Rabu, 04 Agustus 2010

Cermin

Agus B. Harianto
http://www.sastra-indonesia.com/

Cermin itu telah retak. Retakannya membentuk garis tak beraturan. Layaknya pantulan petir menyambar pepohonan. Sebuah garis tak beraturan memisahkan dua sisi retakannya. Dari pojok kanan atas. Memecah keutuhan cermin hingga kiri bawah. Tak ayal lagi, bias sebelah kanan menjadi lebih tinggi. Cermin itu layak tak terpakai. Seharusnya dibuang. Untuk mengaca pun, cermin itu terasa kurang pas. Apalagi mengamati pantulan kekurangan riasan diri.

Cermin itu kubeli tiga bulan lalu. Tukang loakan yang kebetulan lewat membawanya. Tawar menawar pun terjadi. Hasil akhir dicapai. Sebuah cermin untuk menghiasi kamar. Pelengkap ruangan tempat melihat-lihat diri. Dan kala ingin keluar, tiada lagi perasaan kekurangan dengan dandanan.

Aku melangkah tergopoh melawan kejamnya waktu. Tak pernah kudapati ia mau berhenti dan tak pernah dapat mengerti. Terlambat bangun adalah kebiasaan yang tak mampu kupatahkan begitu saja. Saat begadang semalaman menjadi idaman semenjak sore. Berkejaran dengan jadwal jam masuk kerja menjadikanku terbatah melawan kantuk. Kamar tempatku ngekos menjadi mau memahami. Kepanikan sebagai akibat keterlambatan bangun pagi. Dua kamar terpisah seakan telah hafal dengan peristiwa yang jarang terjadi, bangun telat. Dapat ditengarai. Hampir setiap jum’at pagi, hal ini terjadi. Gedubrak barang-barang. Langkah tergesa ataupun senggolan tangan menjadi penyebab. Jatuh dari tempatnya semula atau terguling menjadi akrab pada telinga sekitar. Tawa kawan-kawan sekitar tak bisa menyurutkan kepanikanku.

Aku mandi sekenanya. Air yang membatasi dirinya mengalir pelan. Hingga tak menetes setitik pun. Kuguyurkan sedikit pada kepalaku. Otakku masih terasa penat dengan diskusi semalam. Keesaan dan pengesaan Tuhan. Pening kepalaku memikirkannya.

Senyum-senyum kecut kulewati. Tampang-tampang menertawakan kulalui. Wajah-wajah sok usil tak kuhiraukan. Mereka hanya berniat menggoda dan mengendurkan semangatku mencumbui kehidupan yang keras. What the hell! Aku tak perduli. Aku mainkan saja peran sok penting. Sok sibuk. Dalam benakku hanyalah jam masuk kantor yang terus meneror.

Kamar kontrakan yang tidak begitu luas dapat menghemat gerakku. Tiga kali empat merupakan ukuran umum di Ciputat. Sebuah pintu menghadap ke utara menjadikannya terhindar dari panas menyengat. Kala liburan dan ingin istirahat dari penat pekerjaan. Kaca bening dan jendela krepyak di sebelahnya membuatku dapat melihat keluar dengan leluasa. Hanya dengan menyibakkan sedikit kelambu usang yang menempel padanya.

Lemari plastik yang terpampang di balik pintu adalah perkakas yang kubeli dengan cicilan. Buku-buku tertumpuk rapi menyebelahi lemari itu, hampir semuanya pernah terbaca. Di sisi satunya dari lemari itu, sebuah kardus yang terisi pakaian kotor yang kerapiannya melebihi ombak lautan. Tiga inchi dari buku-buku itu kasur kecil, tempatku meregangkan penat, terburai tak sedap dipandang mata. Dan, di sebelah pintu bagian dalam kugantungkan cermin yang retak tersebut. Jika pagiku longgar, seringkali aku memandangi cermin itu. Ataukah memandangi diriku sendiri dalam cermin?

Semenjak cermin itu tergantung di sana, dan jika pintu terbuka, selalu saja ada yang memanfaatkannya. Aku sendiri memakainya sebelum berangkat kerja, ataupun kawan-kawan sekitar.Walaupun murah dan kubeli dari tukang loakan, ia tak pernah sepi dari kegunaannya. Ia tak pernah lepas dari bayangan wajah orang-orang sekitar.

Seragam kerja telah terpakai di badan. Kesiapan kerja untuk hari jum’at ini telah di tangan. Tinggal kunci motor dan berangkat. Seperti biasa, aku pun berdiri mematung. Diam sebentar sebagai pelaksanaan pemasrahan diri dan doa sebelum berangkat. Sebagaimana pesan kedua orangtuaku. Berdoa sebelum melaksanakan segala sesuatu.

Tawa anak kosan yang lain beriringan melaju ke areal parkir. Deru suara motor dipanasi telah terdengar. Bersaingan. Berselingan dengan canda dan obrolan ringan tentang demo kemarin. Anak-anak kampus mengusut korupsi. Jalanan macet. Suara-suara jahil anak majikan merasa berisik. Sayup-sayup terdengar ke telingaku. Mengalun lamban untuk akhirnya hilang di telan angin pagi. Menguap musnah dipanggang hangat mentari pagi.

Sejak tiga bulan lalu, kunci motor aku gantung di bawah cermin itu. Untuk kemudahan dan kecepatan. Bercermin sebentar sambil meraih kunci dan pergi. Dengan sigap, aku pun melangkah ke depan cermin. Maksud hati meraih kunci dan helm di atasnya. Mengamati dandanan dan membenahi yang kurang sedap dipandang.

Aku tersentak kaget. Kulihat gerakanku tidaklah demikian. Tiba-tiba cermin itu memantulkan bayangan yang gerakannya berbeda sedikit dengan gerakanku. Otakku berputar cepat. Analisa masalah sedang berlangsung. Sambil. Mataku terus menatap cermin retak itu. Kugerakkan sedikit lain tanganku kini.

Cermin itu retak memanjang. Tentunya bayangan sebelah kanan lebih tinggi. Hanya aku yang berada di depan cermin. Dan pastinya segala macam gerakan yang ada di dalam sana akan sama dengan gerakan yang kubuat. Tetapi kenapa tangan yang ada dalam cermin itu bergerak berbeda?

Tanganku sebelah kanan kugerakkan menyamping. Tangan kiri tergerai memegang kunci. Sedangkan tangan-tangan yang ada dalam cermin itu bersilang di depan dada. Ia membentuk silangan pertapa. Tak ayal lagi, aku bingung. Kacau otakku memikirkannya.

Istirahatku kurang. Mataku belum terpejam cukup. Perih. Berkaca-kaca. Benakku berusaha keras menelaah kejadian itu. Kupejamkan mata dan kubuka kembali berulang-ulang. Kedipannya tak terhitung lagi. Sembari kugerakkan kepala memahami yang sedang terjadi. Tetap saja gerakan dalam cermin itu tidak juga sesuai dengan gerakanku.

Kubuka mulutku. Ia tidak menirukannya. Kupegang hidungku. Ia masih mematung. Matanya melotot menatapku. Nanar. Jalang. Tetapi, kepasrahan dan penuh pengharapan dapat kurasakan dari tatapan mata itu.

Kutelisik wajahnya. Ia sama mirip dengan gambar wajahku yang kuhapal dari foto-fotoku. Codetan memanjang di pipi sebelah kiri pun terbentang di wajah itu juga. Buru-buru aku memegangnya. Ia tetap mematung. Bagai pertapa-pertapa yang tidak mendapatkan gizi berbulan-bulan. Namun kini matanya memejam. Mulutnya berkomat-kamit. Entah yang ia gumamkan.

“Hei, kamu!” teriakku pada bayangan di cermin itu.

Mendengar teriakanku, bayangan manusia dalam cermin itu membuka matanya. Mulutnya tidak lagi berkomat-kamit. Mata itu sendu menatapku. Rasa memelas dapat kutengarai darinya. Tangannya tetap bersilang di depan dada.

“Iya, Baginda!”
“Siapa kamu?”
“Saya adalah engkau, Baginda!”

Aku semakin bingung dengan suaranya. Jawabnya. Cermin bisa bicara? Apakah ini hanya mimpi? Kucubit pipiku. Sakit dapat kurasakan dari bekasnya. Bayangan itu masih menatapku sayu. Mulutnya bungkam. Wajahnya menyiratkan penantian. Kuputar otakku keras. Aku tak percaya fenomena di hadapanku.

Aku menoleh ke belakang. Harapanku akan orang lain yang mirip diriku berada di belakangku berdiri. Sedang ingin bercanda denganku. Seperti saat-saat istirahat sore sepulang kerja dengan kawan sekosan. Mataku mulai menyapu sekeliling kamar kosan. Tak seorang pun. Kosong. Hamparan tembok beku masih berdiri kokoh di belakangku. Bersih dari tempelan gambar. Kasur kecil berserak di dasar tembok itu.

Jam dinding tergantung menempel di tembok samping kanan. Dapat kulihat pula ia di dalam cermin itu. Detakannya terdengar miris. Aku beringsrut dari tempatku semula. Mundur selangkah. Bulu kudukku semakin tidak sabar untuk berdiri. Satu persatu mereka berkejaran untuk berdiri. Hingga puncak ubun-ubunku. Terkesiap aku dibuatnya. Merinding.

Kutatap lagi cermin itu dalam-dalam. Retakannya masih sama. bayangan yang ada di dalamnya masih membisu. Kini, matanya mengamati gerak-gerikku. Ia menelisik setiap lekuk tubuhku. Tiap helai rambutku. Aku merasa ditelanjangi.

“Siapa kamu sebenarnya?”
“Maaf, Baginda! Saya adalah engkau!”
“Jadi benar! Kamu adalah aku?”
“Benar Baginda!”
“Kalau kamu adalah aku, maka seharusnya aku adalah kamu!”
“Benar, Baginda!”
“Tapi kenapa kamu tidak mengikuti setiap gerakanku?”

Suasana lengang. Seperti biasa, jam masuk kerja. Kawan-kawan pasti sudah berangkat. Deru motor tiada lagi kudengar. Kota metropolitan ini membuat kami harus berjuang keras melawan kejamnya waktu. Tinggal caci maki ibu-ibu pada anak-anaknya, yang sebentar kemudian menghilang. Sepoi panas angin Jakarta menelusuk celah-celah bangunan.

Bayangan dalam cermin itu diam. Ia tiada menjawab pertanyaanku. Kesunyian pagi sungguh terasa. Kutajamkan telingaku. Barangkali ada langkah datang, setelah aku membentak keras pada bayangan dalam cermin itu. Tak satu pun. Sunyi. Tik-tak jam dinding ikut hanyut dalam kesunyian.

“Baiklah! Jika kamu adalah aku, aku ingin menanyakan suatu hal! Jikalau aku berkata ‘A’, maka seharusnya kamu pun berkata ‘A’. Jika aku mengangkat tangan kiriku, seharusnyalah kamu juga mengangkat tangan kirimu. Apakah karena kamu berhadapan denganku sekarang, yang itu berarti kiriku adala kananmu, hingga kamu tidak mau mengangkatnya dan hanya menyilangkannya? Dan, itu berarti kamu bukanlah aku!”

Bayangan dalam cermin itu masih diam. Malah, ia kini duduk bersila. Seperti pertapa-pertapa kesepian di atas garis-garis keramik yang terpantul dari lantai kamarku. Matanya terpejam, seakan tidak menghiraukanku. Aku mengernyitkan dahiku. Harapan hati dapat memahami yang sedang ia lakukan. Tapi, bagaimana aku bisa memahaminya tanpa sepatah kata pun darinya?

Otakku terhenyak dalam keheranan. Wajahnya adalah wajahku. Tubuhnya adalah tubuhku. Segala yang aku kenakan ia memakainya juga. Tetapi kenapa segalanya berbeda dengan semua yang aku kehendaki? Gontai aku berjalan mendekat kembali. Kuamati sekali lagi. Dari ujung rambut hingga lutut-lutut yang bersila itu. Semuanya sama persis dengan diriku. Hmmm!

“Baiklah akan kucoba menuruti kemauanmu. Kamu ada karena aku, namun aku ada bukan karena kamu. Dengan membelakangi dirimu, akankah kamu bertindak seperti yang kuperintahkan? Dengan membelakangi dirimu berarti sisi kananmu adalah sisi kananku juga. Lantas bagaimana aku dapat mengawasi kamu melaksanakan apa yang kuperintahkan dengan membelakangi dirimu?”

Ia tetap membisu. Mulutnya berkomat-kamit yang tidak bisa aku baca. Matanya terkatup rapat. Tangannya masih menyilang di depan dada. Wajahnya memancarkan keseriusan. Tiada gerak lain yang aku temukan. Kecuali dadanya yang menahan nafas keluar masuk.

Aku semakin tidak mengerti. Aku asyik mengamatinya. Tiba-tiba saja muncul dalam cermin itu. Bayangan-bayangan lain dalam sikap posisi yang sama. Satu persatu mereka bermunculan. Sepuluh. Seratus. Seribu. Jutaan. Milyaran. Hingga berjubel tak terhitung lagi. Dan suara-suara lantang menggemuruhkan telingaku. Suara-suara itu berbunyi sama.

“Aku adalah engkau!”
“Aku adalah engkau!”

Aku tersentak. Mataku liar memperhatikan mereka . Mulut-mulut itu meneriakkan yel-yel yang sama. “Aku adalah engkau!” Benakku semakin bingung. Dan, tanpa kusadari, tanganku meraih helm di atas cermin itu. Pyarrr!

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae