Rabu, 04 Agustus 2010

PUNCAKNYA ABAD PENGECUT

Sabrank Suparno
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Ada pergeseran metode (cara belajar) baru di jama’ah ma’iyah. Ini dapat kita tarik dari cara penyampaian Cak Nun pada forum pencerahan di berbagai tempat sebelumnya, baik Padhang Mbulan, BBW dan lain-lain. Kalau pada forum-forum sebelumnya Cak Nun dan beberapa pembicara yang hadir berpresentasi dengan dasar orientasi “kesimpulan,” tetapi sejak tertanda pengajian Padhang Mbulan tanggal 02 Nopember 2009 kemarin, pokok-pokok pembahasannya di dasarkan atas riset dari permasalahan para jama’ah.

Cak Nun mengawali pengajian Padhang mBulan dengan melemparkan pertanyaan pada jama’ah. Agar tidak terlalu lebar pokok bahasannya, Cak Nun langsung melontarkan pertanyaan yang terkait hangat dengan kostelasi perpolitikan dan psikososial nasional. “Apa sih, fungsi adanya birokrasi di Indonesia sekarang, dalam keterkaitannya dengan kehidupan anda sehari-hari?” Lemparan pertanyaan Cak Nun kemudian yang dipertegas lagi dengan uraian lebih jlentreh.” Fungsi keterkaitan ini seberapa prosentasenya dalam 24 jam hidup anda?”. Pertanyaan ini dimaksudkan agar jama’ah mampu menghitung ulang tiap permasalahan lebih spesifik. Misalnya tidur kita, kencing, berak, shoping, makan, minum tidak terkait sama sekali dengan adanya pemerintahan. Pertanyaan Cak Nun yang “ndemel” ini ternyata mampu ‘menyongkar balik’ pemahaman masyarakat Indonesia yang selama ini menganggap bahwa adanya birokrasi adalah penentu segala-galanya dalam hidup. Dan bahkan ada yang memahami bahwa birokrasi sebanding dengan “Tuhan.”

Pertanyaan Cak Nun itupun di sambut geleter bertubi-tubi dari jama’ah yang datang dari berbagai wilayah di Jatim(Tuban, Blitar, Tulungagung, Kediri, dll). Tentu saja para penanya ini mengusung berbagai keresahan yang mereka sikapi dari tempat mereka tinggal. Dari 15 penanya inilah kemudian Cak Nun membongkar wacana keilmuan secara lugas dan radikal.

“Masyarakat Indonesia sekarang, tidak lagi memiliki kengerian terhadap sesuatu gejala yang telah mengancam kehidupannya, meskipun gejala itu sudah taraf menghancurkan nilai hidupnya dan bahkan anak-anak mereka dan sejarah”. Seru Cak Nun dengan ciri khas Kiai mBselingnya. Penghancuran nilai peradaban kita sekarang, diserang dari berbagai lini. Terutama yang berjalinan dengan menu “life still” masyarakat, terutama di bidang industri media masa( koran dan televisi). Cobalah kita berfikir sejenak! Berapa prosenkah suguhan acara televisi yang benar-benar bermutu dan berarti lebih untuk perbaikan suatu bangsa. Padahal Indonesia tergolong negara underkapita dari skala moneter global, televisi dan koran di negeri ini tak lagi berfungsi sebagai sarana transformasi nilai luhur dari masyarakat. Para pelaku media justru terkungkung pada orientasi proyek bisnis semata. Akibatnya segalanya diukur berdasarkan barometer untung dan rugi. Demi keuntungan, media tak perduli lagi meskipun menjadi mesin penghancur predator nilai anak bangsa. Inilah situasi yang mengancam etitude moral anak bangsa mendatang.

Sisi lain yang mengancam ketahanan bangsa ini adalah alur politik yang terterap. Masih hangat dalam ingatan kita pascademokrasi tiap pemilihan wakil rakyat. Berpuluh-puluh milyar uang negara dihabiskan untuk membiayai hak asasi pemilih. Masyarakat dimobilisasi berduyun-duyun menyampaikan aspirasi berdasarkan partai yang mewakilinya. Bahkan tak sedikit pemilih yang anti partai lain. Akan tetapi apa kenyataan sekarang yang terjadi? Para pemimpin partai sekarang justru terjangkit demam mental, saking bobroknya pemimpin partai yang mereka pilih, sampai begitu rendah memaknai arti Bhineka Tunggal Ika. Dalam pandangan mereka berbeda-beda partai hanya satu tujuannya : yakni menjilat satu titik’aman kekuasaan’ bersama demi istana. Demi kekuasaan, mereka rela menukar martabat partainya dengan sistem koalisi besar dengan partai incumbent. Pada periode kepemimpinan yang lalu, belumlah mencukupi dalam tatanan menejemen pemerintahan yang layak bagi bangsa Indonesia.

Mata dadu legislatif usai dikocok. Kita semua mengetahui para menteri negara bekerja tidak sesuai dengan profesionalisme di bidangnya. Mereka bagai sayap-sayap kupu yang beterbangan, dan kemudian terkelungkup hinggap di satu menara, yaitu menara hierarki kekuasaan dengan corak hegemoni tanpa kontrol kinerja partai oposisi. Lantas apa yang akan terjadi dengan sistem demokrasi mengerucut semacam ini? Cepat atau lambat, kencang atau perlahan, angin otoritari akan berhembus mengikis habis hijau ranau kesuburan hak asasi rakyat yang mulai tumbuh dari benih kesadaran berpolitik. Dan yang lebih parah lagi adalah ketidak berdayaan masyarakat, meskipun masyarakat menyadari bahaya arus demokrasi sedang megancam hak asasinya.

Bukan hanya skala nasional saja yang akan mengalami pembusukan nilai. Bahkan percaturan poltik internasional, diam-diam sedang merancang penghancuran massal demi unjuk gigi keperkasaan negaranya. Negara-negara mutakhir sengaja membiayai besar-besaran pembuatan rudal penghancur massal. Dibidang moneter global juga di susun penjajahan saham monopoli-oligopoli yang dikemas dalam baju neolib, yang sudah barang tentu akan membeli seluruh harta negara melalui sistem kredit, barter, dengan produksi negaranya. Pengembatan harta besar-besaran sudah terbukti mampu meraup kekayaan tender pemerintah sampai kantong rakyat jelata, dari fasilitas kiai sampai hasil panen petani. Bidang kebudayaan juga di suguhi paketan film dengan omzet tinggi bagi pertelevisian Indonesia yang mau memutar filem-filem produksi Barat. Padahal alur perfileman itu sudah di desain unsur ekstrinsiknya berbau moderasi.

Setelah mengulas detail seluruh persoalan ini, Cak Nun mencoba bertanya. “kalau pemerintah Indonesia tidak mengerti kebobrokan sistem nilai ini, rakyat juga tak merasa terancam dengan pemburukan nilai ini, siapakah yang akan merevolusi Indonesia dan Dunia, agar kembali tertata?” Jawabnya hanya Alloh sendiri, yang akan “nyingkal, songkar mbédol sak oyot-oyoté”. Sedemikian pelik, ruwet dan carut marutnya pengembalian moral manusia sebagai pelestari di muka bumi ini, sampai-sampai tidak ada cara lain yang pantas bagi Alloh untuk menghancurkan segala sistem kreatifitas kelicikan manusia dalam proyek penghancuran bumi dengan cara pemusnahan massal.

Kehancuran alam yang teramat dahsyat, diperkirakan ilmuwan astronomi terjadi tanggal 21 Desember 2012. Dimana waktu itu tepat pada kurun siklus revolusi bumi, yang daya gravitasinya bertemu satu ruas dengan seluruh planet, dan bahkan bertemu satu titik pusat dengan “jegleran” terjadinya alam yang disebut Alsion.

Saking kuatnya daya tarik gravitasi dengan Alsion, bumi diperkirakan tidak berotasi beberapa saat. Saat tidak berotasi inilah, dikhawatirkan molekul atom suatu benda tidak berkohesi menurut sunnatulloh (natural). Kita bisa bayangkan jika atom c sampai bersenyawa sejenis tumpuk 4 kali = ( c4/c four) maka benda apasaja bisa meledak hebat. Lempengan bumi juga akan bergeser akibat gravitasi yang kuat, dan pasti hal ini berpotensi menimbulkan gempa

Ulah ‘kendlodokan’ manusia memang sudah memuncak. Penciptaan alat mediator pemuas ambisi dirancang dari sandal hingga rudal. Dan perlu diketahui bahwa semakin canggih alat mediator semakin pengecut pula sikap manusia. Mereka dengan mudah menghancurkan orang lain dari kejauhan dan tidak jantan berhadapan. “Sekarang ini adalah zaman yang paling rendah peradabannya” tegas Cak Nun. “Sebab dengan terciptanya rudal, millis, facebook, hp, sms, orang bisa menyerang orang lain tanpa berhadapan” tambah Cak Nun menandaskan.

Lantas apakah yang perlu dipersiapkan Jama’ah Ma’iyah khususnya, umat manusia umumnya, untuk mengantisipasi takdir alamiah di atas? Cak Nun melontarkan beberapa alternatif. Pertama, Ia meng-kaji ulang sejarah kehidupan manusia, justru mengalami ‘sosial asyik’ ketika zaman nomaden dulu (zaman jalan kaki, nyeker tanpa sandal). Zaman manusia masih berpakaian koteka. Dizaman ini tingkat ketergantungan manusia terhadap suatu alat masih relatif minim. Yang menjadi tolak ukur zaman ini adalah rasa persaudaraan kemanusiaan yang tinggi. Martabat dijunjung tingi dengan piranti naturaly. Selayaknyalah kita sekarang meniti kembali ke pola ‘traditional live’. Melakukan dibidang apa saja yang bernuansa tradisional. Kedua, hijrah atau berduyun-duyun menuju kebaikan, serta meninggalkan apa saja yang dibenci Alloh. “Di detik-detik zaman yang tidak menentu ini, sikap yang paling baik adalah puasa”, rumus Cak Nun. Dengan berbuat baik dimungkinkan sebagai wahana setor nilai baik kepada Alloh dalam kaitannya sebagai hamba. Kura-kura menarik diri kedalam rumahnya jika ada bahaya, tetapi manusia ditarik kemana??? Tariklah dirimu kedalam hati, sebab disana ada ruang untuk mengembalikan diri kepada Yang Maha Memutuskan, yakni Alloh SWT.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae