Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/
Ketika pertama kali datang di kota ini. Adalah rasa cemas yang saya rasakan. Sebab baru pertama kali. Hanya nomer telphon milik tetangga yang sudah lama tinggal di Malang sebagai bekal di mana nantinya saya singgah pertama. Di terminal sehabis turun dari bis. Saya mencari warung telphon. Akhirnya saya dapat alamat tempatnya di jalan MT. Hariyono.
Saya bertanya angkot apa yang harus saya naiki menuju jalan tersebut.
“Pak, ke MT. Hariyono itu naik len apa?” Pada penjual rokok saya bertanya.
“Naik angkot ADL, nanti bilang saja sama sopirnya” Jawabnya, sambil mengembalikan uang lebihan dari rokok yang saya beli.
Saya mencari angkot yang di maksud penjual rokok tadi. Dan ketemu. Tidak lama menunggu, angkot sudah penuh. Berangkatlah saya dengan penumpang lainnya menuju tujuan masing-masing mengunakan angkot biru bertitel ADL.
“MT. Haryono… MT. Haryono”
supir memberi isyarat. Bahwa akan sampai pada jalan MT. Haryono. Saya pun bilang
“MT. Haryono. pak”.
“MT. Haryono, sebelah mana dek”
tanya supir angkot pada saya. Bingung dan agak resah dalam hati saya
“Hem.. mana ya?”.
Saya melihat ke kanan dan ke kiri. Kebetulan saya naik di depan dekat sopir. Saya melihat wajah teman saya.
“Pak, berhenti. Kiri, Pak”.
Saya menyodorkan uang 1.000 rupiah pada supir angkot ADL.
Betapa bergembiranya saya, melihat teman sekampung berdiri menunggu.
“Ka’ Pek” dia menoleh.
“he.., Den”
sapanya. Kami berjabat tangan. Dia tanya kabar di rumah
“Bagaimana kabarnya, rumah Den”
“Alhamdulillah baik-baik saja. Seperti biasanya.”
Saya memberi tahu kabar padanya.
“Sampean lama tidak pulang ya Ka’”
Balik saya bertanya.
“Iya. Sibuk menyelesaikan TA, Den”
sambil kami jalan menuju kontrakan yang tidak jauh dari jalan raya.
***
Malam pertama di Malang. Sungguh dingin. Jalanan masih rimbun dengan pohon-pohon. gerimis kecil-kecil menambah ritmis suasana yang saya dapati.
“Kamu mau jalan-jalan ke mana, Den”
tanya temanku.
“Terserah, saya ikut saja”
mau jawab apalagi saya masih buta kota malang.
Saya di ajak jalan ke tempat tongkrongan banyak mahasiwa dan pemuda-pemudi di situ sedang bergerombol-gerombol sambil minum kopi. (Jl. Veteran) saya membaca papan nama jalan. Banyak sekali warung kopi lesehan. Kebetulan sekali, sebab saya punya hobi minum kopi. Tersalurkan juga akhirnya. Kita berdua duduk di lesehan warung kopi selatan jalan dari arah kampus ITN. sebelumnya saya di tunjukkan temanku letak kampus ITN selain itu calon kampus saya juga. Universitas Muhammkadiyah Malang kampus II. wah, senang sekali saya melihat Kota Pendidikan.
Malam telah menenggelamkan keasyikan saya dan teman saya meminum kopi. Kami pulang ke kontrakan. Mengistirahatkan tubuh yang lelah. Esoknya saya harus daftar ke Universitas Muhammadiyah Malang.
***
Pagi tiba, saya berangkat menuju kampus tiga Universitas Muhammadiyah Malang. Saya memilih jurusan yang di sarankan orang tua saya. Yakni Fakultas Ekonomi. Akhirnya sampai juga walau diawali dari pilihan yang sulit untuk menentukan harus memilih Universitas mana demi meneruskan studi sehabis masa SMA. Harapan saya sebenarnya masuk Universitas Negeri, tapi tidak lolos ujian seleksi UMPTN. Mau tidak mau saya harus kuliah (sebenarnya keinginan kuliah tidak ada kalau tidak masuk ke Universitas Negeri) karena orang tua menyuruh dan sedikit memaksa. Bahkan hendak dimasukkan jalur khusus di Universitas Negeri di Kota Malang juga. Tetapi saya tidak mau, karena mengeluarkan uang memberi sogokan pada orang dalam Universitas Negeri tersebut yang masih ada ikatan keluarga sama saya katanya Bapak saya. Dari pada melakukan cara yang begitu, menurut saya tidak baik. Tetapi tetap kuliah di Universitas Swasta.
Walaupun saya kuliah di Universitas Swasta tetap saja orang tua saya memberikan aturan dan sedikit memaksa.
Fakultas yang harus saya masuki! Jurusan yang saya pilih!. Pilihan itu adalah Fakultas yang memberi jalan ketika lulus akan kerja di dunia bisnis. Hal itu mungkin karena kebanyakan keluargaku pedadang atau orang tuaku punya maksud lain. Saya tidak pernah ambil peduli. Menghargai keinginan orang tua itu saja yang saya lakukan.
Itulah kenapa saya pilih Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen. Pada akhirnya saya tes masuk dan diterima. Saya hanya kuliah pulang nongkrong dengan teman-teman kuliah. Tak ada hal yang berarti yang saya lakukan. Terkadang juga malas kuliah pergi ke warung kopi dan nongkrong ngobrol tidak jelas. Saya pikir tidak ada manfaatnya hanya sekedar solidaritas sama teman.
***
Pada Tahun 2003, saya serasa bangun dari tidur panjang. Selama hampir 2 tahun ½ saya kuliah di Fakultas Ekonomi Muhammadiyah Malang dan berada di Malang. Baru pertama kali ruang kesadaran saya di bongkar dan di aduk-aduk oleh sebuah diskusi yang tak sengaja saya hadiri. Malam pukul 20.00 WIB kampus kuliahku sudah pindah. Awalnya di kampus II jalan Bendungan Sutami kini berada di Kampus III jalan Tlogo Mas. Kebiasaan nongkrong di warung kopi tak bisa hilangkan. Kali ini tempat ngopi saya berbeda dengan biasanya. Saya ngopi di warung yang berada di atas sungai di Jalan Tirto Utomo. Nama pemiliknya adalah Pak So dan memiliki Istri Mak Sum. Segerombolan Mahasiswa sedang khusuk berdiskusi. Saya mendekat, samar-samar terdengar bincang mereka tentang pembangunan di Kota Malang yang tidak mempertimbangkan Tata Letak Kota. Saya tak paham sama sekali yang mereka bicarakan. Selama ini kalau ke warung kopi dengan teman-teman-teman yang saya bincangkan kalau tidak masalah perempuan ya soal hobi-hobi bersepeda dan musik. Dan untuk menjaga solidaritas pertemanan. Ini lain dari biasanya.
Saya mendengar dengan serius. Seorang pemuda berbadan agak gelap dengan tegas mengutarakan pendapatnya
“Apa yang terjadi ini karena ada relasi simbolis antara penguasa politik dan penguasa modal. Hal ini susah untuk dibongkar. Kalau tidak dengan gelombang massa yang banyak seperti tahun 1998 saat lahirnya reformasi”.
Pemuda itu aku kenal dengan nama Huda. Di sampingnya Huda, wajahnya keriput dan badannya kurus seperti orang kurang makan, sedikit terbata-bata membagi pendapatnya
“Mau… tidak… mau, kita harus berdemontrasi. Ee… paling tidak kita kabarkan pada masyarakat bahwa.. ee.. ada.. maslah di kota Ini”
sehabis itu dia senyum sebab teman yang lain memunculkan tawa entah kenapa?. Pemuda satu ini aku kenal dengan Doni. Semakin malam semakin serius apa yang mereka bicarakan.
Saya tak beranjak sama sekali. Sehabis mereka berdialog saya di salami oleh mereka. Dan tak berajak pulang. Kami berkenalan. Tertinggal Huda dan Doni yang tak pulang. Nama itu saya dengar dari kawan mereka memanggilnya. Walau setelahnya mereka berkenalan dengan saya.
“Hai, Den. Kamu dengar apa yang kami bicarakan tadi” tanya Doni.
“Dengar, Don” Jawab saya, penasaran juga kenapa Doni tanya begitu.
“Nah, Menurutmu gimana?” sedikit matanya mendelik.
“Eh..eh.. ya nggak apa-apa. Kan tidak salah ada Mall berdiri, dengan begitu mebuka lapangan pekerjaan”
Saya sering mendengar bahwa tiap kali ada lapangan pekerjaan maka akan memudahkan orang-orang mencari kerja. Dari dosen tiap kali saya kuliah pemasaran dan pengatar bisnis. Maka jawaban itu muncul begitu saja.
“Ok, begini. Bagaimana menurutmu jika Mall didirikan di sembarangan tempat. Tanpa memperdulikan tata letaknya. Harusny tempat tersebut adalah lahan serapan air dan dekat dengan sekolah-sekolah?” tanya Huda pada saya.
Saya berfikir dan mengait-ngaitkan.
“Ok, kalau di kaitkan dengan tanah serapan saya setuju itu tidak bagus. Tapi kalau berkaitan dengan sekolah, apa salahnya?”
saya sedikit menegang. Karena baru pertama kali berdiskusi persoalan hal seperti ini.
Huda memberi penegasan sambil menghisap rokoknya
“Kalau, anak-anak usai sekolah sudah dihadapkan dengan hal yang menuyulut budaya konsumerisme atau hanya bergaya saja. Bagaimana nasib generasi bangsa ini nantinya”
Saya tak paham sama sekali apa yang menjadi pertanyaan Huda. Dalam hatiku berkata
“Hem, saya harus menjawab apa ini”
Di sela-sela perenunganku dan otakku berfikir atas pertanyaan Huda. Huda menyela
“Baik, santai saja Den. Tidak bisa kau jawab sekarang juga tidak masalah”
Begitu rayunya padaku sambil berkelakar.
“Begitu saja sudah mengerutkan dahi. Ayo, pulang”
Sambil mengajak saya dan Doni Pulang.
“Pertemuan yang berkesan, Hud, Don. Saya pengen belajar banyak pada kalian”
Sambil membayar ke Mak Sum, karena Pak So ketiduran.
Saya menurunkan kaki dahulu untuk keluar dari warung kopi Pak So
“Sampai ketemu lagi” Sapa saya pada mereka.
***
Sejak pertemuan dengan Doni dan Huda, saya sering berdiskusi sama mereka. Saya bergabung dengan organisasi mereka Forum Mahasiswa Anti Penindasan (FORMAP). Kami pun sering berdemontrasi bergabung dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kemasyakatan lainnya. Hendak menyuarakan segala resah tentang ketidak adilan yang melanda Bangsa Indonesia ataupun Kota Malang.
Kami melakukan aksi protes atas berdirinya Malang Tonw Quer (MATOS). Kami dengan kelompok mahasiswa yang tergabung menolak pendirian dihadapkan dengan masyarakat yang demontrasi. Mereka mendukung berdirinya matos, sebab mereka mengaku warga Malang sendiri sedang kami dikatakan pendatang.
Memang iya, kami kebanyakan Mahasiswa dan datang ke Malang untuk kuliah. Tetapi mahasiswa yang kami tahu adalah kelas menengah yang menjembatani antara kaum elit atau kelas atas dengan kelas bawah. Sehingga bagi kami penyuaraan atas ketertindasan adalah perjuangan.
“Hai, mahasiswa bisanya cuma omong saja. Tiap malam dugem, mabuk dan main perempuan. Moralmu sendiri urusi jangan ikut campur urusan kota Malang. Kami tahu apa yang pemerintah kami lakukan.”
Dari sebrang barisan polisi yang memisahkan kami suara itu terlontar. Polisi hanya diam. Malahan menyuruh kami untuk bubar. Kepala teman kami ada yang di pukul oleh salah satu polisi. Batu-batu dari arah dapan kami menhujani kami. Tak pelak, kami harus membubarkan diri. Dan beberapa polisi serta orang berpakaian preman mengancam kami “Jangan lagi demo, dari pada hidup kalian tidak tenang. Lebih baik kalian belajar dan kuliah yang benar saja” Dia bicara pada kawan saya yang menjadi komando lapangan pada waktu itu. Dan saya mendengar sebab saya berada di sampingnya. Kami pun akhirnya bubar.
Sehabis itu tidak ada lagi demo. Kami semua sepertinya takut. Dalam hati saya berkecamuk “Apakah ketakutan ini akan berlama-lama tinggal dalam diri kami masing. Sampai kapan” sambil merebahkan tubuhku di kamar kostku dengan ukuran 2 ½ meter x 3 meter. Dengan tumpukan baju-baju yang belum saya cuci. Tepatnya di Jalan Tirto Utomo.
***
Kira-kira lima tahun saya meninggalkan Malang untuk mengaduh nasib di Jakarta. Kini kembali menginjakkan kaki lagi di Malang sebab ada urusan Bisnis dengan kawanan perusahaan di Malang. Saya turun dari di tempat awal sekali kaki saya turun dari angkot ADL. Saya baru menyadari ternyata jalannya sudah berubah. Saya hanya tinggal di daerah MT. Haryono Cuma kurang dari setahun. Warnet yang dulu sering saya kunjungi telah berganti dengan toko baju. Banyak berdiri rumah-rumah toko di sepanjang jalan yang saya lewati. Jalan masuk ke kontrakanku pertama kali sudah berubah. Lalu saya mengingat kembali jalan yang saya gunakan untuk berangkat ke kampus II universitas Muhammadiyah Malang. Saya berjalan masuk di Kampus Brawijaya sampai di Jalan veteran. Memandang bangunan MATOS dan mengingat malam pertama minum kopi di Jalan tersebut. Kini telah hilang. Saya melanjutkan berjalan sampai ke belakang MATOS dulu ada rumah bangunan Belanda yang punya paling ngeyel agar tidak di gusur. Tapi juga sudah hilang. Bangunan MATOS berdiri meninggi melebar dan juga di sekitarnya berdiri pertokoan dan perkantoran. Anak-anak berseragam abu-abu berlarian mengejar temannya yang sudah di depan. Saya jadi ingat diskusi di tempat Pak So dengan Huda. Saya berjalan ke timur sedikit memandang Taman Makan Pahlawan. Masih tetap ada. Dalam hatiku, “mungkin saja esok Taman Makan Pahlawan ini akan hilang berganti dengan banguna apa lagi. Semoga saja tidak.” Saya menyebarang jalan menstop angkot AL menaikinya. Banyak yang berubah. Sampai di terminal Landungsari. Saya berjalan lewat jalan sawah yang di pinggirnya ada kali. Saya kaget. Warung Pak So telah rata dan nampak geladaknya saja menutup kali yang menjadi lantai. Saya pandang ke kanan kiri. Ada warung kopi berdiri di pojok sebelah gapura jalan masuk jalan Tirto. Dalam batin saya berkata
“Mungkin saja pak So kalah saingan dengan warung-warung yang menawarkan layanan tambahan lainnya”.
Saya terus berjalan ingin mengetahui bagaimana suasana di depan kampus Universitas Muhammadiyah Malang kampus tiga. Kaki baru satu langkah dari belakang memanggil sambil naik motor
“Mas, Denny”.
Saya berhenti. Saya kenal sekali suara itu. Perempuan yang pernah saya taksir tapi dia sudah punya kekasih. Ah, saya kok jadi dek-dek’an.
“Nita, apakabarmu?”
“Baik, Mas”.
“Ada titipan buat Mas. Dari teman Mas, yang kemarin meninggal dunia. Sehabis sidang class action menggugat tanah yang akan di jadikan pertokoan di rumahnya. Katanya sih ada yang menusuk dari belakang. Saat dia pergi sholat ke masjid subuh dekat rumahnya.”
Ahmad nama kawan saya itu. Dia rumahnya di Singosari. Dua bulan yang lalu dia menelpon saya. Sedang membantu warga desa untuk memperjuangan tanah desa yang dijual kepala desanya pada anggota dewan dan punya sudara militer.
“Ahmad”
saya lesu seketika.
“Nit, bisa antarkan saya ke makamnya.
“Iya mas, rumah saya juga dekat sama mas Ahmad. Kita naik motor saja mas.”
Saya jadi dek-dek’an diajak naik motor dan membonceng Nita menuju makamnya Ahmad. Tidak pernah ini terjadi. Dari dulu saat pertama berkenalan dengan Nita. Ia tak mau saya bonceng naik motor. Apa gara-gara kondisi ini ya. Di jalan sambil mengendarai sepeda hatiku bertanya-tanya. Saya beranikan bertaya juga pada Nita
“Kamu sudah nikah Nit?”.
“Belum mas. Masih belom ada calon”
Saya mau bertanya apalagi, jadi bingung. Apa saya punya peluang untuk menjadi pendampingnya.
“Apakah saya diterima kalau saya mau jadi calonnya”.
Motor berhenti mendadak. Saya dipukul Nita.
“Ah, mas ada-ada saja”.
“Saya serius Nit”
“Beneran tah mas”.
“Nanti habis dari makam Ahmad, saya mampir kerumahmu.”
Motor saya jalankan lagi hingga sampai pada makam Ahmad. Masih baru gundukan tanahnya. Harum baunya.
Saya berdo’a di atas nisannya. Nita menyodorkan kertas yang dilipat persegi empat.
Saya mebukanya:
“Den, dulu ketika saya kecil dan masih sekolah di sekolah dasar saya sering di ajarkan menyanyi oleh Papak dan Ibu Guru saya. Saya sekolah di Kota Malang waktu itu. Sebab Bapakku kerjanya di pasar besar Malang. jadi sekalian berangkat juga membawa saya untuk di antar kesekolah. Begini bunyinya sair dari lagu itu:
Betapa indah gemilang kota malang
kota di datar tinggi sejuk menawan hati
yang Brantas melintas berliku, yang tepi dilindung gunung
penuh pemandangan indah, malang kota berkah
Ya Malang kota harapan setiap insan
lihat gedung sekolahnya, lihat industrinya
dan disana penuh tamasya pri sehat jiwa dan raga
marilah kawan bersyukur, malang kota makmur
Saya suka sekali Den. Tapi Saya tidak merasakan itu lagi di Kota Malang.
Oh, ya Den. Malang akan terus membangun. Pasti ke-asrian Kotanya lama-lama akan menghilang. Saya seperti anak yang hilang kalau main ke Kota Malang. Semuanya sekarang dapat di beli dengan uang. Batu-batu di Kota asalmu juga pasti akan habis di kuras di bawah ke kota-kota untuk pembanguan. Hutan-hutan di batu juga esok akan jadi perumahan, hotel-hotel. Lalu apa yang bisa kita lakukan Den. Mungkin juga kerjamu di jakarta mengeruk keringat buruh-buruh dengan gaji yang tak sepadan. Kembali saja ke Malang Den. Saya punya lahan untuk kita tanami pohon-ponan sambil kita dirikan warung kopi. Kita buat suasana sealami mungkin. Kita undang kawan-kawan kita untuk diskusi. Pasti kamu suka. Sebab itukan keinginanmu dulu.
Den, sepertinya hidup itu singkat. Kau masih hapalkan puisi Chairil Anwar (sekali berarti sesudah itu mati).”
Saya meneteskan air mata membaca itu.
“Mas, Den. Itu tadi sebenarnya mau saya poskan. Ternyata sampean datang ke Malang. ya, nggak jadi”.
“Nit, muliah sekali cita-cita Ahmad. Saya jadi malu.” Saya memandang Nita. Wajahnya tidak berubah.
“Nit, ayo kerumahmu”
Kita keluar dari komplek makam. Menuju rumah Nita. Tidak jauh dari makam. Kita sampai. Di depan ada mobil berplat merah.
“Nit, dari mana saja kamu?. Ini ada Mas Feri. Dia nunggu dari tadi”
Sepertinya Bapaknya Nita.
“Iya Pak, ini kenalkan teman saya”
Nita mengenalkan saya pada Bapaknya.
“Denny, Pak. Temanya Nita” Sedikit kikuk.
Lalu saya berkenalan juga dengan laki-laki berkemeja dan rapi. Sepertinya dia pemilik mobil berplat merah di depan tadi.
“Nit, ini Mas Feri. Dia anggota DPR termudah loh. Juga pengusaha, kamu tadi kan lihat tanah kosong yang kemarin di demo sama warga. Dia yang beli ternyata. Mau mendirikan toko disitu.”
Rasa geramku muncul. Orang ini pasti akan di jodohkan dengan Nita. Tidak hanya cemburu tapi saya lebih geram mendengar penjelasan Bapak Nita siapa dia. Pasti ada kaitannya dengan pembunuhan Ahmad. Tapi apa daya. Ini rumah orang. Baru sekali kesini saya tak bisa berbuat apa-apa hanya diam.
“Nit, Nak Feri ini ingin melamarmu loh, Nak Feri berutang budi sama bapak. Ketika pemilihan kemarin. Bapak membantunya, akhirnya Nak Feri terpilih”
Saya menjadi tidak kuat. Lalu pamit.
“Nit, Saya mau balik ke Malang dulu. Masih ada urusan”
Nita tahu seperti apa yang saya rasakan. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Tak berani membantah Bapaknya.
“Kok, cepat Mas?”
Tanpa saya jawab. Lansung saya menyalami semua yang ada di ruang tamu. Dan melangkah keluar. Nita mengikuti lankah saya.
“Mas, minta ma’af. Sampean mau naik apa?”
“Saya ma’afkan Nit. Naik angkot saja”
“Hati-hati mas”
“Iya Nit”
Kaki saya lemas. Tak lekas balik ke Malang. Tadi hanya mencari alasan agar emosi tak menajam bisa jadi buat keributan. Kembali saya ke makam Ahmad.
“Mad, andai saja kamu masih ada. Pasti kita sudah berdiskusi dan berdebat. Soal cinta dan kisah-kisah pejuang dalam buku-buku sejarah yang tak perna tercatat di diktat pelajaran waktu kita seolah dulu”
Saya sandarkan kepala saya di kuburan Ahmad. Sambil mengenang saat bersamanya.
***
“Saya di mana ini?. Kenapa kepalaku?”
“Istirahat dulu Mas, jangan banyak bicara. Mas tadi saya lihat di kuburan Ahmad. Kepalamu berdarah banyak sekali. Sepetinya ada yang hendak melukaimu Mas.”
“Nita, kenapa kamu sampai tahu. Kalau saya nggak balik ke Malang langsung tapi ke kuburan Ahmad”
“saya sudah menduga mas. Pasti sampean marah pada saya atas kejadian di rumah. Dan tak akan langsung balik. Sudah mas, nggak usah bicara dulu. Nanti kalau sudah benar-benar pulih saja”
Tangan saya memegang tangan Nita. Serasa indah. Tak pernah terjadi sebelum-sebelumnya.
Tubuh saya melayang entah kemana. Ingtanku membias-bias ke kota Malang. Antara dulu dan sekarang.
Remang-remang saya mendengar lembut ditelingah
“Mas.. mas… Mas Denny… tapi lamat-lamat hilang.”
Entah saya sekarang di mana. Saya terbang seperti kapas.
Bertemu Ahmad. Dia sedang membangun rumah di kebun yang indah.
Malang, Juli 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar