Selasa, 07 Desember 2010

PEREMPUAN, Kucing, dan Kesepian Kita

Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/

Seorang perempuan menengadakan wajahnya pada cahaya rembulan yang berselimut mendung. Malam ini terlihat duka pada raut mukanya. Ia pandangi cahaya bulan yang menua. Satu per satu air matanya menetes dan jatuh pada seekor kucing yang meringkuk manja di pangkuannya. Dadanya sesak dengan ingatan masa silam bersama suami dan anak yang masih berusia lima bulan dalam kandungan.

Kucing betina berbulu belang merah dan hitam dengan warna putih dominan itu turun melompat dari pangkuan. Ia berjalan menuju tiang teras rumah kemudian meringkuk dan melanjutkan tangisan sedih perempuan di bawah bayangan daun pisang. Ia memandang mendung yang mulai datang melumat awan.

Perempuan itu masih cantik, meskipun rambutnya yang lusuh mencoba menyembunyikannya. Ia menghampiri kucing yang hampir satu tahun diasuhnya. Langkah perempuan itu tidak mengusik kekhusukannya dalam duka. Ia tahu kucing itu pun larut dalam dukanya.

”Belang, kenapa malam ini kau terlihat murung?” tanya perempuan itu sambil duduk dan mengusap kepala kucingnya. Belang melemparkan isyarat dengan kedipan mata lalu melempar tatapan matanya pada air mata tuannya dan berkehendak mengusapnya.

“Meong!” Belang berbalik menghindar dan melompat dengan cepat sambil berteriak. Ia berlari, membawa lara tuannya, berlompatan dari dahan ke dahan, dari ranting ke ranting, kemudian menyusup pada mendung.

“Belang, marahkah kau padaku? Sungguh aku tak bermaksud membuatmu tersinggung, Belang, maafkan aku apabila ada perbuatan tak sengaja yang menyakitimu!”

Si Belang tak menghiraukan tuannya yang sedang merayu. Ia terus berlari mengejar bulan yang sedang menyusup pada mendung. ”Meooong!” Suara itu semakin menjauh dan menghilang bersamaan dengan tubuhnya. Perempuan itu terus memanggilnya. “Belang, Belang. Kau tak biasa berbuat seperti ini! Belang, ayolah pulang temani ibu. Maafkan ibu, Belang. Ibu berjanji tak akan bersedih lagi. Ayo Belang, pulanglah. Kita bermain dan bersenandung senang.” Perempuan itu merasa menyesal, putus asa, dan merelakan kucingnya menghilang. Ia berjalan pulang seraya menyisir dedauan kering pada tanah. Ia pulang tanpa Si Belang.

Suara-suara menjelang adzan bersahutan dari langgar dan masjid. Perempuan itu memutuskan bangun dan membuka jendela berharap Si Belang datang. Ia melihat ke bawah, jangan-jangan Si Belang tertidur di bawah jendela; barangkali semalam ia telah mengaum untuk membangunkannya namun ia tak mendengarkannya. Sungguh, Belang masih belum datang sampai menjelang subuh. Dengan memandang bulan yang bertengger pada ranting-ranting, perempuan itu menarik nafas dalam-dalam lalu memalingkan wajah dan berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya.

“Meong, meong, meoooooong, ngaoooooo……ng.”
Tiba-tiba kucing-kucing berlompatan di atas atap kamar mandi, saling berkejaran, menerkam, memaki, dan menantang. Auman kucing-kucing itu terus menyerbu fajar, memekakkan telinga orang-orang yang sedang asik bergulat dengan bantal guling. Perempuan yang masih belum sempat merapikan rambutnya itu berlari keluar.

“Belang, Belang! Apa yang terjadi pada dirimu? Belang, dengan siapa kau bertengkar? Belang, sudahlah jangan sakiti dirimu dengan melakukan perbuatan itu. Ayo Belang, turunlah! Belang, kenapa beberapa hari ini kau menjadi pemurung dan pemarah? Ayo Belang, kemarilah! Jangan lampiaskan kemarahanmu pada teman-temanmu!”

Bug! “Meong…” Tiba-tiba dua ekor kucing yang sedang bergulat itu terlempar dari atap rumah, jatuh tepat di hadapan perempuan yang sejak tadi berteriak-teriak ingin melerai. Kedua kucing itu langsung melepaskan cengkeramannya dan bergerak saling menjauh. Keduanya mengamati perempuan itu dengan pandangan ketakutan. Perempuan itu mendekatinya. Kucing-kucing itu terus menatap mata perempuan sambil berjalan mundur.

“Aku pikir salah satu di antara kalian adalah Si Belang. Aku khawatir, karena Si Belang sejak tadi malam hatinya sedang goncang. Aku pikir dia bertemu kalian dan langsung marah-marah. Kenapa kalian bertengkar? Bukankah kalian adalah makhluk sejenis yang memiliki bentuk tubuh dan cara bersuara yang sama? Kalian juga memiliki kesukaan yang sama bukan? Kenapa kalian bertengkar? Apa yang kalian perebutkan? makanan, tempat tinggal atau apa? Oh, rupanya kalian adalah kucing-kucing pejantan. Aku tahu. Kalian bertarung memperebutkan kucing betina, memperebutkan Si Belang? Lalu di mana betina itu? Di mana Si Belang? Ayo kalian sembunyikan di mana?” kata perempuan itu bertubi-tubi. Ia terus mendekat sambil merayu, tetapi kucing-kucing itu makin ketakutan lalu berlari dan sembunyi.

“Hai, kucing-kucing. Di mana kalian sembunyikan Belangku ? Jangan berlari. Ayo kemarilah kucing-kucing, aku butuh bantuanmu. Aku yakin kalian tahu di mana Si Belang kini berada.” Kucing-kucing itu menghilang dari sekitar perempuan itu.

Matahari tiba dan burung-burung bercicit-cuit. Rumah yang menghadap matahari terbit itu setiap pagi menyaksikan matahari mulai menampakkan wajahnya. Akan tetapi, pagi ini tidak seperti biasanya. Sinar matahari tidak bertandang pada halaman rumah. Perempuan itu masih bertahan sejak malam hari menunggu kucingnya yang tak kunjung datang. Sinar matahari pagi seperti sengaja tak mau mengantarkan Si Belang pulang.

Perempuan itu duduk di teras depan rumah. Ia melamun. Rambutnya kusut. Wajahnya belum sempurna terbasuh air. Pakaiannya lusuh karena beberapa hari belum diganti. Semua itu membuatnya tampak semakin sedih. Ia terus mengamati jalan setapak yang menghubungkan rumahnya dengan jalanan umum yang biasa digunakan penduduk kampung untuk lalu lalang. Perempuan itu berharap Si Belang melewati jalan setapak itu lalu berjalan menghampirinya dan mengendus manja.

Hampir satu tahun ia hidup sebatang kara. Hari-harinya hanya berteman kucing. Ia ditinggal oleh suaminya dan sampai sekarang tidak diketahui kabarnya. Suaminya adalah seorang laki-laki yang sangat baik, tidak hanya pada keluarga, tapi juga pada tetangga. Orang-orang yang mengenalnya menaruh hormat atas sopan santun sikap dan cara berbicara suaminya. Walaupun ia dan suaminya adalah pendatang di kampung tersebut, tapi suaminya mudah bergaul dengan tetangganya dan orang-orang kampung. Di samping itu, suaminya memiliki kemampuan berceramah dan berdoa yang membuat jama’ahnya menyesali dosa yang dilakukannya. Juga sering bersilahturahmi dengan tetangga dan membantu orang-orang yang membutuhkankan.

Pada suatu malam menjelang jam dua dini hari, datanglah orang-orang tak dikenal masuk rumahnya dan menyeret suaminya keluar dengan paksa. Tidak hanya itu, dua orang dari lima orang itu menganiaya dirinya yang sedang hamil lima bulan. Ia dipaksa menggugurkan kandungannya dengan diperkosa. Satu kalimat yang masih terngiang sampai sekarang adalah, ”Suamimu tidak boleh memiliki keturunan. Tidak ada yang boleh menghalangi misi kami sampai kapan pun”.

Pagi harinya warga kampung seakan buta dan bisu dengan peristiwa itu. Mereka sebenarnya tahu, tetapi tidak ada yang berani sekadar menanyakan apalagi bertandang ke rumahnya untuk memberikan pertolongan. Sempat beberapa orang memberanikan diri meminta kepala kampung agar memberikan kebijakan yang harus mereka laksanakan untuk memberikan pertolongan, namun orang nomor satu di kampung tersebut hanya meminta maaf karena tidak bisa berbuat apa-apa atas peristiwa yang terjadi pada malam tersebut.

Di kampung tersebut memang seringkali terdengar desas-desus akan ditangkapnya seseorang yang dianggap teroris. Tapi, di antara warga sama sekali tidak tahu siapa sebenarnya orang-orang yang dianggap teroris itu. Karena mereka saling mengenal antar warga kampung dan tidak ada tanda-tanda di antara mereka sebagai teroris yang suka mengganggu ketenangan hidup orang lain. Apalagi kelompok jamaah masjid yang hidup saling bahu-membahu dan tolong-menolong.

Mereka sebenarnya kaget dan bertanya-tanya tentang peristiwa malam itu, tetapi mereka tidak mau menanyakan langsung ke perempuan itu lantaran beberapa bulan lalu aparat pemerintah kampung sudah memperingatkan warganya bahwa barang siapa yang menghalangi penangkapan orang-orang yang dianggap teroris maka secara tidak langsung ia terlibat di dalamnya. Juga disusul larangan bagi setiap warga untuk tidak bertegur sapa apalagi menanyakan pada keluarganya.

Sejak peristiwa itulah perempuan itu merasa kehilangan segalanya. Tidak sekadar suami dan anaknya yang masih berada di kandungan, tetapi para tetanggga dan teman-teman yang sebelumnya dianggap saudara. Mereka sama sekali tak pernah bertandang ke rumahnya. Pernah ia ingin menenangkan diri dari peristiwa itu dengan ikut sholat berjamaah ke masjid dan bermaksud bisa bercerita tentang keadaannya sekarang, namun tak seorang pun yang menyapanya.

Ia pun menjadi sering menyendiri di rumah. Ia berubah menjadi perempuan pendiam yang hampir sama sekali tak pernah keluar dari rumah. Hanya sesekali saja ia duduk-duduk di teras, itu pun pada malam hari ketika para tetangganya sudah terlelap tidur. Hari-harinya ia habiskan dengan berteman seekor kucing yang ia anggap sebagai teman satu-satunya yang sedikit mengerti keberadannya.

Sudah lima malam lebih Si Belang tak kunjung pulang. Perempuan itu bertekad keluar rumah untuk mencari Si Belang. Seluruh gang perkampungan ia lalui tapi tak menemukannya, hanya kucing-kucing jantan yang berlarian mengejar tikus yang ia temui.

“Belang, Belang! Di mana kamu berada. Pulanglah, Belang! Tak usah kau mencari bapak. Ia sudah pulang ke surga. Jangan kau menyusulnya sendirian. Ayo pulang, Belang! Kita akan menyusul bapak ke surga bersama-sama. Tetapi jangan sekarang, Belang. Karena ibu masih belum siap.”

Esoknya mulai terdengar desas-desus pembicaraan tentang perempuan itu. Awalnya warga mengaggap kampungnya sedang diteror hantu perempuan yang mereka sebut Sundel Bolong, tapi selang beberapa malam kemudian mereka tahu bahwa perempuan yang suka berjalan di malam hari sambil berteriak-teriak itu adalah perempuan yang telah dianggapnya gila lantaran ditinggal suaminya yang diculik secara misterius.

Pada suatu malam perempuan itu berjalan sambil membawa karung. Ia berjalan mengelilingi gang-gang kampung. Ia tangkapi kucing-kucing yang ia temui lalu ia masukkan ke dalam karung dan dibawanya pulang. Hampir sebulan penuh kebiasan perempuan itu ia lakukan tiap malam. Tidak hanya di kampungnya, ia mulai memberanikan diri untuk memasuki kampung-kampung tetangga. Kucing-kucing itu ia kurung dalam kamar tidurnya, ia rawat layaknya ia merewat anak-anaknya. Ia mandikan satu persatu tiap hari lalu diberi makan. Ketika tidur pun ia selimuti. Tiap harinya seorang perempuan tersebut disibukkan dengan merawat kucing-kucing hasil tangkapannya. Semuanya ia panggil dengan nama yang sama yaitu Si Belang. Kini tak ada lagi kesedihan di raut wajahnya. Ia tak mengingat lagi peristiwa naas beberapa tahun yang lalu, ia tak ingat lagi satu satunya kucing kesayangannya itu menghilang. Hari-harinya seakan dibahagiakan dengan tingkah laku kucing yang aneh-aneh yang sekarang ia memiliki.

Kebahagiaan itu tak lama berlangsung. Pada suatu malam datang orang-orang dengan obor di tangan masing-masing, mereka berteriak
“Bakar! Bakar!”
“ Ia perempuan hantu!”
“ Ia menakut-nakuti anak-anak kita!”
” Anak-anak kita seringkali menagis ketakutan di malam hari!“
“Anak-anak kita tidak bisa tidur karena selalu dihantui dengan teriakan-teriakannya di malam hari!”
“Ia terus- menerus meneror kampung kita di tiap malam!”
“ Ayo kita bakar ia bersama rumahnya!”

Orang-orang itu terus berapi-api mendekati rumah seorang perempuan itu, tidak hanya dari kampung dimana seorang perempuan itu tinggal, akan tetapi penduduk kampung tetangga pun berdatangan. Seperti benar-benar terkordinir dengan rapi bahwa malam ini direncanakan untuk melakukakan pembakaran rumah dan seorang perempuan yang berteman kucing. Mereka terus berdatangan dan berteriak-teriak. Satu persatu mereka lemparkan api ke atas rumah. Api yang bersembul itu melayang-layang di udara dan menghujani rumah perempuan. Sesaat kemudian api itu melumat habis rumah dan isinya.
Orang-orang kampung yang sedang beringas itu pun satu persatu meninggalkan tempat kejadian peristiwa pembakaran. Mereka yakin bahwa seorang perempuan itu sudah hangus bersama rumah dan isinya. Mereka berfikir bahwa anak-anak mereka akan bisa tidur dengan pulas, tidak lagi ketakutan mendengar teriakan-teriakan seorang perempuan yang dianggap gila itu. Mereka berkeyakinan tidak lagi terganggu dengan rengekan-rengekan anak-anakanya.

Tiga hari peristiwa pembakaran itu berlalu. Mulai bermunculan kabar yang bermacam-macam tentang seorang perempuan yang dibakar bersama rumah dan kucing-kucingnya. Ada yang mengatakan bahwa pada suatu malam ia mendengarkan kucing-kucing berteriak-teriak pada puing-puing rumah bekas bakaran. ada yang bercerita pernah menjumpai seorang perempuan berjalan dengan diiringi ratusan kucing. Kabar it terus menguap dengan berbagai macam cerita. Kampung-kampung mereka menjadi lebih terteror dengan suasana yang lebih mencekam di tiap malam. Tidak hanya anak-anak yang merasa ketakutan. Hampir semua warga tidak berani keluar tatkala matahari mulai tenggelam. Pintu-pintu rumah tertutup rapat bila malam tiba. Dan orang-orang menjadi gusar ketika mendengar suara kucing mengaum.

“aumm… meong………” Warga kampung membayangkan suara kucing-kucing yang mengaum itu sedang berjalan mengantarkan seorang perempuan mengetuk pintu rumah-rumah mereka.
“aumm……..meong………”

Lamongan, 3 Februari 2006

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae