Rabu, 04 Agustus 2010

Batu-Batu di Mana-Mana

Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/

Ketika pertama kali datang di kota ini. Adalah rasa cemas yang saya rasakan. Sebab baru pertama kali. Hanya nomer telphon milik tetangga yang sudah lama tinggal di Malang sebagai bekal di mana nantinya saya singgah pertama. Di terminal sehabis turun dari bis. Saya mencari warung telphon. Akhirnya saya dapat alamat tempatnya di jalan MT. Hariyono.

Saya bertanya angkot apa yang harus saya naiki menuju jalan tersebut.

“Pak, ke MT. Hariyono itu naik len apa?” Pada penjual rokok saya bertanya.

“Naik angkot ADL, nanti bilang saja sama sopirnya” Jawabnya, sambil mengembalikan uang lebihan dari rokok yang saya beli.

Saya mencari angkot yang di maksud penjual rokok tadi. Dan ketemu. Tidak lama menunggu, angkot sudah penuh. Berangkatlah saya dengan penumpang lainnya menuju tujuan masing-masing mengunakan angkot biru bertitel ADL.

“MT. Haryono… MT. Haryono”
supir memberi isyarat. Bahwa akan sampai pada jalan MT. Haryono. Saya pun bilang

“MT. Haryono. pak”.

“MT. Haryono, sebelah mana dek”
tanya supir angkot pada saya. Bingung dan agak resah dalam hati saya

“Hem.. mana ya?”.
Saya melihat ke kanan dan ke kiri. Kebetulan saya naik di depan dekat sopir. Saya melihat wajah teman saya.

“Pak, berhenti. Kiri, Pak”.
Saya menyodorkan uang 1.000 rupiah pada supir angkot ADL.

Betapa bergembiranya saya, melihat teman sekampung berdiri menunggu.

“Ka’ Pek” dia menoleh.

“he.., Den”
sapanya. Kami berjabat tangan. Dia tanya kabar di rumah

“Bagaimana kabarnya, rumah Den”

“Alhamdulillah baik-baik saja. Seperti biasanya.”
Saya memberi tahu kabar padanya.

“Sampean lama tidak pulang ya Ka’”
Balik saya bertanya.

“Iya. Sibuk menyelesaikan TA, Den”
sambil kami jalan menuju kontrakan yang tidak jauh dari jalan raya.

***

Malam pertama di Malang. Sungguh dingin. Jalanan masih rimbun dengan pohon-pohon. gerimis kecil-kecil menambah ritmis suasana yang saya dapati.

“Kamu mau jalan-jalan ke mana, Den”
tanya temanku.

“Terserah, saya ikut saja”
mau jawab apalagi saya masih buta kota malang.

Saya di ajak jalan ke tempat tongkrongan banyak mahasiwa dan pemuda-pemudi di situ sedang bergerombol-gerombol sambil minum kopi. (Jl. Veteran) saya membaca papan nama jalan. Banyak sekali warung kopi lesehan. Kebetulan sekali, sebab saya punya hobi minum kopi. Tersalurkan juga akhirnya. Kita berdua duduk di lesehan warung kopi selatan jalan dari arah kampus ITN. sebelumnya saya di tunjukkan temanku letak kampus ITN selain itu calon kampus saya juga. Universitas Muhammkadiyah Malang kampus II. wah, senang sekali saya melihat Kota Pendidikan.

Malam telah menenggelamkan keasyikan saya dan teman saya meminum kopi. Kami pulang ke kontrakan. Mengistirahatkan tubuh yang lelah. Esoknya saya harus daftar ke Universitas Muhammadiyah Malang.

***

Pagi tiba, saya berangkat menuju kampus tiga Universitas Muhammadiyah Malang. Saya memilih jurusan yang di sarankan orang tua saya. Yakni Fakultas Ekonomi. Akhirnya sampai juga walau diawali dari pilihan yang sulit untuk menentukan harus memilih Universitas mana demi meneruskan studi sehabis masa SMA. Harapan saya sebenarnya masuk Universitas Negeri, tapi tidak lolos ujian seleksi UMPTN. Mau tidak mau saya harus kuliah (sebenarnya keinginan kuliah tidak ada kalau tidak masuk ke Universitas Negeri) karena orang tua menyuruh dan sedikit memaksa. Bahkan hendak dimasukkan jalur khusus di Universitas Negeri di Kota Malang juga. Tetapi saya tidak mau, karena mengeluarkan uang memberi sogokan pada orang dalam Universitas Negeri tersebut yang masih ada ikatan keluarga sama saya katanya Bapak saya. Dari pada melakukan cara yang begitu, menurut saya tidak baik. Tetapi tetap kuliah di Universitas Swasta.

Walaupun saya kuliah di Universitas Swasta tetap saja orang tua saya memberikan aturan dan sedikit memaksa.

Fakultas yang harus saya masuki! Jurusan yang saya pilih!. Pilihan itu adalah Fakultas yang memberi jalan ketika lulus akan kerja di dunia bisnis. Hal itu mungkin karena kebanyakan keluargaku pedadang atau orang tuaku punya maksud lain. Saya tidak pernah ambil peduli. Menghargai keinginan orang tua itu saja yang saya lakukan.

Itulah kenapa saya pilih Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen. Pada akhirnya saya tes masuk dan diterima. Saya hanya kuliah pulang nongkrong dengan teman-teman kuliah. Tak ada hal yang berarti yang saya lakukan. Terkadang juga malas kuliah pergi ke warung kopi dan nongkrong ngobrol tidak jelas. Saya pikir tidak ada manfaatnya hanya sekedar solidaritas sama teman.

***

Pada Tahun 2003, saya serasa bangun dari tidur panjang. Selama hampir 2 tahun ½ saya kuliah di Fakultas Ekonomi Muhammadiyah Malang dan berada di Malang. Baru pertama kali ruang kesadaran saya di bongkar dan di aduk-aduk oleh sebuah diskusi yang tak sengaja saya hadiri. Malam pukul 20.00 WIB kampus kuliahku sudah pindah. Awalnya di kampus II jalan Bendungan Sutami kini berada di Kampus III jalan Tlogo Mas. Kebiasaan nongkrong di warung kopi tak bisa hilangkan. Kali ini tempat ngopi saya berbeda dengan biasanya. Saya ngopi di warung yang berada di atas sungai di Jalan Tirto Utomo. Nama pemiliknya adalah Pak So dan memiliki Istri Mak Sum. Segerombolan Mahasiswa sedang khusuk berdiskusi. Saya mendekat, samar-samar terdengar bincang mereka tentang pembangunan di Kota Malang yang tidak mempertimbangkan Tata Letak Kota. Saya tak paham sama sekali yang mereka bicarakan. Selama ini kalau ke warung kopi dengan teman-teman-teman yang saya bincangkan kalau tidak masalah perempuan ya soal hobi-hobi bersepeda dan musik. Dan untuk menjaga solidaritas pertemanan. Ini lain dari biasanya.

Saya mendengar dengan serius. Seorang pemuda berbadan agak gelap dengan tegas mengutarakan pendapatnya

“Apa yang terjadi ini karena ada relasi simbolis antara penguasa politik dan penguasa modal. Hal ini susah untuk dibongkar. Kalau tidak dengan gelombang massa yang banyak seperti tahun 1998 saat lahirnya reformasi”.

Pemuda itu aku kenal dengan nama Huda. Di sampingnya Huda, wajahnya keriput dan badannya kurus seperti orang kurang makan, sedikit terbata-bata membagi pendapatnya

“Mau… tidak… mau, kita harus berdemontrasi. Ee… paling tidak kita kabarkan pada masyarakat bahwa.. ee.. ada.. maslah di kota Ini”

sehabis itu dia senyum sebab teman yang lain memunculkan tawa entah kenapa?. Pemuda satu ini aku kenal dengan Doni. Semakin malam semakin serius apa yang mereka bicarakan.
Saya tak beranjak sama sekali. Sehabis mereka berdialog saya di salami oleh mereka. Dan tak berajak pulang. Kami berkenalan. Tertinggal Huda dan Doni yang tak pulang. Nama itu saya dengar dari kawan mereka memanggilnya. Walau setelahnya mereka berkenalan dengan saya.

“Hai, Den. Kamu dengar apa yang kami bicarakan tadi” tanya Doni.

“Dengar, Don” Jawab saya, penasaran juga kenapa Doni tanya begitu.

“Nah, Menurutmu gimana?” sedikit matanya mendelik.

“Eh..eh.. ya nggak apa-apa. Kan tidak salah ada Mall berdiri, dengan begitu mebuka lapangan pekerjaan”

Saya sering mendengar bahwa tiap kali ada lapangan pekerjaan maka akan memudahkan orang-orang mencari kerja. Dari dosen tiap kali saya kuliah pemasaran dan pengatar bisnis. Maka jawaban itu muncul begitu saja.

“Ok, begini. Bagaimana menurutmu jika Mall didirikan di sembarangan tempat. Tanpa memperdulikan tata letaknya. Harusny tempat tersebut adalah lahan serapan air dan dekat dengan sekolah-sekolah?” tanya Huda pada saya.

Saya berfikir dan mengait-ngaitkan.
“Ok, kalau di kaitkan dengan tanah serapan saya setuju itu tidak bagus. Tapi kalau berkaitan dengan sekolah, apa salahnya?”
saya sedikit menegang. Karena baru pertama kali berdiskusi persoalan hal seperti ini.

Huda memberi penegasan sambil menghisap rokoknya
“Kalau, anak-anak usai sekolah sudah dihadapkan dengan hal yang menuyulut budaya konsumerisme atau hanya bergaya saja. Bagaimana nasib generasi bangsa ini nantinya”

Saya tak paham sama sekali apa yang menjadi pertanyaan Huda. Dalam hatiku berkata
“Hem, saya harus menjawab apa ini”

Di sela-sela perenunganku dan otakku berfikir atas pertanyaan Huda. Huda menyela
“Baik, santai saja Den. Tidak bisa kau jawab sekarang juga tidak masalah”
Begitu rayunya padaku sambil berkelakar.

“Begitu saja sudah mengerutkan dahi. Ayo, pulang”
Sambil mengajak saya dan Doni Pulang.
“Pertemuan yang berkesan, Hud, Don. Saya pengen belajar banyak pada kalian”
Sambil membayar ke Mak Sum, karena Pak So ketiduran.
Saya menurunkan kaki dahulu untuk keluar dari warung kopi Pak So
“Sampai ketemu lagi” Sapa saya pada mereka.

***

Sejak pertemuan dengan Doni dan Huda, saya sering berdiskusi sama mereka. Saya bergabung dengan organisasi mereka Forum Mahasiswa Anti Penindasan (FORMAP). Kami pun sering berdemontrasi bergabung dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kemasyakatan lainnya. Hendak menyuarakan segala resah tentang ketidak adilan yang melanda Bangsa Indonesia ataupun Kota Malang.

Kami melakukan aksi protes atas berdirinya Malang Tonw Quer (MATOS). Kami dengan kelompok mahasiswa yang tergabung menolak pendirian dihadapkan dengan masyarakat yang demontrasi. Mereka mendukung berdirinya matos, sebab mereka mengaku warga Malang sendiri sedang kami dikatakan pendatang.

Memang iya, kami kebanyakan Mahasiswa dan datang ke Malang untuk kuliah. Tetapi mahasiswa yang kami tahu adalah kelas menengah yang menjembatani antara kaum elit atau kelas atas dengan kelas bawah. Sehingga bagi kami penyuaraan atas ketertindasan adalah perjuangan.

“Hai, mahasiswa bisanya cuma omong saja. Tiap malam dugem, mabuk dan main perempuan. Moralmu sendiri urusi jangan ikut campur urusan kota Malang. Kami tahu apa yang pemerintah kami lakukan.”

Dari sebrang barisan polisi yang memisahkan kami suara itu terlontar. Polisi hanya diam. Malahan menyuruh kami untuk bubar. Kepala teman kami ada yang di pukul oleh salah satu polisi. Batu-batu dari arah dapan kami menhujani kami. Tak pelak, kami harus membubarkan diri. Dan beberapa polisi serta orang berpakaian preman mengancam kami “Jangan lagi demo, dari pada hidup kalian tidak tenang. Lebih baik kalian belajar dan kuliah yang benar saja” Dia bicara pada kawan saya yang menjadi komando lapangan pada waktu itu. Dan saya mendengar sebab saya berada di sampingnya. Kami pun akhirnya bubar.

Sehabis itu tidak ada lagi demo. Kami semua sepertinya takut. Dalam hati saya berkecamuk “Apakah ketakutan ini akan berlama-lama tinggal dalam diri kami masing. Sampai kapan” sambil merebahkan tubuhku di kamar kostku dengan ukuran 2 ½ meter x 3 meter. Dengan tumpukan baju-baju yang belum saya cuci. Tepatnya di Jalan Tirto Utomo.

***

Kira-kira lima tahun saya meninggalkan Malang untuk mengaduh nasib di Jakarta. Kini kembali menginjakkan kaki lagi di Malang sebab ada urusan Bisnis dengan kawanan perusahaan di Malang. Saya turun dari di tempat awal sekali kaki saya turun dari angkot ADL. Saya baru menyadari ternyata jalannya sudah berubah. Saya hanya tinggal di daerah MT. Haryono Cuma kurang dari setahun. Warnet yang dulu sering saya kunjungi telah berganti dengan toko baju. Banyak berdiri rumah-rumah toko di sepanjang jalan yang saya lewati. Jalan masuk ke kontrakanku pertama kali sudah berubah. Lalu saya mengingat kembali jalan yang saya gunakan untuk berangkat ke kampus II universitas Muhammadiyah Malang. Saya berjalan masuk di Kampus Brawijaya sampai di Jalan veteran. Memandang bangunan MATOS dan mengingat malam pertama minum kopi di Jalan tersebut. Kini telah hilang. Saya melanjutkan berjalan sampai ke belakang MATOS dulu ada rumah bangunan Belanda yang punya paling ngeyel agar tidak di gusur. Tapi juga sudah hilang. Bangunan MATOS berdiri meninggi melebar dan juga di sekitarnya berdiri pertokoan dan perkantoran. Anak-anak berseragam abu-abu berlarian mengejar temannya yang sudah di depan. Saya jadi ingat diskusi di tempat Pak So dengan Huda. Saya berjalan ke timur sedikit memandang Taman Makan Pahlawan. Masih tetap ada. Dalam hatiku, “mungkin saja esok Taman Makan Pahlawan ini akan hilang berganti dengan banguna apa lagi. Semoga saja tidak.” Saya menyebarang jalan menstop angkot AL menaikinya. Banyak yang berubah. Sampai di terminal Landungsari. Saya berjalan lewat jalan sawah yang di pinggirnya ada kali. Saya kaget. Warung Pak So telah rata dan nampak geladaknya saja menutup kali yang menjadi lantai. Saya pandang ke kanan kiri. Ada warung kopi berdiri di pojok sebelah gapura jalan masuk jalan Tirto. Dalam batin saya berkata

“Mungkin saja pak So kalah saingan dengan warung-warung yang menawarkan layanan tambahan lainnya”.

Saya terus berjalan ingin mengetahui bagaimana suasana di depan kampus Universitas Muhammadiyah Malang kampus tiga. Kaki baru satu langkah dari belakang memanggil sambil naik motor

“Mas, Denny”.

Saya berhenti. Saya kenal sekali suara itu. Perempuan yang pernah saya taksir tapi dia sudah punya kekasih. Ah, saya kok jadi dek-dek’an.

“Nita, apakabarmu?”

“Baik, Mas”.

“Ada titipan buat Mas. Dari teman Mas, yang kemarin meninggal dunia. Sehabis sidang class action menggugat tanah yang akan di jadikan pertokoan di rumahnya. Katanya sih ada yang menusuk dari belakang. Saat dia pergi sholat ke masjid subuh dekat rumahnya.”

Ahmad nama kawan saya itu. Dia rumahnya di Singosari. Dua bulan yang lalu dia menelpon saya. Sedang membantu warga desa untuk memperjuangan tanah desa yang dijual kepala desanya pada anggota dewan dan punya sudara militer.

“Ahmad”
saya lesu seketika.

“Nit, bisa antarkan saya ke makamnya.

“Iya mas, rumah saya juga dekat sama mas Ahmad. Kita naik motor saja mas.”

Saya jadi dek-dek’an diajak naik motor dan membonceng Nita menuju makamnya Ahmad. Tidak pernah ini terjadi. Dari dulu saat pertama berkenalan dengan Nita. Ia tak mau saya bonceng naik motor. Apa gara-gara kondisi ini ya. Di jalan sambil mengendarai sepeda hatiku bertanya-tanya. Saya beranikan bertaya juga pada Nita

“Kamu sudah nikah Nit?”.

“Belum mas. Masih belom ada calon”
Saya mau bertanya apalagi, jadi bingung. Apa saya punya peluang untuk menjadi pendampingnya.

“Apakah saya diterima kalau saya mau jadi calonnya”.
Motor berhenti mendadak. Saya dipukul Nita.

“Ah, mas ada-ada saja”.

“Saya serius Nit”

“Beneran tah mas”.

“Nanti habis dari makam Ahmad, saya mampir kerumahmu.”
Motor saya jalankan lagi hingga sampai pada makam Ahmad. Masih baru gundukan tanahnya. Harum baunya.

Saya berdo’a di atas nisannya. Nita menyodorkan kertas yang dilipat persegi empat.
Saya mebukanya:

“Den, dulu ketika saya kecil dan masih sekolah di sekolah dasar saya sering di ajarkan menyanyi oleh Papak dan Ibu Guru saya. Saya sekolah di Kota Malang waktu itu. Sebab Bapakku kerjanya di pasar besar Malang. jadi sekalian berangkat juga membawa saya untuk di antar kesekolah. Begini bunyinya sair dari lagu itu:

Betapa indah gemilang kota malang
kota di datar tinggi sejuk menawan hati
yang Brantas melintas berliku, yang tepi dilindung gunung
penuh pemandangan indah, malang kota berkah

Ya Malang kota harapan setiap insan
lihat gedung sekolahnya, lihat industrinya
dan disana penuh tamasya pri sehat jiwa dan raga
marilah kawan bersyukur, malang kota makmur

Saya suka sekali Den. Tapi Saya tidak merasakan itu lagi di Kota Malang.
Oh, ya Den. Malang akan terus membangun. Pasti ke-asrian Kotanya lama-lama akan menghilang. Saya seperti anak yang hilang kalau main ke Kota Malang. Semuanya sekarang dapat di beli dengan uang. Batu-batu di Kota asalmu juga pasti akan habis di kuras di bawah ke kota-kota untuk pembanguan. Hutan-hutan di batu juga esok akan jadi perumahan, hotel-hotel. Lalu apa yang bisa kita lakukan Den. Mungkin juga kerjamu di jakarta mengeruk keringat buruh-buruh dengan gaji yang tak sepadan. Kembali saja ke Malang Den. Saya punya lahan untuk kita tanami pohon-ponan sambil kita dirikan warung kopi. Kita buat suasana sealami mungkin. Kita undang kawan-kawan kita untuk diskusi. Pasti kamu suka. Sebab itukan keinginanmu dulu.
Den, sepertinya hidup itu singkat. Kau masih hapalkan puisi Chairil Anwar (sekali berarti sesudah itu mati).”

Saya meneteskan air mata membaca itu.

“Mas, Den. Itu tadi sebenarnya mau saya poskan. Ternyata sampean datang ke Malang. ya, nggak jadi”.

“Nit, muliah sekali cita-cita Ahmad. Saya jadi malu.” Saya memandang Nita. Wajahnya tidak berubah.

“Nit, ayo kerumahmu”

Kita keluar dari komplek makam. Menuju rumah Nita. Tidak jauh dari makam. Kita sampai. Di depan ada mobil berplat merah.

“Nit, dari mana saja kamu?. Ini ada Mas Feri. Dia nunggu dari tadi”
Sepertinya Bapaknya Nita.

“Iya Pak, ini kenalkan teman saya”
Nita mengenalkan saya pada Bapaknya.

“Denny, Pak. Temanya Nita” Sedikit kikuk.
Lalu saya berkenalan juga dengan laki-laki berkemeja dan rapi. Sepertinya dia pemilik mobil berplat merah di depan tadi.

“Nit, ini Mas Feri. Dia anggota DPR termudah loh. Juga pengusaha, kamu tadi kan lihat tanah kosong yang kemarin di demo sama warga. Dia yang beli ternyata. Mau mendirikan toko disitu.”

Rasa geramku muncul. Orang ini pasti akan di jodohkan dengan Nita. Tidak hanya cemburu tapi saya lebih geram mendengar penjelasan Bapak Nita siapa dia. Pasti ada kaitannya dengan pembunuhan Ahmad. Tapi apa daya. Ini rumah orang. Baru sekali kesini saya tak bisa berbuat apa-apa hanya diam.

“Nit, Nak Feri ini ingin melamarmu loh, Nak Feri berutang budi sama bapak. Ketika pemilihan kemarin. Bapak membantunya, akhirnya Nak Feri terpilih”
Saya menjadi tidak kuat. Lalu pamit.

“Nit, Saya mau balik ke Malang dulu. Masih ada urusan”
Nita tahu seperti apa yang saya rasakan. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Tak berani membantah Bapaknya.

“Kok, cepat Mas?”
Tanpa saya jawab. Lansung saya menyalami semua yang ada di ruang tamu. Dan melangkah keluar. Nita mengikuti lankah saya.

“Mas, minta ma’af. Sampean mau naik apa?”

“Saya ma’afkan Nit. Naik angkot saja”

“Hati-hati mas”

“Iya Nit”

Kaki saya lemas. Tak lekas balik ke Malang. Tadi hanya mencari alasan agar emosi tak menajam bisa jadi buat keributan. Kembali saya ke makam Ahmad.

“Mad, andai saja kamu masih ada. Pasti kita sudah berdiskusi dan berdebat. Soal cinta dan kisah-kisah pejuang dalam buku-buku sejarah yang tak perna tercatat di diktat pelajaran waktu kita seolah dulu”

Saya sandarkan kepala saya di kuburan Ahmad. Sambil mengenang saat bersamanya.

***

“Saya di mana ini?. Kenapa kepalaku?”

“Istirahat dulu Mas, jangan banyak bicara. Mas tadi saya lihat di kuburan Ahmad. Kepalamu berdarah banyak sekali. Sepetinya ada yang hendak melukaimu Mas.”

“Nita, kenapa kamu sampai tahu. Kalau saya nggak balik ke Malang langsung tapi ke kuburan Ahmad”

“saya sudah menduga mas. Pasti sampean marah pada saya atas kejadian di rumah. Dan tak akan langsung balik. Sudah mas, nggak usah bicara dulu. Nanti kalau sudah benar-benar pulih saja”

Tangan saya memegang tangan Nita. Serasa indah. Tak pernah terjadi sebelum-sebelumnya.
Tubuh saya melayang entah kemana. Ingtanku membias-bias ke kota Malang. Antara dulu dan sekarang.

Remang-remang saya mendengar lembut ditelingah

“Mas.. mas… Mas Denny… tapi lamat-lamat hilang.”

Entah saya sekarang di mana. Saya terbang seperti kapas.
Bertemu Ahmad. Dia sedang membangun rumah di kebun yang indah.

Malang, Juli 2010

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae