Herman RN
http://blog.harian-aceh.com/
Bertambahnya media lokal di Aceh semakin memberikan peluang kepada masyarakat untuk menuangkan segala gundah; segala resahnya dalam bentuk tulisan. Apalagi, setelah ‘zaman batu’ penuh peluru yang biasa membungkam telah berlalu dengan selembar ‘surat bersampul biru’ dari Helisinki. Namun demikian, keluhan menembus media masih kerap terdengar, terutama dari mereka penulis pemula.
Beberapa kali saya bertemu sastrawan nasional kekinian pada sejumlah perbincangan/ diskusi, baik dalam bentuk seminar/ simposium/ lokakarya, maupun sekedar bincang ringan di rangkang bebas dan warung kopi. Sebut saja di antaranya Nirwan Dewanto, Maman S. Mahayana, Hamsyad Rangkuti, Ignatius Haryanto, Linda Christanti. Hampir semua mereka sepakat bahwa sebuah karya yang “layak” hendak dipublikasikan (diterbitkkan dalam bentuk buku) adalah jika penulisnya sudah pernah diterima di ruang koran. Mungkin karena asumsi ini pula banyak orang berlomba-lomba mencari peluang menembus koran—salah satu media alternatif yang dapat menjangkau masyarakat hingga ke pelosok-pelosok. Ketika itu, yang menjadi topik perbincangan kami sekitar cerpen dan essay sastra sehingga mereka menyarankan kepada saya dan teman-teman dalam diskusi tersebut agar sering-sering membaca cerpen dan essay (selanjutnya saya sebut saja sastra) di koran, lalu menulis seperti orang-orang menulis di koran. “Jika tulisan Anda sudah sering dimuat di koran, tak susah lagi mencari penerbit, karena penerbit sendiri yang akan mencari Anda,” begitu sepotong kalimat Ignatius Haryanto yang masih saya ingat saat ia menjadi pemateri dalam Seuramoe Temuleh I di Banda Aceh dua tahun silam. Hal serupa juga diutarakan Hamsyad Rangkuti, Maman S. Mahayana, Hudan Hidayat, dan beberapa sastrawan lainnya saat saya mengikuti Warkshop Menulis Kreatif di Jakarta tahun 2005 lalu dengan redaksi yang berbeda.
Kalimat yang nyaris sama juga saya dengar dari beberapa pengajar di Sekolah Menulis Dokarim Banda Aceh. Salah satunya Azhari. “Kalian menulis aja dulu di koran, yang sering. Nanti kalau sudah banyak, sudah mudah dibukukan,” ujar penerima Free World Award dari Belanda itu saat menjawab kegelisahan siswa SM Dokarim yang bertanya “Bagaimana membukukan karya” pada suatu ketika.
Demikian halnya dengan anggota Forum Lingkar Pena Aceh yang sekarang sedang gencar-gencar mengutip karya dari anggotanya untuk dibukukan. Jika ada karya anggotanya dimuat di koran, langsung dikatakan bahwa karya itu layak dibukukan, sebab sudah berterima di koran. Hal ini saya dapati dari milis FLP Aceh.
Yang menarik dari semua itu bahwa sastra di era sekarang ini seolah tergantung selera koran. Maka tak perlu terkejut melihat perkembangan koran di Aceh pascatsunami dan geliat anak-anak Aceh yang berlomba-lomba menulis di koran. Namun, yang menjadi persoalan adalah karya seperti apa yang laik muat koran?
Saya anggap ini sebagai persoalan, sebab ada yang sudah dimuat karyanya di koran, dia masih belum puas, apalagi tidak dimuat sama sekali. Bagi yang karyanya tidak dimuat, redaktur koran dituduh diskriminatif. Apalagi, penulis muda, langsung keluar ungkapan, “Redaktur koran terlalu mempertibangkan senioritas sehingga yang muda tidak dipercaya” (Ah, seperti iklan rokok saja). Kemudian saat karyanya dimuat di koran, rasa tidak puas masih ada juga manakala mendapati karya dia itu diedit oleh redaktur. Tudingan miring kepada redaktur koran kembali muncul bahwa redaktur telah menghilangkan esensi karya seseorang, memperkosa karya orang, menghancurkan gagasan orang, dan sebagainya.
Perkara ini memang bukan persoalan sederhana, sebab ada orang yang tidak suka tulisannya diedit, meski hanya sebuah titik atau koma. Semenatara di sisi lain, tugas seorang redaktur adalah mengedit setiap tulisan yang masuk sehingga layak muat di korannya. Ada hal yang mesti diperhatikan sangat di sini; selera redaktur dan koran yang dituju.
Saya misalkan beberapa koran nasional. Republika, yang sudah jelas dari tampilannya berbau agamis hingga redaktur sastranya pun sufiis. Jika karya berbau pemberontakan kepada agama tentu kecil kemungkinan akan dimuat di Republika. Halnya Kompas, Harian Nasional satu ini hemat saya mementingkan karya sastra yang memuat esensi kabar di dalamnya. Kendati sebuah cerita fiksi (cerpen), koran ini tetap lebih mengutamakan ada muatan sesuatu berita dengan penggambaran suasana mendetil. Jika karya terlalu banyak dialognya yang nyaris menyerupai naskah drama, tentu sulit dimuat di koran ini. Karya seperti itu lebih baik layangkan saja ke Suara Pembaruan atau Pikiran Rakyat. Demikian pula Koran Tempo, cerpen yang akan dimuat lebih diutamakan berimajinasi tinggi, yang terkadang berisi penolakan terhadap sesuatu yang diyakini dalam masyarakat banyak sehingga tak ayal koran satu ini acapkali memuat cerpen-cerpen terjemahan dari pengarang luar atau memang cerpe-cerpen yang ditulis oleh orang luar Indonesia. Semua itu adalah selera redaktur. Jadi, tak perlu berang jika karya tak dimuat di koran fulan, tetapi kok diterima di koran fulen. Bukan berarti karya Anda adalah kotoran manusia yang dibuang sembari menghayal di atas kloset.
Menganggap sebuah karya sebagai kotoran (najis) adalah hal tercela terhadap sebuah proses penciptaan. Orang seperti ini biasanya tak tahu menghargai sebuah kontemplasi, padahal karya dia juga tumbuh melalui kontemplasi, yang belum tentu lebih baik dari kotoran yang dibuangnya. Karenanya, orang-orang yang duduk di meja editor biasanya adalah orang-orang yang tahu menghargai karya sehingga tidak serta merta menganggap najis karya orang yang kemudian dibuang ke tong sampah. Makanya, seorang redaktur selalu berusaha mengedit setiap karya yang masuk padanya sehingga layak dikonsumsi khalayak.
Satu hal lagi, koran juga terikat dengan kolom. Saya misalkan pada cerpen, Reublika hanya dapat memuat cerpen 7.000-8.000 karakter, sedangkan Kompas, 9.000-12.000 karakter. Beda halnya dengan Koran Tempo, asal tidak lebih dari 18.000 karakter, pendek seukuran cerita mini pun boleh, yang penting muatan ceritanya. Halnya Harian Serambi Indonesia—sebuah koran terbitan Aceh—jika menulis cerpen seukuran Kompas, tentu tidak akan pernah dimuat. Kalau pun dimuat, akan terjadi pengeditan karya yang berarti akan ada pemenggalan beberapa bagian. Jika ini tidak dilakukan, karya tersebut tidak akan dimuat sampai kapan pun karena dibatasi ruang yang tersedia, sedangkan penulis menginginkan karya dia dimuat. Lantas, salahkah redaktur koran dalam hal ini?
Hemat saya, tidak semua kesalahan mesti dilimpahkan kepada redaktur koran, sebab tugas dia memang tukang edit. Jika tak ingin diedit, lampirkan saja pesan kepada redaktur bahwa “karyaku” tidak boleh diedit, dengan kompensasi, siap menerima tidak akan dimuat karena tak diizinkan edit. Untuk menghindari masalah ini, kerja sama redaktur mengabarkan tentang akan ada beberapa hal yang mesti dipenggal kepada penulis sangat baik. Namun, apa mesti mengulang hal serupa dengan kasus yang sama kepada penulis yang sama sampai berulang kali? Ini mesti dipertimbangan juga sehingga tidak serta merta redaktur dihujat. Jika tidak tahu etika mengedit, bagaimana mungkin dia menjadi redaktur (editor).
Inilah yang sempat saya alami dari seorang teman yang ngebet agar karyanya dimuat. Pernah saya mengabarkan bahwa karya dia kepanjangan untuk kolom sebuah koran yang dituju. Saya dipersilakan memotong beberapa bagian selama tidak menghilangan esensi karya. Saya kira, seorang redaktur, dalam melakukan pengeditan, tidak mungkin mengabaikan esensi karya orang. Namun, mesti diingat, redaktur juga manusia. Dan teman saya terus memaksa agar karyanya tetap dimuat meski saya edit. Ternyata, selesai dimuat, dia malah tak puas dengan hasil editan saya. Akhirya, dalam suatu kesempatan saat menuliskan “Ode” untuk seseorang di Serambi Indonesia, dia memaki saya habis-habisan. Apakah sampai di sini, redakur juga dipersalahkan? Uih, egoisnya penulis satu itu, minta diedit, malah menghujat.
Kejadian ini mengingatkan saya pada sebuah kalimat seorang teman yang juga redaktur sebuah koran di kota ini. “Kalau hendak karya dimuat tapi tak mau diedit, terbitkan saja koran sendiri,” kata teman sekaligus senior saya itu di sebuah warung kopi suatu hari.
Penulis, sarjana Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah. Pekerja media.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar