Jumat, 24 September 2010

Sastra Independen

Sayuri Yosiana
http://oase.kompas.com/

Saya sempat terpana saat membaca biografi penulis kisah anak-anak klasik yang terkenal lewat karyanya berjudul, Heidi. Penulis itu Johanna Spyre, yang sempat berkomitmen untuk tidak pernah membuka nama aslinya, dan segala bentuk publikasi yang ada kaitan tentang dirinya, kecuali soal karya-karyanya. Bahkan sebelum wafatnya, Johanna Spyre pernah meminta kembali surat-surat yang pernah dikirimkan pada sahabat-sahabat baiknya, dan membakar semua berkas tentang dirinya. Johanna berharap agar pembacanya lebih mengenal karya-karyanya daripada penulisnya sendiri.

Fenomenalnya novel Heidi membuatnya harus lebih membuka diri kepada publik. Termasuk tentang nama aslinya. Selama ini Johanna senang memakai nama berupa inisial saja. Sebelumnya dia menolak saat penerbitnya memintanya untuk membuat autobiografi dirinya. ( disadur dari novel, Heidi)

Jauh sebelumnya saya pernah beberapa kali membaca tentang penulis yang menolak membuka diri kepada publik. Lebih suka memakai nama samaran. Termasuk penulis tanah air. Kalau kita kembali membuka arsip tentang penulis-penulis tanah air dan perjalanan karya-karya sastra Indonesia, mungkin kita bisa menemukan dan mengetahui kembali siapa saja mereka yang selama ini pernah menggunakan nama inisial. Semua memang hak penulis dalam seberapa jauh batas pubikasi tentang dirinya yang perlu diketahuai umum. Dan tentunya seribu satu alasan lainnya yang hanya diketahui penulisnya sendiri, terlepas dari suka tidaknya publik pada prinsipnya tersebut.

Dalam dunia sastra, khususnya di ruang sastra maya, saya merasakan aura kompetisi yang enerjik dari para penulis, baik yang merasa dirinya pemula, menengah maupun yang sudah kita anggap senior dan sering kita sebut sebagai sastrawan. Ini merupakan fenomena yang bagus untuk perkembangan dunia sastra tanah air. Gairah menulis tumbuh gegap gempita dengan adanya wadah maya. Seperti situs-situs yang mengkhususkan diri pada perkembangan sastra. Baik milik pribadi maupun hasil kelola para sastrawannya sendiri. Termasuk komunitas sastra di situs-situs jejaring sosial.

Namun saya juga menemukan/merasakan aura tidak sehat dari para senior saya. Para sastrawan kita itu. Mungkin ini hanya persepsi saya pribadi. Karena sesungguhnya saya belum banyak mengetahui lebih jauh kedalam tentang apa yang sebenarnya terjadi diantara para sastrawan kita. Maka saya mencoba hunting lewat jejaring sosial, situs-situs apresiasi sastra, buku-buku atau majalah-majalah lama yang mungkin bisa membantu saya melihat situasi pada masa lalu. Keterbatasan pribadi, membuat saya menaruh harapan banyak pada sumber-sumber dari dunia maya. Media maya sedikit banyaknya menjadi area pembelajaran saya dalam melihat peta dunia sastra tanah air. Lebih mampu sedikit demi sedikit membuka mata, batin, dan telinga saya. Sekaligus sensitivitas terhadap dunia yang sarat dengan karya ini.

Saya, jujur saja agak sedih menemukan, bahwa dunia seni sastra yang konon lahir dari kelembutan rasa, dan kehalusan hati ini, ternyata penuh juga dengan makian-makian tak bermakna. Saya terkejut ternyata hal tersebut sudah berlangsung lumayan lama. Entah apa yang para sastrawan itu ributkan. Sepertinya dari persoalan pribadi sampai hasil karya yang menjadi kontroversi, atau ketidakmufakatan mereka terhadap segala sesuatu tentang perkembangan sastra tanah air. Hingga saya lihat mereka membentuk kelompok-kelompok tersendiri yang ironisnya bukan untuk saling bekerjasama, tetapi lebih banyak untuk saling mengejek satu sama lain, bahkan bertengkar tiada juntrungan dan habis-habisnya. Tentu saja tidak semua komunitas sastra melakukan hal seperti ini. Namun tak dapat dipungkiri ada kelompok-kelompok dengan nama besar yang mungkin hingga kini masih terlibat polemik sastra.

Ada apa dengan para sastrawanku? Bukankah mereka adalah teladan kami dengan segala anugerah talenta menulis mereka yang sama-sama gemilang, hingga kamipun bisa belajar lewat karya-karya mereka. KONON, menurut beberapa kawan saya, ingar bingar polemik sastra bukan hanya ada di ranah sastra kita. Tapi juga dunia. Jangan dikira peraih nobel dunia juga tidak penuh kontroversinya masing-masing. Baik skala nasional, sampai internasional.

Saat Pramudya Ananta Tour mendapat hadiah Magsaysay, beberapa rekannya yang tak sehaluan dan sempat merasa menderita diskriminasi di masa era orde lama, begitu gencar menolak penganugerahan tersebut. Pram dianggap tidak pantas mendapat penghargaan karena pernah dianggap terlibat dalam “pembantaian” rekan-rekannya sendiri dalam dunia sastra tanah air di masa Gestapo. Pram menolak dan menuntut digelarnya suatu pengadilan yang mensyaratkan dirinya juga boleh diberi ruang pembelaan diri agar fair. Itu hanya salah satu dari polemik yang pernah terjadi pada dunia sastra tanah air. Ya, polemik mungkin memang ada baiknya agar dunia sastra terlihat dinamis. Namun polemik yang hanya mementingkan ego dan kelompok sendiri agar lebih mendominasi dunia sastra tanah air dengan cara yang tidak fair, bukanlah polemik yang diharapkan generasi sastra berikutnya. Seperti juga yang terjadi pada kelompok-kelompok lainnya.

Dengan fenomena polemik sastra yang demikian dimasa sekarang, saya sempat berfikir untuk menjadikan dunia sastra saya sebagai sastra yang mandiri saja. Tidak bergantung pada sosok-sosok tertentu dalam menghasilkan karya. Mencoba berjuang sendiri dengan segala kebahagiaan dan kepedihan membentuk huruf-huruf agar menjadi karya yang utuh dari tangan dan sentuhan jiwa serta fikiran sendiri. Seperti yang sudah dilakukan teman saya.

Saya sendiri lebih memilih untuk tidak lagi terpengaruh pada polemik apapun diantara kisah-kisah lalu para sastrawan kita, maupun yang muncul kembali dimasa kini. Saya memutuskan untuk duduk manis, menulis sampai bungkuk, belajar online secara mandiri dan melepaskan diri dari komunitas dunia sastra. Saya tahu ini bukanlah keputusan bijak. Saya masih memerlukan secara langsung pembelajaran dan bimbingan mereka.

Namun saya tahu, setiap keputusan kita dimasa sekarang, pastinya akan berdampak pada situasi masa depan kita sendiri dan juga orang lain. Saya juga masih mengerjakan proyek pribadi berupa kumpulan cerpen, kumpulan puisi dan juga novel yang sampai sekarang masih saya kerjakan sesuai mood . Maklum saya mungkin bukan contoh yang bagus sebagai penulis, karena masih sangat bergantung pada mood dalam berkarya.

Saya membangun dunia sastra saya sendiri. Dengan segala konsekwensinya bagi perkembangan menulis saya. Saya tak punya channel pada penerbit manapun untuk mau membantu menerbitkan karya saya. Saya tahu harus “bersaing”dengan penulis lainnya agar karya saya tetap tegak berdiri dan mampu berkontribusi bagi banyak orang. Saya berharap, saya dan penulis lainnya tetap mampu saling bersinergis dalam menghasilkan karya. Berkompetisi dalam konteks untuk kebaikan sastra itu sendiri.

Bagaimanapun hidup itu adalah perjuangan untuk saling tegak. Bagus untuk saling menegakkan. Dan tidak malah saling menjatuhkan. Kritik adalah sebuah keniscayaan, dan karenanya harus diapresiasi dengan cerdas dan dewasa. Namun kita juga harus pandai-pandai membaca dan mencerna kritik. Penulis juga punya hak preogratif dalam karyanya. Dan karenanya punya juga hak jawab. Pada akhirnya kita hanya memerlukan kritikus sastra yang mampu juga mempertanggungjawabkan karyanya, seperti yang selalu dituntut kepada para penulis.

Saya sedih kalau ada kritikus yang suka seenaknya menjudge penulis sebagai cengeng dan manja hanya karena dia menangis saat karyanya dikritik. Apakah air mata menjamin bahwa si penulis akan langsung berhenti dalam berkarya? Dan menjamin bahwa sang penulis tidak terima hasil karyanya diminta dilempar saja ketempat sampah, misalnya?

Terlalu naif dan arogan kalau ada kritikus yang berfikir seperti itu. Siapapun mereka, penulis yang sudah banyak jam terbangnya, maupun yang baru memulai karirnya, pasti akan sangat bahagia dan bangga bila karyanya menjadi salah satu yang banyak diapresiasi lewat kritikan meskipun minim pujian. Penulis seperti ini pasti sadar kapasitas dirinya. Dan tak mungkin mengabaikan tiap saran dan masukan dari siapapun bila dia masih memerlukannya. Air mata yang jatuh karena kritikan adalah representasi dari jiwa halus sang penulis. Bukankah jiwa manusia pada dasarnya adalah terbuat dari sesuatu yang lembut dan kasat mata? Jadi, menangislah kalau kritikan yang datang memang sangat membuat luka. Tapi jangan membuat kita sebagai penulis lantas menjadi jatuh terpuruk dan ngambek tak mau berkarya lagi. Kalau itu yang terjadi, air mata yang datang bukanlah air mata ketulusan dalam menerima kritik. Tapi air mata yang datang dari ego pribadi karena merasa harus lebih baik, sudah hebat dan akhirnya satu pukulan langsung membuatnya K.O. Kita sebaiknya terima pembelajaran dari luar bukan untuk mengubah karya kita, tapi hanya sebagai cermin tanpa harus membongkar habis tulisan yang datang dari jiwa kita sendiri, hingga kehilangan ruh.

Kita penulis harus bebas merdeka dalam berkarya. Independent dalam dunia sastra kita. Percaya diri meskipun karya-karya kita banyak dipatahkan orang. Tetap semangat dan kembali menulis. Kita jugakan punya hak jawab dan tanggungjawab dalam mempertahankan karya. Maka catatlah dan simpanlah tiap kritkan dan terapkan dalam dunia kecil kita. Barangkali kedepannya akan jauh lebih baik.

Yang penting bagi saya pribadi, adalah PILIHAN dari banyaknya pilhan. Dan mau tak mau kita harus siap dengan segala resiko dari setiap pilihan . Karya kita tak mampu terbit dalam bentuk buku, atau ebook sekalipun karena keterbatasan kita dalam bergaul, atau karena kita memang memilih untuk menyimpannya sendiri, seperti yang dilakukan Emily Dickinson, sastrawan Amerika yang tak pernah mempublish karya-karyanya. (terimaksih untuk seorang kawan atas info ini) . Itu juga sebuah pilihan. Jadi ada sejuta alasan untuk sampai pada pilihan yang harmoni dengan jiwa dan logika kita.

Mengapa saya menulis tentang pilihan ini? Ya, karena saya masih sangat ingat bagaimana seorang sastrawan pernah mengatakan bahwa kita tak akan mungkin menerbitkan buku tanpa adanya koneksi atau channel pada pihak penerbit, atau tak adanya kata pengantar dari sebuah nama besar di dalam buku kita. Atau tidak adanya suatu komunitas yang mendukung kita dalam mempromosikan buku yang hendak kita terbitkan. Lalu seorang kawan baik, pernah bertanya pada saya di YM, mengapa saya tak pernah terlihat masuk komunitas sastra manapun? Mengapa saya seolah memisahkan diri? Saya tertawa. Siapa yang tidak mau masuk? Siapa yang sengaja memisahkan diri? Jujur saja, saya punya alasan pribadi untuk tidak mengikuti komunitas-komunutas sastra manapun. Yang ada dikota saya, maupun yang jauh diluar kota.

Alasan awal adalah karena adanya keterbatasan fisik yang tak memungkinkan saya untuk leluasa ke mana-kemana.

Alasan kedua adalah, karena prinsip pribadi yang sedikit banyaknya terinspirasi dari seorang teman penulis. Yakni, lebih memilih untuk belajar mandiri saja. Kasak-kusuk sendiri dalam dunia menulis saya.

Jungkir balik sendiri merangkai kata, mengolahnya dan menimbang-nimbang apakah sudah layak untuk dipublish? Pasti akan merasa lebih mudah menemukan roh sendiri dalam menghasilkan tulisan.
Tidak banyak terkontaminasi tangan luar. Semua adalah hasil tetes darah dan air mata sendiri. Baik ataupun buruknya. Juga hasil pemikiran dari belajar mandiri. Tentu saja sebagai seseorang yang baru belajar, awalnya tak mungkin sepenuhnya bersih dari kontaminasi luar. Saya sadari hal itu. Karena sebelumnya karya saya juga pernah diutak atik oleh seorang sastrawan besar agar terasa lebih memenuhi kaidah sastra. Dengan tekun saya mengikuti saran-sarannya. Namun setelah jadi, yang saya rasakan adalah semacam kekosongan roh dalam karya saya tsb. Memang jelas terlihat lebih baik bentuknya. Tapi itu bukan style saya. Tak saya temukan jiwa saya didalamnya. Kepuasan yang saya rasakan juga berbeda. Kesimpulannya adalah, bahwa itu bukan karya saya. Sejak itu saya mencoba untuk lebih percaya diri. Belajar dari membaca dan juga ikut kelas menulis agar karya saya bisa lebih baik lagi kedepannya. Tidak karena hasil utak atik tangan seseorang. Tapi dari hasil belajar mengasah kepekaan seni sendiri. Juga tentunya bukan murni jatuh dari langit. Karena tanpa hasil belajar dari dunia sastra luar, tak mungkin saya tertarik untuk membentuk dunia sastra sendiri. Maka pengalaman belajar secara individual, baiknya dijadikan pengalaman untuk mampu mencari dan menemukan gaya menulis kita. Saya yakin sudah banyak di antara teman-teman lain yang lebih dulu
melakukannya.

Menjaga agar karya dapat berdiri tegak dari tangan sendiri tidak semudah membalik telapak tangan, semua tentunya sudah memahami. Namun seorang teman penulis yang juga jurnalis pernah mengatakan, bahwa karya-karya yang baik pada akhirnya akan ditegakkan orang meskipun penulisnya sendiri sudah tiada. Dan selama hidupnya mungkin tak pernah mempublish karya-karyanya untuk umum dalam bentuk apapun.

Tentu bagaimanapun kita sebaiknya tetap berusaha mempublish karya-karya yang sudah kita buat dengan tubuh dan jiwa kita sendiri. Karena pastinya akan lebih bahagia bisa membagi fikiran dan imajinasi kita pada orang lain. Namun harus pula realistis, mengingat media-media cetak belum seterbuka media online/maya dalam mengangkat karya penulis pendatang. Tetaplah maju dan terus menulis untuk kepuasan batin dan mengasah kepekaan bahasa dalam situasi yang berbeda-beda. Maka dengan demikian kita telah membangun dunia sastra kita sendiri yang lebih independet. Kalau karya kita tidak dimuat, buat lagi yang lebih baik. Jangan tergantung pada penilaian-penilain yang tidak mampu kita jamin kefairannya dalam menilai sebuah karya.

Terlepas dari KKN nya media-media cetak dari hasil kedekatan kita pada para sastrawan yang umumnya juga para redaktur budaya itu sendiri. Karya bagus akan tetap diterima, bukan karena kedekatan kita pada sosok-sosok itu lagi, tapi murni pada kualitasnya.

Menulis adalah untuk bahagia dan membahagiakan orang lain. Mampu memberi kontribusi pemikiran bagi diri kita dan masyarakat luas. Maka menulislah dengan jiwa dan fikiran yang sehat. Agar hasilnya tidak sekedar karya mati. Tapi karya yang menghidupkan. Kalau sekarang karya kita belum bisa bicara banyak seperti para sastrawan itu, tak apa. Setiap karya akan menemui takdirnya masing-masing. Bukankah para nama besar itu dulunya juga bukan siapa-siapa? Maka yang perlu dipelajari dari mereka adalah kegigihannya dalam menghasilkan karya-karya bagus. Bukan sekedar kedekatan kita pada sosok-sosok terkenal itu yang membuat kita merasa eksis. Karenanya, biarlah karya-karya saya kelak menemukan takdirnya sendiri.

Keep writing !

Sayuri Yosiana, penulis lepas. Lahir dan besar di Jakarta. Hobi menulis dan membaca. Menyukai dunia seni, sejarah dan heritage. Bersama rekannya, mendirikan dan mengelola situs kesehatan holistik kabarsehat.com. Juga mengelola web pribadi sayuriyosiana.com dan spiritlifeholistik.blogspot.com. Bercita-cita menulis novel, kumpulan cerpen/prosa dan esai.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae