Dadang Ari Murtono
http://www.lampungpost.com/
PEREMPUAN itu berjongkok di antara mayat-mayat yang hampir membusuk dalam Menara Rashomon. Perempuan yang tua, berbaju kecokelatan, bertubuh pendek dan kurus, berambut putih dan mirip seekor monyet. Dengan oncor dari potongan kayu cemara di tangan kanannya, perempuan itu memandangi wajah sesosok mayat. Mayat seorang perempuan dengan rambut panjang.
Bagaimana bisa ada tumpukan mayat dalam Menara Rashomon, baiknya kuceritakan dulu. Ini adalah Kyoto, kota yang ramai dan permai, dulu. Namun, beberapa tahun silam, kota ini didera bencana beruntun. Gempa bumi, angin puyuh, kebakaran, dan paceklik. Itulah sebab kota ini menjadi senyap dan porak-poranda. Menurut catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur, dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk di pinggir jalan, dijual sebagai kayu bakar. Dengan kondisi seperti itu, perbaikan Rashomon sulit diharapkan. Rubah dan cerpelai, musang dan burung punai, juga para penjahat, memanfaatkan reruntuhannya sebagai tempat tinggal. Dan akhirnya, bukan perkara aneh membawa dan membuang mayat ke gerbang itu. Setiap senja seperti sekarang ini, seperti saat si perempuan tua itu berjongkok sambil memandang wajah mayat perempuan itu, suasana menjadi teramat menyeramkan. Tak seorang pun— kecuali perempuan tua itu, tentu saja—berani mendekat.
Perempuan itu sebatang kara, tak mempunyai keluarga. Perempuan itu tak menikah sebab tak ada lelaki yang ingin menikah dengan perempuan berwajah buruk seperti monyet. Apalagi ia bukan seorang kaya atau turunan bangsawan. Dulu, ia bekerja sebagai pelayan di rumah bangsawan Kyoto. Bertahun-tahun ia bekerja dengan baik dan tak pernah mengeluhkan gaji yang terlalu sedikit. Majikannya menyayanginya. Ia merasa bahagia. Dan sepertinya tak bakal ada alasan bagi majikannya untuk memberhentikannya. Ia sudah seperti keluarga saja dengan keluarga majikannya. Karena perlakuan seperti itulah ia tak terlalu bersedih sewaktu bapak ibunya meninggal terkena wabah penyakit.
Namun ia keliru. Kondisi Kyoto pada waktu seperti ini mengalami kemunduran yang teramat cepat. Dan majikannya yang baik itu juga merasakan dampak kemunduran itu. Majikannya memecatnya. Majikannya bilang tak mampu lagi membayar gajinya yang tak banyak dan memberinya makan. Majikannya tak sekaya dan sebaik yang ia sangka ternyata. Kemudian ia pergi dari rumah majikannya. Dan karena ia tak mempunyai sanak famili untuk menumpang tinggal, juga rumah orang tuanya yang sempit telah lama dijual untuk biaya pengobatan mereka, maka ia melantung, tidur di emper rumah penduduk atau meringkuk di relung-relung reruntuhan bangunan yang banyak terdapat di seantero Kyoto bersama pencoleng dan orang-orang buangan.
Awalnya ia kebingungan bagaimana bekerja dan mendapat uang untuk menopang kehidupannya. Ia tak punya keahlian apa-apa selain menyiapkan teh dan membikin sushi, menyapu rumah dan mencuci pakaian. Ia tahu, tak bakal ada yang mau menerimanya sebagai pelayan. Semenjak krisis berkepanjangan ini, orang-orang kaya tak lagi mencari pelayan baru, sebagian besar malah memecat pelayan mereka. Dan para istri saudagar atau bangsawan mesti belajar menanak nasi, membersihkan rumah, dan merawat kebun. Krisis berlangsung terlalu panjang dan menimbulkan akibat yang teramat hebat. Pemecatan perempuan tua itu dan pelayan-pelayan lainnya barangkali hanya sekadar riak kecil saja dari kemunduran itu.
Dalam kebingungan seperti itu, perempuan tua itu berpikir untuk menjadi pencuri. Ia kelaparan. Daripada mati kelaparan lebih baik ia mencuri. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menopang hidupnya selain dengan mencuri. Namun belum sempat menjalankan pikiran itu, kesadarannya timbul. Tubuhnya sudah lemah dimakan usia, ia tak bakal bisa berlari cepat menyelamatkan diri bila terpergok pemilik rumah. Ia akan mudah tertangkap dan menjadi bulan-bulanan penduduk Kyoto. Itu akan sangat memalukan. Memang, seringkali rasa malu lebih penting dari perut yang kelaparan.
Hingga pada suatu ketika, ia sampai di Rashomon. Dengan menaiki beberapa anak tangga, ia menuju menara yang teduh untuk beristirahat. Alangkah terkejut ia dan hampir saja semaput demi dilihatnya dalam menara itu bertumpuk mayat-mayat. Sebagian mayat-mayat itu berpakaian, sebagian lagi telanjang. Sebagian mayat laki-laki dan sebagian lagi perempuan. Mayat-mayat itu berserakan dan bertumpuk di lantai, serupa boneka-boneka dari tanah. Ada yang mulutnya menganga dan tangan terentang. Sulit baginya membayangkan bahwa mayat-mayat mengerikan itu pernah hidup sebelumnya.
Perempuan tua itu nyaris berlari balik ke arah darimana ia datang, ke jalan yang tadi ia tempuh. Namun secepat ia berbalik badan, secepat itu pula terbersit pikiran untuk mendapatkan uang dari mayat-mayat itu. Barangkali di saku baju mayat-mayat yang masih berpakaian ada barang berharga yang tertinggal, barang berharga yang bisa dijual. Tapi mayat-mayat itu adalah mayat buangan. Bagaimana bisa ada barang berharga dari mayat-mayat semacam itu. Tentu orang yang membuang mayat-mayat itu telah lebih dulu mengambilnya.
Namun ia menemukan ide yang lebih cemerlang. Dulu, sewaktu masih kanak-kanak, bapaknya pernah mengajarinya membuat cemara palsu dari bahan rambut. Itu bisa dijual. Dan kini di hadapannya, tersedia banyak sekali rambut untuk membuat cemara. Rambut mayat-mayat itu. Ia tinggal mencabutinya. Kemudian ia putuskan untuk tinggal dalam menara itu, tidur bersama tumpukan mayat-mayat itu.
Senja ini, hujan mengguyur Kyoto. Perempuan tua itu tak peduli. Ia merasa nyaman dan terlindung dalam menara itu. Tadi siang seseorang melempar mayat baru ke dalam menara itu. Mayat perempuan dengan rambut panjang yang lembut, perempuan yang seperti ia kenal, atau paling tidak pernah ia jumpai, hanya saja ia tak tahu persisnya di mana dan kapan. Ia tak tahu kenapa wanita itu mati dan dibuang ke dalam menara. Tak ada bekas luka di tubuh mayat itu, karena itulah ia menyimpulkan perempuan itu meninggal karena wabah penyakit. Tapi itu tak menjadi pikiran yang penting dan perlu berlama-lama direnungkan. Ia juga tak peduli siapa yang membuang mayat perempuan itu. Yang penting baginya adalah sesegera mungkin mencabuti rambut di kepala wanita itu untuk membuat cemara. “Alangkah bagus rambut ini. Tentu bakal jadi cemara yang bagus dan berharga mahal nantinya,” bisiknya pada diri sendiri.
Setelah mengamati beberapa saat, perempuan itu menancapkan oncor kayu cemara di sela lantai papan, kemudian menaruh kedua belah tangannya pada leher mayat itu. Perempuan tua itu mulai mencabuti rambut panjang si mayat helai demi helai. Persis seekor monyet yang sedang mencari kutu di tubuh anaknya. Pada waktu itulah, ia teringat siapa perempuan yang kini menjadi mayat dan tengah ia cabuti rambutnya itu.
Ia terlalu bersemangat mencabuti rambut mayat itu sampai tak tahu bahwa sedari tadi seseorang tengah mengamatinya. Seorang Genin, samurai kelas rendah. Genin itu tiba-tiba saja melompat dari tangga. Sambil menggenggam gagang pedang, lelaki itu menghampirinya dengan langkah lebar.
Ia terkejut. Saking kagetnya, ia sampai terlonjak bagai dilontarkan dengan ketapel.
“Hei, mau ke mana kau?” hardik Genin itu seraya mencengkeram tangan perempuan itu yang bermaksud melarikan diri. Ia masih meronta-ronta dengan hebat. Namun sehebat apa pun rontaan dari tubuhnya yang lemah, tetap saja tak mampu membuatnya lolos dari cengkeraman Genin itu.
“Apa yang sedang kamu lakukan? Jawab! Kalau tidak mau mengaku….”
Genin itu melepasKan cengkeramannya seraya menghunus pedang baja putih berkilau dan mengacungkannya ke depan mata perempuan tua itu. Namun perempuan itu bungkam, kedua tangannya gemetar hebat, napasnya terengah, matanya membelalak seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya. Genin mengerti perempuan tua itu tengah ketakutan.
“Aku bukan petugas Badan Keamanan. Aku kebetulan lewat di dekat gerbang ini. Maka aku tidak akan mengikatmu atau melakukan tindakan apa pun terhadapmu. Kau cukup mengatakan sedang melakukan apa di sini.”
“Aku mencabuti rambut…. Aku mencabuti rambut untuk membuat cemara.”
Genin itu merasa kecewa dan kaget dengan jawaban sederhana dan di luar dugaannya itu.
Perempuan tua itu melanjutkan, “Ya… memang, mencabuti rambut orang yang sudah mati bagimu mungkin merupakan kejahatan besar. Tapi mayat-mayat yang ada di sini semua pantas diperlakukan seperti itu. Perempuan yang rambutnya barusan kucabuti, biasa menjual daging ular kering yang dipotong-potong sekitar 12 cm ke barak penjaga dan mengatakannya sebagai ikan kering. Kalau tidak mati karena terserang wabah penyakit, pasti sekarang pun ia masih menjualnya. Para pengawak katanya kerap membeli, dan mengatakan rasanya enak. Perbuatannya tak dapat disalahkan, karena kalau tak melakukan itu ia akan mati kelaparan. Ia terpaksa melakukannya. Jadi, yang kulakukan pun bukan perbuatan tercela. Aku terpaksa melakukannya, karena kalau tidak, aku pun akan mati kelaparan. Maka, perempuan itu tentunya dapat pula memahami apa yang kulakukan sekarang ini.”
Genin menyarungkan pedangnya kembali. Ia mendengar ocehan perempuan tua itu dengan dingin. “Kau yakin begitu?” tanyanya dengan nada mengejek ketika perempuan itu telah selesai bicara. Lalu sambil mencengkeram leher baju perempuan itu, ia berkata geram.
“Kalau begitu, jangan salahkan aku bila aku merampokmu. Aku pun akan mati kelaparan kalau tak melakukannya.”
Dengan kasar, lelaki itu merenggut pakaian si perempuan tua, menarik tangan dan menyepak tubuh ringkih itu hingga jatuh menerpa tumpukan mayat-mayat. Dengan mengempit pakaian hasil rampasan, Genin itu menuruni tangga dan hilang di ujung jalan.
Beberapa saat kemudian, tubuh perempuan tua yang telanjang itu menggeliat di antara tumpukan mayat-mayat. Ia pandang berlama-lama tumpukan tubuh tak bernyawa itu sambil memijit-mijit bagian tubuhnya yang sakit karena ditendang dan jatuh tadi. Ia memandang jasad-jasad itu seperti tak pernah memandang sebelumnya. Tiba-tiba ia bergumam, “Alangkah damai mayat-mayat itu, alangkah tenang mereka yang tak lagi berurusan dengan perkara lapar, dengan perkara duniawi.”
Pada waktu itu, ia ingin menjadi mayat. Terlentang di tempat itu. Tak lagi berpikir apa-apa. Tak lagi merasa sedih sewaktu ada seseorang yang datang mencabut rambut atau mengiris sekerat dagingnya.
Catatan:
Rashomon sering dikaitkan dengan Rajomon, pintu gerbang pada zaman Heian (794—1185), sekarang terletak di Perfektur (daerah setingkat provinsi) Nara. Mon berarti gerbang. Ketika itu, ibu kota Jepang terletak di Nara. Rashomon juga merupakan judul cerpen Akutagawa Ryunosuke yang menjadi sumber penulisan kisah di atas.
———-
Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto. Sebagian tulisannya pernah terbit di beberapa surat kabar, majalah, dan jurnal. Sebagian yang lain menjadi bagian dari antologi bersama.
CATATAN PENTING
Ini diambil dari Catatan Sungging Raga di Facebook berikut komentar dari berbagai pihak atas catatan tersebut yang dikutip Rabu, 15 Desember 2010 pukul 14.40 WIB.
Plagiat Rashomon
oleh Sungging Raga pada 14 Desember 2010 jam 10:41
saya di sini cuma melanjutkan bukti2 plagiat Dadang Ari Murtono terhadap karya Akutagawa yg berjudul Rashomon, saya sendiri belum sempat membuat esai, tapi sebagai soft opening, saya meminta teman dekat saya yg kebetulan juga teman dekat Dadang untuk bertanya via sms, dan Dadang mengirimkan sms balasan kepada teman dekat saya itu, lalu teman saya ini lantas menerjemahkan sms Dadang yg berbahasa Jawa kedalam bahasa Indonesia kepada saya yg isinya seperti ini:
“maaf ya, aku gak peduli orang bilang apa. menyelesaikan? gimana? apa aku harus datang keorang orang seluruh indonesia satu persatu buat jelasin masalahnya? lha masalahnya apa? aku gak merasa punya masalah. terserah orang mau bilang apa. lha redakturnya aja nyantai kok, gak anggap plagiat kok. ya memang aku diam soalnya aku gak merasa ada apa-apa.”
berikut ini sedikit bukti2nya antara Cerpen Dadang di Lampung Post & buku Akutagawa yg diterbitkan KPG
oya, ternyata cuplikan utuh Rashomon versi Akutagawa bisa dilihat di google books:
http://books.google.co.id/books?id=IL2M2djhQmoC&printsec=frontcover
=====
Cerpen Dadang:
Ini adalah Kyoto, kota yang ramai dan permai, dulu. Namun, beberapa tahun silam, kota ini didera bencana beruntun. Gempa bumi, angin puyuh, kebakaran, dan paceklik. Itulah sebab kota ini menjadi senyap dan porak-poranda. Menurut catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur, dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk di pinggir jalan, dijual sebagai kayu bakar. Dengan kondisi seperti itu, perbaikan Rashomon sulit diharapkan. Rubah dan cerpelai, musang dan burung punai, juga para penjahat, memanfaatkan reruntuhannya sebagai tempat tinggal. Dan akhirnya, bukan perkara aneh membawa dan membuang mayat ke gerbang itu. Setiap senja seperti sekarang ini, seperti saat si perempuan tua itu berjongkok sambil memandang wajah mayat perempuan itu, suasana menjadi teramat menyeramkan. Tak seorang pun— kecuali perempuan tua itu, tentu saja—berani mendekat.
Halaman 2 Akutagawa:
Kota Kyoto sesepi itu karena beberapa tahun silam didera bencana beruntun, mulai dari gempa bumi, angin puyuh, kebakaran, dan paceklik. Karena itu Kyoto jadi senyap dan porak-poranda. Menurut catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur, dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk di pinggir jalan, dijual sebagai kayu bakar. Karena kondisi Kyoto seperti itu, perbaikan Rashomon sulit diharapkan. Rubah dan cerpelai, juga para pelonceng, memanfaatkan reruntuhan sebagai tempat tinggal. Akhirnya, lazim membawa dan membuang mayat tak dikenal ke gerbang itu. Karena bila senja telah tiba suasana menjadi menyeramkan. Tidak ada orang yang berani mendekat.
========
Cerpen Dadang:
Setelah mengamati beberapa saat, perempuan itu menancapkan oncor kayu cemara di sela lantai papan, kemudian menaruh kedua belah tangannya pada leher mayat itu. Perempuan tua itu mulai mencabuti rambut panjang si mayat helai demi helai. Persis seekor monyet yang sedang mencari kutu di tubuh anaknya.
Halaman 7 Akutagawa:
Perempuan tua itu menancapkan oncor kayu cemara di sela lantai papan, kemudian menaruh kedua belah tangannya pada leher mayat yang sejak tadi dipandanginya. Perempuan tua itu mulai mencabuti rambut panjang si mayat helai demi helai, persis seekor monyet yang sedang mencari kutu di tubuh anaknya.
=======
Cerpen Dadang:
Sambil menggenggam gagang pedang, lelaki itu menghampirinya dengan langkah lebar.
Ia terkejut. Saking kagetnya, ia sampai terlonjak bagai dilontarkan dengan ketapel.
“Hei, mau ke mana kau?” hardik Genin itu seraya mencengkeram tangan perempuan itu yang bermaksud melarikan diri.
Halaman 8:
Sambil menggenggam gagang pedang ia menghampiri nenek tua itu dengan langkah lebar.
Sekilas ia melihat ke arah Genin. Dan saking kagetnya seketika itu pula iaterlonjak bagai dilontarkan dengan ketapel.
“Hei, mau ke mana kau?” hardik Genin seraya mencengkeram tangan si nenek yang bermaksud melarikan diri,
======
Cerpen Dadang:
“Apa yang sedang kamu lakukan? Jawab! Kalau tidak mau mengaku….”Genin itu melepasKan cengkeramannya seraya menghunus pedang baja putih berkilau dan mengacungkannya ke depan mata perempuan tua itu. Namun perempuan itu bungkam, kedua tangannya gemetar hebat, napasnya terengah, matanya membelalak seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya.
Halaman 8:
“Apa yang sedang kamu lakukan? Jawab! Kalau tidak mau mengaku….”Genin itu melepaskan cengkeramannya seraya menghunus pedang baja putih berkilau dan mengacungkannya ke depan mata si nenek. Tapi, nenek tua itu tetap bungkam, kedua tangannya gemetar hebat, napasnya terengah, matanya membelalak seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya,
======
Cerpen Dadang:
“Aku bukan petugas Badan Keamanan. Aku kebetulan lewat di dekat gerbang ini. Maka aku tidak akan mengikatmu atau melakukan tindakan apa pun terhadapmu. Kau cukup mengatakan sedang melakukan apa di sini.”
Halaman 9:
“Aku bukan petugas Badan Keamanan. Aku kebetulan lewat di dekat gerbang ini. Maka aku tidak akan mengikatmu atau melakukan tindakan apapun terhadapmu. Kau cukup mengatakan sedang melakukan apa di sini.”
========
Terakhir, yg sudah sempat di-paste Bung Bamby:
Cerpen Dadang:
Perempuan tua itu melanjutkan, “Ya… memang, mencabuti rambut orang yang sudah mati bagimu mungkin merupakan kejahatan besar. Tapi mayat-mayat yang ada di sini semua pantas diperlakukan seperti itu. Perempua…n yang rambutnya barusan kucabuti, biasa menjual daging ular kering yang dipotong-potong sekitar 12 cm ke barak penjaga dan mengatakannya sebagai ikan kering. Kalau tidak mati karena terserang wabah penyakit, pasti sekarang pun ia masih menjualnya. Para pengawak katanya kerap membeli, dan mengatakan rasanya enak. Perbuatannya tak dapat disalahkan, karena kalau tak melakukan itu ia akan mati kelaparan. Ia terpaksa melakukannya. Jadi, yang kulakukan pun bukan perbuatan tercela. Aku terpaksa melakukannya, karena kalau tidak, aku pun akan mati kelaparan. Maka, perempuan itu tentunya dapat pula memahami apa yang kulakukan sekarang ini.”
Halaman 9 – 10:
“Ya… memang, mencabuti rambut orang yang sudah mati mungkin bagimu merupakan kejahatan besar. Tapi, mayat-mayat yang ada di sini semuanya pantas diperlakukan seperti it…u. Perempuan yang rambutnya barusan kucabuti, biasanya menjual daging ular kering yang dipotong-potong sekitar 12 sentimeter ke barak penjaga dan mengatakannnya sebagai ikan kering. Kalau tidak mati karena terserang wabah penyakit, pasti sekarang pun ia masih menjualnya. Para pengawal katanya kerap membeli, dan mengatakan rasanya enak. Perbuatannya tidak dapat disalahkan, karena kalau tidak melakukan itu ia akan mati kelaparan. Ia terpaksa melakukannya. Jadi, yang kulakukan pun bukan perbuatan tercela. Aku terpaksa melakukannya, karena kalau tidak, aku pun akan mati kelaparan. Maka, perempuan itu tentunya dapat memahami pula apa yang kulakukan sekarang ini.”
====
karena terburu-buru, cukup sekian yg bisa ditampilkan :)
SukaTidak Suka · Komentari · Bagikan
*
*
Nihayatun Ni’mah, Ahmad Muhakkam El Zein, Esha Tegar Putra dan 15 lainnya menyukai ini.
*
o
Langit Biru sip bung,bakat juga jd detektif sastra, mungkin dadang bermasalah dg kejujuran
Senin pukul 21:49 · SukaTidak Suka
o
Bamby Cahyadi
Pendapatku begini, mungkin banyak di antara kita yang ingin cepat mendapat nama (popularitas) dalam dunia sastra (cerpen). Sehingga berbagai upaya dilakukan, misalnya seperti yang saudara Dadang lakukan. Memang ada keterangan dalam cerpen D…adang di Lampung Post. Tetapi, Dadang mengutip semua isi cerpen dengan membolak-balik paragrafnya.
Pada cerpen Dadang, diceritakan perempuan tua itu yang ingin menjarah mayat. Sementara dalam cerpen aslinya, Genin tersebut yang berpikiran seperti itu (menjarah mayat).
Jadi dadang hanya mengubah sudut pandang, tanpa mengembangkan cerita Rashomon tersebut. Sehingga, wajarlah kalau karya tersebut, adalah karya PLAGIAT.
Kadang popularitas itu mebuat kita BODOH. Dan, kadang juga teman-teman kita sendiri menjerumuskan ke dalam kebodohan tersebut. (Maaf, saya tidak bisa menyebut nama lembaga tersebut di sini). Semoga tulisan Raga, menjadi WARNING bagi para pencari popularitas instan.
“Katakan TIDAK! Untuk karya PLAGIAT!”Lihat Selengkapnya
Senin pukul 21:59 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat…
o
Esha Tegar Putra waw
Senin pukul 22:00 · SukaTidak Suka
o
Sungging Raga yg aku sesalkan, dadang nggak mau mengakui, itu aja.
Senin pukul 22:02 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat…
o
Esha Tegar Putra laporin ke KPK!
Senin pukul 22:04 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat…
o
Bamby Cahyadi Jadi, berita bahwa dia menjadi murung, tidak makan dan menyendiri dan menarik diri dari berbagai acara sastra, hanyalah sandiwara belaka? Sungguh aku sesalkan. Semoga secara terbuka ia mengakuinya, selesai. Karena tidak ada pengadilan kasus karya plagiat.
Senin pukul 22:04 · SukaTidak Suka
o
Khrisna Pabichara Kejujuran bukanlah sesuatu yang sulit, selama kita memiliki kebesaran hati. Hanya saja, semangat aku bisa menenggelamkan hasrat berjujur itu. Andai saja Mas Dadang mau berbesar hati, tentulah akan lebih melegakan. Ihwal mendatangi satu demi satu penyuka sastra di Indonesia–atau di Jepang, negeri asal kisah ini–taklah perlu dilakukan. Cukup lewat Lampung Post.
Senin pukul 22:04 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat…
o
T Agus Khaidir Hal lain yang tak kalah mengherankan adalah, kenapa cerpen ini bisa lolos seleksi redaksi Lampung Post yang biasanya ketat?
Senin pukul 22:12 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat…
o
Khrisna Pabichara
Perihal redaktur yang tenang-tenang saja dn tak mencap ini hasil plagiat, mestinya Mas Dadang menyadari bahwa redaktur memiliki keterbatasan untuk memeriksa kesahihan sebuah karya.
Sekadar berbagi kabar, ketika cerpen saya disabot pengarang …lain di media yang sama, sayalah yang menghubungi redakturnya. Alhasil, sang penyabot diundang redaktur untuk menjelaskan asal-muasal cerita anggitannya. Jadi, apakah perlu Akutagawa sendiri yang menghubungi redaktur sastra Lampung Post? Mustahil, kan?Lihat Selengkapnya
Senin pukul 22:21 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat…
o
Muhammad Anhar Husyam
Terkadang memang bisa terbawa, ya gaya,kata atau penggalan penulis yang di-idolakan. tapi nggak separah ini!!
semoga cukup sampai di sini.
(skdar mengingatkan. Cerpen bg khrisna pernah diplagiat juga:
repost: http://blogkoma.blogspot.com/201…0/03/amang-oi.html)Lihat Selengkapnya
Senin pukul 22:23 · SukaTidak Suka
o
Komunitas Ketik astaga…
Senin pukul 22:24 · SukaTidak Suka
o
Sungging Raga mungkin dadang menganggap kita-kita sebagai pembaca ini gak punya hak sama sekali untuk menggugat… mngkin bagi dia, mekanisme kehidupan cerpen koran cuma berawal dari ngirim email, trus bersaing dg karya lain, trus berakhir di persetujuan redaktur utk memuatnya.
Senin pukul 22:32 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat…
o
Khrisna Pabichara
?@Raga: Kalau cuma sebatas itu, dalam seminggu saya bisa mengirim 5-10 cerpen ke media berbeda. Hahaha. Persoalannya adalah kejujuran dan keberanian mengakui “kesalahan”. Jika di batas itu saja kita belum lolos, bagaimana kita berharap memb…erikan sesuatu yang berharga bagi pembaca? Kasihan sekali jika kita martabat kepengarangan demi sebatas ketenaran.
Saya sangat berharap ada seseorang atau lembaga tertentu yang mau mengetuk hati Mas Dadang agar berkenan berbesar hati untuk tak melukai penyuka sastra.Lihat Selengkapnya
Senin pukul 22:46 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka
o
Khrisna Pabichara Dan, tentu saja, kepada Redaktur Sastra Lampung Post agar memberikan peringatan keras agar Mas Dadang tidak melakukan hal sama di cerpen-cerpen sesudahnya.
Senin pukul 22:50 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka
o
Langit Biru jika masalahnya kejujuran dalam berkarya,ini fundamental,jadi tertarik menelisik karya dadang sebelumnya
Senin pukul 22:56 · SukaTidak Suka
o
T Agus Khaidir
Sekali lagi komentarku harus bernada heran. Kali ini untuk oknum bernama Dadang. Taruhlah dia memang berniat untuk plagiat, tapi kenapalah yang diplagiati itu justru Rashomon, karya Akutagawa yang sudah sangat masyhur? Kenapa tidak karya la…in saja yang “tidak terlalu terkenal”?
Tapi dia memang memplagiat Rashomon dan aku curiga jangan-jangan ini orang menganggap tak ada yang tahu bahwa cerpen itu ia plagiat – lantaran ditulis orang Jepang sekian puluh tahun lalu. Atau jangan-jangan dia pakai semacam ilmu hitam sehingga Rashomon tulisannya yang hampir tak berbeda dengan Rashomon asli itu bisa lolos dari seleksi awal redaksi, menyingkirkan barangkali puluhan cerpen lain dan dimuat di media sekelas Lampung Post.
Aku tiba-tiba membayangkan, dalam minggu-minggu ke depan akan muncul cerpen karya Sungging Raga, Bamby Cahyadi, Khrisna Pabichara, atau bahkan Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya dan Budi Darma dengan nama Dadang Ari Murtono dan dimuat di Kompas, Koran Tempo, dan Suara Merdeka, karena Myrna, Nirwan Dewanto dan Triyanto Triwikromo merasa terpesona sebab sudah kena guna-guna. hahahahaha…Lihat Selengkapnya
Senin pukul 23:03 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat…
o
Khrisna Pabichara ?@Agus K: Yang pasti, Bang, cerpen Mas Dadang di Kompas memiliki kemiripan dengan cerpen Ratih Kumala. Saya sedang membaca ulang cerpen Mas Dadang yang dimuat di Republika. Jangan-jangan…
Senin pukul 23:13 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka
o
Khrisna Pabichara ?@Anhar H: Jadi teringat kasus lama, Bang. Saya sampai mencari nomor kontak “sang penyabot” agar bisa klarifikasi langsung. Bukannya meminta maaf, yang bersangkutan malah meminta saya untuk melindungi sesama penulis. Hahaha. Miris!
Senin pukul 23:19 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka
o
Simalakama Rindu saya hanya ingin agar Dadang segera mermberikan keterangan. semoga cepat selesai.
Kemarin jam 4:43 · SukaTidak Suka
o
Imam Wahyudi
Saya hanya mau sedikit urun komentar. Diakui atau tidak, gaya dan penulisan para cerpenis, khususnya yang baru berkembang, kebanyakan memang terpengaruh oleh penulis yang kebetulan sedang menjadi anutannya. Tak jarang, cerita yang mereka tu…lis
hampir mirip dengan pengembangan disana-sini. Saya rasa itu tak masalah, asal tidak sama persis benar dengan cerpen acuannya. Meminjam istilah Agus Noor, diberi cita rasa baru yang berbeda. Soal cerpen Mas Dadang itu, saya berbaik sangka saja, mungkin ada yang ingin ditujunya, entah apa, dengan membuat cerpen semacam itu. Tetapi diatas semua itu, memang seyogianyalah mas Dadang memberikan sekedar penjelasan tentang tulisannya itu….Lihat Selengkapnya
Kemarin jam 5:47 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat…
o
Endah Sulwesi hari gini kok masih nyontek sih? Anak nakal! *pukul pantat Dadang* :D
Kemarin jam 8:21 · SukaTidak Suka
o
Han Gagas Sungging, di awal kau blg melanjutkan berarti ada yg sebelum ini. Wah aku terlewatkan neh. Mas bamby nt di inbox ke saya ya lembaga itu. Oya ada ketrangan di lampung pos itu apaya? Dadang oh dadang, aneh2 sj org ini. Kok redaktur lampung gak kau tandai ngging?
Kemarin jam 8:28 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka
o
Lan Fang coba tlg di tag ke wall ku ya…,
Kemarin jam 10:16 · SukaTidak Suka
o
Lan Fang
semua penulis kebanyakan “pasti” terinspirasi dengan tulisan2 yg pernah dibaca sebelumnya. “pasti” juga “mencuri” untuk eksplorasi. sebab untuk menjadi penulis itu harus memiliki “kecerdasan di atas rata2″ harus bisa menjadi “pencuri” yg ce…rdas.
jadi plagiator adalah penulis yg dengan sadar menunjukkan kedunguannya sendiri.
akh, gol bunuh diri!Lihat Selengkapnya
Kemarin jam 11:44 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat…
o
Sungging Raga
tp kan inspirasi lain dg plagiasi,, kadang memang sering ditemukan bbrapa frase yg sudah dipakai seorg penulis tp juga ada di karya penulis lain, atau juga karya2nya bernafas sama..
kalo dadang ini udah trbukti masuk kategori plagiasi nih. b…ahkan karya2nya yg lain pun mulai dicurigai, terutama yg di Kompas (Lelaki Sepi) yg mirip cerpennya Ratih Kumala. cuma kalo kata mas khrisna, di kompas itu Dadang bermain lebih cantik (& cerdas), hehe. di sini kacaubalau.Lihat Selengkapnya
Kemarin jam 11:50 · SukaTidak Suka · 1 orangKhrisna Pabichara menyukai ini.
o
Lan Fang saya tidak khusus menujukan pada dadang seorang. tapi harapan saya, semua yg berkaitan dengan tulis menulis bisa mengambil hikmah & bisa belajar dari urusan ini.
Kemarin jam 11:55 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat…
o
Aida Radar Wew!
ck…ck…ck…
Kemarin jam 13:12 · SukaTidak Suka
o
Benny Arnas plagiat! apa kata dunia? *kok dadang tak kau tag, Ga?
Kemarin jam 14:03 · SukaTidak Suka
o
Sungging Raga aku gak jdi friend-nya dadang sih.. yg pasti sblum mnulis ini, aku udah brusaha mendapatkan pnjelasannya scara langsung. hehe. tp di acara sastra trakhir yg mncantumkan namanya sbg pmbicara, trnyata dia pun gak dtg.
Kemarin jam 14:08 · SukaTidak Suka
o
Benny Arnas HALOOOO, SEMUAAA!! KITA NGE-ADD DADANMG YUKKKKK! :-)
Kemarin jam 14:17 · SukaTidak Suka
o
Imam Wahyudi Nah, mungkin yang akan saya pertanyakan disini sebagai orang yang baru belajar sastra, kadang seorang ‘pencuri cerdas’ pun, sengaja atau tidak sengaja, akan menemui masa-masa sial terjatuh menjadi pencuri yang ‘tidak cerdas’. Bagaimana itu ? Ambil contohlah cerpen terakhir SGA di Kompas itu, yang sangat mirip karya Pablo Coelho, meski di akhir cerpen disebutkan bahwa cerpen tersebut mengambil inspirasi dari beberapa cerita yang berkembang di masyarakat. Plagiasi atau sekedar terinspirasi oleh karya lain itu ?
Kemarin jam 14:24 · SukaTidak Suka
o
Aida Radar Idem dengan K’Imam, plagiasi atau terinspirasi?
Kemarin jam 14:26 · SukaTidak Suka
o
Sungging Raga apakah paragraf2 di seno ada yg sama dg coelho? apakah seno melakukan copy paste sprti yg kubuktikan di atas itu?
bedakan antara eksplorasi / inspirasi dg plagiasi.
Kemarin jam 14:30 · SukaTidak Suka
o
Aida Radar Oh begitu ya… ^_^
Kemarin jam 14:31 · SukaTidak Suka
o
Lan Fang kecerdasan bukan untuk membuat semua hal tanpa kesalahan, namun untuk mempercepat amatan bagaimana membuatnya (suatu karya) menjadi (lebih) bagus.
(bertolt brecht, pujangga & dramawan Jerman, 1898-1956)
Kemarin jam 14:32 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat…
o
Imam Wahyudi Intinya, mungkin begini. Bolehlah kita mengutip bagian dari karya orang lain, asal (mungkin) diberi catatan kaki, bahwa kalimat ini diambil dari karya ini atau itu, umpamanya. Dan dilihat secara utuh (keseluruhan) karya itu tidak sama persis dengan yang menjadi inspirasinya. Begitu pa ya…hehe
23 jam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Langit Biru
hal-hal teknis dan teoretis mengenai eksplorasi, inspirasi, dan plagiasi selalu bisa diperdebatkan, termasuk dalam hal ini cerpen SGA.
semua berpulang pada niatan pengarang (kejujuran).
sesorang bisa saja tidak jujur (bohong) pada orang la…in tapi dia tdk akan bisa berbohong (tidak jujur) pada dirinya sendiri.
ada kepuasan batin yang tdk bisa dibeli dg materi dan popularitas ketika menghasilkan karya sastra. dan ini saya rasa tidak akan didapatkan oleh seorang plagiat.Lihat Selengkapnya
23 jam yang lalu · SukaTidak Suka · 3 orangMemuat…
o
Han Gagas Kalo kasus dadang neh plagiat wong hampir tiap katanya sama plek gt. Kalo SGA kan tdk, terinspirasi. Itu kan bedane jelas. Aneh2 aja neh teman2. Kayak haram dan halal dlm islam. Ha3. Bangkai,darah, siapa muslim yg lurus mengatakannya sbg halal? Bukan abu2 kawan. Kalo tiap kata hmpir sama apalagi ide&latar jg sejurus itu sdh jls masuk mana. Ha3. Ada org yg menghamba pd fana, semu. Ada org yg benci pd itu. Huahaha3. Glegekk.
22 jam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka
o
Han Gagas Kok aku dakwah, ha3. Huaha3x. Gelekgek. Trnyt ak dah agak lama hub fb ma dadang jauh sblm urusan buruk ini tp ga prnah kontak2. Kalo kau bc, dang, wah gol bunuh diri, betul kak lf. Kdg kt mmg brdosa, mns, lupa, mari brusaha trs spy jd mns yg baik. Khilaf, alpa, mari kt perbaiki. Ngomong apa aku ini. He3. Menertawai keseriusan ki namane.
22 jam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka
o
Han Gagas kt tmnku yg dl cerpenis hebat, sga yg di kompas kmrn sdkt abu2. Ha3
21 jam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka
o
Khrisna Pabichara
Sepakat dengan Mbak Lan, kejujuran adalah sesuatu yang niscaya dimiliki oleh siapa saja yang berkaul jadi pengarang. Boleh jadi karya kita dianggap hebat oleh khalayak pembaca, tetapi karena proses penciptaannya tidak jujur–semisal meminda…hkan karya orang lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri–tidak akan menemukan kepuasan batin yang sama ketika kita menghasilkan satu karya dengan jujur. Istilah Bang Han, lebih menghasilkan karya yang biasa tetapi murni karya sendiri.
Kembali ke kasus Mas Dadang, dari klarifikasi yang disampaikannya lewat sms, menunjukkan ketidakseriusan Mas Dadang dalam membabarkan “ada apa dengan karyanya” dan “mengapa pembaca terus bertanya”. Secara implisit, ini menunjukkan arogansi Mas Dadang, yang sekaligus juga menunjukkan ketidakbesaran hatinya. Tentu saja, ini dengan asumsi bahwa Mas Dadang berkeras tidak ada masalah karena cerpen “palsu”-nya ini.
Karena itu, tepatlah kiranya jika ada pihak yang berkenan menyampaikan atau mengunjukkan perbincangan ini ke hadapan Mas Dadang. Dan, bagi kita semua, tentulah banyak hikmah yang bisa kita petik dari kasus ini. Salam takzim buat semuanya.Lihat Selengkapnya
16 jam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Rama Dira mentalitas pengen dapat hasil tanpa kerja keras kayak gini nih yang mesti diberangus. masa buat cerpen sekedar kopas aja. hah…macam macam saja si dadang ini..
7 jam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Kartolo Kempol Geyong-Geyong setelah saya baca di kereta, kata, bahkan kalimat karya Bung Dadang itu sama persis. Dalam satu paragraf hanya beberapa kata dan kalimat yang diubah. Sebagai penulis, setidaknya Bung Dadang lebih beretika, dengan menanggapi reaksi teman-teman. Kalau memang MALAS atau KESULITAN mengeksplorasi, jujur lah sama teman-teman. Toh itu bagian dari proses kreatif, kecuali kalau terburu-buru tenar. Tidak usah begitu saja sudah tenar kok. Salam
6 jam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Munajat Sunyi kasihan teman-teman yang sudah berusaha mengirim cerpen ke lampung post dengan karya original, tapi yang dimuat malah karya plagiasi. ckckckckckckck…
4 jam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Han Gagas
betul mas khrisna tuh, mending nulis banyak cerpen jelek2 drpd palsu, huahahahah, itu karyaku, asli lho. mentang2 namaku disebut jd mbetulin dia hahaha, sopan santun, hehehe.
betul juga mas munajat sunyi neh, gara2 dadang neh cerpenku gak di…muat lampung post utk ke2 kali, jan-jan, nasib-nasib.Lihat Selengkapnya
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Sungging Raga ?12 desember cerpen dadang ari murtono di Suara Pembaruan, cerpen yg sama dg di Nova edisi mingu sblumnya.
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Kartolo Kempol Geyong-Geyong mojleng…
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Han Gagas waduh alamak, kalau begitu saya dulu kalau mau ya bisa, wong cerpenku di lampung post itu juga dimaui nova, tapi aku tarik dari nova karena lampung post mau muat, alamak, dasar neh orang.
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat…
o
Han Gagas hahahaha, aku girang neh, rama dira kasih jempol, barti nasib baik neh
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Rama Dira ?@ Han : sepakat. aku juga melakukan hal yang sama. toh kalaupun ndalalah termuat di dua media, itu bukan kesalahanku. tidak ada pemberitahuan dari redaksi yg menjadi penyebabnya sehingga tidak sempat ditarik.
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Han Gagas betul rama dira, aduh alamak kok kita cocok betul ya, aduh sayang kau jauh, andai dekat aku sudah tempelin kau. kayak ma sungging neh, cocok mak plek.
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Sungging Raga rama lain tuh, dia ngirim ke dua media nggak di waktu yg sama, menggilir dulu,, trus kbtulan salah satu media lama bgt memuatnya… kalo yg DAM ini tematik. kjadian bulan lalu.
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Han Gagas cocok tuh maksudku pikiran2ne, wah sungging ki baca2 yg atas doooooooong
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Rama Dira
ya. kalau sampai kejadian dimuat bareng di dua media (padahal kita tau) itu sama saja merampas rejeki teman penulis yg lain. cerpenku pernah hampir dimuat di nova & femina dalam waktu yg berdekatan. untung redaktur femina telpon. akhirnya a…ku tarik. ada sih cerpenku yg sebelumnya dimuat media lokal kemudian kukirimkan ke media nasional dan kemudian dimuat. itu terjadi karena honorku nda dibayar2 dan waktu nagih seolah2 aku melakukan kesalahan dan dipimpong sana sini. akhirnya aku nekat menariknya dan menyatakannya tak pernah dimuat di situ.Lihat Selengkapnya
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Han Gagas ooo, gitu rama dira, okelah, aku belum pernah seh dimuat bareng, kalau pernah mungkin nanti salahku, karena kadang lewat tiga minggu aku dah pindah tuh cerpen, kenapa ya para media itu gak kasih batas waktu yg jelas gitu, sebagian memang sudah tapi gak semua.
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Han Gagas mas rama dira, media lokal apa tuh yg suka ping pong?inisial ajah
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Rama Dira he..he.. ada ajah..tapi kayaknya setelah kejadian aku buat statement penarikan di fb itu, medianya sekarang nda kayak gitu lagi kok. honor sudah dibayar dengan baik menurut info yg kudapat dari teman sesama penulis.
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Han Gagas alhamdulillah dah insyaf tuh media, hahaha
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Sungging Raga surabaya post.
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Rama Dira ha..ha..ha.. akhirnya Raga membocorkannya. Ya udah deh
sekitar sejam yang lalu · Suka
Sumber: http://ceritaujungpulau.blogspot.com/search/label/Dadang%20Ari%20Murtono
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar