk slogan-slogan Sukarno–btw, Pancasila juga termasuk dalam kelas ini. Separuh jalan bagian empat ini, Nurel berargumen bahwa Tuhan sebenarnya bertanggung jawab, tidak seperti yang tertulis dalam esai pertama Tardji. Sekali lagi, dalam bagian ini, Nurel mempertanyakan kemujaraban mantra Tardji. Nurel membayangkan bahwa jika saja Tardji mempertunjukkan puisinya, “sungguh kentara puisi-puisi Tardji sekadar muslihat kata, tipu daya bahasa tak mengandung unsur dinaya mantra” (52).
Di bagian kelima, Nurel mengawali dengan adanya mantra-mantra tertentu dalam bahasa Jawa yang memutar balikkan ayat Al-Qur’an, sehingga menghasilkan “pamor terbalik,” sebagaimana dipraktekkan para dukun penghamba jin. Dia juga menghardik, jangan-jangan Tardji yang ingin “membebaskan kata [dengan niat awal] mengeramatkan bahasa Indonesia lewat mantra” itu malah berdampak negatif? “Apakah kredonya tak menjerumuskan umat ke jurang jahiliah, kreativitas pembodohan?.” Di sini kemudian Nurel menguraikan tiga kelompok dalam ilmu kebatinan, yaitu 1) para nabi, rasul, wali, dan orang-orang diberkati, 2) syaman, dan 3) ilmu hitam (termasuk di dalamnya “mantra mengundang roh gentayangan, arwah nenek moyang berwatak buruk, dll”). Selanjutnya, saya tidak berhasil menangkap maksud dari bagian kelima ini.
Pada bagian keenam, Nurel mengurai tulisan Taufik Ikram Jamil tentang Tardji, yang menurut Nurel “membelejeti” Tardji meskipun disampaikan dalam bahasa yang seperti memuji. Hal ini berbeda dengan para kritikus yang cenderung meneruskan puja-puji kepada Tardji dan melupakan landasan awal penciptaan Tardji, niat Tardji dalam berpuisi. Tentu, ini berbeda dengan Taufik, yang mengenal Tardji secara personal, sehingga bisa mengkritiknya.
Pada bagian ketujuh, Nurel membahas tentang pernyataan sikap Tardji dalam pengantar buku Tardji Isyarat: Kumpulan Esai. Dalam pengantar ini, Tardji membela sajak-sajaknya karena para kritikus tidak dapat mengapresiasi sajak-sajaknya dengan kadar yang semestinya. Pembelaan Tardji tersebut adalah dengan cara menjelaskan pandangan-pandangan kepenyairannya dalam tulisan-tulisan seperti yang terkumpul dalam buku isyarat tersebut. Itulah bukti tanggung jawab penyair terhadap karyanya. Bagi Nurel, itu “bukan tanggung jawab, melainkan [indikasi/bukti bahwa] karyanya memang bobrok, sehingga butuh alat pengantar si empunya” (72). Sikap Tardji membela karya-karyanya itu mengindikasikan bahwa “batinnya belum ikhlas melepas” (72) atau “belum diuji” (73) atau konsep si penyair belum matang (75). Nurel mengkritik kegusaran Tardji karena para pandangan para kritikus tidak sesuai dengan pandangannya pada awal penciptaan, padahal “tidakkah penilaian orang lain cenderung mengisi?” (76).
Demikianlah kira-kira poin-poin penting dari buku Menggugat yang berhasil saya tangkap. Sekarang waktunya saya menyampaikan sejumlah pertanyaan kepada Nurel dan siapa saja yang berkesempatan membaca buku Nurel ini, dan memberi perhatian yang sepantasnya kepada kedua esai Tardji yang dibahas di sini.
Pertama, apakah benar Tardji berpandangan bahwa “penyair tidak bisa dimintakan pertanggunjawaban atas ciptaannya, atas puisinya”? Kata-kata tersebut memang dapat ditemukan dalam esai Tardji yang dibidik Nurel. Tapi sepertinya kita perlu urai lagi esai tersebut. Paragraf tersebut muncul sebelum Tardji mendedah bagaimana Al-Qur’an memandang para penyair sebagai kelompok orang yang “cenderung tergoda untuk bisa bebas tidak mempedulikan pertanggungjawaban terhadap karya-karyanya” (90). Tapi tepat setelah pembahasan terhadap kecenderungan penyair tersebut, Tardji juga menyatakan bahwa Tuhan memperingatkan penyair tentang kecenderungannya yang bisa dibilang negatif tersebut. Nah, bukankah ini berarti Tardji tahu bahwa sebenarnya tidak demikian sikap penyair yang beriman atau yang serius itu? Lagipula, di bagian selanjutnya esai tersebut Tardji membahas tentang “puisi” yang baik, yang menjadi bibit sejarah, yang mempersatukan Indonesia ke dalam satu nusa, bangsa, bahasa: Sumpah Pemuda?
Dengan itu, terjawab sudah bahwa sebenarnya Tardji tidak mendukung penyair kebanyakan sebagaimana dihardik dalam surat Asy-Syu’ara. Jadi, tidakkah kini saatnya Nurel membaca lagi pembacaan Tardji atas surat Asy-Syua’ra ini? Dan tentu dia kini perlu membaca tulisannya terkait gugatannya terhadap pembacaan Tardji atas ketiga ayat itu.
Kedua, bagaimanakah sikap Tardji terhadap mantra? Nurel berulang kali mempertanyakan keampuhan mantra Tardji. Dan sebenarnya saya juga pernah mendengar penyair lain mempertanyakan ini. Saya jadi bertanya-tanya, kenapa dari kredo Tardji yang berjumlah kata 306 (termasuk nama dan tanggalnya) itu para penyuka puisi Indonesia begitu terpukau oleh kata “mantra” yang hanya muncul dua kali itu? Padahal kata “kata” muncul 23 kali (10 kali lipat dari kata “mantra”). Eh, kok jadi itung-itungan? Saya ingin mencoba memahami kalimat-kalimat penutup dalam kredo tersebut:
“Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata.
Dan kata pertama adalah mantra. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra.”
Di sini Tardji tidak ingin menjadikan kata-kata (dalam puisinya!) sebagai pengusung makna. Dia ingin membebaskannya dari beban itu. Dia mengembalikan kata kepada kata pertama, yaitu “Kata.” Di sini, bisa ada dua versi. Dalam versi Injil, setahu saya yang dimaksud kata ini adalah “Yesus.” Dalam Yohannes 1:1, tertulis “In the beginning was the Word, and the Word was with God, and the Word was God” Tapi kalau buat orang Islam, sepertinya yang dimaksud kata di sini adalah “Kun.” Apa maksud Tardji mengembalikan kata kepada “Kun”? Mungkin Tardji mengacu pada fungsi “Kun” itu sendiri. Jadi, dalam puisinya Tardji menggunakan kata untuk menjadi kata itu sendiri, bukan untuk membawa pesan lain (seperti misalnya kata “laptop” membawa pesan sebuah komputer tipis yang bisa dijinjing dan dipangku). Dan saya beranggapan bahwa Tardji menganggap “Kun” itu sebagai mantra Tuhan. Mantra apa? Apakah mantra yang mempunyai kemujaraban supra natural?
Pertanyaan barusan sepertinya dapat dijawab dengan melihat pembahasan Tardji atas sikapnya menulis di atas mantra. Dia menyebutkan dalam esai itu bahwa “kadang mantra itu malah tertutup, terhapus, atau terlupakan karena tulisan [Tardji] yang berada di atasnya” karena menurut Tardji
“salah satu peran menulis ialah upaya untuk menutup atau melupa, yakni melupakan nilai-nilai atau ihwal yang tak lagi relevan untuk masa-masa kini atau masa depan, dengan demikian lebih terfokuskan (tambahan makna) pada bagian-bagian atau nilai-nilai yang masih bermakna untuk masa kini ataupun untuk masa mendatang.” (95)
Jadi, terlihatlah di sini bahwa bisa jadi kemujaraban mantra itu merupakan satu dari sekian hal yang ingin Tardji lupakan karena tidak lagi relevan dengan konteks zaman.
Atau, bisa jadi Tardji, sebagaimana telah dituduhkan banyak orang, telah berubah. Mantra yang Tardji bahas dalam kredonya bisa jadi bukan lagi mantra yang dia bahas dalam esai-esai terkininya. Apalagi, dalam kedua esai yang digugat Nurel ini mengisyaratkan bahwa yang menjadi sumpah pemuda itu serupa mantra adalah karena memiliki “irama dan pengulangan kata-kata” (91), bukan kemujarabannya. Jika perkiraan yang terakhir ini memang berpotensi benar, maka saya menyarankan kepada Nurel agar membandingkan dulu pandangan Tardji yang dulu dengan yang sekarang tentang mantra. Dengan begitu, mungkin telaah Nurel jadi lebih terfokus.
Omong-omong soal fokus, sepertinya pembahasan tentang mantra dan kemujarabannya yang cukup merajalela dalam buku ini malah mengurangi fokus gugatan Nurel. Atau, jika memang ingin terus menyertakan mantra dalam pasal-pasal gugatan kepada Tardji, mungkin Nurel harus bersedia menyampaikan gugatan-gugatannya dengan cara yang koheren dan lebih tertata, sehingga pembahasan tentang mantra itu bisa benar-benar mendukung gugatan atas tanggung jawab kepenyairan Tardji.
Karena waktu sudah habis, maka sementara begini dulu pembacaan saya atas gugatan Nurel.
Sumber: http://berbagi-mimpi.info/2011/07/03/nurel-javissyarqi-gugat/
Pelangi Sastra Malang [On Stage] # 12
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar