Ajip Rosidi
Pewawancara: Muhammad Subarkah
Republika, 28 Juni 2011
AJIP Rosidi adalah sastrawan terkemuka Indonesia yang lahir pada 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Ia menulis secara otodidak semenjak usia 14 tahun. Penerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Padjadjaran, Bandung, ini juga disebut sebagai sastrawan Indonesia paripurna. Selain itu, dia juga telah membuktikan diri sebagai juru bicara mengenai kebudayaan Indonesia di luar negeri, terutama ketika dia mengajar di berbagai universitas di Jepang selama 22 tahun. Ajip juga menjadi ketua Yayasan Rancage yang semenjak tahun 1988 setiap tahunnya memberikan penghargaan kepada para sastrawan yang menulis dalam bahasa Jawa, Sunda, dan Bali.
Dalam wawancara ini, Ajip menumpahkan kegelisahannya mengenai nasib bahasa Indonesia ke depan. Menurut dia, elite Indonesia merendahkan bahasa nasionalnya. “Mereka minder atau takut dianggap bodoh ketika menyampaikan pikirannya dengan bahasanya sendiri!”
Sekarang ada kecenderungan dalam acara kenegaraan resmi setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya, pemimpin negara malah berpidato bahasa Inggris, apa pendapat Anda?
Sekarang ini, ada keadaan yang buruk, para pejabat dan kaum intelektual kita, apalagi kaum selebriti, memakai bahasa gado-gado, atau bisa disebut bahasa gaul dengan logat Jakarta. Ini jelas menunjukkan posisi intelektual mereka seperti apa sebenarnya. Mereka gemar memakai kata atau kalimat-kalimat bahasa Inggris. Padahal, itu tidak perlu. Sebab, ini hanya menunjukkan bahwa bahasa nasionalnya tidak mampu mewadahi ekspresi pikiran dan perasaan dia.
Tindakan itu jelas merendahkan bahasa Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia sudah terbukti dapat dipakai sebagai bahasa untuk menulis tentang ilmu apa pun juga. Jadi, mereka seharusnya kini sudah punya kemampuan berbahasa Indonesia yang tinggi. Apalagi, pada kenyataannya, setengah abad yang lalu, pada tahun 50-an, ada mata pelajaran atau kuliah yang tidak bisa diberikan dengan bahasa Indonesia. Saat itu, karena pengajarnya guru-guru besar bangsa Belanda, mahasiswanya harus belajar bahasa Belanda. Saat itu, misalnya, ada guru-guru khusus untuk menolong mahasiswa ketika harus membaca teks-teks kuliah berbahasa Belanda. Itu terjadi pada mahasiswa hukum.
Tapi, sekarang hal itu tidak perlu lagi. Mau kuliah apa pun dengan mempelajari ilmu apa pun bisa dilakukan dengan bahasa Indonesia. Dari segi ekspresi seni, sekarang karya sastra Indonesia sudah diakui di dunia internasional. Jadi, bahasa Indonesia mampu menjadi bahasa sastra juga.
Mengapa pada situasi seperti ini banyak pejabat atau elite kita berbicara memakai bahasa gado-gado? Apakah ini karena dibelit rasa minder?
Di antaranya, ya karena minder itu. Mereka merasa rendah diri dan tidak ingin ketahuan bila tidak bisa mengucapkan kata-kata Inggris yang akibatnya takut dianggap bodoh. Karena dia menganggap bahasa Indonesia tidak dapat mewadahi ilmu, padahal kenyataannya itu bisa. Ini memang terjadi karena dia tidak membaca karya-karya ilmu yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Misalnya, mereka tidak mengikuti karya sastra Indonesia yang dikagumi oleh negara lain.
Selain itu, mereka berbicara dengan bahasa gado-gado, ya karena pelajaran bahasa Indonesia, baik tingkat dasar sampai tingkat akhir, banyak yang salah. Kalau saya baca buku-buku pelajaran kelas enam sekolah dasar, misalnya, di sana siswa diharuskan tahu mengenai apa itu subjek atau predikat. Nah, padahal, apa gunanya. Yang penting kan siswa sekolah dasar itu dalam pelajaran bahasa Indonesia harus dididik supaya bisa mengemukakan pikiran dan perasaannya dengan bahasa itu. Untuk itu, harus ada contoh-contoh. Dan, contoh-contoh yang terbaik itu ada dalam karya sastra.
Ironisnya, di sekolah-sekolah kita tidak ada perpustakaan yang lengkap. Kalaupun ada, koleksinya pun bukan buku-buku sastra. Ini karena penyediaan buku oleh pemerintah untuk sekolah tidak berdasarkan mutu buku itu. Tapi, berdasarkan pada komisi proyek buku itu berapa besarnya.
Terus terang, gaya berbahasa elite kita memang memprihatinkan. Di televisi, saya melihat ada seorang anggota parlemen Ruhut Sitompul yang menyebut Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebutan si Mahfud. Ini kan menghina. Itu artinya, sewaktu di sekolah dasar tidak diajari gurunya bahwa kata si itu tak boleh dipakai sembarangan di depan nama orang, apalagi dilekatkan kepada nama ketua lembaga tinggi negara. Ini menegaskan, bila dia itu bukan hasil dari pendidikan bahasa Indonesia yang baik. Dan sayangnya, ini dia lakukan berulang-ulang. Padahal, ini tidak pantas diucapkan sebagai seorang anggota parlemen yang terhormat.
Menurut Anda, seperti apa perhatian pemerintah dalam penggunaan bahasa Indonesia sekarang ini? Apakah malah menganggap hal ini tidak penting?
Pemerintah Republik Indonesia semenjak berdiri memang tidak pernah menganggap kebudayaan itu penting. Tak peduli saat zaman Soekarno, Soeharto, atau hingga sekarang, perhatian itu juga tak ada. Sekarang, kebudayaan dianggap sebagai komoditas yang bisa dijual dan dilakukan dengan pariwisata. Dahulu, kebudayaan disatukan dalam departemen pendidikan. Di situ, kebudayaan hanya embel-embel serta dianggap tidak penting. Zaman Presiden Abdurrahman Wahid, kebudayaan dipindahkan ke departemen pariwisata. Ini lebih gila lagi karena kebudayaan dianggap barang jadi yang bisa dijual. Jadi, Pemerintah Indonesia tidak pernah menganggap sebagai hal yang penting.
Dahulu, ada ide harus ada menteri kebudayaan khusus. Saya waktu itu sudah mengatakan itu bukan jalan keluar. Sebab, kalau didirikan lagi, ada kementerian kebudayaan yang nanti berkembang bukan ke kebudayaan, melainkan korupsi. Kementerian malah hanya menjadi sarang korupsi baru.
Anda pernah 22 tahun tinggal dan mengajar di Jepang. Bagaimana penghargaan pemerintah di sana terhadap bahasa mereka?
Ya, sebetulnya juga tidak terlalu istimewa. Di negara-negara lain yang maju, semuanya memang berbuat sama dengan Jepang. Mereka menganggap pelajaran bahasa itu penting. Bahkan, di Jepang, kemampuan berbahasa Jepang menjadi syarat yang sangat penting meski orang Jepang juga mempelajari bahasa asing. Tapi, ada satu hal yang di sana menjadi sangat penting. Hal itu adalah semua ilmu atau semua karya sastra yang istimewa ada dalam bahasa Jepang. Kadang-kadang, bila di Jepang akan diterbitkan buku yang penting dari Amerika Serikat, buku itu terbit bersamaan dengan terjemahannya dalam bahasa Jepang.
Jadi, orang yang bisa membaca karya aslinya bersamaan dengan terbitnya karya terjemahan buku tersebut. Mereka sangat yakin bahwa bahasa Jepang cukup untuk membuat orang berbudaya. Akibatnya, di sana, bila ingin menjadi seniman, budayawan, ilmuwan, maka orang-orang Jepang itu cukup dengan menggunakan bahasanya saja. Begitu juga dengan orang Cina, Inggris, dan Prancis pun seperti itu: bangga akan bahasanya dan antusias menerjemahkan buku asing.
Namun, kita kan tidak. Dahulu, Pak Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan, penerjemahan karya sastra dan ilmu dari bahasa ke bahasa Indonesia adalah hal yang mutlak. Bahkan, dia sempat mengusulkan perlunya pembentukan lembaga penerjemahan. Namun, ini tidak pernah dipedulikan oleh pemerintah sehingga Pak Takdir pernah mengatakan, “Kalau begini situasinya, maka lebih baik bahasa Inggris dijadikan saja bahasa nasional di Indonesia. Ini supaya bangsa Indonesia bisa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan.” Ya, sampai sebegitu besar rasa kecewanya Pak Takdir itu.
Melihat situasi yang berkembang menyedihkan itu, orang suka bicara gado-gado dan papan reklame ramai ditulis dalam bahasa Inggris, apakah menurut Anda bahasa Indonesia ke depan masih bisa bertahan?
Kalau dibiarkan seperti ini, bahasa Indonesia akan bernasib seperti bahasa ‘PGN’ Inggris (bahasa Inggrisnya orang Papua Nugini). Nah, sekarang bagaimana kita sendiri menyikapinya.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/06/teraju-elite-indonesia-merendahkan.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar