A. Rodhi Murtadho
http://media-jawatimur.blogspot.com/
Hedonisme makin menancap di setiap ruh. Menyanyikan gemerlap malam dalam kelakar tawa. Menarikan tubuh dengan liuk-liuk rancak. Mempuisikan segala umpatan. Bercerita dengan segala dengus birahi. Mengumpat dengan kata-kata bijak. Menasehat dengan kemabukan kata. Menggirangkan tawa dalam tangis. Tak peduli dengan apapun. Asalkan bisa mengundang kesenangan, tentu akan ditempuh. Melawan kodrat, melanggar norma, sudah menjadi kewajaran dan lumrah.
Jalanan kota pinggiran penuh ketidakdisiplinan. Seenaknya. Parkir mobil sembarangan di tepi jalan. Berkendara motor dengan penumpanmg lebih dari dua. Pejalan kaki yang seenaknya berjalan atau menyebrang. Namun semua itu memberi kenyamanan Joko Berek. Membimbing dan mengarahkan setiap langkah. Bahkan untuk sampai di rumah Perawan Kunti yang terselip di antara bangunan-bangunan yang hampir sama. Kompleks perumahan.
Sepi, rumah singgah Perawan Kunti. Bukannya tidak berpenghuni atau tak ada lalu lalang orang atau tak ada deru kendaraan mengaum. Hanya saja semua itu sepi dari kepedulian. Sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Hanya musik klasik mengalun pelan dari pemutar DVD.
Perkawanan, keakraban, kepercayaan, dan kebiasaan menjadikan Joko Berek langsung memasuki rumah Perawan Kunti tanpa permisi. Nylonong masuk dan langsung duduk di ruang tamu. “Kunti, aku datang,” teriak Joko Berek. Sekelebat dari ruang tengah, Perawan Kunti menongol menemui Joko Berek.
Tawa Joko Berek terus melantur memecah hingar bingar malam. Melumerkan sepi rumah Perawan Kunti. Segala tanya bersarang di benak Perawan Kunti. Tawa Joko Berek tak henti-henti. Kian ngakak.
“Apa yang kau tertawakan?” tanya Perawan Kunti.
“Aku hanya menertawakan musik yang bertambah nada dengan kehadiranmu.”
“Memangnya mengapa?”
“Ada tambahan diglak…digluk…”
“Memang itu suara langkah kakiku yang pincang,” sewot Perawan Kunti menyahuti.
“Bagaimanapun pembangunan di negeri ini. Jalan diratakan dan dihaluskan, langkahmu tetap saja. Menjadikan jalan tak rata.”
“Daripada kau, bagaimanapun majunya teknologi. Layar televisi yang sudah berwarna, masih tetap saja kau anggap sebagai radio.”
“Tetapi nikmat. Dengan begitu aku bisa membayangkan keindahan dengan kehalusan suara. Lain dalam penglihatan dan bayanganmu, dunia selalu berguncang.”
“Keindahan apa? Siang atau malam kau tak bisa membedakan. Apa yang dapat kau saksikan dari bayangan keindahanmu? Mentari pagi tak pernah kau saksikan. Mungkin hanya suara kokok ayam kaudengar, itupun jika masih ada ayam. Apalagi purnama yang penuh dengan keteduhan cahaya. Dengan kebutaanmu, mungkin hanya suara kentongan orang-orang desa kaudengar sebagai tanda purnama. Itupun jika kau tak lupa membedakan dengan suara kentongan untuk maling.”
“Tetapi aku bahagia.”
“Aku juga bahagia. Eit…sebentar, sebentar, apa yang membuatmu bahagia?”
“Bisa mengumpatmu.”
“Ternyata sama. Aku bisa bahagia karena bisa mengumpatmu.”
“Aku juga bahagia engkau umpat.”
“Sama juga. Aku bisa bahagia karena bisa kau umpat.”
“Selama ini engkau yang paling jujur.”
“Kau juga. Selama ini tak ada yang berani mengatakan langkahku mengubah nyanyian-nyanyian.”
“Apakah kita ini termasuk kaum hedonis, selalu mencari kebahagiaan dengan berbagai cara?”
“Mungkin juga. Setiap umpatanmu sungguh menyenangkan. Aku bisa mengumpat bebas dan bahagia.”
Sepi kembali menyelimuti ruang tamu. Musik klasik pemutar DVD seperti makin keras volumenya. Tak ada kait pandang tentunya. Deru nafas memburu mengotak-atik otak untuk berpikir. Joko Berek mendongakkan wajahnya ke atas. Perawan Kunti menatapnya.
Sebilik senyum Perawan Kunti. Biarpun tak pernah mendapat balasan dari Joko Berek, Perawan Kunti tetap bahagia. Diamati Joko Berek dengan detil. Setiap lekuk wajah digelayuti dengan pandangan. Senyum terpampang kagum di wajah Perawan Kunti.
“Andaikan aku tidak buta…,” menetes air mata Joko Berek dengan gerakan menundukkan wajah.
“Bahagialah kawan.”
“Andaikan aku tidak buta, tentu aku tidak sebahagia ini.”
Diam kembali merayap. Perawan Kunti serasa tak sanggup melanjutkan perbincangan. Leleran air mata di pipinya seakan mau menanggapi dengan bahasanya sendiri. Namun tak sanggup juga untuk berkata-kata. Bibir Perawan Kunti menutup dan kembali membuka. Namun dialihkan untuk menirukan lagu-lagu yang sedang bersenandung.
“Mengapa hawa yang engkau keluarkan terasa Panas, Kunti? Apakah engkau sedang menangis? Apakah engkau sedang gelisah? Atau ada ucapanku yang membuatmu sedih?”
“Tidak apa-apa? Aku hanya terpaksa berpikir tentang lagu Sepanjang Jalan Kenangan ini dengan ucapanmu tadi?”
“Ada apa dengan lagu itu? Dan apa hubungannya dengan perkataanku?”
“Jalan kenangan yang kulalui selalu bergelombang dan tidak rata meski jalan mulus dan rata. Tentu jika aku yang menyanyikannya, syairnya akan berubah: Sepanjang jalan kenangan mengapa selalu tidak rata; Sepanjang jalan kenangan kau selalu meraba; Sepanjang jalan kenangan kita selalu saling menuntun; Sepanjang jalan kenangan kita selau saling menghujat; Hujan yang rintik-rintik di awal bulan itu; Menambah nikmatnya malam umpatan.”
Joko Berek tertawa terbata-bata. Tertahan dan dilepaskan muncrat keluar. Air mata telah mengering. Seperti tak ada lagi sumber yang mengalirkannya. Tak ada lagi raut berpikir yang tampak. Terbenam dalam keriangan yang sengaja diciptakan Perawan Kunti. Joko Berek ikut bernyanyi. Selirik dan senada dengan Perawan Kunti. Mereka berdua secara otomatis bangkit dari tempat duduk. Joko Berek mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Perawan Kunti. Mereka menari mengikuti nada. Bergandengan bahkan tubuh mereka tak memiliki jarak.
Lagu telah usai. Mereka kembali kepada tempat duduk. Senyum di bibir rmasih tersisa. Kebahagiaan riang terpancar dari muka Joko Berek dan Perawan Kunti. Terengah-engah nafas tak dipedulikan. Kucuran keringat yang mengalir deras tak dihiraukan. Hanya tawa yang terus menerus. Dilanjutkan dengan umpatan dan guyonan segar.
“Kau tahu Joko Berek…”
“Tidak.”
“Aku belum selesai ngomong, Berek.”
“Aku tahu. Nafasmu yang memburu itu memberi jedah.”
“Begini Berek. Aku rasa kita ini benar-benar kaum hedonis yang tak lazim.”
“Tapi aku pikir kita masih lazim. Tak ada yang aneh.”
“Menurutmu begitu, Berek? Tetapi menurutku kita ini termasuk kaum hedonis kota pinggiran yang tak lazim karena tak terlalu mengumbar segalanya untuk mencari kebahagiaan.”
“Tidak juga. Aku selalu melepaskan segalanya yang ada dalam diriku untuik mencari kebahagiaan. Bahagia dari kata-katamu, langkahmu, bahkan suara merdumu bisa membuat aku terangsang. Aku mungkin saja sama dengan kaum hedonis tengah kota. Tak ada bedanya. Hanya saja mereka tahu jalan untuk menyalurkan hasrat mereka. Tetapi aku perlu untuk meraba jalan itu untuk sampai di titik itu. Dan tentunya, seandainya aku merabamu sampai kebahagiaanku menghasrat nafsu, engkau akan lari.”
“Kau belum mencoba Berek.”
“Aku tak begitu berani.”
“Mengapa kau tiba-tiba menjadi pengecut?”
“Aku bukan pengecut. Aku hanya takut kau akan lari dariku dan menjauh. Tak pernah lagi mau berkawan denganku. Tak mau lagi menyapaku dan menghiburku. Dan yang lebih sedih lagi, tak ada lagi yang akan mengumpatku semenarik dirimu. Aku takut jika aku melakukan nikmat sesat dan sesaat, semua itu akan jadi kenyataan. Aku akan kehilangan engkau. Aku tidak mau itu.”
“Ternyata kau ini terlalu banyak pikir dan terlalu tolol,” Perawan Kunti mendekat, menanggalkan baju dengan langkah pincangnya dan menengadahkan tubuhnya di depan Joko Berek, “sekarang cobalah mulai kau rasakan, carilah jalanmu, kalau tak sanggup akan kutuntun nanti.”
“Tapi…”
“Tak usah kau tersipu begitu Berek. Aku kenal kau sudah lama dan kau mengenal aku sudah lama juga. Semestinya tak ada yang perlu ditutupi lagi. Aku perempuan dan kau lelaki. Sering bersama. Mestinya kau lebih mengerti.”
Tangan Joko Berek mulai dibimbing Perawan Kunti untuk menjelajah tubuhnya. Segera tangan Joko Berek memiliki nyawa. Hilir mudik kesana kemari. Tak henti-henti menyusuri setiap lekukan. Mengulang kembali dan terus mengulang.
Kehausan kulit Perawan Kunti menjadikan rasa geli tak tertahan. Pada tangan Joko Berek maupun pada tubuh Perawan Kunti. Geliatan-geliatan liar sudah tak terbendung lagi. Nafas mereka sudah dipacu dari kelunglaian pasrah. “Ah. Sialan kau, Berek. Itu payudaraku. Mengapa tanganmu selalu berada di situ. Tak akan kau temukan jalanmu di sana.”
“Aku suka. Karena aku tidak memilikinya.”
“Baiklah. Sekarang gerakkan tanganmu untuk turun dari belahan itu dengan perlahan. Dan carilah jalanmu sendiri.”
“Apakah ini?”
“Benar. Kau akan menemukan kenikmatan yang luar biasa jika yang kau masukkan itu bukan jarimu melainkan senjatamu yang lain.”
“Tongkat ini?”
“Jangan! Itu terlalu panjang. Tongkat yang itu untuk berjalan. Tetapi tongkat yang lebih pendek dari itu. Yang bisa mengembang dan mengempis. Menegang dan melembek.”
“Oh. Jadi ini to!”
“Ayolah Joko Berek. Lepaskan semua bajumu dan menarilah bersamaku.”
“Tidak. Aku tidak mau.”
“Lagi-lagi kau seperti ini. Mengapa Joko Berek? Aku rela.”
“Aku ingin merasai pintu pernikahan sebelum aku menjamahmu secara utuh. Aku ingin tak ada beban rasa bersalah ataupun beban dosa yang menghantui pikiranku. Aku ingin menikahimu dan memiliki anak. Hidup normal seperti yang lainnya.”
“Ah, sialan kau Berek. Mengingatkanku. Aku juga ingin kehidupan seperti itu. Aku juga ingin memiliki anak. Mengisi lembar-lembar hari penuh dengan tawa dan tangis dari sang anak. Uh, sungguh bahagianya.”
“Nggak usah sok puitis dan romantis seperti itu.”
Perawan Kunti menggerakkan langkahnya ke belakang. Diambilnya kembali baju-baju yang tercecer tak karuan. Dipakai satu persatu. Tak ada rasa canggung. Pelan-pelan semua baju dipakai dengan duduk. Seperti kekuatan kakinya telah habis. Tak mampu lagi menopang tubuh.
“Berek…Berek. Aku heran dengan kau yang tak tertarik sama sekali ketika aku telanjang tadi. Sepertinya kau lebih menikmati meraba dadaku.”
“Aku ini buta. Engkau lupa?”
“Oh iya. Maafkan aku. Tapi aku jadi mengangankan sesuatu yang lain.”
“Apa itu?”
“Bagaimana anak kita kelak. Aku pincang dan kau buta.”
“Tuhan akan menciptakan hambanya sempurna. Seperti aku ini. Aku merasa sempurna. Entah engkau.”
“Aku juga merasa sudah sempurna meski pincang. Tapi bukan itu maksudku Berek. Jika nanti anak kita mirip aku atau mirip kau itu tak jadi soal. Bagaimana jika anak kita nanti mirip dengan kita?”
“Maksudmu buta seperti aku atau pincang seperti engkau?”
“Mirip kita.”
“Iya. Tapi yang bagaimana?”
“Ya itu. Mirip aku dan kau. Bukan mirip salah satu dari kita. Jadi nanti anak kita akan buta sekaligus pincang.”
“Oh, itu maksudmu.”
“O… O….! Maksudmu! Bagaimana jika itu terjadi?”
“Tak apa. Akan kita beri anak kita rasa yang lebih hebat dari kita. Rasa perpaduan antara aku dan engkau. Berarti anak kita nanti akan lebih sempurna dari kita. Bisa merasakan kebutaan dan kepincangan. Perpaduan yang asyik.”
“Gundulmu amoh. Kau tak pernah memikirkan anak kita nanti bakal hidup di masyarakat. Bagaimana nanti akan bergaul di masyarakat? Tantu akan dipinggirkan dan disingkirkan. Aku sudah merasakannya. Para pemuda lari tunggang langgang menjauhi aku…”
“Kecuali aku.”
“Iya. Karena kau tidak melihat keadaanku yang menyedihkan jika dipandang. Kau hanya mendengar. Dan dugaanku kau tidak pernah merasa dijauhi masyarakat. Karena itu kau menjadi tidak peduli dengan anak kita nanti.”
“Siapa bilang! Siapa yang mau mendekatiku untuk sekadar berbincang. Masyarakat mana yang mau peduli. Mereka memandang aku sebelah mata atau mungkin tidak melihat aku sama sekali.”
“Dari mana kau tahu mereka memandangmu sebelah mata atau tidak melihat kau? Kau buta. Kau sendiri tidak bisa melihat mereka menujukan pandangan mereka.”
“Katanya.”
“Kata siapa?”
“Orang-orang.”
“Orang-orang siapa?”
“Ah, sudahlah. Aku tak tahu mereka. Aku hanya mendengar perbincangan mereka.”
“Aha… akhirnya kena juga kau.”
Tawa kembali mengguncang malam. Terselip benih-benih kebahagiaan. Kepenatan berganti canda. Samar di pucuk-pucuk pandang tak terkatakan.
“Tunggu dulu. Kita belum menikah. Kita belum kawin. Kau belum mengandung. Kita belum memiliki anak. Tetapi mengapa perdebatan ini mesti terjadi?” Joko Berek terlihat serius berpikir.
“Meramaikan malam saja. Daripada sepi dan hanya diisi musik klasik yang mengantukkan dan menjemukan.”
“Jadi engkau tak sungguh-sungguh dengan semua ucapanmu itu?”
“Siapa bilang aku sungguh-sungguh.”
“Sialan. Sekarang aku mau pulang.”
“Tapi aku sangat sungguh-sungguh. Karena kulihat tak ada laki-laki yang mau denganku. Dan tak ada juga perempuan manapun yang mau denganmu.”
“Siapa bilang! Masih banyak perempuan yang mengharapkanku.”
“Mengharapkanmu menjadi jongos.”
“Jangan salah…”
“Berarti benar.”
“Begini lho kata mereka, para perempuan. Aku buta dan tak pernah tahu beda siang dan malam dari warna. Jika sudah begitu, diharapkan aku bisa terus berada di atas mereka dan menindih tanpa mengenal waktu.”
“Memangnya seberapa kuat kau bisa menindih?”
“Jangan salah lagi.”
“Berarti benar lagi.”
“Ini juga kata mereka. Karena seringnya aku menyusuri jalanan dengan berjalan kaki. Tentu badan yang kumiliki ini sehat dan bugar. Tentu kekuatanku bisa tahan sampai berjam-jam.”
“Apa mereka tak takut atau khawatir?”
“Apa yang perlu ditakutkan dan dikhawatirkan?”
“Jangan-jangan nanti lubang kasur yang kau masuki karena kau lupa untuk meraba lebih dulu. Sementara itu, mereka sudah tertidur pulas.”
“Itu dia masalahku. Aku belum bisa membedakan suara dengkuran perempuan yang sedang tidur dan suara erangan perempuan yang menyelami kenikmatan. Andai aku sudah tahu, tentu tak usah aku meraba-raba lagi. Langsung aku tusukkan dan tinggal menunggu suara yang keluar dari mulut mereka.”
Hening tiba-tiba menyergap.
Beku menyelimuti. Suara musik sudah tak mampu lagi mencairkan. Kebimbangan muncul atas rencana-rencana. Sekat-sekat batas dari malu masih hinggap di ujung bibir. Kelu. Perawan Kunti menajamkan pandangannya pada Joko Berek. Berharap bibir Joko Berek kembali terbuka. Namun Joko Berek hanya menundukkan wajah. Sesekali didongakkan mencari suara Perawan Kunti. Dan kembali tertunduk ketika hanya suara musik yang mengalun.
“Bagimana jika kita mengakhiri nama kita?” bergetar suara Perawan Kunti mengalun pelan. Samar
“Maksudmu?”
“Kau mengakhiri nama joko dan aku mengakhiri nama perawan.”
“Aku setuju saja asal…”
“Asal apa?”
“Asal setelah menikah nanti, izinkan aku merabamu untuk mengetahui lubang-lubang yang engkau miliki.”
Joko Berek tertawa. Perawan Kunti tersipu. Saling ingin mengaitkan hati. Tak ada yang bisa menjembatani kecuali sentuhan-sentuhan dan kata-kata. Suara langkah sebagai pertanda. Panas dan dinginnya tubuh menjadi ukuran perasaan. Umpatan-umpatan sebagai hiburan keceriaan. Tak ada duka mengalir, sikap menggambarkannya. Menerima diri dan saling menerima yang lain sebagai anugerah. Ceria malam bertabur lagu nostalgia. Berdendang harapan. Kutukan-kutukan menyingkir dari diri. Menabur suka dalam keterbatasan. Pada ruang-ruang hedonis kota pinggiran. Mempercayakan indahnya hidup dalam rajutan kearifan. Bukan hura-hura semata.
Lamongan, 7 Februari 2008
A. Rodhi Murtadho, lahir di desa Madulegi Cuping, Sukodadi, Lamongan, 15 Maret 1983. Bersama kawan-kawan di Surabaya, menggagas dan mendirikan komunitas sastra Sanggar Interlude, pernah menjadi ketuanya. Sempat bergabung di komunitas Teater Kalang (Kaki Langit) Surabaya. Karya-karyanya dimuat dalam media lokal pun nasional. Sebagian puisinya ada di antologi bersama Dalam Dekapan Kata (2004). Sebagian cerpennya pada himpunan Pameran Makam (2008). email: rodhi_murtadho@yahoo.co.id
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 07 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar