Rabu, 06 Juli 2011

‘Elite Indonesia Merendahkan Bahasanya!’

Ajip Rosidi
Pewawancara: Muhammad Subarkah
Republika, 28 Juni 2011

AJIP Rosidi adalah sastrawan terkemuka Indonesia yang lahir pada 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Ia menulis secara otodidak semenjak usia 14 tahun. Penerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Padjadjaran, Bandung, ini juga disebut sebagai sastrawan Indonesia paripurna. Selain itu, dia juga telah membuktikan diri sebagai juru bicara mengenai kebudayaan Indonesia di luar negeri, terutama ketika dia mengajar di berbagai universitas di Jepang selama 22 tahun. Ajip juga menjadi ketua Yayasan Rancage yang semenjak tahun 1988 setiap tahunnya memberikan penghargaan kepada para sastrawan yang menulis dalam bahasa Jawa, Sunda, dan Bali.

Dalam wawancara ini, Ajip menumpahkan kegelisahannya mengenai nasib bahasa Indonesia ke depan. Menurut dia, elite Indonesia merendahkan bahasa nasionalnya. “Mereka minder atau takut dianggap bodoh ketika menyampaikan pikirannya dengan bahasanya sendiri!”

Sekarang ada kecenderungan dalam acara kenegaraan resmi setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya, pemimpin negara malah berpidato bahasa Inggris, apa pendapat Anda?

Sekarang ini, ada keadaan yang buruk, para pejabat dan kaum intelektual kita, apalagi kaum selebriti, memakai bahasa gado-gado, atau bisa disebut bahasa gaul dengan logat Jakarta. Ini jelas menunjukkan posisi intelektual mereka seperti apa sebenarnya. Mereka gemar memakai kata atau kalimat-kalimat bahasa Inggris. Padahal, itu tidak perlu. Sebab, ini hanya menunjukkan bahwa bahasa nasionalnya tidak mampu mewadahi ekspresi pikiran dan perasaan dia.

Tindakan itu jelas merendahkan bahasa Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia sudah terbukti dapat dipakai sebagai bahasa untuk menulis tentang ilmu apa pun juga. Jadi, mereka seharusnya kini sudah punya kemampuan berbahasa Indonesia yang tinggi. Apalagi, pada kenyataannya, setengah abad yang lalu, pada tahun 50-an, ada mata pelajaran atau kuliah yang tidak bisa diberikan dengan bahasa Indonesia. Saat itu, karena pengajarnya guru-guru besar bangsa Belanda, mahasiswanya harus belajar bahasa Belanda. Saat itu, misalnya, ada guru-guru khusus untuk menolong mahasiswa ketika harus membaca teks-teks kuliah berbahasa Belanda. Itu terjadi pada mahasiswa hukum.

Tapi, sekarang hal itu tidak perlu lagi. Mau kuliah apa pun dengan mempelajari ilmu apa pun bisa dilakukan dengan bahasa Indonesia. Dari segi ekspresi seni, sekarang karya sastra Indonesia sudah diakui di dunia internasional. Jadi, bahasa Indonesia mampu menjadi bahasa sastra juga.

Mengapa pada situasi seperti ini banyak pejabat atau elite kita berbicara memakai bahasa gado-gado? Apakah ini karena dibelit rasa minder?

Di antaranya, ya karena minder itu. Mereka merasa rendah diri dan tidak ingin ketahuan bila tidak bisa mengucapkan kata-kata Inggris yang akibatnya takut dianggap bodoh. Karena dia menganggap bahasa Indonesia tidak dapat mewadahi ilmu, padahal kenyataannya itu bisa. Ini memang terjadi karena dia tidak membaca karya-karya ilmu yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Misalnya, mereka tidak mengikuti karya sastra Indonesia yang dikagumi oleh negara lain.

Selain itu, mereka berbicara dengan bahasa gado-gado, ya karena pelajaran bahasa Indonesia, baik tingkat dasar sampai tingkat akhir, banyak yang salah. Kalau saya baca buku-buku pelajaran kelas enam sekolah dasar, misalnya, di sana siswa diharuskan tahu mengenai apa itu subjek atau predikat. Nah, padahal, apa gunanya. Yang penting kan siswa sekolah dasar itu dalam pelajaran bahasa Indonesia harus dididik supaya bisa mengemukakan pikiran dan perasaannya dengan bahasa itu. Untuk itu, harus ada contoh-contoh. Dan, contoh-contoh yang terbaik itu ada dalam karya sastra.

Ironisnya, di sekolah-sekolah kita tidak ada perpustakaan yang lengkap. Kalaupun ada, koleksinya pun bukan buku-buku sastra. Ini karena penyediaan buku oleh pemerintah untuk sekolah tidak berdasarkan mutu buku itu. Tapi, berdasarkan pada komisi proyek buku itu berapa besarnya.

Terus terang, gaya berbahasa elite kita memang memprihatinkan. Di televisi, saya melihat ada seorang anggota parlemen Ruhut Sitompul yang menyebut Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebutan si Mahfud. Ini kan menghina. Itu artinya, sewaktu di sekolah dasar tidak diajari gurunya bahwa kata si itu tak boleh dipakai sembarangan di depan nama orang, apalagi dilekatkan kepada nama ketua lembaga tinggi negara. Ini menegaskan, bila dia itu bukan hasil dari pendidikan bahasa Indonesia yang baik. Dan sayangnya, ini dia lakukan berulang-ulang. Padahal, ini tidak pantas diucapkan sebagai seorang anggota parlemen yang terhormat.

Menurut Anda, seperti apa perhatian pemerintah dalam penggunaan bahasa Indonesia sekarang ini? Apakah malah menganggap hal ini tidak penting?

Pemerintah Republik Indonesia semenjak berdiri memang tidak pernah menganggap kebudayaan itu penting. Tak peduli saat zaman Soekarno, Soeharto, atau hingga sekarang, perhatian itu juga tak ada. Sekarang, kebudayaan dianggap sebagai komoditas yang bisa dijual dan dilakukan dengan pariwisata. Dahulu, kebudayaan disatukan dalam departemen pendidikan. Di situ, kebudayaan hanya embel-embel serta dianggap tidak penting. Zaman Presiden Abdurrahman Wahid, kebudayaan dipindahkan ke departemen pariwisata. Ini lebih gila lagi karena kebudayaan dianggap barang jadi yang bisa dijual. Jadi, Pemerintah Indonesia tidak pernah menganggap sebagai hal yang penting.

Dahulu, ada ide harus ada menteri kebudayaan khusus. Saya waktu itu sudah mengatakan itu bukan jalan keluar. Sebab, kalau didirikan lagi, ada kementerian kebudayaan yang nanti berkembang bukan ke kebudayaan, melainkan korupsi. Kementerian malah hanya menjadi sarang korupsi baru.

Anda pernah 22 tahun tinggal dan mengajar di Jepang. Bagaimana penghargaan pemerintah di sana terhadap bahasa mereka?

Ya, sebetulnya juga tidak terlalu istimewa. Di negara-negara lain yang maju, semuanya memang berbuat sama dengan Jepang. Mereka menganggap pelajaran bahasa itu penting. Bahkan, di Jepang, kemampuan berbahasa Jepang menjadi syarat yang sangat penting meski orang Jepang juga mempelajari bahasa asing. Tapi, ada satu hal yang di sana menjadi sangat penting. Hal itu adalah semua ilmu atau semua karya sastra yang istimewa ada dalam bahasa Jepang. Kadang-kadang, bila di Jepang akan diterbitkan buku yang penting dari Amerika Serikat, buku itu terbit bersamaan dengan terjemahannya dalam bahasa Jepang.

Jadi, orang yang bisa membaca karya aslinya bersamaan dengan terbitnya karya terjemahan buku tersebut. Mereka sangat yakin bahwa bahasa Jepang cukup untuk membuat orang berbudaya. Akibatnya, di sana, bila ingin menjadi seniman, budayawan, ilmuwan, maka orang-orang Jepang itu cukup dengan menggunakan bahasanya saja. Begitu juga dengan orang Cina, Inggris, dan Prancis pun seperti itu: bangga akan bahasanya dan antusias menerjemahkan buku asing.

Namun, kita kan tidak. Dahulu, Pak Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan, penerjemahan karya sastra dan ilmu dari bahasa ke bahasa Indonesia adalah hal yang mutlak. Bahkan, dia sempat mengusulkan perlunya pembentukan lembaga penerjemahan. Namun, ini tidak pernah dipedulikan oleh pemerintah sehingga Pak Takdir pernah mengatakan, “Kalau begini situasinya, maka lebih baik bahasa Inggris dijadikan saja bahasa nasional di Indonesia. Ini supaya bangsa Indonesia bisa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan.” Ya, sampai sebegitu besar rasa kecewanya Pak Takdir itu.

Melihat situasi yang berkembang menyedihkan itu, orang suka bicara gado-gado dan papan reklame ramai ditulis dalam bahasa Inggris, apakah menurut Anda bahasa Indonesia ke depan masih bisa bertahan?

Kalau dibiarkan seperti ini, bahasa Indonesia akan bernasib seperti bahasa ‘PGN’ Inggris (bahasa Inggrisnya orang Papua Nugini). Nah, sekarang bagaimana kita sendiri menyikapinya.

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/06/teraju-elite-indonesia-merendahkan.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae