Jumat, 24 September 2010

Problematik Kesenian Jombang

Fahrudin Nasrulloh*
http://www.sastra-indonesia.com/

Pada hakikatnya warisan tradisi merupakan hasil proses kesejarahan manusia yang panjang bercecabang dan karenanya tak gampang dilacak jejaknya. Ikhtiar pengembangan yang kita butuhkan adalah seberapa jauh dan telaten pegiat kesenian atau seniman itu sendiri dapat memahami kesenian, tidak hanya pada tataran sekadar mencermati, namun proses “melakoni” yang berlandaskan “daya telisik” dan bukti konkrit serta keterlibatannya agar dapat terus ditumbuhkan dan disadari sebagai sebuah cermin berkehidupan yang berkebudayaan. Pendek ungkap, khasanah tradisi adalah sebentang perjalanan di mana manusia dan kebudayaannya “mengada” dan “menghayat” di dalam kehidupan sehari-hari.

Kesenian, dalam pemikiran Halim HD (pekerja budaya dari Forum Pinilih Solo), “merupakan pernyataan dan menjadi milik dari sebuah wujud kebersamaan suatu masyarakat.” Karena itu, upaya untuk terus berinstrospeksi dan berpikir kritis atas berbagai kemungkinan yang akan terjadi merupakan hal pokok dan mendesak agar khasanah kesenian kita tidak terpuruk hanya sebagai “bahan dodolan” (barang jualan) yang akan menciptakan bayangan palsu dan trik manipulatif yang dapat merugikan secara sosial-ekonomis bagi warga pengampu tradisi.

Seberapa jeli kita melihat sekaligus meresapi semisal pada kesenian Topeng Jati Duwur di daerah Jatiduwur dan Jati Pandak yang begitu pelik permasalahannya ketika warga pengampu tradisi ini belum dapat secara penuh-seluruh melestarikannya dan menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka. Seolah ada bayangan kepunahan di sana. Persoalan-persolan yang bersengkarutan di dalamnya perlu dipikirkan secara cermat. Juga pemecahan dan pemetaan problem di wilayah kesenian lainnya seperti seni jaranan (konon di Jombang ada sekitar 40-an grup jaranan), juga keberadaan ludruk yang salah satu sebab keterpinggirannya adalah dibayang-bayangi seni karawitan dan campursarian, pun Sandur Manduro yang “tak berlanjut” dari kajian intensif setelah penelitian yang berkeringat-keringat yang telah dilakukan oleh pegiat kesenian: Imam Ghozali Ar, Inswiardi, dan Dian Sukarno.

Sehubungan itu, apa yang telah dilakukan oleh Tim Pelestarian dan Perlindungan (TPP) Seni-Budaya Jombang, tidaklah sepenuhnya dapat mengurai secara tuntas semua problematik di atas. Maka pertemuan pada 28 Mei 2009, di Kantor Disporabudpar di Jl. Gatot Subroto No. 151, berusaha melakukan evaluasi kritis atas sejauh mana tim ini bergerak dan bervisi jelas. Untuk sementara, sebagai hasil kerja konkrit, tim ini beserta Disporabudpar akan menerbitkan buku berjudul Bunga Rampai Kesenian Jombang. Buku sederhana ini adalah hasil keringat dari tim penelusur yang terdiri dari Supriyo, Heru Cahyono, Koko Hari Pramono, Jabbar Abdullah, Dian Sukarno, Siti Sa’adah, Bu Ellin, Fahrudin Nasrulloh, Susnania, Ngaidi Wibowo, dan Nasrul Ilahi.

Gagasan selanjutnya dari TPP adalah meluaskan jejaring geraknya dalam bentuk media maya, yakni membikin blog dan facebook dengan bendera: http/pelestaribudayajombang. Media cyber ini sudah bergerak sejak 1 Juni 2009 yang secara aktif-simultan menyebarkan semua data hasil penelusuran beserta foto dan video-pendeknya. Menurut Gufron, Kepala Bidang Budaya dan Pariwisata Disporabudpar Jombang, “Penerbitan buku dan blog itu akan menjadi tolok-ukur agar kesenian dan budaya Jombang tidak luntur, agar generasi muda kini dan mendatang tidak kehilangan akar kesejarahannya sebagai warga Jombang yang musti memiliki karakter juga berkemandirian.” Kini blog http/pelestaribudayajombang.com bisa disambangi dan diapresiasi, sedang buku Bunga Rampai Kesenian Jombang akan diupayakan terbit pada bulan Agustus 2009 dan didiskusikan dalam rangkaian acara Pekan Budaya Jombang yang akan berlangsung Oktober 2009, di GOR Jombang.

Diadakannya Festival Seni dan Media Pertunjukan Rakyat Tingkat Nasional (juga dalam rangka peringatan Harkitnas ke-101 tahun), pada 29 Mei sampai 3 Juni 2009, di GOR Ken Arok, Malang, tampaknya perlu juga dicatat sebagai bentuk usaha pengembangan kebudayaan yang terus digali dan dilestarikan. Pada acara 29 Mei 2009 itu digelar dialog bertajuk “Pengembangan, Pemberdayaan, dan Pelestarian Seni Budaya Tradisional”, yang menghadirkan James Pardede (Direktur Depkominfo) dan Dirut RRI, Parni Hadi. James mengatakan bahwa Indonesia harus menjadi bangsa yang maju dengan teknologi informasi namun hal itu musti dilakukan tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya asli. Setali tiga uang, Parni berpendapat ada lima pilar untuk memajukan budaya Indonesia, yakni negara atau pemerintah yang memfasilitasi, seniman atau budayawan yang berkreasi, publik yang memberi apresiasi, dunia usaha yang memberi kesempatan, dan media massa yang mempublikasi.

Bagaimanakah dengan kesenian Jombang? Jika kita membincangkan soal nasib kesenian Jombang ke depan, perlukah ada semacam “laboratorium kesenian Jombang” sebagai konsentrasi penggodokan untuk upaya pelacakan sejarah keseniannya yang bertumpu pada geografi kultural di mana para penggerak seni dan senimannya menyadari bahwa merekalah pengemban kebudayaan yang seyogyanya bertanggung jawab dan bersetia melestarikannya? Semisal dalam ranah perludrukan. Bagaimanakah eksistensi ludruk di Jombang dalam menghadapi kepungan seabrek hiburan lain di samping pencermatan atas bayangan “sepi dan dinginnya” apresian ludruk. Artinya, tantangan ludruk ini seperti “hantu gila tak diundang tapi nyata datang”, di mana problem baik di wilayah internal ludruk maupun di luarnya membutuhkan solusi yang mendesak untuk dielaborasi.

Gagasan “laboratorium kesenian” ini, meminjam istilah Halim HD, bukanlah sebentuk “frase mati” dari “kata benda”, tapi sebentang tindakan nyata dari “kata kerja”. Artinya, pada tingkat “locus” (atau geografis), bisa menempat atau bertempat pada suatu desa atau kampung yang memiliki tradisi yang kokoh dan berakar yang bisa dijadikan sebagai pusat “laboratorium kesenian” dan, di sanalah konservasi dan pengembangan aneka bentuk kesenian digerakkan. Modelnya bisa seperti mengadakan ajang forum diskusi dan meluaskan jaringan kerja kesenian yang terkait dengan wilayah sosial yang lain.

Gerakan demikian ini diperlukan supaya tercipta suatu jaringan kesenian dari tingkat desa, kecamatan, sampai kabupaten untuk mengatasi dan menyaring arus kebudayaan asing yang tanpa terasa bahwa industrialisasi makin mengikis dan meminggirkan kebudayaan lokal Jombang. “Anjangsana budaya Jombang” ini juga bisa menjadi penakar dan penimbang di mana seluruh aspek dan jenis kesenian dari yang tradisional hingga yang moderen dapat berkumpul untuk membahas dan merumuskan suatu gerakan kesenian dan kebudayaan yang berakar pada penggalian tradisi lokal. Melacak dan menghidupkan dan selanjutnya mengelaborasinya semisal pada sanggar-sanggar atau grup-grup kesenian tersebut akan sangat kondusif ke depannya sebagai wadah komunikasi dan dialektika yang diharapkan di dalamnya mampu terjalin secara kontinyu agar dapat “mendudah” (membongkar) semua persoalan di tingkat lokal.

Langkah kerja nyata semacam itu diharapkan sebagai wujud dari kebijakan politik dan kebijakan kultural yang menuntut sinergitas dari warga kesenian dan Pemda setempat. Jika dikaitkan dengan wacana “geografis kultural Jombang”, maksudnya, pentingkah kesadaran berkebudayaan bagi warga Jombang jika dibayangkan itu ada dan berakar kuat? Apakah warga Jombang memerlukan itu sebagai pengerek dan penumbuh wacana atas berbagai hal yang terkait dengan watak dan identitas “manusia Jombang”? Barangkali ini berhubungan dengan adakah sejarah Kabupaten Jombang dianggap penting sebagai suatu “tetenger” bahwa mustahil “tlatah” Jombang lahir dari “sejarah yang kosong”. Atau sebaliknya, apa pun yang terkait dan yang pernah dimiliki Jombang: tak lain hanyalah omong kosong belaka.

Tentu, jika ini perlu dan menjadi bagian dari rasa memiliki warganya atas keberadaan kotanya, maka hal itu akan menjadi tanggung jawab bersama. Diadakannya semacam “Festival Kebudayaan Jombang”, atau yang lebih spesifik digelarnya semacam event seperti festival ludruk: berupa festival kidungan, festival tari remo, festival lawak ludruk, dan lain-lain. Kesemuanya itu tentu harus berpijak pada adanya perspektif yang jelas dan terencana untuk membentuk suatu rasa kebersamaan yang dilandaskan atas keprihatinan dan rasa syukur dari warga sebagai pemilik sah warisan seni budaya mereka. Bagi Ashadi Siregar, seorang budayawan dari Yogya, dalam tulisannya “Negara Berkebudayaan” (Kompas, 15 September 2004), menyebutkan bahwa: “Kebudayaan memang praktik warga sehari-hari. Namun, peranan penyelenggara negara sangat penting mengingat proses menyiapkan warga agar dapat berpraktik budaya (berbudaya) merupakan tugas utama negara. Makna kebudayaan yang pada hakikatnya mengandung nilai positif bagi kehidupan dikembangkan dalam tiga dimensi, yaitu keilmuan, etika, dan estetika. Dimensi keilmuan dilihat dari capaian-capaian pengetahuan dan teknologi, etika dengan penghayatan kebaikan universal dan multikultural dalam kehidupan nasional, serta estetika dengan apresiasi keindahan yang meningkatkan harkat kehidupan.”

Jika sekian hal tersebut dimafhumi lalu dimatangkan bersama, maka rumusan dan kajian tentang nilai-nilai “ke-Jombang-an” dan kesejarahannya dalam kaitannya dengan kehidupan kebudayaan, agama, filsafat, tradisi, dan karakter kebangsaan dan kenegaraan yang berporos pada karakter ke-Indonesia-an di masa mendatang diharapkan dapat terealisasikan.

Tentu, pencermatan atas sejumlah pokok gagasan dari beberapa perspektif di atas, perlu diuji dengan pertimbangan yang didasarkan dari aspek-aspek keilmuan dan bagaimana menarik simpul-simpul dari nilai-nilai etik-moral serta dari warisan tradisi Jombang. Dengan begitu, setiap individu, komunitas, LSM, maupun lembaga pemerintah, dapat bergerak secara bersama dan berkesinambungan demi tujuan tersebut. Semisal adanya Pusat Kajian Kebudayaan Jombang (PKKJ) sebagai radar-suar segala informasi terkait warisan tradisi apa saja yang dimiliki Jombang. Awalnya, lembaga ini boleh jadi tak bermanfaat apa-apa, ketika memang tak ada atau tak tahu bahan apa yang musti dikerjakan serta seberapa tangguh SDM pendukungnya.

Hanya pada keringat, pada ikhtiar penggalian pengalaman dari yang silam dan yang kini, lantas mematangkan gagasan-gagasan baru ke dalam suatu rencana kerja berkesenian dan berkebudayaan yang visioner. Bersedia mendengarkan. Bersikap terbuka. Dan tidak cuma cangkrukan di kantor tapi ngobrol bareng dengan siapa saja dan di mana saja. Pentingnya pertemuan antar seniman, peran nyata Dekajo (Dewan Kesenian Jombang), aparatur pemerintah, dan pegiat kesenian akan menjadi “spirit keguyuban” untuk melahirkan pemikiran-pemikiran baru dalam berkebudayaan yang progresif. Sebab semua perubahan tidak mletek begitu saja dari bumi dan dari sepetil mimpi.

—–
* Fahrudin Nasrulloh, koordinator Tim Pelestari dan Perlindungan Seni-Budaya Jombang.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae