Jumat, 19 November 2010

Menjadi Sastrawan Koran

Herman RN
http://blog.harian-aceh.com/

Bertambahnya media lokal di Aceh semakin memberikan peluang kepada masyarakat untuk menuangkan segala gundah; segala resahnya dalam bentuk tulisan. Apalagi, setelah ‘zaman batu’ penuh peluru yang biasa membungkam telah berlalu dengan selembar ‘surat bersampul biru’ dari Helisinki. Namun demikian, keluhan menembus media masih kerap terdengar, terutama dari mereka penulis pemula.

Beberapa kali saya bertemu sastrawan nasional kekinian pada sejumlah perbincangan/ diskusi, baik dalam bentuk seminar/ simposium/ lokakarya, maupun sekedar bincang ringan di rangkang bebas dan warung kopi. Sebut saja di antaranya Nirwan Dewanto, Maman S. Mahayana, Hamsyad Rangkuti, Ignatius Haryanto, Linda Christanti. Hampir semua mereka sepakat bahwa sebuah karya yang “layak” hendak dipublikasikan (diterbitkkan dalam bentuk buku) adalah jika penulisnya sudah pernah diterima di ruang koran. Mungkin karena asumsi ini pula banyak orang berlomba-lomba mencari peluang menembus koran—salah satu media alternatif yang dapat menjangkau masyarakat hingga ke pelosok-pelosok. Ketika itu, yang menjadi topik perbincangan kami sekitar cerpen dan essay sastra sehingga mereka menyarankan kepada saya dan teman-teman dalam diskusi tersebut agar sering-sering membaca cerpen dan essay (selanjutnya saya sebut saja sastra) di koran, lalu menulis seperti orang-orang menulis di koran. “Jika tulisan Anda sudah sering dimuat di koran, tak susah lagi mencari penerbit, karena penerbit sendiri yang akan mencari Anda,” begitu sepotong kalimat Ignatius Haryanto yang masih saya ingat saat ia menjadi pemateri dalam Seuramoe Temuleh I di Banda Aceh dua tahun silam. Hal serupa juga diutarakan Hamsyad Rangkuti, Maman S. Mahayana, Hudan Hidayat, dan beberapa sastrawan lainnya saat saya mengikuti Warkshop Menulis Kreatif di Jakarta tahun 2005 lalu dengan redaksi yang berbeda.

Kalimat yang nyaris sama juga saya dengar dari beberapa pengajar di Sekolah Menulis Dokarim Banda Aceh. Salah satunya Azhari. “Kalian menulis aja dulu di koran, yang sering. Nanti kalau sudah banyak, sudah mudah dibukukan,” ujar penerima Free World Award dari Belanda itu saat menjawab kegelisahan siswa SM Dokarim yang bertanya “Bagaimana membukukan karya” pada suatu ketika.

Demikian halnya dengan anggota Forum Lingkar Pena Aceh yang sekarang sedang gencar-gencar mengutip karya dari anggotanya untuk dibukukan. Jika ada karya anggotanya dimuat di koran, langsung dikatakan bahwa karya itu layak dibukukan, sebab sudah berterima di koran. Hal ini saya dapati dari milis FLP Aceh.

Yang menarik dari semua itu bahwa sastra di era sekarang ini seolah tergantung selera koran. Maka tak perlu terkejut melihat perkembangan koran di Aceh pascatsunami dan geliat anak-anak Aceh yang berlomba-lomba menulis di koran. Namun, yang menjadi persoalan adalah karya seperti apa yang laik muat koran?

Saya anggap ini sebagai persoalan, sebab ada yang sudah dimuat karyanya di koran, dia masih belum puas, apalagi tidak dimuat sama sekali. Bagi yang karyanya tidak dimuat, redaktur koran dituduh diskriminatif. Apalagi, penulis muda, langsung keluar ungkapan, “Redaktur koran terlalu mempertibangkan senioritas sehingga yang muda tidak dipercaya” (Ah, seperti iklan rokok saja). Kemudian saat karyanya dimuat di koran, rasa tidak puas masih ada juga manakala mendapati karya dia itu diedit oleh redaktur. Tudingan miring kepada redaktur koran kembali muncul bahwa redaktur telah menghilangkan esensi karya seseorang, memperkosa karya orang, menghancurkan gagasan orang, dan sebagainya.

Perkara ini memang bukan persoalan sederhana, sebab ada orang yang tidak suka tulisannya diedit, meski hanya sebuah titik atau koma. Semenatara di sisi lain, tugas seorang redaktur adalah mengedit setiap tulisan yang masuk sehingga layak muat di korannya. Ada hal yang mesti diperhatikan sangat di sini; selera redaktur dan koran yang dituju.

Saya misalkan beberapa koran nasional. Republika, yang sudah jelas dari tampilannya berbau agamis hingga redaktur sastranya pun sufiis. Jika karya berbau pemberontakan kepada agama tentu kecil kemungkinan akan dimuat di Republika. Halnya Kompas, Harian Nasional satu ini hemat saya mementingkan karya sastra yang memuat esensi kabar di dalamnya. Kendati sebuah cerita fiksi (cerpen), koran ini tetap lebih mengutamakan ada muatan sesuatu berita dengan penggambaran suasana mendetil. Jika karya terlalu banyak dialognya yang nyaris menyerupai naskah drama, tentu sulit dimuat di koran ini. Karya seperti itu lebih baik layangkan saja ke Suara Pembaruan atau Pikiran Rakyat. Demikian pula Koran Tempo, cerpen yang akan dimuat lebih diutamakan berimajinasi tinggi, yang terkadang berisi penolakan terhadap sesuatu yang diyakini dalam masyarakat banyak sehingga tak ayal koran satu ini acapkali memuat cerpen-cerpen terjemahan dari pengarang luar atau memang cerpe-cerpen yang ditulis oleh orang luar Indonesia. Semua itu adalah selera redaktur. Jadi, tak perlu berang jika karya tak dimuat di koran fulan, tetapi kok diterima di koran fulen. Bukan berarti karya Anda adalah kotoran manusia yang dibuang sembari menghayal di atas kloset.

Menganggap sebuah karya sebagai kotoran (najis) adalah hal tercela terhadap sebuah proses penciptaan. Orang seperti ini biasanya tak tahu menghargai sebuah kontemplasi, padahal karya dia juga tumbuh melalui kontemplasi, yang belum tentu lebih baik dari kotoran yang dibuangnya. Karenanya, orang-orang yang duduk di meja editor biasanya adalah orang-orang yang tahu menghargai karya sehingga tidak serta merta menganggap najis karya orang yang kemudian dibuang ke tong sampah. Makanya, seorang redaktur selalu berusaha mengedit setiap karya yang masuk padanya sehingga layak dikonsumsi khalayak.

Satu hal lagi, koran juga terikat dengan kolom. Saya misalkan pada cerpen, Reublika hanya dapat memuat cerpen 7.000-8.000 karakter, sedangkan Kompas, 9.000-12.000 karakter. Beda halnya dengan Koran Tempo, asal tidak lebih dari 18.000 karakter, pendek seukuran cerita mini pun boleh, yang penting muatan ceritanya. Halnya Harian Serambi Indonesia—sebuah koran terbitan Aceh—jika menulis cerpen seukuran Kompas, tentu tidak akan pernah dimuat. Kalau pun dimuat, akan terjadi pengeditan karya yang berarti akan ada pemenggalan beberapa bagian. Jika ini tidak dilakukan, karya tersebut tidak akan dimuat sampai kapan pun karena dibatasi ruang yang tersedia, sedangkan penulis menginginkan karya dia dimuat. Lantas, salahkah redaktur koran dalam hal ini?

Hemat saya, tidak semua kesalahan mesti dilimpahkan kepada redaktur koran, sebab tugas dia memang tukang edit. Jika tak ingin diedit, lampirkan saja pesan kepada redaktur bahwa “karyaku” tidak boleh diedit, dengan kompensasi, siap menerima tidak akan dimuat karena tak diizinkan edit. Untuk menghindari masalah ini, kerja sama redaktur mengabarkan tentang akan ada beberapa hal yang mesti dipenggal kepada penulis sangat baik. Namun, apa mesti mengulang hal serupa dengan kasus yang sama kepada penulis yang sama sampai berulang kali? Ini mesti dipertimbangan juga sehingga tidak serta merta redaktur dihujat. Jika tidak tahu etika mengedit, bagaimana mungkin dia menjadi redaktur (editor).

Inilah yang sempat saya alami dari seorang teman yang ngebet agar karyanya dimuat. Pernah saya mengabarkan bahwa karya dia kepanjangan untuk kolom sebuah koran yang dituju. Saya dipersilakan memotong beberapa bagian selama tidak menghilangan esensi karya. Saya kira, seorang redaktur, dalam melakukan pengeditan, tidak mungkin mengabaikan esensi karya orang. Namun, mesti diingat, redaktur juga manusia. Dan teman saya terus memaksa agar karyanya tetap dimuat meski saya edit. Ternyata, selesai dimuat, dia malah tak puas dengan hasil editan saya. Akhirya, dalam suatu kesempatan saat menuliskan “Ode” untuk seseorang di Serambi Indonesia, dia memaki saya habis-habisan. Apakah sampai di sini, redakur juga dipersalahkan? Uih, egoisnya penulis satu itu, minta diedit, malah menghujat.

Kejadian ini mengingatkan saya pada sebuah kalimat seorang teman yang juga redaktur sebuah koran di kota ini. “Kalau hendak karya dimuat tapi tak mau diedit, terbitkan saja koran sendiri,” kata teman sekaligus senior saya itu di sebuah warung kopi suatu hari.

Penulis, sarjana Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah. Pekerja media.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae