Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Kami adalah ahli waris jang sah dari kebudajaan dunia dan kebudajaan ini kami teruskan dengan tjara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang-banjak dan pengertian rakjat bagi kami adalah kumpulan tjampur-baur dari mana dunia-dunia baru jang sehat dapat dilahirkan.
Itulah alinea pembuka Surat Kepercayaan Gelanggang yang bertarikh 18 Februari 1950, namun baru dimuat dalam majalah Siasat, 22 Oktober 1950. Lalu masalah apa pula yang melatarbelakangi dan melatardepani lahirnya pernyataan sikap sejumlah sastrawan yang belakangan digolongkan sebagai sastrawan Angkatan 45 ini? Di belakangnya, ada hasrat memberontak konvensi dan estetika yang ditawarkan sastrawan Pujangga Baru dan di depannya ada pula kehendak membangun estetika sendiri. Maka, tampaklah perbedaan mendasar karya-karya sastrawan Pujangga Baru yang cenderung romantik dan karya-karya sastrawan Angkatan 45 yang menatap kehidupan bangsa ini dengan titik tekan pada gagasan humanisme universal. Belakangan kita menyadari bahwa yang dimaksud dengan humanisme universal yang disuarakan Angkatan 45 itu sebenarnya adalah kemanusiaan sejagat yang lebih berorientasi ke Barat. Jadi, semangat dan elan Angkatan 45, sesungguhnya masih mempunyai perhubungan dengan semangat Angkatan Pujangga Baru dan jejaknya masih dapat ditelusuri dari sana. Paling tidak, dilihat dari visi, baik Angkatan Pujangga Baru, maupun Angkatan 45, cenderung berorientasi pada semangat yang sama: menempatkan kultur Indonesia sebagai warga sastra dunia (Barat). Namun, dari bentuk dan cara pengungkapannya, kedua angkatan itu memperlihatkan kemasan dan style yang berbeda. Dengan begitu, estetika yang dikedepankannya sekadar menyangkut bentuk dan pengucapan, dan bukan pada orientasi dan semangat yang menjiwainya.
Lalu, apa pula hubungan persoalan yang dihadapi Angkatan Pujangga Baru dan Angkatan 45 dengan buku Abdul Hadi WM, Kembali ke Akar kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999; x + 221 halaman)? Dalam konteks inilah, pemahaman sejarah sastra menjadi penting ketika kita hendak menangkap suatu kecenderungan baru (:estetika) dalam gerak perjalanan kesusastraan sebuah bangsa. Dan Abdul Hadi, dengan sangat serius, mencoba memberi pencerahan –sekaligus juga legitimasi—atas gerakan estetik angkatan 70-an.
Dalam hal tersebut, apa yang dilakukan Abdul Hadi sesungguhnya memberi penyadaran kepada kita, betapa penting pemahaman sejarah ketika seseorang hendak menyodorkan sekaligus merumuskan sebuah fenomena kultural. Bukankah sebuah perkembangan kultural hanya mungkin dapat kita evaluasi secara objektif, kontekstual, dan proporsional, jika kita berpegang pada parameter, kriteria dan alat ukur yang jelas. Di situ, pemahaman terhadap peristiwa masa lalu (sejarah) dan menelusuri jejaknya sampai ke sumbernya mutlak dilakukan. Dan Abdul Hadi –dalam bukunya ini– telah melakukan itu dengan sangat meyakinkan. Meskipun ia tak menyebut gagasannya itu sebagai usaha mengukuhkan estetika sastrawan seangkatannya, hasrat ke arah sana justru menonjol lantaran contoh kasus yang dibicarakannya, boleh dikatakan merupakan representasi gerakan estetik Angkatan 70-an. Dengan begitu, gagasan Abdul Hadi dalam buku ini, tidak hanya menjadi penting untuk memberi pemahaman atas persoalan di balik fenomena sastra Indonesia tahun 1970-an dan 1980-an, tetapi sekaligus juga menempatkan gerakan estetik angkatan 70-an dalam kotaknya sendiri. Ia sengaja dibangun dengan kesadaran melakukan pemberontakan atas gerakan estetik angkatan sebelumnya yang dalam perkembangannya, sangat mungkin akan mengalami hal yang sama: berhadapan dengan gugatan generasi yang kemudian.
Demikianlah, buku ini dapat kita cermati lewat tiga sudut pandang. Pertama, konteksnya dalam sejarah sastra Indonesia. Dilihat dari sudut ini, gagasan Abdul Hadi ini mengingatkan kita pada usaha H.B. Jassin ketika ia membela Angkatan 45. Jassin waktu itu mencoba mengukuhan bahwa penamaan Angkatan 45 bukanlah sekadar nama tanpa makna, tetapi justru sebagai representasi kegelisahan kultural yang dengan kesadarannya hendak membangun estetika sendiri. Dengan kesadaran yang sama, meski orientasinya berbeda, Abdul Hadi melakukannya untuk generasi seangkatannya: Angkatan 70. Kedua, konteksnya sebagai gerakan estetik. Jassin menempatkan gagasan humanisme universal sebagai ruh yang menjiwai Angkatan 45, maka Abdul Hadi mengusung gagasan apa yang disebutnya “kembali ke akar, kembali ke sumber”. Ketiga, konteksnya sebagai usaha legitimasi. Kegigihan Jassin dan lemparan gagasannya waktu itu berada di tengah serangkaian polemik dan kontroversi yang muaranya jatuh pada sebutan: Jassin sebagai “Juru Bicara” Angkatan 45, maka peran Abdul Hadi dalam konteks ini, selain dapat dianggap sebagai “juru bicara” angkatannya, juga mengembalikan pokok persoalannya pada sesuatu yang lebih dahsyat, sumber segala sumber: Tuhan! Maka yang muncul kemudian bukan sekadar menyangkut fenomena kultural terjadinya kecenderungan baru, melainkan juga hakikat sumber ilham yang berada di sebaliknya. Untuk jelasnya, mari kita cermati!
***
Memperhatikan materi buku Kembali ke Akar kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik, secara selintas pintas, kesan pertama yang muncul adalah bahwa buku ini merupakan sebuah antologi esai yang barangkali tak berbeda jauh dengan buku-buku sejenis yang menghimpun sejumlah esai. Kecenderungan umum masalah yang dihadapi buku antologi esai seperti itu memang hampir selalu jatuh pada kesulitan menangkap keutuhan gagasan. Hadirnya simpang-siur gagasan, berbagai corak lompatan pikiran atau sebuah gado-gado! Ia kurang begitu utuh, tak lengkap mengusung sesuatu. Maka, tugas pembaca adalah mencari benang merah yang menyatukan berbagai gagasan itu. Dalam hal itulah, editor (penyusun atau penulisnya sendiri) harus cerdas merangkai berbagai gagasan itu berjalin-kelindan. Itulah sebabnya, penyusunan sistematika menjadi sangat penting.
Dari sudut itu, Abdul Hadi agaknya sangat menyadari pentingnya menyusun sistematika yang memungkinkan tawaran gagasannya mengenai “akar” dan “sumber” dalam sastra Indonesia dapat berjalin-kelindan, komplementer, meyakinkan, dan jelas benang merahnya. Boleh jadi atas dasar itu, maka buku ini dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian Satu yang berisi empat artikel, dapatlah kita maknai sebagai tawaran gagasan mengenai konsepsi dan gerakan estetik sastrawan Angkatan 70-an. Bagian Kedua yang berisi enam artikel, mesti kita tempatkan sebagai sumber, dasar, atau pewartaan yang keberadaannya di sana justru melengkapi dan sekaligus mendukung tawaran gagasan mengenai konsepsi dan gerakan estetik yang telah dipaparkan di Bagian Satu. Dengan begitu, bagian kedua ini penting artinya guna memberi gambaran lebih lengkap berkaitan dengan apa yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Bagian Ketiga, yang berisi empat artikel, anggaplah sebagai gambaran aktualisasi dan konteks keberadaan para penyair sufi di tengah masyarakat. Jadi, bagian ini sekaligus bertindak sebagai pencerah atas berbagai pandangan keliru mengenai keberadaan dan peran para penyair sufi.
Dengan sistematika yang seperti itu, kita lebih gampang menarik benang merah ke-14 artikel yang dalam buku ini, mengingat hubungan setiap bagian berfungsi saling melengkapi –komplementer–. Ringkasnya, ketiga bagian dalam buku ini mengangkat persoalan (1) konsep dan gerakan estetik, (2) sumber dan dasar, baik yang (mungkin) mengilhaminya, maupun yang dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, jejaknya dapat ditelusuri, dan (3) aktualisasinya dalam kehidupan kemasyarakatan.
***
Artikel “Kembali ke Akar Kembali ke Sumber” yang kemudian dijadikan judul buku ini, ditempatkan sebagai pembuka bunga rampai ini. Tentu saja penempatan itu bukan tanpa alasan. Sebagaimana sudah disinggung, bagian satu ini dimaksudkan sebagai problem dasar yang menyangkut konsepsi dan gerakan estetik yang akan disodorkannya. Dan rupanya, Abdul Hadi termasuk penyair yang begitu gencar mengusung gagasannya itu dalam berbagai kesempatan, yang kemudian bermuara pada artikel “Kembali ke Akar Kembali ke Sumber”. Oleh karena itu, ia tidak dapat melepaskan diri dari pembicaraan sastra Indonesia tahun 1970-an.
Kecenderungan yang terjadi di sana waktu itu, menurutnya, dapat dibagi ke dalam tiga kelompok atas dasar corak pendekatan dan sikap terhadap tradisi. Adapun ketiga kelompok itu adalah (1) mereka yang mengambil unsur-unsur budaya tradisional untuk keperluan inovasi dalam pengucapan; (2) mereka yang mengklaim menumpukan perhatian hanya terhadap satu budaya daerah saja; dan (3) Mereka yang mengambil tradisi langsung dari bentuk-bentuk spiritualitas dan agama tertentu dengan kesadaran bahwa tradisi dan budaya masyarakat Indonesia terbentuk berkat masuknya beberapa agama besar seperti Hindu, Budha, dan Islam. Pengelompokan ini bersifat longgar, karena terdapat beberapa pengarang yang menggabungkan dua atau tiga kecenderungan sekaligus. Dengan pengelompokan itu, sampailah Abdul Hadi pada kecurigaannya bahwa dari kelompok yang ketiga, bentuk-bentuk spiritualitas dan agama tertentu yang dimaksud itu tidak lain adalah spiritualitas dan agama Islam. Maka mereka melihat tradisi bukan sekadar produk sejarah, melainkan juga sebagai sistem pengetahuan holistik yang berkaitan dengan kehadiran rahasia Yang Transenden dalam kehidupan.
Itulah titik persoalannya. Ia tidak dapat dijelaskan lewat pendekatan formal. Ia juga tidak dapat direduksi sebagai sekadar menyerap kultur etnik. Kebudayaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan agama-agama besar, terutama Islam. Maka, ketika berbicara tentang perjalanan kesenian Indonesia –di dalamnya termasuk sastra— atau tentang estetika yang tersimpan dan mendiami sebuah karya seni sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ekspresi dan kegelisahan kultural, kita terpaksa mesti mengungkap wawasan estetik Islam. Dari sana kita akan dapat menangkap proses kreatif lahirnya sebuah karya, sikap berkesenian, dan tugasnya sebagai seniman yang berada di tengah kehidupan masyarakat.
Dengan pemahaman itu, Abdul Hadi beranggapan bahwa berdasarkan wawasan estetik Islam, tradisi –yang oleh Danarto disebut dengan istilah sumber– ditempatkan sebagai roh kebudayaan, dan bukan sebagai fenomena dan produk kebudayaan. “Di dalam tradisi terdapat asas dan sumber tunggal yang merupakan jantung hidupnya suatu peradaban dan kebudayaan, yaitu pengetahuan tentang hakikat tertinggi kehidupan, yang dalam Islam diringkas dalam istilah Tauhid.” Dengan keinsyafan seperti itu seseorang akan menyadari bahwa bentuk-bentuk yang dimanifestasikan tradisi dapat berubah dari waktu ke waktu, dan setiap kali tradisi mesti ditafsirkan kembali sesuai dengan keperluan masa kini.“ Demikian Abdul Hadi menempatkan tradisi sebagai sesuatu akan terus hidup dan dihidupi masyarakatnya. Dengan cara itu, maka, ia tidak akan pernah kekurangan sumber dan bahan untuk membina serangkaian gagasan dan ekspresi. Dan itu telah diperlihatkan dengan sangat meyakinkan oleh sejumlah sastrawan angkatan 70-an.
***
Dalam artikel berikutnya, “Sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia,” Abdul Hadi kembali menekankan masalah hubungan manusia dengan Yang Transenden dalam proses penciptaan suatu karya. Dengan mengupas sejumlah karya penting yang dihasilkan sastrawan Angkatan 70-an itu, di antaranya karya-karya Arifin C. Noer, Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, dan beberapa sastrawan lainnya, ia melihat bahwa jika sebelumnya para pengarang terikat dan tergantung pada aktualitas, maka sudah saatnya mereka terbebas dari ketergantungan dan ikatan itu. Dengan cara itu, ia akan mendorong pada usaha pengungkapan gejala yang berada di balik segala yang dapat ditangkap indera. Sastra transendental mesti dapat menangkap dan mengungkap hakikat di belakang fenomena. Oleh karena itu, makna menjadi sangat penting dalam sastra transendental.
Pada bagian ini, pembicaraan Abdul Hadi lebih banyak memusatkan perhatiannya pada pembahasan sejumlah karya. Dengan demikian, artikel ini seolah-olah sengaja hadir sebagai usaha pembuktian untuk mendukung argumen pembicaraan sebelumnya. Dengan demikian, pemahaman terhadap gagasan “kembali ke akar kembali ke sumber (tradisi)”, pada akhirnya akan sampai juga pada pemahaman sastra transendental yang dalam wawasan estetik Islam, jejaknya dapat ditelusuri pada buah karya kaum sufi.
Dalam konteks perubahan zaman dewasa ini, menurut Abdul Hadi –sebagaimana yang juga ditangkap Sutardji Calzoum Bachri— mencermati benar, bahwa pemikiran kaum sufi bukannya tambah terkubur, malah mengalami kebangkitan kembali.
Artikel berikutnya dalam bagian satu ini, sekilas pintas seolah-olah berdiri sendiri. Nyatanya, ia seperti membentangkan jejak perjalanan sastra transendental dan sastra sufistik yang babonnya jatuh pada khazanah sastra Islam yang dihasilkan para penyair sufi atau karya para penyair Parsi. Di dalam hubungannya dengan persoalan wawasan estetik Islam, karya-karya para penyair sufi justru menempati kedudukan yang sangat sentral. Mustahil kita dapat memahami wawasan estetik Islam, tanpa mengungkap proses penciptaan dan kedalaman makna yang terdapat dalam khazanah karya para penyair sufi itu. Dengan begitu, pembicaraan khazanah sastra Indonesia yang dicurigai mengandung nafas sufistik atau yang coba mengangkat kharisma sastra transendental, sangat mungkin akan terjebak pada pemahaman tradisi dalam pengertian kultur-etnik, sebagaimana yang dilakukan Teeuw ketika ia mencoba menguak tabir makna karya-karya Kuntowijoyo dan Danarto.
Artikel terakhir dalam bagian ini berjudul “Bahasa Melayu Awal dalam Puisi”. Dengan mengungkapkan begitu banyak naskah lama berbahasa Melayu, mulai dari Inskripsi Minje Tujuh dan teks syair-syair para penulis Sumatra abad ke-16 sampai ke Syair Perahu, Hamzah Fansuri abad ke-17, Abdul Hadi mengungkapkan betapa bahasa Melayu tidak sekadar menjadi lingua franca di kepulauan Nusantara dan menjadi bahasa yang penting di Asia, tetapi juga sudah sejak lama menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan sarana ekspresi budaya. Dan pertemuannya dengan agama Islam, baik melalui hubungan dagang antara gujarat dan para penduduk pribumi, maupun melalui peran yang dimainkan kerajaan-kerajaan Islam, mendorong keberadaan bahasa Melayu menjadi bahasa yang hidup dalam masyarakat dan tersimpan rapi dalam teks-teks yang dihasilkan para penulis abad ke-16 dan ke-17. Pengaruh kuat kebudayaan Islam pada akhirnya menjadi sangat menonjol dalam perkembangan bahasa Melayu di Nusantara. Dengan begitu, makin jelas pula bagi kita, betapa kebudayaan Islam begitu besar pengaruhnya dalam perjalanan bahasa dan kesusastraan Melayu. Dan terus bergulir sampai kini.
***
Bagian Kedua buku Kembali ke Akar kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik berisi enam artikel yang membicarakan ketokohan Hamzah Fansuri, Sunan Bonang, Chairil Anwar, Amir Hamzah, Iqbal, dan Goethe. Dalam konteks sastra Islam atau wawasan estetik Islam, lima tokoh yang disebut di awal, barangkali sudah tak begitu asing lagi. Hamzah Fansuri dan Sunan Bonang, misalnya, dalam berbagai diskusi sudah sering diangkat sebagai penyair sufistik. Abdul Hadi dalam bagian dua buku ini membicarakan sejumlah karya kedua penyair itu dalam kerangka wawasan estetika Islam. Tentu saja kedua artikel itu penting bagi kita untuk memahami bagaimana kedua penyair itu mengekspresikan kegelisahan religiusitasnya dalam bentuk syair atau suluk.
Kerinduan terhadap sesuatu yang transenden, sebagaimana yang diperlihatkan Hamzah Fansuri dan Sunan Bonang itu, ternyata tampak pula pada diri Chairil Anwar dan Amir Hamzah. Dalam hal ini, Abdul Hadi mengkaitkannya dengan apa yang disebut cinta mistikal. Lalu bagaimana pula dengan Muhammad Iqbal?
Sebagai pemikir progresif dan salah seorang penyair profetik terkemuka, Iqbal menyadari betul bahwa sastra dapat memainkan peranan penting dalam membangun peradaban baru Islam. Bagi Iqbal, puisi dapat lebih mudah membangun perasaan dan pikiran pembaca dibandingkan risalah atau doktrin keagamaan. Dalam bagian ini, Abdul Hadi secara luas mengungkapkan bagaimana wawasan estetik seorang Iqbal dibangun dengan kesadaran profetik. Uraian Abdul Hadi yang lebih banyak bertumpu pada analisis terhadap sejumlah karya Iqbal, memberi pemahaman yang mendalam dan luas atas kekayaan makna karya-karya yang dihasilkan penyair profetik itu.
Yang tidak kalah menariknya pada bagian dua ini adalah pembicaraan mengenai Johann Wolfgang von Goethe (1749—1832), salah seorang penyair terkemuka Jerman (Barat) yang begitu mengagumi kesusastraan Timur. Beberapa kutipan yang disajikan Abdul Hadi dalam tulisan ini, meyakinkan kita, betapa mahakarya Goethe, Faust, yang dipandang sebagai masterpiece kesusastraan Jerman sepanjang zaman, merupakan sebuah karya yang dihasilkan dari proses panjang pergulatan jiwa dan pikiran penulisnya sejak berusia 21 tahun (1770) sampai setahun menjelang kematiannya (1831). Selama 60 tahun proses penciptaan karya itu. Hal yang penting dari karya itu adalah kuatnya pengaruh sastra Timur. “Goethe mengambil sumber ilham penulisan karyanya dari Kitab Perjanjian Lama, khususnya kitab Ayub. Dalam Faust kita juga menjumpai sajak-sajak yang dapat dirujuk kepada Al-Quran dan puisi-puisi karangan sufi Persia.” Dengan beberapa kutipan di sana-sini serta sejumlah pembahasan atas karya Goethe, tulisan Abdul Hadi ini sungguh memberi pencerahan. Sayang, dunia Barat tidak banyak yang mengungkapkan hubungan Goethe dengan sastra Islam ini. “Sarjana-sarjana sastra di negeri Islam pun tak banyak yang mengetahuinya, dan walaupun ada yang tahu, berusaha melupakannya.” Begitu Abdul Hadi menutup uraiannya tentang Goethe.
***
Bagian Tiga karya Abdul Hadi ini berisi empat tulisan. Dalam bagian ini, kita melihat betapa sesungguhnya kaum sufi itu tidak sebagaimana yang dicitrakan banyak pihak. Anggapan bahwa kehidupan akhirat lebih utama dibandingkan kehidupan duniawi, juga tidaklah sepenuhnya benar. “Dalam Matsnawi Jalaluddin Rumi menyatakan bahwa tidak perlu ada pertentangan antara kehidupan dunia dan ukhrawi. Kehidupan yang satu merupakan laluan kehidupan yang lain, dan antara keduanya terdapat benang penghubung yang batasnya samar.” Oleh sebab itu, tak benar pula pandangan bahwa “sastra sufi, sufistik atau yang sejenisnya, tidak berkaitan dengan kehidupan sosial, dan hanya mengemukakan pengalaman mistikal yang bersifat individualistik.” Karya agung Sa’di, Bustan dan Gulistan misalnya, mengungkapkan masalah sosial, politik, dan pemerintahan dalam kaitannya dengan moral spiritualitas.
Karya-karya kaum sufi, demikian Abdul Hadi, banyak yang menyampaikan kritik sosialnya secara halus, namun tajam menukik hingga inti permasalahannya. Mereka juga tidak sedikit yang kiprahnya dalam kehidupan sosial-politik-kebudayaan-pemeriuntahan, sangat menonjol. Dengan begitu, anggapan bahwa kehidupan kaum sufi sekadar berdoa dan hanya memikirkan kehidupan akhirat, sebenarnya muncul dari kurangnya wawasan mengenai dunia tasawuf berikut sepak-terjang kaum sufi. Dan itu sudah ditunjukkan oleh Rumi, Iqbal, Sa’di, dan sederetan nama lain yang dikenal sebagai kaum sufi.
***
Tidak pelak lagi, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber karya Abdul Hadi WM ini menyodorkan banyak hal mengenai melipahnya kekayaan kultur (:sumber) kita sendiri. Dan sumber itu, bagi kita, tidak dapat lain mengalir dari wawasan estetik Islam. Lalu, jika kita telusuri lagi sampai ke cikal-bakalnya, maka akan sampailah kita pada sumber segala sumber: Al-Quran. Dan Abdul Hadi telah menyampaikan pencerahannya lewat buku ini!
————-
? Ulasan ringkas buku Kembali ke Akar Kembali ke Sumber karya Abdul Hadi WM (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), x + 221 halaman. Bahan Diskusi untuk Program Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca, kerja sama majalah Horison, Jakarta dengan Universitas Negeri Malang, Malang, 28 Maret 2002.
? Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok.
Periksa Aoh K. Hadimadja (Ed.), Beberapa Paham Angkatan 45, Djakarta: Tintamas, 1952. Buku ini memuat sejumlah artikel polemik mengenai Angkatan 45 yang pernah dimuat suratkabar Mimbar Umum, Rakjat (Medan), dan majalah Siasat. Sesungguhnya, polemik itu berpangkal pada penamaan Angkatan 45 yang mula dilansir Hazil Tanzil dalam artikelnya, “Pemuda dan Perdjuangan Kita” (Pudjangga Baru, 10, 5 November 1948). Sejak itu kemudian bermunculan artikel yang coba mengangkat estetika Angkatan 45, di antaranya, artikel Sitor Situmorang, “Angkatan 45” yang dimuat bersamaan dengan artikel Chairil Anwar, “Angkatan 45” (Gelanggang, 6 November 1949) dan artikel Sitor Situmorang berikutnya, “Konsepsi Seni Angkatan 45” (Gelanggang, 27 November 1949), sampai ke artikel Jogaswara, “Angkatan 45 Sudah Mampus,” (Spektra, No. 1, Th. I, 1949). Munculnya artikel Jogaswara inilah yang kemudian melahirkan polemik berkepanjangan. Pro dan kontra mengenai gagasan humanisme universal pada akhirnya diperankan oleh golongan sastrawan yang mendukung gagasan itu –yang belakangan menyatakan sikap kulturalnya melalui “Manifes Kebudayaan”—dan golongan sastrawan yang kontra gagasan itu dengan mengusung ide humanisme proletariat yang kemudian diwakili golongan seniman Lekra.
Rujukan lebih lanjut mengenai pro dan kontra penamaan Angkatan 45 sampai ke masalah Manifes Kebudayaan, periksa Maman S. Mahayana, Akar Melayu (Magelang: Tera Indonesia, 2001), khususnya bagian pembicaraan “Humanisme Universal dan Ideologi Lekra,” hlm. 183—202.
Lihat Pendahuluan antologi Tiga Menguak Takdir (Djakarta: Balai Pustaka, 1950), yang menghimpun puisi-puisi Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani.
Mengenai pembelaan Abdul Hadi terhadap Angkatan 70-an ini, periksa makalahnya, “Angkatan 70 dalam Sastra Indonesia” dalam Diskusi Sastra di Taman Ismail Marzuki, 4 September 1984. Sesungguhnya, gagasan dalam makalah itu pernah dilontarkan Abdul Hadi di harian Berita Buana, 14 Agustus 1984.
Artikel pertama dalam buku ini “Kembali ke Akar Kembali ke Sumber” berasal dari makalahnya yang dibawakan dalam Temu Kritikus dan Sastrawan, diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta dan Pusat Bahasa, Desember 1983.
Periksa tulisan H.B. Jassin dalam “Pendahuluan” Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi (Djakarta: Balai Pustaka, 1948); Bandingkan dengan tulisan Jassin yang lain, “Angkatan 45” (Zenith, No. 3, 15 Maret 1951) yang kemudian dimasukkan dalam bukunya, Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay (Djakarta: Balai Pustaka, 1954).
Selengkapnya, keempat artikel dalam bagian satu ini adalah: (1) “Kembali ke Akar kembali ke Sumber” (2) “Sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan Indonesia” (3) “Kedudukan Puisi di dalam Peradaban: Tinjauan dari Perspektif Islam” dan (4) “Bahasa Melayu Awal dalam Puisi”.
(1) Syeikh Hamzah Fanzuri, (2) Sunan Bonang, Perintis dan Pendekar Sastra Suluk, (3) Laron pada Mati, Kata Chairil Anwar, (4) Amir Hamzah dan Wayang, (5) Iqbal, Puisi dan Wawasan Estetiknya, dan (6) Goethe, Timur dan Sastra Islam.
(1) Dunia dalam Pandangan Penyair Sufi, (2) Aspek Sosial Sastra Sufi, (3) Sipakah yang menuntun Sastrawan?” dan (4) “Ashabul Kahfi dan Tanda-tanda Zaman”.
Dalam catatan kaki 1, dikatakannya: “Tulisan ini didasarkan atas makalah yang disampaikan penulis pada Temu Kritikus dan Sastrawan yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Pusat Bahasa pada bulan Desember 1983 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dengan judul yang hampir sama.” Jika dicermati benar, artikel ini merupakan perkembangan lebih lanjut pengamatan Abdul Hadi pada kecenderungan baru yang diperlihatkan sastrawan Angkatan 70-an. Ketika ia menjadi pengasuh rubrik sastra di harian Berita Buana, misalnya, ia banyak memuat berbagai artikel –di antaranya, artikel Sutardji Calzoum Bachri, “Chairil Anwar, Angkatan 70, dan Kredo Puisi Saya” yang dimuat bersamaan dengan wawancara Abdul Hadi dengan Danarto, “Angkatan 70 Lahir dari Sumber itu Sendiri,” (Berita Buana, 14 Agustus 1984)—Jauh sebelum itu, Abdul Hadi sendiri menulis artikel, “Kepenyairan di Indonesia Tahun 70-an” (Berita Buana, 14, 21, dan 28 Januari 1977) yang kemudian terus dipertajam dalam tulisan-tulisan berikutnya, seperti tampak dalam makalahnya, “Angkatan ’70 dalam Sastra Indonesia” yang dibawakan dalam ceramah sastra di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 4 September 1984. Artikel ini, dimuat pula dalam buku yang disusun E. Ulrich Kratz, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), hlm. 789—806.
Artikel “Kembali ke Akar Kembali ke Sumber” ini tentu saja bukanlah muara dari keseluruhan gagasan Abdul Hadi. Katakanlah ia sebagai salah satu muara dari muara lain yang bertebaran yang pernah ditulisnya dalam berbagai kesempatan dan dipublikasikan dalam berbagai suratkabar, majalah, jurnal, dan buku antologi bersama, baik yang diterbitkan di dalam negeri, mapun luar negeri. Sekadar informasi, tulisan Abdul Hadi yang tercecer dan masih berupa artikel atau makalah yang berhasil dikumpulkan dan disimpan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, ada sekitar 30-an map. Dalam satu map, biasanya tersimpan antara 20 sampai 30-an kliping. Jadi, kita dapat memperkirakan, berapa banyak tulisan yang pernah dihasilkan Abdul Hadi selama ini. Memang, di antara penyair seangkatannya, harus diakui, Abdul Hadi yang paling banyak menghasilkan esai sastra. Salah satu muara besar dari sejumlah karyanya adalah sebuah disertasi doktoralnya di Universiti Saint Malaysia, berjudul “Estetika Sastera Sufistik: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Shaykh Hamzah Fanzuri” (1995) yang kemudian diterbitkan dengan judul Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fanzuri” (Jakarta: Paramadina, 2001).
“Kembali ke Akar Kembali ke Sumber” (hlm. 6).
Ibid., hlm. 26.
Dalam kerangka berpikir ini, Abdul Hadi tidak menyebutnya sebagai pendekatan struktural. Juga tidak dikatakannya sebagai pendekatan sosio-kultural. Tetapi, jika ia beranggapan bahwa logika formal tidak dapat mengungkapkan kekayaan makna karya-karya Kuntowijoyo atau Danarto, maka yang dimaksud logika formal sesungguhnya di dalam kerangka pendekatan struktural yang dapat diterapkan pada karya-karya konvensional, dan tidak pada karya-karya inkonvensional. Dalam karya kedua pengarang itu, Abdul Hadi melihat adanya kecenderungan sebagai kemunculan kembali sastra transendental atau yang menurut Danarto kembali ke sumber; asal-usul kerohanian karya sastra yaitu ilham yang diperoleh seorang seniman yang memberikan pencerahan.
Untuk mendukung pandangannya itu, Abdul Hadi menyitir gagasan yang dikemukakan Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo (Bandung: Mizan, 1987), dan gagasan A.K. Comaraswamy yang ditulis Ray Livingstone dalam bukunya, The Tradisional Theory of Literature (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1992).
Abdul Hadi WM, Loc. Cit., hlm. 18.
Ibid., hlm. 59.
“Kedudukan Puisi di dalam Peradaban: Tinjauan dari Perspektif Islam” (hlm. 62—74).
Periksa kembali artikel “Kembali ke Akar Kembali ke Sumber” hlm. 10–12. Teeuw (“Anasir-Anasir Kejawaan dalam Sastra Indonesia Mutakhir” dalam Indonesia: Antara Kelisanan dan Kebaraksaraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1994, hlm. 1992—223) berpendapat bahwa karya Danarto dan Kuntowijoyo sebagai karya yang khas bersifat Jawa. Abdul Hadi justru melihat bahwa pandangan Teeuw itu sebagai keengganan Teeuw untuk mengungkap lebih jauh unsur simbolik karya kedua sastrawan itu yang berkaitan erat dengan berbagai bentuk spiritualitas Timur, termasuk mistisisme Hindu dan tasawuf. Dengan demikian, menurut Abdul Hadi, wajar jika Teeuw tak dapat membongkar pesan hermeneutik karya Kuntowijoyo dan Danarto.
“Goethe, Timur, dan Sastra Islam,” hlm. 179—180.
Ibid., hlm. 188.
Lihat kembali Catatan Kaki 8.
“Dunia dalam Pandangan Penyair Sufi,” hlm. 195.
“Aspek Sosial Sastra Sufi,” hlm. 197.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar