Sabtu, 24 Juli 2010

HIKAYAT KERIS GANDRING DAN TERBUNUHNYA TUNGGUL AMETUNG

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=467

Malam suram, tiada hadir secerca bintang pun wajah molek bulan. Ken Angrok dengan tubuh kesatria menunggangi kuda hitam, menembus alam tanpa bayangan. Menderu terjang tiada keraguan, seringkikan binatang. Menakut-nakuti kawanan srigala yang biasa bertengger di bukit kapur tua.

Hanya dedaun buta saksi geraknya. Dan angin dingin senafasan tersengal nafsu Angrok. Lewat sentakan kencang, menghabiskan malam panggang tanpa percakapan di tengah perjalanan. Bathin menggerutu nalarnya mendidih. Menguap sekabut pegunungan merapi yang mengepul seasap tobong terbakar.

Sampailah di jalanan pesisir lautan diam, batuan karang terinjak bersimpan dendam. Langkahnya terus maju menerjang, hadirkan nasibnya demi dapati ketentuan. Betapa darahnya bergolak serupa pemuda lajang tercuri hatinya, ditawan bingkai kalbu seorang wanita. Ia masih dihantui wajah cantik yang telah diperistri takdir jahannam.

Telah jauh dari tapal batas kota, pula tinggalkan bencah pasir memasuki gapura dusun. Teramat sunyi, darahnya tambah naik melampaui batas kerinduan sepi. Yang beterbangan setarikan awan-gemawan dijelmakan hujan amarah. Ia hentikan langkah kudanya di depan pendapa Empu Gandring. Sedang rumput-rumput bunga mengitari, awalnya penuh damai.

Tersentak kedatangan sang penakluk. Dengan kaki tegap turun dari kuda tanpa sungkan membuang segan, Angrok menghadap Pu Gandring. Sang Empu sudah tahu gelagat alam kurang sedap. Yang dikabarkan kembang prabusetmata atas sederet alisnya, seperti kumis kucing mengincar mangsa.
Ki Empu mencium musibah kan menimpa, pada dirinya juga pemuda tanggung yang datang tanpa sungkem.

Tapi benarkah demikian? Mari diteruskan mengikuti rekamanku kala terjaga. Ini sentakan telak menyadarkan. Bukan alur juntrung menghempas, tapi hakikat hikayat melampaui logika penembusan sejarah. Tanpa kesopanan Angrok berucap:

Buatkan aku sebilah keris terbaik kesaktiannya. Carikan batu granit demi mutu tempaan dalam, sebelum besi baja kau semat dikulitnya. Ciptakan luk tujuh, itu bilangan hari kisah kejayaan dunia. Gagangnya carikan kayu cendana yang tumbuh di tengah malam purnama. Jangan lupa rendam dengan kembang tujuh rupa, disamping taburan garam dari samudera Hindia.

Aku berharap keris tersebut tiada menandingi, setiap orang melihatnya terkesima hingga kaki-kakinya membatu setelah kesemutan. Perhatikan juga jangan lama. Setengah tahun cukup kukira. Rampung tidak aku kemari mengambilnya. Jikalau tak menurut, tentu sudah hafal siapa diriku, dan yang akan kuperbuat demi kemanusiaan kelak. Maka persiapkan keharusanmu, sebelum kunamai pengecut yang mempecundangi bakat luhur abadi.

Ki Empu minta tambahan waktu. Sebab dengan masa sesingkat itu, sebilah keris ampuh belumlah utuh. Namun perbincangan bertelingakan satu. Angrok tetap bersikeras ditepati. Dialog tidak imbang, mencederai telinga pun menjulingkan mata. Takdir berubah cepat. Angrok tinggalkan perkara tidak mudah bagi Empu juga dirinya. Yang teridam hanyalah dendam merebut Ken Dedes ke dalam pelukan.

Angrok dapat dibilang kurang gagah dibanding Tunggul Ametung. Tapi ketampanannya sanggup menyedot gravitasi para wanita, bagi memandang teriris hatinya. Semangatnya membara, menuntut keinginan jauh melampaui orang-orang sejaman.

Dengan raut kusam, Ki Empu melihat punggung Angrok tinggalkan pendapa. Seolah baru disergap malaikat maut dari segala arah, atas todongan gairah terus membuncah. Lalu Ki Empu bersemedi, menata bathiniah demi sebilah keris sakti gagasan pemuda brandal.

Siapa pembuat keris, apa benar Empu Gandring? Setiap pesanan khusus ialah sang pemesan penciptanya. Empu hanya menampilkan energi pemesan, diselusupkan dalam sebuah karya.

Denting batuan granit setempaan kekukuhan niat Angrok merebut Dedes. Olesan minyak di lempengan baja, cermin kejernihan Angrok menangkap situasi, mensiasati nasibnya menaiki gelanggang pergolakan. Setiap luk keris putaran berfikirnya Angrok dalam menyikapi tragedi jiwa, bertumpuk rindu mendendam.

Ki Empu hanyalah tangan panjangnya. Sebab tanpa keris, Ametung pun mati atas semangat Angrok. Dan perintah pembuatan senjata, sekadar penghormatan kepada keduanya. Angroklah penciptanya. Ki Empu hanya menyulap gairah Angrok menjelma lempengan bermutu sebanding sama menyala.

Siang hari, Pu Gandring mencari tetumbuhan ramuan ke hutan, malamnya melanjutkan ritual. Meliriti besi baja mengolesi minyak ajaib serta bermeditasi demi sempurna. Sebuah karya Angrok yang takkan pudar riwayatnya di tlatah Jawa Dwipa.

Di lain tempat Angrok menggalang kekuatan kudeta, agar disetujui khalayak. Para menteri ketakutan bagai tikus kali. Pengawal Ametung dianggapnya anjing-anjing lapar, sekali lempar daging memuji tuan. Angrok, insan faham meramu kesempitan berkesempatan, membalik ciut menjelma kelapangan. Selalu menilik gejala alam diri pula luaran.

Lama sudah setubuhi laguan hayat dianggapnya berdaya mengukuhkan, yang sudi menghisap makna perjalanan. Pemilik watak keras bukanlah karang, tetapi ombak melukis dinding terjal. Kesadaran bayu langkahnya. Hingga pemerhati sepak terjangnya mencemasi masa membadai tak terkendali.

Ia musikus keheningan bathin, pelukis aliran darahnya, penyair disetiap tarian lidahnya. Namun apa daya, keindahan seni mengalir di tubuhnya berasal rindu dendam paling purba. Laksana pemahat tak mapan menjadi tentara, berkesempatan terbaik mencium darah pesaingnya. Seorang ditakdirkan selalu sukses dalam suksesi. Semua jalur dilalui tertunduk nasib besarnya.

Angrok, sang revolusioner tanpa pengetahuan, referensinya tragedi sekitar dan tak diambil kecuali menggasak lebih; bibir merona, mata gemerlap, alis melengkung sepohonan bukit barisan, janggut lancip ke bawah ngarai disiram hujan. Haus percumbuannya segeraian cemara bercampur bau fajar.

Setiap malam, menghitung kalender di balik jendela remang. Sebilah keris setubuh cantik cahaya Ken Dedes, yang matanya sendu jikalau lama tak dikunjungi berkasih sayang. Enam bulan sudah menanti waktu panggilan hasrat. Di senjakala hari terakhir Pu Gandring meliritkan keris naas. Angrok menaiki kuda jantan bersuara deru mendebu beterbangan, awan-gemawan mengawasinya ketakutan.

Mengendarai kerinduan membukit pendendam akan waktu-waktu diperhitungkan. Langit makin legam, kala kalender tua tersobek hari kebangkitan. Melalui pohonan waru berkulit temali pecut, randu-randu sekapuk mayit. Melintasi pepohonan jati menegasi jati diri dan atas trembesi di bathinya membesi.

Ribuan jarak rumput terinjak, disapunya ilalang berangin juang. Batu-batu tangga kesaksian, telaga dilihatnya memalingkan air muka. Angin dingin berhembus jinakkan nyali tetumbuhan sekitar pendapa. Ki Empu gemetaran mendapati firasat pahit menjemputnya pulang, ke negeri sangat asing dari pesawahan.

Kesahajaannya runtuh atas perasaan berkecamuk tanpa tahu gerangan kan terjadi. Teringatlah siang-malam melilit keris demi pemuda deladapan menggapai keyakinan. Dan sebelum rampung menghafal raut Angrok. Turunlah sedari kuda takdir. Dehem keras seguntur menakuti langit, kilatan matanya selaksa petir menyambar ke sudut-sudut terpencil.

Sampailah suara Angrok ke telinga; wahai Ki Empu perkasa, penyimpan kearifan pendahulu utama, di manakah kerisku? Aku telah menunggu hingga membatu tekatku, penantianku menimbulkan kesurupan setiap kali mengingat.
Terngiang harapanku sejarah anak manusia tanpa penghulu, menghujam meminta seorang pujaanku. Nilai terkandung abadikan dirimu dalam catatan waktu. Bersyukurlah kuberi tugas, tak semua orang kuperintah selain yang mulia.
Itu keagunganmu, aku tak pernah mengangkat tinggi penghormatan sebelumnya. Maka di manakah hakku?

Sabar duru anak muda; kata Pu Gandring. Keris yang kau pesan itu belum kulambari asmak kepurnaan. Apa jadinya tanggung sekawanan mendung keraguan, kan mendatangkan petaka. Namun Angrok gelap mata, direbutnya keris dari tangan Gandring atas nafsu membara. Sang Empu bersikukuh memegangi.

Angrok lantang berkata; Hai Ki Empu, keris itu jiwaku. Kau tak mungkin bisa menciptanya tanpa semangatku. Itu bukan hakmu dan kewajibanmu memberikan padaku. Kau telah kuberi kebesaran mencipta apa maumu, namun kenapa sekarang angkuh. Adakah kau cemburu atas keris itu, dimana sebagai penjelmaan kepribadianku?

Kala Pu Gandring mendengar ocehan Angrok, terlena sebocah dirayu janji gula-gula. Tidak disia-siakan merebut paksa. Tapi Empu bukan sembarang orang, gesit menampilkan halau serbuan. Bertarung pun jadi. Keduanya berebut keris jati diri. Takdir telah digariskan, hari dimana Angrok membunuh. Maka segenap dinaya Gandring hanya pertahanan mencapai titik lelah. Sedang perburuan Angrok sudah tertandakan langit paling malam, pun kedalaman lautan sangat kejam.

Dalam sekarat melaknat; Angrok. Aku telah kau tikam keris itu, maka kau dan ketujuh anak turunmu, kelak binasa dengan keris itu juga. Angrok menyesali tindakannya terlalu gegabah, mencipta takdir lain dan kutukan menjadi kenyataan esok. Bukan lantaran kesaktian Gandring, tetapi sesal menghantui Angrok dibawahnya pulang terlaksana. Rasa bersalah, ialah maut bersimpan perasaan was-was gentayangan.

Angrok menemui Ken Dedes di puri. Tanpa sepengetahuan keduanya, Tunggul Ametung menyaksikan mereka saling berkasih rindu, menghabiskan waktu menjelang senja ungu. Ametung mengawasi serupa kelinci mengendap-endap. Senja larut mengumpulkan kesumatnya, tetapi tak mau menumpahkan saat itu juga. Lantas malam pun terjadi.

Malam kamis kliwon Ametung terjaga, mondar-mandir di ruang tengah. Menggaruk kepala bukan apa, serasa ada yang mau hilang darinya. Dedes tertidur pulas mengimpi hari esok bersua kembali, dengan Angrok pujaannya di puri. Malam itu Ametung tak melihat wajah istrinya, Dedes pun tak hawatir sama sekali. Seanak hilang menemui kejelasan pada raut Angrok, ialah kembang mendapati angin segar gerimis.

Ametung masih berlalu-lalang tak memasuki bilik Ken Dedes. Geramnya merencanakan pertarungan jantan, antar dirinya dengan pemuda keparat, Angrok. Dasar alur cerita telah ditentukan, Ametung tersirap ilmu megananda sang penggagas sejarah gemilang Shingosari. Tidak dapat menahan kantuk memberat, tetap tak beranjak ke pembaringan. Seolah tiada gampang menyirapnya meski sekejap.

Tapi sial, angin pagi menyergapnya dari segala penjuru. Terkantuk lelap di ruang tengah di atas kursi kuasanya. Angrok, yang menguntit sejak dari puri menyaksikan gerak-geriknya sudah mencium sedap maut. Darah Ametung telah diraup angin gerilya. Dengan leluasa, Angrok menancapkan keris Gandring atas hasratnya. Menusukkan ke uluh hati Ametung, sampai malaikat maut tak segan mencabut nyawa.

Segala endapan menerima ganjaran, yang tanggung menemui kejelasan, rindu bertemu ciuman merah. Akhirnya, penguasa tanpa diragukan takut peniruan waktu-waktu busuk, membakarnya dengan hasrat menyala. Memuji lawan sisi terang, menghargai sebagai kehormatan. Empu Gandring tanpa Ken Angrok tak kan dikenang.

Jawa, Malang – Lamongan.
Dasar tulisan dari buku “Penulisan Sejarah Jawa,” karangan C.C Berg, yang diterjemahan S. Gunawan, terbitan Bhratara Jakarta 1974.

TANPA JUDUL ke KAWAN SAUT SITUMORANG (3)

Saut Situmorang, Timur Sinar Suprabana
http://www.facebook.com/note.php?note_id=74203424697

SINAR TIMUR SUPRABANA:

senang langsung kau sambar. wis ngene wae…. soal BOEMIPOETRA VS TUK, jadikanlah SEBAGAI PERANG BOEMIPOETRA yang BOEMIPOETRA PIKIR SEDANG MELAWAN TUK. aku, tak gegawe wae. menulis sajak. sebab, setahuku…, TUK yang BOEMIPOETRA lawan habishabisan itu jebul mung malah singsotsingsot di sela mencurahkan energi kerja dan kecerdasannya. jadi, SELAMAT BERPERANG. SELAMAT merasa MENANG.
==========

SAUT SITUMORANG:

LHO KOK JADI BEGINI!
KATANYA MAU “MENATA KEMBALI PEMIKIRAN SAUT SITUMORANG” TAPI KOK BELOM APA-APA UDAH MEMBLE!!! JADI GAK ENAK HATI NIH AWAK, HAHAHA…

EH, TIMUR, COBAK KAU INGAT-INGAT LAGI SIAPA YANG MEMULAI SEMUA INI. AKU GAK KENAL KAU, KAU GAK KENAL AKU, TAPI KAU SERANG AKU KAYAK PREMAN PASARAN GITU, WALO KAU PAKEK KATA “KAWAN” SETIAP MENGOMELIN AKU! CARA HIDUP KAYAK GITU GAK SEHAT: BANYAK LAGAK, ISTILAH JALANANNYA! MENGINGAT USIAMU YANG SUDAH LEWAT 40-AN KAYAK AKU, MUSTINYA KAU ITU UDAH BIJAKSANA DIKIT, NGGAK ASAL NGOMONG SEENAK UDELMU DHEWE.

KALOK MEMANG TUGAS HIDUPMU CUMAN NULIS SAJAK, YA MONGGO. MUDAH-MUDAHAN ADA YANG TERTINGGAL DALAM SEJARAH SASTRA INDONESIA. TAPI JANGAN URUSIN URUSAN YANG KAU SENDIRI GAK NGERTI DAN SANGGUP HADAPIN!!!

SELAMAT MERASA UDAH JADI EMPU PUISI!

TIMUR SINAR SUPRABANA menjawab SAUT SITUMORANG (2)

Saut Situmorang, Timur Sinar Suprabana
http://www.facebook.com/note.php?note_id=74193539697

hahaha… akhirnya nongol jugak kau, baru abis konsultasi ke kantor pusat di Salihara ya! hahaha… tapi kok jawabanmu kacau gitu sih. baik, biar aku jawab jugak jawabanmu di bawah.
================

Sinar Timur Suprabana:

ngum?pet? hahaha… nggak kawan saut. hanya aku memang tidak memiliki cukup banyak waktu untuk berasyik di depan internet. ok. aku suka dengan jawaban panjangmu ada beberapa hal yang aku ingin secara terbuka aku sampaikan.

1. aku heran, mengapa keteranganku mengenai bahwa tidak benar penyair ts pinang menolak undangan keikutsertaan dalam acara yang dibikin tuk engkau TARIK KE LAJUR gegap gempita PERANG SASTRA BOEMIPOETRA VS TUK? mari kita bongkar dan tata ulang cara berpikirmu yang selalu geradagan dengan nafas mengandung permusuhan terhadap siapapun itu! aku ingin engkau tahu, catat dan ingat, bahwa aku SANGAT BUKAN ORANG TUK DAN TAK ADA SANGKUTPAUTNYA DENGAN TUK SEBAGAI INSTITUSI ATAUPUN KOMUNITAS. aku ingin engkau tahu, catat dan ingat, bahwa KEPENYAIRANKU MENGGELINDING BERPROSES TANPA MAJIKAN! maka, jangan goblog!, harusnya dengan kegarangan cara berpikirmu itu engkau tahu benar bahwa TIDAK PATUT, TIDAK LAYAK dan TIDAK CERDAS kalau engkau lalu KUMANDANGKAN SEOLAH-OLAH ~sekali lagi: SEOLAH-OLAH!~ ada POLEMIK, atau apa lagi PERANG sastra antara BOEMIPOETRA yang namanya juga baru kutahu ini kali kalau jebul ITU ADA!) dengan TUK. dan, celakanya, ENGKAU TARUH AKU SEOLAH AKU UJUNG TOMBAK TUK! jangan lagi pernah merasa, atau apa lagi meyakini, bahwa benar TIMUR SINAR SUPRABANA ADALAH PEMBELA TUK! sangat tidak!
============================

Saut Situmorang:

pertama, apa kau sudah konfirmasi ke TS Pinang tentang isi SMS-nya ke aku itu bahwa dia MENOLAK undangan TUK itu? ini kan perlu untuk membuktikan sanggahanmu terhadap isi Status di Facebook-ku. kalok menurut isi SMS TS Pinang, dia MEMANG MENOLAK undangan itu, apapun Alasannya itu dia kan memang menolak toh! bagaimana menurutmu?

kedua, isi SMS itu memang PENTING buat kami di “boemipoetra” kerna kami kan sedang perang ama TUK! ini kan sangat sangat gampang dicerna otak, kok kau gak mampu memahaminya!!! jadi sangat lucu kan pernyataanmu tentang kenapa aku “TARIK KE LAJUR gegap gempita PERANG SASTRA BOEMIPOETRA VS TUK” isi SMS si TS Pinang itu! gawat kali cara berpikirmu, aih… hahaha…

ketiga, KENAPA RUPANYA KALOK AKU TARIK KE JALUR GEGAP GEMPITA PERANG KAMI VS TUK ISI SMS TS PINANG ITU?! apa urusannya dengan kau kalok memang benar bahwa “TIMUR SINAR SUPRABANA ADALAH (bukan) PEMBELA TUK! sangat tidak!” KENAPA KAU BEGITU KONSEN, BEGITU SEWOT SAMPAI KAU USAHAKAN UNTUK NULIS DI FACEBOOK-KU BAHKAN MENGATAKAN INGIN “MENATA KEMBALI PEMIKIRANKU”!!!

keempat, ada urusan apa rupanya dengan kau ADA-TIDAKNYA POLEMIK ATO PERANG ANTARA KAMI MELAWAN TUK?! KENAPA KAU MENEKANKAN DI JAWABANMU ITU BAHWA “TIDAK PATUT, TIDAK LAYAK dan TIDAK CERDAS kalau engkau lalu KUMANDANGKAN SEOLAH-OLAH ~sekali lagi: SEOLAH-OLAH!~ ada POLEMIK, atau apa lagi PERANG sastra antara BOEMIPOETRA yang namanya juga baru kutahu ini kali kalau jebul ITU ADA!) dengan TUK.”!!! hei, bukankah pernyataanmu ini terlalu jelas menunjukkan pembelaanmu terhadap TUK, hahaha… goblok banget sih lu bikin kalimat, hahaha… ketahuan belangmu, hihihi…
===================

2. juga, jangan pernah lupakan ini, bahwa aku SANGAT TIDAK PERNAH MENARUH KEPEDULIAN terhadap pengkotakan sastra atau pengkotakan dan kemudian pembenturan komunitas sastra seperti yang kau rajing banget hembus-hembuskan dan gelorakan. TUK, sebagaimana komunitas yang lain, kupikir memiliki ruang-ruang khasnya yang patut dihormati.

3. oh ya, aku juga SANGAT BUKAN PENYAIR YANG MENYUSU DARI FESTIVAL. kalau bahwa aku diundang ke mana atau ke mana saat ada apa atau apa, jangan lupa: BUKAN KARENA BERTEMAN ATAU APA LAGI BERKOMPLOT DAN BERGEROMBOL! hohoho…, MACAN KUMBANG tak pernah jalan beriringan. RAJAWALI tak pernah terbang berbarengan. hanya BEBEK YANG JALAN BERIRINGAN. HANYA EMPRIT YANG TERBANG BEROMBONGAN! jadi, soal ada atau ikut festival ini itu, di dalam atau di luar negeri, KARENA AKU DIUNDANG DAN KARENA AKU DENGAN SADAR TIDAK MENOLAK. tetapi, tahukah engkau? lebih dari 250 undangan aku terima setiap tahunnya yang kuterima dan hanya paling banter 9 saja yang kupenuhi?

4. kawan saut situmorang. aku heran, sangat, SIAPA DI MUKA BUMI INI YANG TAK KAU MUSUHI? aduh, sungguh engkau sosok dengan hati, pikiran dan tindakan yang membuat siapapun pantas IBA!

F A H A M ?
==============

Saut Situmorang:

jadi aku rajin banget menghembus-hembuskan dan menggelorakan pengkotakan sastra dan pembenturan komunitas sastra, begitu ya! nah cobak kau tunjukkan di mana dan siapa komunitas korbanku itu? kalok kau gak bisa buktikan, wah ini namanya FITNAH loh dan orang fitnah masuk Neraka, tahu gak, hahaha…

jangan panik, Timur sayang! udah terlambat sekarang untuk mundur dari sesuatu yang kau mulai sendiri ini, jadi tenang aja, be cool, man! susunlah kalimatmu dengan benar, kau kan konon “sastrawan”, malah “sastrawan internasional” lagi kerna udah diundang ikut acara TUK di Solo itu kan! mosok sastrawan sekaliber kau gak mampu bikin kalimat yang asyik ah, hihihi…

oh jadi kau itu macan kumbang dan rajawali toh, baru ngeh awak, hahaha… panteslah heroik kali kau membela TUK, hahaha…

iyalah, kau kan sastrawan hebat Indonesia, makanya selalu diundang. Congratulations, mate! hahaha…

dan tentang Poin 4 mu itu: apa lagi yang mau awak katakan! kalok orang udah panik ya begitu itu mutu bahasanya. khas bahasa para pembela TUK yang gak mampu membela TUK (ironis! hahaha…) waktu menyerang Saut Situmorang. kau bukan yang pertama dan bukan yang terakhir tapi itu kan bukan persoalanku toh. kayak kata Clark Gable di pilem “Gone With TUK”, eh silap hahaha…, di pilem “Gone With The Wind”: “Frankly, my dear, I don’t give a damn”.

aku memang sangat iba padamu, Timur. bertobatlah kau, Kerajaan boemipoetra sudah dekat!

HAHAHA…

kepada Timur Sinar Suprabana (1)

Timur Sinar Suprabana, Saut Situmorang
http://www.facebook.com/note.php?note_id=73619299697

Timur Sinar Suprabana, aku akan menjawab kedua pernyataanmu di bawah dalam Note-ku ini biar lebih menarik dan terbuka untuk umum. silahkan kau balas.

Timur Sinar Suprabana:

1.
kawan saut. TIDAK BENAR kalau kawan ts pinang MENOLAK UNDANGAN itu. YANG BENAR adalah bahwa kawan ts pinang TIDAK BISA MEMENUHI UNDANGAN ITU KARENA BERSAMAAN WAKTU DENGAN BAHWA IA HARUS KE LUAR NEGERI. oh ya, anda juga diundang ke acara biennale itu? pasti: TIDAK bukan?

Saut Situmorang:

aku mendapat SMS dari penyair Jogja TS Pinang kemarin. isi SMS itu berikut ini:

“Akhirnya saya memutuskan menolak tawaran Sitok ikut UK Intl. Literary Biennale 2009 di Salihara.”

kau Timur Sinar Suprabana bisa mengatakan apa aja sebagai “alasan” penolakan itu tapi yang PASTI penyair TS Pinang MEMANG MENOLAK undangan tsb kan! di sini aku juga tag TS Pinang jadi kalok kau masih penasaran karena ada yang menolak undangan TUK (kau pasti TIDAK akan menolak karena kau memang butuh acara kayak gitu untuk mensahkan status penyairmu!) kau bisa konfirmasi ke TS Pinang.

aku diundang? hahaha… dangkal amat wawasan hidupmu, Timur! kau pikir semua Penyair/Sastrawan di Indonesia gila undangan TUK itu seperti dirimu!!! aku tidak butuh Pengakuan TUK untuk statusku sebagai Sastrawan Indonesia karena aku sudah jadi sastrawan lama sebelum TUK itu ada! kau tahu kalok cerpen-cerpen dan eseiku sudah dimuat majalah sastra Horison di tahun 1990 sewaktu itu majalah masih dikomandani ama HB Jassin. kau di mana waktu itu?! hahaha…

dan biar kau tahu aja: waktu itu program Winternachten akan dipindah ke Indonesia, aku adalah salah satu penyair di Bali (aku tinggal di Bali waktu itu sekitar tahun 2000-2001) yang diundang untuk bertemu muka dengan Goenawan Mohamad di tempat tinggal penari Restu di dekat Ubud untuk omong-omong soal itu kerna GM ingin mengadakan program tsb di Bali. jadi aku nggak kayak kau cuman jadi peserta arisan doang setelah program itu berjalan, aku udah tahu dari awalnya bahkan diundang, hahaha… mungkin kau gak bisa memahami ya kenapa ada orang yang menentang program TUK itu! alasannya sederhana: aku gak butuh TUK untuk melegitimasi statusku sebagai Sastrawan Indonesia seperti kau yang konon penyair itu, hahaha… si Sitok itu pernah bilang bahwa yang diundang ke acara TUK yang jadi “Sastrawan Indonesia”, nah kau adalah salah satu yang jadi sastrawan Indonesia itu karena dibaptis oleh TUK. kasihan kali kau ya, hahaha…

2.
kawan saut. kapan hari kalau ke semarang, mungkin dalam rangka memprovokasi adien histeria…., kontak ya? tak bikinkan forum: menata kembali pemikiran saut situmorang. ini serius. aku sudah kontak beno siang pamungkas dan beberapa teman lain.

Saut Situmorang:

nah kalok kau memang sangat serius membela kepentingan TUK di Kota Semarang, silahkan kau bikin acara “boemipoetra vs TUK”! kami dari “boemipoetra” akan datang!!! kau pun bisa jadi salah satu pembicaranya karena kelihatannya kau itu “punya sesuatu” untuk “menata kembali pemikiran Saut Situmorang”, hahaha… aku jugak serius! bikinlah acara itu secepatnya karena aku udah gak tahan lagi nih pengen dengar kuliahmu langsung! gak usah kau jual nama orang lain kayak si Adien ato Beno itu, kau sendirilah yang bikin! kami tunggu jawabanmu secepatnya!

oiya, waktu aku mengabarkan kebusukan politik sastra TUK di Semarang di tempatnya mas Teguh di awal 2008, kok kau gak ada?! Eko Tunas dll aja datang. padahal kalok membaca pernyataan-pernyataanmu di sini kau kayaknya boleh jugak tuh bekerja sebagai pembela TUK!!! hahaha…

‘Sastra Pragmatik’ dan Orientasi Penciptaan

Bagian Pertama dari Dua Tulisan
Ahmadun Yosi Herfanda
http://www.infoanda.com/Republika

Judul asli tulisan ini adalah Sastra dan Peningkatan Kualitas Kecendekiaan, sebuah judul yang mengandaikan bahwa sastra dapat menjadi sumber nilai, sumber inspirasi, dan sumber pengetahuan untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan pembacanya. Itu adalah pengandaian yang berpijak pada pendekatan yang pragmatik tentang sastra, bahwa karya sastra ditulis bukan hanya untuk tujuan literer (estetik) tapi juga tujuan yang bersifat pragmatik atau non-literer.

Kalangan pragmatik yang cenderung memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya berkeyanikan bahwa karya sastra dapat memberikan pencerahan nurani dan intelektualitas pembacanya. Sifat komunikasinya yang langsung menyentuh perasaan dan pikiran tiap individu yang menikmatinya, membuat karya sastra memiliki daya sugesti yang cukup kuat untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan mereka..

Lebih dari itu, kalangan pragmatik bahkan meyakini bahwa karya sastra mampu membangun suatu kesadaran sosial untuk mendorong terjadinya proses perubahan masyarakat dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik. Dalam bahasa media, karya sastra mampu membangun semacam opini publik. Jika bangunan opini publik itu menguat dan meluas, maka proses perubahan sosial bukannya tidak mungkin akan dapat digerakkan..

Dalam pemahaman seperti itu, intelektual sosialis seperti Arief Budiman dan Ariel Heryanto (misalnya melalui buku Perdebatan Sastra Kontekstual, Penerbit Rajawali, Jakarta, cetakan pertama, 1985), meyakini pentingnya sastra terlibat (sastra kontekstual) sebagai wujud kepedulian sastrawan pada persoalan-persoalan sosial-politik di sekitarnya, dan agar kesastraan tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri..

Jika kecendekiaan dipahami sebagai kualitas diri yang cerdik-pandai, peduli dan arif-bijaksana, maka kegiatan membaca karya sastra dapat ikut meningkatkan kualitas kecendekiaan tiap orang. Sebab, pada karya sastra, sebagai refleksi kehidupan (meminjam istilah Umar Kayam), tersaji nilai-nilai moral dan estetika serta berbagai kearifan hidup yang teraktualisasi secara imajinatif melalui bahasa sastra yang menarik dan inspiratif..

Sastrawan seperti Taufiq Ismail dan Kuntowijoyo, misalnya, meyakini bahwa tokoh masyarakat yang banyak membaca karya sastra akan lebih arif dan bijaksana dibanding yang jauh dari karya sastra. Karena itulah, Taufiq Ismail tak henti-hentinya menganjurkan agar masyarakat terpelajar banyak membaca karya sastra, setidaknya sejak mereka di bangku SLTA. Karena itu pula, Taufiq mendorong agar sistem pengajaran sastra di sekolah diubah, supaya siswa lebih banyak membaca karya sastra. Tidak seperti sekarang, yang menurutnya, ”pengajaran sastra dengan nol buku.”.

Keyakinan atas fungsi sastra seperti itu pula yang mendorong Taufiq, belakangan ini, banyak menulis ’sajak pencerahan’. Misalnya, sajak-sajak tentang bahaya rokok dan narkoba, seperti dibacakannya pada peringatan Hari Anti Narkoba Internasional di plasa Gedung Pemuda, Senayan, Jakarta, pada 24 Juni 2006, yang diadakan oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga. Kutipan sajak Tuhan Sembilan Senti berikut ini menegaskan keyakin. an Taufiq terhadap manfaat sastra sebagai media pencerahan:

25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15 penyakit ada dalam daging khinzir. Daging khinzir diharamkan. 4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan? Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaiith. Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok. Jadi, ini PR untuk para ulama. Tapi, jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya dimakruh-makruhkan saja. Jangan.

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini. Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka. Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir. Asap rokok di ruang ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai batuk-batuk….

Meyakini kebermaknaan dan peran sastra dalam proses perubahan sosial sebenarnya tidak terlalu berlebihan, meskipun tidak semua sastrawan mempercayainya (Sapardi Djoko Damono, misalnya, menganggap karya sastra hanyalah ‘lebah tanpa sengat’). Apalagi, sekadar meyakini manfaat sastra untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan pembacanya, tidaklah terlalu naif.

Jika keyakinan non-literer tersebut dirujukkan kepada pemikiran MH Abrams (dalam A Glossary of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, New York, first edition, 1981) tentang orientasi sastra (orientasi penciptaan), pandangan pragmatik itu sesuai dengan ‘orientasi kedua’ yang memandang karya sastra sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya.

Berdasarkan tujuan penciptaannya, Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya.

Pada ‘orientasi kedua’ Abram, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatis. Misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama (sastra dakwah), sastra untuk membangun kesadaran politik tertentu, atau untuk mendorong munculnya kesadaran sosial, seperti novel Max Havelar karya Multatuli dan sajak-sajak kritik sosial Rendra. Dalam orientasi ini, sajak-sajak Rabendranat Tagore juga dipercayai ikut mendorong semangat patriotisme kaum terpelajar India untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan Ingris. Sementara, sajak-sajak Kahlil Gibran ikut menyebarkan kearifan hidup bagi jutaan pembacanya di seluruh dunia.

Orientasi kedua itu pula sebenarnya yang menjadi tujuan penciptaan karya sastra di kalangan kaum sosialis dengan konsep realisme sosialnya. Tetapi kemudian, pada perkembangannya yang ekstrem, seperti tampak pada para sastrawan Lekra, sastra hanya dimanfaatkan sebagai alat untuk kepentingan ideologi, politik, dan kekuasaan. Ini memang ‘jebakan’ yang paling berbahaya dari orientasi yang terlampau pragmatis. Pencapaian prestasi estetik tidak lagi menjadi tujuan, sebab sastra sekadar sebagai alat politik, dan politik itulah sang panglima yang harus diabdi oleh sastra untuk tujuan kekuasaan.

Tanpa bermaksud mensejajarkan agama dengan ideologi kaum Marxis, penciptaan karya sastra untuk tujuan dakwah — seperti dipraktekkan oleh para penulis Forum Lingkar Pena (FLP) dengan gerakan yang sering disebut sebagai ‘gerakan fiksi Islami’ — sebenarnya juga berada pada jalur orientasi yang pragmatis tersebut. Indikasi yang ekstrem dari ‘gerakan fiksi Islami’ adalah cenderung dikesampingkannya tujuan dan prestasi estetik, dengan sikap yang sangat ‘hitam-putih’ dalam mendekati persoalan-persoalan kehidupan yang diangkat ke dalam karya. Nilai-nilai agama diformulasikan secara sangat formalistik dan tujuan-tujuan non-literer (dakwah) cenderung ditempatkan sebagai yang utama.

Orientasi yang terlampau pragmatis, baik dalam konteks sastra dakwah maupun sastra ideologi, memang sah-sah saja. Tetapi, kita tidak dapat menafikan kenyataan bahwa orientasi yang terlampau pragmatis akan menyebabkan pertumbuhan sastra menjadi pincang, karena prestasi-prestasi estetiknya akan cenderung tertinggal. Ini sangat tampak, baik pada karya-karya sastra kaum sosialis maupun gerakan sastra dakwah. Itu pula, antara lain, kenapa karya-karya fiksi Islami yang dewasa ini marak di Tanah Air tidak cukup mengundang perhatian dari kalangan kritisi maupun akademisi sastra.

Guna menghindari jebakan orientasi yang terlampau pragmatis itu, diperlukan keseimbangan antara orientasi pragmatis dan orientasi estetik dalam proses penciptaan, agar karya sastra yang lahir tidak hanya bermakna secara tematik tapi juga unggul estetikanya. Bagaimanapun, karya sastra yang bagus adalah karya sastra yang secara estetik mampu menggetarkan rasa keindahan dan secara tematik mampu mencerahkan nurani pembacanya.

Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, maka ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut menyumbang bagi peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya.

Karya sastra yang melukiskan keindahan alam, misalnya, secara tidak langsung akan mengajak pembacanya untuk menghayati kebesaran Sang Pencipta. Begitu juga karya-karya sastra yang bersemangat melawan penindasan, dengan efektif akan mempengaruhi pikiran pembaca untuk bersikap sama. Demikian juga karya-karya sastra yang mengajarkan kearifan hidup, akan mengajak pembacanya untuk memiliki kearifan yang sama.

Karya sastra juga memiliki efek pencerahan yang tidak jauh berbeda, ketika sang pengarang (penyair) memanfaatkan alam sebagai simbol pemikirannya, seperti misalnya dilakukan Abdul Hadi WM dalam sajak Tuhan, Kita Begitu Dekat, yang mengkristalkan konsep tasawuf dan menyadarkan kedekatan mahkluk dengan Tuhannya, sekaligus sebuah kesaksian (syahadat) sang penyair bahwa ia adalah ‘arah’ pada angin (titah) Tuhan:

Tuhan, kita begitu dekat
Bagai api dan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan, kita begitu dekat
Bagai angin dan arahnya
Aku arah pada anginmu

Begitu juga ketika karya sastra diorientasikan sebagai pancaran perasaan dan pikiran sastrawannya. Ketika pikiran sastrawannya adalah sikap kritis terhadap keadaan di sekitarnya, maka tanpa disengaja karya sastranya akan memiliki kekuatan pencerahan. Dan, ketika perasaan yang diekspresikan sang penyair adalah perasaan cinta, kasih sayang, pada sesama, maka perasaan itu akan menjadi kekuatan sugestif untuk memancarkan perasaan cinta dan kasih sayang pembaca pada sesama.

Dengan demikian, sebenarnya, tidak semua karya sastra yang memiliki kekuatan pencerah dan menjadi sumber inspirasi perubahan sosial adalah ’sastra Marxis’ atau realisme sosialis. Tetapi, ia adalah karya sastra yang lahir dari sikap peduli terhadap pentingnya peningkatan kualitas hati nurani dan intelektualitas pembacanya dan sikap kritis terhadap lingkungannya. Hati nurani dan intelektualitas pada dasarnya adalah inti kecendekiaan seseorang. Dari sisi ini pula karya sastra diyakini dapat ikut meningkatkan kecendekiaan pembacanya.

‘Sastra Pragmatik’ dan Orientasi Penciptaan

Bagian terakhir dari dua tulisan
Ahmadun Yosi Herfanda
http://www.infoanda.com/Republika

Dalam konteks peran sosial sastra, ‘kaum sastra kontekstual’ meyakini bahwa karya-karya besar seperti Max Havelar (Multatuli), Uncle Tom Cabin (Beecher Stower), dan sajak-sajak Rabindranat Tagore telah menginspirasi perubahan sosial di lingkungan masyarakat pembacanya masing-masing. Max Havelar menginspirasi ‘gerakan politik etis’ di Hindia Belanda, sajak-sajak Tagore mendorong gerakan pembebasan bangsa India dari penjajahan Inggris, dan Uncle Tom Cabin menginspirasi gerakan anti-perbudakan di Amerika Serikat.

Dapat disebut juga sajak-sajak cinta tanah air Mohammad Yamin dan Ki Hajar Dewantara yang ikut memupuk rasa kebangsaan anak-anak muda generasi 1920-an dan 1930-an dan sangat mungkin menjadi salah satu sumber inrspirasi lahirnya Sumpah Pemuda. Sementara, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar, seperti Diponegoro, Kerawang-Bekasi, Kepada Bung Karno, ikut menyemangati generasi 1940-an untuk merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pada ketiga sajak tersebut pesan Chairil begitu jelas bagi pembaca untuk memenangkan perjuangan dan mengisi kemerdekaan dengan kebermaknaan, seperti terasa pada kutipan sajak Kerawang-Bekasi berikut ini:

Kami Cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah kini yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan,
Kemenangan, dan harapan. Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata.

Dari kacamata politik-kekuasaan, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar sebenarnya sangat subversif terhadap kekuasaan penjajah Belanda, dan bisa lebih berbahaya dibanding slogan-slogan perjuangan. Seperti diyakini GL Morino, sebuah sajak patriotik mampu merangsang seratus perbuatan heroik. Jika menyadari bahaya itu, barangkali Belanda sudah menangkap dan memenjarakan Chairil, sebagaimana militer Israel pada era Mosye Dayan yang menangkapi dan memenjarakan para penyair Palestina karena dianggap berbahaya. Mosye Dayan bahkan menganggap bahwa sebuah sajak patriotik penyair Palestina lebih berbahaya daripada satu kompi pasukan komando.

Kenyataannya, garakan Intifada banyak dikobarkan oleh sajak-sajak patriotik para penyair Palestina yang ditulis pada tembok-tempok dan beredar di bawah tanah. Dan, semangat untuk merdeka, untuk bebas dari penindasan kaum Zionis, itulah yang tidak mungkin dipadamkan oleh tentara Israel. Mungkin juga tidak terlalu bergurau jika mendiang mantan presiden AS John F Kennedy pernah berujar, ”jika politik bengkok, maka puisi akan meluruskannya.”

Di dalam khasanah sastra Islam, sajak-sajak Mohammad Iqbal juga disebut-sebut ikut mendorong proses rekonstruksi pemikiran Islam. Sedangkan sajak-sajak Jalaluddin Rumi, dan Hamzah Fansuri, ikut mendorong proses rekonseptualisasi ajaran tasawuf. Bahkan, menjadi sumber rujukan penting para peneliti tasawuf, seperti Annemarie Schimmer, mengingat fungsi puisi sebagai sarana pengajaran dan ekspresi penghayatan sufistik para tokohnya.

Jadi, ada semacam keyakinan bahwa karya sastra merupakan sumber nilai yang memiliki kekuatan pencerahan sekaligus sumber inspirasi bagi proses perubahan sosial. Tokoh-tokoh seperti Taufiq Ismail, Kuntowijoyo, Abdul Hadi WM, dan Emha Ainun Najib juga meyakini bahwa karya sastra tidak sekadar mampu merefleksikan realitas diri pengarang dan masyarakatnya, tapi juga dapat menjadi salah satu agen perubahan. Dan, di sini pula pentingnya kaum terpelajar membaca karya-karya sastra yang mencerahkan guna meningkatkan kualitas kecendekiaannya agar dapat mengambil bagian lebih besar sebagai agen perubahan sosial guna membawa

Kesadaran yang juga penting untuk dimiliki oleh cendekiawan adalah kesadaran sejarah dan rasa kebangsaan (nasionalisme). Membaca karya sastra yang berdimensi sejarah dan mengaitkannya dengan masalah kebangsaan dapat ikut menumbuhkan kesadaran tersebut. Dengan membaca karya sastra yang berdimensi sejarah, kita juga dapat melihat evolusi ataupun perubahan visi kebangsaan di mana karya sastra ikut mengalami evolusi tematik yang seirama.

Pada masa Mohammad Yamin, misalnya, masalah kebangsaan yang dihadapi adalah bagaimana menyadarkan dan kemudian membangkitkan rasa kebangsaan masyarakat. Maka yang lahir adalah sajak-sajak cinta tanah air yang romantik, karena ketika itu memiliki tanah air yang merdeka masih sebatas ‘impian’. Sajak menjadi salah satu media bagi kalangan pergerakan nasional untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya memiliki satu bangsa yang merdeka.

Di tataran filsafat dan kebudayaan, Sutan Takdir Ali Syahbana dan Ki Hajar Dewantara kemudian mengentalkan rasa kebangsaan itu melalui proses kristalisasi konsep budaya bangsa. Tidak hanya melalui sajak-sajaknya Takdir mencoba meletakkan dasar-dasar kebudayaan bangsa, tapi juga melalui sebuah polemik yang sangat terkenal — Polemik Kebudayaan — yang hingga kini masih menjadi rujukan bagi banyak pemikir budaya dalam meninjau ulang dan mencari arah terbaik kebudayaan bangsa ke depan.

Pada medio awal dasawarsa 1940-an, Chairil Anwar menangkap semangat kemerdekaan yang mengkristal sejak masa kebangkitan pergerakan nasional itu ke dalam sajak-sajak heroik dan penuh etos pemberontakan. Dengan semangat ‘binatang jalang’ ia melahirkan sajak-sajak yang tidak hanya membawa pemberontakan estetik, tapi juga memompa semangat pemberontakan terhadap penjajah Belanda untuk mencapai kemerdekaan.

Evolusi sastra Chairil Anwar — yang di dalamnya menyimpan evolusi rasa kebangsaan — adalah evolusi yang sudah sampai pada tahap pembebasan. Kesadaran akan rasa kebangsaan telah mengkristal begitu keras, hingga tinggal menunggu saatnya untuk diledakkan. Bentuk ledakannya adalah pembacaan proklamasi kemerdekaan oleh Sukarno-Hatta yang siap dibela sampai titik darah terakhir.

Pasca-kemerdekaan sastra seperti kehilangan momentum untuk berbicara tentang patriotisme, nasionalisme dan pemupukan rasa kebangsaan. Dari sinilah kemudian Taufiq Ismail menerjemahkan perannya pada pembangunan bangsa melalui sajak-sajak kesaksian sejarah di seputar pergeseran kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru. Peran ini pula yang secara lebih kritis dan tajam diambil oleh Rendra dengan sajak-sajak kritik sosialnya dalam Potret Pembangunan Dalam Puisi (1980). Namun, jika rasa nasionalisme dapat diterjemahkan sebagai rasa cinta dan kepedulian pada nasib bangsa, maka karya-karya Taufiq dan Rendra dapat dimasukkan ke dalamnya.

Sastra Indonesia kontemporer dewasa ini banyak diwarnai kecenderungan (mainstream) sastra seksual, feminis, dan bahkan masokis. Memang tampak juga kecenderungan lain, seperti maraknya fiksi Islami dan masih bersambungnya benang merah sastra religius dan sufistik, serta tetap hidupnya sastra humanisme universal, tetapi wacana sastra lebih banyak diwarnai persoalan-persoalan sastra yang bersikap memberontak dan bersemangat pembebasan nilai (liberalisasi).

Meskipun begitu, tidak berarti karya sastra tidak dapat lagi ikut menyumbang bagi peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya. Bagaimanapun, seperti pernah ditegaskan oleh Umar Kayam, karya sastra adalah refleksi dari realitas kehidupan di sekitarnya. Dan, karena itu, bagaimanapun isi dan corak estetiknya, adalah tantangan bagi kaum cendekiawan untuk memahami dan merenungkan realitas itu, guna menyikapinya secara tepat.

*) Sastrawan dan wartawan Republika.

Heroisme yang Menipis

Wishnubroto Widarso
http://www.bernas.co.id/

GAUNG perayaan ulang tahun ke-63 Kemerdekaan kita masih terasa. Baru beberapa hari berlalu. Seperti biasa, ada sederet lomba meriah, baik bagi anak?anak, remaja maupun orang tua; baik yang melibatkan otot (semacam lomba lari suami menggendong istri) maupun yang sedikit memerlukan cita rasa seni (semacam lomba nyanyi karaoke); baik yang berhadiah “hanya” seperangkat alat tulis maupun pesawat TV. Pendeknya, dari segi seru dan hebohnya, perayaan 17?an makin hari makin meningkat.

Tapi perayaan kemerdekaan mestinya bukan hanya soal “seru”, “heboh”, dan semacamnya. Mestinya perayaan kemerdekaan adalah terutama soal memahami sejarah nasional secara utuh (tidak hanya satu faset saja), menghargai perjuangan para founding fathers and mothers, tidak saja yang mempunyai nama besar dan bersinar tapi juga yang tak dikenal atau terpinggirkan, dan soal meneladani perjuangan para perintis negeri ini. Sayangnya dalam soal?soal ini kita lemah.

Mana heroisme itu?
Mendekati ulang tahun Kemerdekaan 17 Agustus setiap tahun sering ditulis dalam media cetak dan ditayangkan di layar kaca perjuangan “orang?orang besar” semacam Soekarno?Hatta?Syahrir. Sepak terjang “raksasa?raksasa” itu diulas lagi, tempat?tempat di mana mereka pernah diasingkan ditampilkan lagi, sering dengan bumbu keprihatinan karena pemerintah sekarang kurang care, kurang nguri?uri tempat?tempat bersejarah itu. Juga buku?buku tentang mereka atau yang mereka tulis sendiri dicetak atau dibahas ulang. Itu semua baik. Tapi bagaimana dengan “orang?orang kecil” yang juga ikut berjuang, yang juga ikut “sakit dalam melahirkan” republik ini? Mereka seolah tidak ada atau perannya dianggap tidak penting.

“Orang?orang kecil” yang dimaksud adalah, pinjam istilahnya Romo Mangun, “simbok?simbok dan pak?abang desa.” Dari tulisan beliau yang berjudul Sejarah dan Sejarah yang dipublikasikan hampir 30 tahun lalu itu kita tahu bahwa peran para petani kecil dan miskin di desa?desa tak kalah pentingnya dengan peran para pejuang yang memanggul senjata. Para pejuang yang berkelana di desa?desa atau hutan?hutan karena dikejar?kejar tentara Belanda biasanya dihidupi oleh para petani kecil dan miskin itu, sering tidak hanya satu?dua hari saja tapi sampai berminggu?minggu!

Jika ada sandiwara yang dipentaskan dalam acara perayaan kemerdekaan, baik di panggung?panggung kampung maupun di televisi, biasanya yang ditampilkan adalah tentara Belanda yang bicara Bahasa Melayu dengan kacau yang berperang melawan pejuang Indonesia yang bersenjata dan pakaiannya berlumur darah. Begitu dari tahun ke tahun. Sungguh klise. Kepahlawanan “orang biasa” semacam simbok dan pak tani miskin atau orang?orang kampung biasa yang sering jadi sasaran amuk para tentara Belanda karena gagal menangkap para pejuang bersenjata yang sudah terlanjur kabur, jarang atau hampir tak pernah ditampilkan, apalagi didudukkan dalam posisi yang semestinya.

Jika Anda tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Romo Mangun akan peran penting para simbok dan pak tani (atau: “orang biasa”), silakan baca karya?karya sastra yang bercerita tentang perjuangan di tahun 1945 (dan beberapa tahun sesudahnya). Cerita?cerita yang dapat menyadarkan kita akan betapa sakitnya, betapa menderitanya kakek?nenek kita dalam “melahirkan” republik kita tercinta ini, antara lain dapat dibaca dalam kumpulan cerita pendek berjudul Hujan Kepagian dan Tiga Kota karya Noegroho Notosoesanto, Laki?Laki dan Mesiu karya Trisno-yuwono, atau Daerah Tidak Bertuan karya Toha Mohtar.

Sayang, karya?karya seperti ini makin lama makin asing, bahkan dalam dunia pendidikan sekalipun. Apalagi di dunia umum. Karya?karya semacam itu sekarang sudah menduduki rak?rak berdebu dalam gedung perpustakaan dan pojok?pojok remang dalam ingatan orang?orang sekolahan. Sungguh memprihatinkan!

Peran internet
Dewasa ini komputer dengan akses ke internet sedang menjadi primadona. Tidak saja para pelaku bisnis yang getol memanfaatkannya, tapi juga para guru?dosen dan siswa?mahasiswa. Alangkah baiknya kalau “demam internet” ini juga dimanfaatkan untuk membeberkan perjuangan dan peran “orang kecil” dalam meraih kemerdekaan kita. Saya tidak tahu persis apakah ada situs di internet tentang para “pahlawan yang dilupakan” ini. Kalau sudah ada, bagus. Tinggal dipromosikan agar lebih banyak orang mengaksesnya.

Kalau belum, sudah saatnya dibuat situs semacam ini yang akan memuat feature para veteran yang tidak dikenal dan hidupnya memprihatinkan dan peta desa?desa di mana dulu para gerilyawan dari kota atau pejuang bersenjata kita mondok di rumah?rumah simbok dan pak tani selama berminggu?minggu, menikmati kudapan dan penginapan nan gratis. Sudah saatnya karya?karya sastra heroik yang menceritakan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan di sekitar tahun 1945 ditampilkan lagi di situs?situs yang dibuat oleh Departemen Pendidikan Nasional atau oleh orang?orang yang mampu menggunakan teknologi internet sekaligus peduli pada peran penting “orang?orang kecil” dari desa dan kampung itu.

Menipis dan luntur
Jika kita tidak segera melengkapi faset sejarah kita dengan menampilkan peran orang?orang kecil atau biasa yang sekarang (hampir) terlupakan, generasi mendatang tidak akan tahu bahwa kemerdekaan yang kita capai 63 tahun lalu itu betapa mahal harganya. Bahwa berlaksa nyawa dan berbelanga darah para pejuang, baik yang bersenjata maupun yang tak bersenjata, tercecer?cecer sepanjang jalan menuju ke kemerdekaan, tak akan diketahui oleh generasi yang akan datang.

Mereka akan mengira kemerdekaan itu jatuh dari langit atau hadiah?atas?dasar?belas-kasihan penjajah kepada bangsa kita. Heroisme mereka akan menipis dan akhirnya luntur sama sekali. Mereka lalu tak mau peduli apakah bangsa ini akan lestari atau lampus. Mereka tak akan peduli apakah bangsa ini berprestasi atau miskin kreasi di era mendatang dan tersisih oleh bangsa lain yang bahkan serumpun. Heroisme kita semua harus ditumbuhkan lagi. ***

*) Penulis nonfiksi dan dosen ABA St. Pignatelli, Solo

Hadiah bagi Gerilyawan Sastra

Anwar Siswadi
http://www.tempointeraktif.com/

Penerbitan buku-buku sastra berbahasa daerah jumlahnya mengalami pasang-surut, paling tidak dalam 10 tahun terakhir. Tapi, Hadiah Sastra Rancage terus bergulir. Tak terasa, 22 tahun sudah penghargaan khusus itu diberikan bagi para penulis, pembuat lagu, juga budayawan daerah.

Inilah bentuk penghormatan dari sastrawan untuk sesama rekannya tatkala pemerintah tak melirik upaya gerilya mereka dalam mempertahankan pemakaian bahasa ibu.

Rancage, dari bahasa Sunda yang berarti kreatif, dirintis oleh sastrawan Ajip Rosidi, 72 tahun, pada 1989. Semula, penghargaan karya sastra modern berbahasa daerah itu hanya diberikan untuk buku-buku berbahasa Sunda. Sejak 1994, hadiah itu juga diberikan untuk sastrawan Jawa, Bali, mulai 1998, dan Lampung pada 2008. Sampai hari ini, penghargaan karya sastra itu masih diberikan untuk empat daerah tersebut. “Daerah lain tidak ada yang menerbitkan buku baru,” kata Ajip kepada Tempo akhir pekan lalu.

Selama lima tahun awal, uang hadiah senilai Rp 1 juta kepada setiap pemenang dirogoh dari kocek Ajip sendiri. Uang hadiah semakin besar sejak Yayasan Budaya Rancage berdiri dan donatur bertambah. Kini, Hadiah Sastra Rancage 2010 berupa piagam penghargaan dan uang hadiah masing-masing Rp 5 juta akan diberikan kepada tujuh pemenang. Upacara itu akan dilakukan pada Mei mendatang di Universitas Negeri Yogyakarta.

Tiga juri, yang terdiri atas Ajip Rosidi, Sri Widati Pradopo, dan I Made Darma Putra, memilih pemenang berdasarkan buku sastra berbahasa daerah yang terbit sepanjang 2009. Buku cetak ulang tak masuk hitungan. “Tujuannya untuk mendorong pengarang yang masih hidup untuk terus berkarya,” kata Ajip.
Dari 13 buku baru yang terbit di Jawa Barat, juri memilih kumpulan cerita pendek Sanggeus Umur Tunggang Gunung (Setelah Usia Lanjut) karya Usep Romli sebagai karya sastra Sunda terbaik tahun ini. Terbitan Kiblat Buku Utama itu berisi sembilan cerita yang melukiskan beragam masalah pembangunan yang dihadapi orang Sunda di perkampungan.

Tokoh-tokohnya membandingkan keadaan alam, lingkungan, hingga pikiran dan kehidupan sekarang dengan kondisi ketika mereka masih kecil. Tema seperti itu sebenarnya hampir mirip dengan karya-karya Usep sebelumnya. “Tetapi (kini) lebih matang dan inovatif,” kata Ketua Dewan Pembina Yayasan Budaya Rancage itu.

Misalnya, pada cerita Neangan Pajaratan (Mencari Makam), yang kisahnya disampaikan oleh orang pertama, Usep tak memakai kata “kuring” (saya). Ajip menilai Usep memaksimalkan sifat bahasa Sunda yang dapat membentuk kalimat tanpa subyek. Juri juga menilai seluruh ceritanya mengalir lancar dan wajar. “Sehingga terciptalah dunia imajinasi yang khas sebagai sastra,” ujarnya.

Di ranah sastra Jawa, dominasi sastrawan Jawa Timur masih muncul seperti beberapa tahun terakhir. Menurut juri Sri Widati Pradopo, ada 12 buku sastra baru yang terbit. Isinya berupa guritan (sajak), kumpulan cerita pendek, dan roman. Menariknya, penulis bahasa Jawa itu tak hanya berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tapi juga ada yang tinggal di Jakarta dan Depok. Hadiah Sastra Jawa akhirnya jatuh ke tangan Sumono Sandi Asmoro.

Penyair dalam buku Layang Panantang terbitan Balai Bahasa Surabaya itu, kata Sri, menunjukkan keberanian memilih dan merambah pengalaman berbagai jiwa dengan teknik ekspresi yang tepat. “Semuanya dengan kesadaran bahwa keindahan harus selaras dengan bobot pikirannya,” kata periset di Balai Bahasa Yogyakarta itu.

Sedangkan sastra Bali, walau hanya ada sembilan buku baru, keistimewaannya lebih riuh. Kumpulan puisi Gerip Maurip Ngridip Mekedip karya I Nyoman Manda, misalnya, terdiri atas 3.500 halaman! “Dalam bahasa Bali modern maupun dalam bahasa Indonesia, tidak pernah ada kumpulan sajak seorang penyair yang setebal itu,” ujar juri I Made Darma Putra.

Manda selama ini dikenal sebagai pengarang produktif yang menghasilkan sajak, roman, cerita pendek, dan naskah drama. Redaktur dua majalah berbahasa Bali, yaitu Canangsari dan Satua, itu dalam bab III khusus memuat terjemahan karya para penyair Indonesia, mulai Sanusi Pane, Amir Hamzah, hingga Afrizal Malna dan Oka Rukmini ke dalam bahasa Bali.

Peraih hadiah Rancage pada 1998, 2003, dan 2008 itu juga menerjemahkan beberapa karya penyair Jerman, Australia, Afrika Selatan, dan Malaysia. Adapun karya Manda, lebih dari 2.000 sajak, dicetak di Bab I-II. Temanya beragam dari kenyataan sehari-hari dan hangat di koran, mulai komersialisasi budaya akibat industri pariwisata, korupsi, kampanye pemilu, sinetron, kasus Tukul Arwana, Prita Mulyasari, sampai peristiwa luar negeri.

Namun, juri menilai kualitas puisinya tidak merata. “Ada yang kuat penuh renungan dan sinisme yang tajam, tapi banyak yang mirip catatan pojok koran,” kata Made Darma. Baginya, cerita pendek Leak Pemoroan karya I Wayan Sandha dalam kumpulan tujuh cerita pendek berbagai pengarang lebih menonjol. Juri pun memilihnya sebagai penerima hadiah Rancage 2010.

Leak Pemoroan berkisah tentang ketabahan pencari belut menghadapi gangguan setan di malam hari. Dia tidak takut menghadapi manusia jadi-jadian dan menyerangnya sampai mati. Lukisan suasana malam dan perang melawan setan, kata Made Darma, ditulis dengan deskripsi yang kuat. Bahasa yang digunakannya nyeleneh, tapi mampu menggali masalah dan menggambarkan watak tokoh cerita. Sandha dinilai menulis 41 ceritanya dengan narasi dan konflik yang kuat.

Kritik pedas dalam 41 cerita di dalamnya pun terlontar dengan bahasa yang jernih. Dalam cerita Wisian Bank Dunia, ujar Made, pengarang mengkritik pola multi-level marketing sambil menyentil, “Ah, gara-gara Bank Dunia iraga nepukin soroh jelema dot sugih kuala tusing bani ngetélang peluh.” (Ah, gara-gara Bank Dunia aku menemukan kelompok manusia yang ingin kaya tapi tidak berani meneteskan peluh). “Pemakaian perumpamaan atau kiasan juga tepat sehingga membuat sketsa kehidupan ini memiliki aroma sastra yang kental,” kata Made Darma.

Kumpulan cerita pendek pula yang mengantar sastrawan Lampung Asarpin Aslami untuk meraih Hadiah Sastra Rancage 2010. Karyanya dalam Cerita-cerita Jak Bandar Negeri Semuong itu menyisihkan pesaing tunggalnya, yaitu buku kumpulan 57 sajak bertajuk Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan karya Oky Sanjaya. Juri menilai seluruh sajak mahasiswa jurusan fisika di Universitas Lampung itu masih mentah. Peristiwa sehari-hari yang dituangkan lewat kata-kata sederhana dinilai tak mampu merangsang pembaca untuk merasakan hal yang sebenarnya.

Cerita-cerita dari Bandar Negeri Semuong, yang memuat 17 cerita pendek, menuturkan berbagai kebiasaan, tata cara, adat istiadat, perilaku, dan polah masyarakat di Bandar Negeri Semuong, sebuah kecamatan di Kabupaten Tanggamus, Lampung. Lulusan Institut Agama Islam Negeri Raden Intan ini dianggap mampu menggambarkan budaya tradisional, seperti kebiasaan ibu-ibu mengumpulkan kayu bakar di kampung dan siahan atau kebiasaan pemuda yang berbisik di balik dinding rumah gadis pujaannya. Juri sepakat, buku Asarpin ini merupakan kumpulan cerita pendek modern pertama dalam bahasa Lampung yang banyak mengandung nilai-nilai tradisional dan modern.

Hadiah Sastra Rancage kali ini juga diberikan bagi orang-orang yang berjasa dalam mengembangkan dan melestarikan bahasa daerah. Mereka adalah Karno Kartadibrata (bahasa Sunda), Bonari Nabobenar (Jawa), dan Agung Wiyat S. Ardhi (Bali).

Karno Kartadibrata dinilai berjasa besar memperkaya bahasa Sunda dengan tulisan sosial politik. Tulisan Wakil Pemimpin Redaksi Mangle–majalah mingguan berbahasa Sunda–itu rutin hadir sejak 1977. Sorotan lelaki kelahiran Garut, 10 Februari 1945 tersebut menghubungkan situasi masyarakat di sekelilingnya dengan keadaan masa lampau atau masyarakat selain Sunda. Meskipun kadang-kadang tulisannya berulang atau seperti kehilangan arah, juri menilai pekerjaan menulis selama lebih dari 30 tahun itu adalah prestasi tersendiri. Bahasa Sunda pun tak hanya terpakai untuk sajak, puisi, atau cerita pendek saja.

Selain menulis di koran, bekas wartawan surat kabar Harapan Rakyat dan Harian Kami itu pernah menerbitkan sajak berjudul Lipstick (1981) dan Parfum (1997).
Sedangkan orang yang dinilai berjasa dalam kesusastraan Jawa modern tahun ini disandang Bonari Nabobenar. Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya itu dinilai aktif di Sanggar Triwida dan mengikuti berbagai diskusi sastra Jawa dan Indonesia semasa kuliah. Lulusan jurusan bahasa dan sastra indonesia IKIP Surabaya–sekarang Universitas Negeri Surabaya–itu kemudian mengembangkan sastra Jawa di tempat kelahirannya, Trenggalek, Jawa Timur.

Redaktur tabloid X-File kelahiran 1 Januari 1964 itu dan beberapa orang kawannya pernah melakukan gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman. Selain menulis guritan (sajak), cerita pendek, dan esai, mantan guru SMP tersebut dalam beberapa tahun terakhir menjadi fasilitator penulisan kreatif tenaga kerja wanita Indonesia di Hong Kong.

Jasa Agung Wiyat S. Ardhi dalam melestarikan sastra Bali di antaranya lewat kegiatan menulis puisi, cerita pendek, juga naskah drama sejak 1976. Sastrawan kelahiran Gianyar, Bali, 3 Februari 1946 itu juga aktif dalam pembinaan bahasa, aksara, dan sastra Bali sejak 2000. Sasarannya adalah kelompok guru, pelajar, dan ibu-ibu PKK. Adapun di lingkup sastra Bali tradisional, Agung Wiyat banyak menyalin dan menguraikan arti bagian-bagian epos Mahabharata dan Ramayana.
Hadiah Samsudi untuk bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda, kata Ajip, tahun ini urung diberikan.

Dari empat judul buku karangan Aan Merdeka Permana, semuanya berisi dongeng sasakala atau legenda tentang Cadas Pangeran, Candi Cangkuang, Kerajaan Arcamanik, dan Padjadjaran. Dalam dongeng itu, penulis di antaranya mencantumkan tahun kejadian yang tak jelas sumbernya sehingga dikhawatirkan menimbulkan salah pemahaman di kalangan pembaca anak-anak.

Hadiah Sastra Rancage lahir dari keprihatinan karena pemerintah kurang memperhatikan sastra dan bahasa daerah. Padahal, sesuai dengan amanat konstitusi, kata Ajip, pemerintah bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian identitas nasional itu. “Sampai sekarang pemerintah belum pernah membeli karya-karya pemenang Rancage,” katanya. Walau begitu, Ketua Dewan Pengurus Rancage Erry Riyana Hardjapamekas mengaku tak ambil pusing. “Asalkan pemerintah enggak ngerecokin aja, itu sudah bagus,” ujarnya.

Jawa Timur: Geografi Puisi yang Terlupakan

Indra Tjahyadi*
http://www.suarakarya-online.com/

Entah mengapa di dalam lapangan perpuisian Indonesia keberadaan penyair Jawa Timur acapkali dilupakan. Sebagai contoh, sebut saja nama Aming Aminoedhin. Padahal penyair Jawa Timur yang bernama asli Mohammad Amir Toha, yang dilahirkan di kota Ngawi, 22 Desember 1957, ini pada era-era tahun 80-an sampai dengan awal tahun 90-an merupakan seorang penyair yang keberadaannya dalam lapangan perpuisian Indonesia cukup menarik perhatian.

Tak kurang media-media massa berskala nasional yang memuat puisi-puisinya. Juga majalah-majalah sastra dan budaya yang berwibawa di Indonesia kala itu memuat puisi-puisi yang diciptakannya. Pendeknya mulai Horison, Basis, Zaman sampai dengan Gadis adalah media-media di Indonesia yang berskala nasional yang pernah memuat karya-karya puisinya tersebut. Tapi, sekali lagi, entah mengapa, dalam perkembangannya kemudian, Aming Aminoedhin begitu saja seperti hilang dan terlupakan keberadaannya di dalam lapangan perpuisian Indonesia.

Seperti yang telah diketahui bersama, pada era-era 80-an, pada umumnya, lapangan perpuisian Indonesia disesaki oleh 2 (dua) macam gaya. Pertama, gaya-gaya puisi gelap, dan yang kedua, adalah gaya-gaya puisi yang cenderung memilih gaya pengungkapan yang sufistik. Nama-nama semacam Afrizal Malna, Kriapur, Nirwan Dewanto adalah nama-nama penyair yang kala itu yang oleh beberapa kritikus dan esais sastra Indoensia kala itu ditempatkan dalam ranah puisi dengan gaya ucap yang gelap, sedangkan nama semacam Acep Zamzam Noor adalah nama penyair yang lebih bisa ditempatkan pada wilayah puisi dengan gaya sufistik. Lantas dimanakah posisi seorang Aming Aminoedhin di tengah gaduhnya gaya puisi gelap dan sufistik dalam lapangan perpuisian Indonesia pada era 80-an sampai dengan awal 90-an kala itu?

Gaya puisinya yang cenderung mengingatkan orang pada gaya-gaya ucap Sitor Situmorang menempatkan seorang Aming Aminoedhin tidak di mana pun di dalam gaya puisi yang sedang booming dalam lapangan perpuisian Indonesia kala itu. Tengok saja puisinya yang berjudul “Mimpiku Kesejuta”:

kabar itu telah sampai
dibawa udara lintas di cakrawala
segar rindu mengurai
mengatasnama kekasih yang bakal tiba
debunga di halaman di jalanan
kusuruh menunda mekarnya
bersembulan
sebelum kekasih akan tiba
untuk menjemput bersama
(2004: 7).Atau juga pada puisinya yang
berjudul Perahu:

perahu itu telah patah layar patah dayung
tanpa tahu arah mana tanah dituju bersandar
segala tampak jauh untuk istirahat berlabuh
perahu itu di tengah laut mengapung
terombang-ambing badai angin
menggapai labuhan batin, tak sampai pantai
(2004:9)

Pada kedua puisi yang diciptakannya pada tahun 1983 dan 1985 itu dapatlah dilihat bahwa Aming Aminoedhin berusaha untuk tetap bersikukuh pada gaya puisi era Sitor Situmorang yang lebih cenderung untuk tetap berketat-ketat dengan keteraturan bunyi persajakan dan bahasa perlambangan yang begitu kental. Hal semacam ini membuat puisi-puisi Aming Amonoedhin seolah-olah jauh dari peradaban lapangan perpuisian yang sedang berlangsung saat itu. Coba saja, semisal, perbandingkan dengan puisi-puisi karya Acep Zamzam Noor yang dia ciptakan pada kisaran tahun 1983. Seperti pada puisi yang berjudul Lagu Fajar:

Adakah yang lebih dingin dari langkah-langkah ini
Lebih beku dari tulang-tulangku kini:
Aku yang berjalan
Menyuruk hutan demi hutan, memahami sunyi,
aku yang asyik berjalan menggali kubur sendiri
(2004: 16).

Atau juga pada puisi Acep Zamzam Noor yang berjudul Monologue Interieur: Wahai, kemarilah kamu Kemarilah hujan peluru. Daun-daun luruh Bertumpuk dan membusuk. Tinggal firman Musim dingin yang panjang (menetes dari lidahmu) Taubatku, sayang, airmata salju Kuhikmati waktu. Kupejamkan mataku (2004: 19). Dari puisi-puisi karya Acep Zamzam Noor di atas dapatlah dilihat, betapa dia tidak lagi berkutat pada bunyi persajakan yang ketat dan bahasa perlambangan yang kental. Akan tetapi, puisi-puisi karya Acep Zamzam Noor hadir dengan gaya bahasa yang lebih ekspresif dan tidak lagi bersibuk diri dengan bahasa perlambang. Hal yang sama juga terjadi pada puisi-puisi karya Kriapur, tengok saja puisinya yang dia beri judul Prahara Burung-burung.

Dalam puisinya yang pernah dimuat di majalah sastra Horison tersebut, sebagaimana juga dengan apa yang terjadi pada puisi karya Acep Zamzam Noor di atas, Kriapur juga seakan-akan telah melepaskan diri dari kecenderungan puisi yang lebih mementingkan ketetatan bunyi dan kemesraan bahasa perlambangan. Meskipun sama-sama diciptakan pada tahun 1983, gaya ucap puisi Kriapur hadir dengan semangat dan gayanya yang lebih ekspresif daripada gaya ucap puisi yang diciptakan oleh Aming Amonoedhin pada tahun yang sama. Lihat saja larik-larik puisi karya Kriapur yang berjudul Prahara Burung-burung tersebut:

dan lihatlah, kekasih
ruhku menggigil memanggilmu
dalam jerit dalam dekapan luka dan kegilaan
atau dengarlah!
dari jauh suara burung-burung pindahan
menyerbu kota-kota
(Horison/XXII: 18).

Atau juga dapat dilihat pada larik puisi karya Kriapur lainnya seperti Luka di Mana-mana, yang juga diciptakan oleh Kriapur pada tahun 1983:

kuturut padamu
suara hujan di luar malam
bayang-bayangmu yang tajam
menancap di ulu tidurku
lalu mengggeram
(Horison/XXII: 19).

Edy A. Effendi dalam sebuah esainya yang berjudul Fanatisme dan Keseragaman dalam Puisi (Kompas, 9 Maret 1997) pernah mensinyalemen bahwa pada era tahun 80-an telah terjadi semacam fanatisme pada sebuah ideologi pengucapan puisi, yang pada akhirnya, membawa lapangan perpuisian Indonesia, pada era tersebut sampai pada keseragam gaya. Menurutnya, “Para penyair yang memasuki proses kreatif pada babakan 80-an, dan salah satunya diprakarsai oleh Afrizal Malna, telah ikut serta menanamkan benih fanatisme dan keseragaman dalam penciptaan puisi”

Fanatisme dan keseragaman dalam penciptaan puisi tersebut, apabila merujuk pada pemikiran Edy A. Effendi di atas, pada akhirnya, secara sadar atau tidak, akan membentuk suatu kanon estetika yang seragam dan begitu teguh dipeluk oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Sehingga yang muncul hanya kesamaan-kesamaan dan bukannya keberbedaan kepribadian sebuah karya. Ini merupakan sebuah krisis. Suatu krisis puitik yang membawa lapangan perpuisian Indonesia pada era tersebut hanya pada sampai batas booming gaya dan bukannya kemandirian ekspresi.

Bisa jadi, apabila merujuk pada pikiran Edy A. Effendi di atas, hal itulah yang membuat keberadaan kepenyairan Aming Aminoedhin pada era tahun 80-an sampai dengan era tahun 90-an tak lebih dari suara sayup dari negri asing. Keengganannya untuk mengikuti booming gaya puisi yang ada waktu itu membuatnya terasing, dan tak lebih dari kaum separatis yang muncul di dalam lapangan perpuisian Indonesia. ***

*) Penyair, esais, staf pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo. Kini berdomisili di Jl. Potro Agung II/5, Surabaya 60135.

Minggu, 11 Juli 2010

Puisi-Puisi Heri Latief

http://www.sastra-indonesia.com/
Batu

batu yang diangkatnya ke puncak bukit itu
terguling lagi ke bawah
alam sadarnya bilang ada bahaya
lalu dibacanya sajak yang berlawan
bakar-bakarlah semua impian
supaya apinya memanasi hatimu
dan jangan lagi berpaling
lihatlah apa yang telah terjadi
tiada lagi kata yang pantas untuk diucapkan
semua realitas ganas memburu mimpimu
kemana juga kau pergi bakalan ketemu batu

Amsterdam, 2 juni 2010



Konsepsi

bunganya mimpi musim semi
kembang setaman jadi impian

o gitu ya?

bersemi puisi tanpa imajinasi
meraba misteri dalam gelapnya kata

sajak terdampar di pinggir trotoar
mari kita melupakan kepedihan, proost!
jangan percaya wanginya hayalan

berkacalah pada ganasnya realitas
: srigala menangis dirayu rembulan

Amsterdam, 31/05/2010



Emosi

harumnya secangkir kopi
rayuan wanginya arak api

senyum bulan tadi malam
bukan sekedar mimpi sayang

sebaris puisi mencuci emosi?

Amsterdam, 30/05/2010



Arah Kiri

aku tau rutenya
menyeberangi jalan setapak
ke arah kaki langit
lalu di ujung sana
ke kiri

Amsterdam, 30/05/2010



Siapa Yang Takut Malam?

perkenalkan namanya malam
pernahkah kau tau siapa membenci kegelapan?
dalam sajak gelapnya malam ada tragedi kesepian, ah gitu ya?
merindu angin malam ketemu debu membisu
besoknya mengulang lagi balada tujuh bulan tanpa kasian
bunyi serentetan petasan di malam lebaran, kapan?

Amsterdam, 30/05/2010



Tanggul Derita Rakyat

aku pernah datang ke tanggulmu
lumpur busukmu merendam kenanganku
di sana tak ada lagi harapan. musnah!

aku pernah datang ke pasar porong
kulihat derita orang terusir dari rumahnya
langit di atas desa porong kering tak berawan
panasnya udara bau intrik kekuasaan. ngeri!

tak tau lagi kemana aku mesti mengadu
dunia politik membeli suara. membisu
dan membungkamkan inti kebenaran

Amsterdam, 29/05/2010

Puisi-Puisi Ahmad Syauqi Sumbawi

http://www.sastra-indonesia.com/
PERJALANAN KE BUKIT

aku tak ‘kan mengharap
jalan datar di depan sana
dan doa yang mengharapkannya
akan ditertawakan udara
sebagai ketololan yang sia-sia

”telah kering sang Pena”

iklim-cuaca pun mencatat
bahwa perjalanan ke bukit
otot-otot menjadi kawat
butir-butir nasi menjadi keringat
dan semangat ditumbuhi karat

dan manakala aku tergelincir menggelinding
aku tak mau ada di antara ngeri dan mimpi
yang tak lain adalah diam yang menyiksa

biarlah hancur binasa
sebab kehidupan akan tergelar segera
dengan memandang mekar wajahku
di bukit sana



KEPADA WAKTU

coret saja namaku dalam daftarmu
berkali-kali tak sambut buangan kakimu
dan buang saja ludah pahitmu ke mukaku
seperti yang selalu kaulakukan membikin sesal

memang hijau jari-jari di dada rentan patah
apalagi untuk kali pertama
sekawanan laba-laba membangun sarang
saat mencoba menampakkan udara
yang terjaring malam itu

dalam kamar gelap dan pengap
aku tak peduli lagi itu berbahaya
aku tak peduli iklim dan cuaca yang berubah
juga pada jarum jam dinding
yang menangkapmu di tiap detik
dengan tawa persulangan di remang malam

kutuk aku!
ya, kutuklah!
kutuklah seperti yang selalu kaulakukan
mungkin begitu, aku lebih mengenalmu



DI SEBUAH KONSER

di sebuah konser
aku ingin menari, bersama
mencebur dalam riaknya
bukan dangdut, rock n’ roll, punk,
grunge, black metal, underground,
ska, campur sari, hip hop, R&B,
dan sebagainya

di sebuah konser
aku ingin menyanyi, bersama
mengalir dalam alunannya
bukan pop, slow rock, blues, jazz
seriosa, keroncong, kasidah,
dan sebagainya

di sebuah konser
aku ingin menari dan menyanyi, bersama
diiringi musik yang tersembul
dari palung diri
yang mengalir mendesir darah
hangat di dada

lebih merdu dari tarikan vokal
lebih lembut dari sentuhan keyboard
lebih kuat dari hentakan drum dan perkusi
lebih lengking dari petikan gitar dan gesekan biola
lebih..
lebih…
membebaskan…



BILA MATA TIBA-TIBA PECAH

benarkah, telah binasa mekar wajah?
mata tiba-tiba pecah
jika kautanya, barangkali ‘kan
menyentak juga:
“keruh kening takkan pernah cukup terhapus
oleh lelehan air mata. malah,
rentan melajatkan sepai diri bersama
kesepian bebatang kaktus.”

di bawah malam,
oase menggambar purnama
apakah ada yang lewat?
menyentuh pada kemilaunya
jika kautanya sekali lagi,
barangkali ‘kan menyentak kembali:
“setelah keruh kening luntur,
maka terlihatlah juga
air jatuh dari wajah dan tangan
mengirimkan getar-getarnya
menjelma sungai membayang muara.”

dalam dada menghisap debur samudera
apakah mesti berangkat? merelakan
buih-buihnya

jika kautanya kembali,
barangkali ‘kan menyentak sekali lagi:
“buih-buih adalah pasti.
pasir dan karang membentuk daratan.”
jika masih bertanya-tanya juga,
terkubur lautan tanpa nisan

Geger Gember Genjer-Genjer

http://cawanaksara.blogspot.com/
Novel : Kantring Genjer-Genjer; Dari Kitab Kuning Sampai Komunis
Penulis : Teguh Winarso AS
Penerbit : Pustaka Pujangga, Lamongan
Cetakan : I, 2007
Tebal : 120 hlm.
Peresensi: Sungatno

Andaikan saat ini masih era pembasmian ideologi komunis di negeri ini, jangan sekali-kali anda menyenandungkan lirik Genjer-genjer. Sebab, sekali saja anda menyenandungkan lirik tua ini dan didengar oleh orang atau pemerintah, anda akan dituding sebagai antek-antek komunis. Anda akan dicekal, dibuang, disiksa hingga mati dan dibuang dalam gelapnya lobang; lobang buaya. Inilah kenyataan yang pernah terjadi di negeri bekas penjajah ini.

Dalam novel ini, Teguh Winarso AS terasa memiliki nyali yang cukup gede. Dari judul novel ini saja, Teguh telah memberikan rangsangan informasi bagi calon pembaca bahwa didalam novel yang tercover warna darah ini bergelantungan kisah kehidupan manusia yang senang dan atau takut terhadap komunis.

Pembaca akan diajak menyelami kehidupan rakyat kecil (ndeso) disebuah perkampungan di Jawa, yang kental dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Pada saat yang sama, sebagian penduduk juga menemukan dilema antara mempertahankan kepercayaan nenek moyang atau memeluk Islam. Dalam situasi yang lain, keadaan politik negara sedang mengalami transisi dari orde lama menuju orde baru.

Sebelum menikmati novel ini, pembaca akan menemukan pengantar dari Redaktur Jurnal Kebudayaan The Sandour Nurel Javissyarqi. Menurutnya, novel itu pengadaan yang pernah ada, dengan bobot ruang yang tidak sama. Ia mendiami suatu tempat berkemiripan dan bukan termasuk realita disaat telah menjadi kabut wacana. Lantas lebih meningkat, ternyata realitas juga bukan suatu “realitas” ketika kemampuan rasa sudah melebur dalam katagorinya sebagai non realias”.

Yang perlu diperhatikan, novel ini memang berangkat dari realitas kehidupan yang pernah ada. Namun, pembaca tidak bisa menghakimi bahwa apa yang terdapat dalam gubahan cerita Teguh ini adalah benar semua adanya. Besutan cerita memang “anak ruhani” dari realita, tapi tidak bisa dinobatkan sebagai realita. Antara reka dan realita itulah yang kemudian membedakannya. Bila dikemudian hari cerita ini anda yakini sebagai malihan dari realita, itu konsekuensi yang perlu pembaca pikirkan lagi.

Pembantaian Dewan Jenderal

Suatu malam menjelang fajar, telah terjadi penculikan sejumlah Jenderal yang dijadwalkan akan bertemu dengan Presiden Soekarno. Para Jenderal yang diantaranya adalah Menpangad Letjen. Ahmad Yani, dicekal oleh Letkol Oentoeng dan kawan-kawan serta orang-orang bawahan mereka. Selanjutnya, Dewan Jenderal itu ditembaki dan dijungkalkan dalam lobang boeaja (lubang buaya).

Nyoto, nama tokoh utama yang diangkat Teguh Winarso, merupakan salah satu oknum prajurit yang ikut melakukan pembunuhan malam itu. Pasca pembantaian Dewan Jenderal, Nyoto dan kawan-kawan yang lain merayakan pesta kemenangan disebuah hutan karet dan jati. Dengan menenggak minuman keras beramai-ramai, Nyoto dan kawan-kawan juga dimanjakan goyangan erotis sejumlah wanita yang sambil melantunkan genjer-genjer. Selanjutnya, saat pesta usai, mereka berlomba-lomba memuaskan nafsu binatang mereka dengan wanita pilihan mereka sendiri-sendiri.

Berbeda dengan yang lain, Nyoto justeru dihampiri seorang wanita, Lasmi, yang sebelumnya tidak dipanggil. Ia diajak menuju gubuk tua dan memuaskan nafsu seksual keduanya. Usai mengakhiri keperjakaannya, Nyoto kelelahan dan tertidur hingga sore hari.

Setelah bangun dan mandi, Nyoto pun kembali berduaan dengan Lasmi di kamar. Sebelum berduaan diatas ranjang lagi, Lasmi mulai memancing pembicaraan tentang kejadian yang dilakukan Nyoto, kawan-kawan dan juga dirinya. Menurut informasi yang diterima Lasmi, setelah tragedi yang menimpa Dewan Jenderal malam itu, Soekarno mengeluarkan instruksi yang intinya mengutuk keras kejadian tersebut, melalui radiogram. Usai mendengar hal itu, Pangkostrad Soeharto menjadi minder dan ketakutan. Padahal, Soeharto adalah orang yang seharusnya bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Sebab, ide penculikan yang kemudian dilakukan oleh Oentoeng, pada awalnya tidak lepas dari dukungan dan bantuan yang diberikan Soeharto. Realisasi dari dukungan itu, Soeharto mengirim bantuan pasukan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur (hlm.102).

Untuk meredam ketakutannya dan mencari muka, Soeharto memberikan perintah kepada anak buahnya untuk menangkap Oentoeng dan kawan-kawan. Selain itu, Soeharto juga menuduh bahwa gerakan yang patut disesalkan itu didalangi PKI. Pada saat itu juga, orang-orang Soeharto juga menggelendeng Aidit dari rumahnya, di Brebes, kemudian dihabisi. Sehingga, potensi penyangkalan pernyataan Soeharto dari Aidit itu tidak pernah terjadi.

Sebelum mengakhiri dialog, Lasmi mengingatkan Nyoto bahwa ia termasuk orang yang diburu dan akan dihabisi orang-orangnya Soeharto. Keduanya pun berduan lagi diatas ranjang reot.***

Orasi-Orasi Massa (Sajak-Sajak Denny Mizhar)

http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Mahasiswa dan Celana Jeannya

kemarin kau kenakan celana jean warna biru yang masih baru.
hari ini kau pakai celanan jean warna hitam dan kau lupa mencopot bandrol harganya.
esok mungkin kau kenakan celana jean yang berwarna-warni
sebab kau lupa membeli buku diktad kuliah.



Gadis yang Mengkriting Rambutnya

hai gadis mau pergi ke mana? tanyaku.
kau melambaikan tangan sambil mengibaskan rambut panjangmu
mententeng dompet yang resletingnya masih terbuka
terlihat gambar model rambut kriting dari beberapa artis yang lagi kau gandrungi.
kembali lewat jalan yang sama rambutmu sudah berubah
gaunmu membuatku bergairah:
hotpen dan kaos yang kau gunting tak rapi terlihat sedikit buah dadahmu.



Sepotong Pizza dan Gadis Muda

kau membeli sepotong pizza dan kau letakkan di lidahmu yang sudah lupa rasa singkong dan padi. kau pernah menanamnnya waktu di desa. Sambil memamerkan gigi terselip rasa pizza yang selalu minta tambah.

gadis muda itu pun harus menahan lapar ketika pulang ke desa. tak ada pizza untuk penuhi dahaga.

VOTUM SANG PENYAIR: Pemikiran &Pemberontakan Octavio Paz

Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/

Saya bukan mempengaruhi dan bukan mendoktrin siapapun. Saat ini cobalah alihkan segala bentuk imajinasi dan logika pada satu arah sudut pandang yaitu kesusastraan. Sastra merupakan satu bentuk perwujudan agung dan suci yang terpancar dari kedalaman pribadi seorang manusia. Ia menjelma dalam hidup dan kehidupan sebagai cahaya kejujuran yang memancarkan sinar kemalanya yang berbinar-binar. Ini tak pandang bentuk dan tampilanya.

Jumat, 02 Juli 2010

MEMBINCANGKAN TIGA CERPEN GUS MUS

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Ketika tahun 1970-an sastra Indonesia dilanda semangat eksperimentasi, sejalan dengan gerakan “kembali ke akar, kembali ke tradisi” sebagaimana yang diusung Abdul Hadi WM, kisah-kisah dunia jungkir balik dalam prosa, termasuk di dalamnya cerita pendek (cerpen), seperti menemukan pembenaran estetik. Absurdisme, melalui perkenalkannya dengan filsafat eksistensialisme, dipandang sebagai representasi dunia jungkir balik itu. Belakangan disadari, bahwa kisah-kisah supernatural dalam khazanah sastra tradisional kita yang tersebar di seluruh Nusantara, pada hakikatnya tidaklah berbeda dengan dunia jungkir balik yang berada di entah-berantah itu. Kisah-kisah itu juga kerap mengangkat peristiwa absurd. Tentu saja absurdisme dan kisah supernatural, secara konseptual tidaklah sama. Di sana ada keberbedaan akar tradisi kultural yang melatarbelakanginya. Dalam bahasa yang lain, masyarakat kita sudah sejak lama akrab dengan persoalan irasionalitas.

Tetapi itulah, semangat penjungkalan pada logika formal yang kemudian menghasilkan dunia jungkir balik itu, dianggap sebagai sesuatu yang baru ketika konsep itu diperkenalkan oleh para pemikir Barat. Seolah-olah, itulah kecenderungan baru yang penting diadopsi secara bulat-mentah –tanpa reserve—oleh kaum akademisi kita. Seolah-olah lagi, masyarakat kita sudah tertinggal jauh, sehingga perlu menyerap segalanya dari Barat. Maka, kegandrungan pun terjadilah dan Barat menjadi sumber inspirasi. Dan kaum akademisi pun makin terpukau oleh fenomena itu.

Bagi sastrawan sendiri, penggalian pada akar tradisi laksana sebuah keniscayaan. Maka, dengan semangat kembali ke akar, kembali ke tradisi, disadari –seperti telah disebutkan—bahwa dunia jurkir balik itu bukanlah hal yang baru bagi masyarakat kita. Logikanya sederhana: dunia jungkir balik itu sesungguhnya merupakan ekspresi realitas fisik yang berkelindan dengan realitas psikis. Keserempakan penghadiran realitas faktual yang kasat mata dengan realitas imajinatif atau psikis yang tidak kelihatan lantaran berada dalam dekaman pikiran atau perasaan, menyebabkan peristiwa itu terjadi seolah-olah tanpa hubungan kausalitas, tanpa sebab-musabab. Dalam peristiwa semacam itu, logika formal terpaksa dicampakkan. Itulah yang kemudian muncul, yaitu hadirnya peristiwa irasional yang melanggar logika formal. Berbagai peristiwa dalam tindakan dan peristiwa dalam pikiran, bercampur-aduk sedemikian rupa. Akibatnya, rentetan dan jalinan peristiwa itu laksana merepresentasikan segala sesuatu yang tidak terpahamkan: absurd!

Dilihat dari kecenderungan estetik karya-karya tahun 1970-an itu, Abdul Hadi WM mencatat ada semangat yang sama yang menjadi landasan dan wawasan estetiknya, yaitu semacam kerinduan untuk menggali nilai-nilai tradisi masa lalu budaya leluhur. Menurutnya, corak pendekatan dan sikap terhadap tradisi itu dapat dibagi ke dalam tiga kelompok kecenderungan:

1. Mereka yang mengambil unsur-unsur budaya tradisional untuk keperluan inovasi dalam pengucapan. Mereka melihat bahwa dalam tradisi terdapat unsur-unsur dan aspek-aspek yang relevan bagi pandangan hidup manusia mutakhir, khususnya irrasionalisme yang ternyata mendapat perhatian kaum eksistensialis dan penganut aliran sastra absurd;

2. Mereka yang mengklaim menumpukan perhatian hanya terhadap satu budaya daerah saja seperti Jawa, Minangkabau, Melayu Riau, Sunda dan lain-lain. Para penulis kecenderungan ini berkarya dengan maksud memberi corak khas kedaerahan terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia;

3. Mereka yang mengambil tradisi langsung dari bentuk-bentuk spiritualitas dan agama tertentu dengan kesadaran bahwa tradisi dan budaya masyarakat Indonesia terbentuk berkat masuknya beberapa agama besar, seperti Hindu, Buddha, dan Islam.[1]

Begitulah, pada tahun 1970-an itu,kesusastraan Indonesia kemudian bergerak dengan semangat eksperimentasi itu. Dalam prosa, khasnya cerpen, nama-nama Kuntowijoyo, Fudoli Zaini, Muhammad Diponegoro, dan Danarto lalu dikaitkan dengan spiritualitas tasawuf dan mistik Jawa. Inovasi yang ditawarkan mereka lambat-laun menjadi sebuah kovensi ketika model eksperimentasi itu diterima sebagai ciri estetik. Dari sana lalu bermunculan pula sejumlah istilah yang bermuara pada apa yang disebut sebagai sastra Islam.

***

Apa kaitannya pemaparan di atas dengan cerpen-cerpen A Mustofa Bisri yang biasa dipanggil Gus Mus? Apakah Gus Mus terlambat mengikuti jejak cerpenis tahun 1970-an itu ketika kehadirannya telah lewat sekitar dua dasawarsa? Atau, ketika model spiritualitas tasawuf dan mistik Jawa itu mulai memudar, Gus Mus justru baru memulai kiprah kesastrawanannya? Sejumlah pertanyaan lain, tentu saja masih dapat dikemukakan. Juga tidak begitu menjadi persoalan benar, ada atau tidak adanya hubungan antara cerpen-cerpen Gus Mus dengan cerpen Angkatan 70-an. Tetapi, tentu saja penting artinya menempatkan cerpen karya pengarang tertentu dalam konstelasi dan sejarah perkembangan kesusastraan bangsanya. Di mana posisinya dalam alur panjang sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia? Itulah pertanyaan yang harus dijawab agar jelas letaknya dalam peta besar kesusastraan, sejauh mana kontribusinya, dan bagaimana wawasan estetiknya.

Begitulah, dengan cara itu, kita dapat pula melihat, apakah kehadiran Gus Mus dalam peta cerpen Indonesia sekadar memasukkan daftar nama dalam sebuah senarai atau justru memberi kontribusi –tematik atau stilistik—sebagai sebuah tawaran estetik? Bahkan, ketika secara tematik kita menghubung dan mengaitkannya dengan tema-tema sebelumnya, penempatan itu dapat menegaskan: apakah ia masuk dalam barisan epigonisme atau menyodorkan sesuatu yang baru dengan caranya sendiri. Berikut akan dibincangkan tiga cerpen A Mustofa Bisri yang termuat dalam antologi Bidadari Sigar Rasa (Dewan Kesenian Jakarta, 2005, hlm. 1—30). Adapun ketiga cerpen itu adalah “Lukisan Kaligrafi,” “Ngelmu Sigar Rasa,” dan “Gus Jakfar”. [2]

***

Kehadiran Gus Mus lewat cerpen-cerpennya itu sesungguhnya makin menegaskan, bahwa realitas spiritual masyarakat kita memang bergerak di antara rasionalitas dan irasionalitas; antara logika formal dan logika spiritual; antara dunia yang kasat mata dan dunia gaib. Tampak di sini, semangat yang melandasi Gus Mus bukanlah hendak menggali kembali akar tradisi—yang dikatakan Abdul Hadi sebagai kembali ke akar kembali ke tradisi—melainkan sekadar hendak mengangkat sebuah realitas sosiologis yang terjadi dalam komunitasnya, dalam masyarakat persekitarannya.

Dalam cerpen-cerpen Gus Mus itu, yang terungkapkan adalah “potret” komunitas persekitaran. Ia tidak berpretensi menyajikan simbolisme sufistik, sebagaimana yang dapat kita tangkap dalam cerpen-cerpen Fudoli Zaini atau Kuntowijoyo. Maka, kisah-kisah supernatural dalam cerpen-cerpen Gus Mus itu, boleh diperlakukan sebagai realitas sosial. Atau sebaliknya, realitas sosial, boleh tiba-tiba muncul bersamaan dengan peristiwa supernatural. Jadi, begitulah, hakikatnya, cerpen-cerpen Gus Mus merepresentasikan realitas masyarakat (Islam—pesantren) yang hidup dengan segala sistem kepercayaannya. Di luar perkara itu, suasana kehidupan kiai dengan berbagai persoalannya, setelah sekian lama tak terdengar selepas Umi Kalsum, Djamil Suherman (1963; 1984), kini seolah-olah sengaja dihadirkan kembali dengan pertanyaan besar: di manakah peranan para kiai hendak ditempatkan ketika zaman telah berubah dan kehidupan politik ikut mempengaruhi perilaku masyarakat. Dengan begitu, dilihat dari perjalanan cerpen Indonesia, kehadiran cerpen-cerpen Gus Mus, tentu saja tidak sekadar memperkaya tema cerpen kita, tetapi juga seperti menawarkan pandangan baru tentang terjadinya pergeseran peran kiai.

Jika Danarto mengkelindankan mistik Jawa dengan segala filosofi dunia pewayangannya dan tasawuf; Kuntowijoyo dan Fudoli Zaini menggali tasawuf dengan sentuhan eksistensialisme; Gus Mus terkesan lepas dari segala pretensi itu. Ia sekadar bercerita: inilah realitas dunia para kiai dengan segala sistem kepercayaannya, dengan segala kisah supernaturalnya. Maka, tokoh aku yang mendapat ijazah Mbah Joned dalam ngelmu Sigar Raga atau kisah Gus Jakfar dengan segala kesaktiannya, adalah potret sekitar kehidupan para kiai. Ia bukan kisah dunia jungkir balik model tahun 1970-an. Ia juga tidak dilahirkan dari semangat eksperimentasi atau hendak mengangkat tasawuf dan filsafat Jawa. Ia hanya memotret sisi lain dari sistem kepercayaan dalam kehidupan para kiai. Dengan begitu, perkara ngelmu Sigar Raga dan kesaktian Gus Jakfar adalah kisah supernatural yang real. Bahkan, dalam dunia pesantren kedua kisah itu telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan keseharian para santrinya, dalam sistem kepercayaan mereka yang tidak perlu diperdebatkan.

***

Cerpen “Lukisan Kaligrafi” agaknya lebih menyerupai sebuah ironi tentang dunia seni lukis kita. Dikisahkan di sana, pelukis, tanpa perlu memahami aturan-aturan penulisan khath Arab, tanpa perlu menguasai bahasa Arab, dan cukup sekadar mengetahui makna Al-Quran lewat terjemahan Departemen Agama, sudah cukuplah sebagai modal melukis kaligrafi. “Katanya dia asal ‘menggambar’ tulisan, mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertulisan Arab lainnya.” Sebaliknya, seorang kiai macam Ustadz Bachri, meski bukan pelukis, lantaran merasa menguasai perkara khath Arab, dan didesakpaksa untuk ikut pameran lukisan, tertantang juga untuk coba menjadi pelukis. Hasilnya tentu saja ustadz itu mendadak jadi pelukis “karbitan”.[3]

Sesungguhnya, cerpen itu laksana potret miniatur Indonesia. Gambaran di dalamnya laksana merepresentasikan kehidupan bangsa ini. Di negeri ini, siapa pun, lantaran keadaan atau lantaran dipaksa dan didesak, bisa menjadi apa pun; atau apa pun, bisa dikerjakan oleh siapa pun, meski bukan ahlinya. Itulah yang terjadi dalam pemerintahan kita selepas Orde Baru. Itu pula yang berulang kali terjadi dalam kabinet pemerintahan Indonesia dalam setiap pergantian pemerintahan siapa pun presidennya. Dan berkat pemberitaan media massa, opini gampang diciptakan. Tinggal masyarakat bertanya-tanya dalam ketidakpahamannya. Bukankah pesan itu juga implisit terekam dalam cerpen itu?

Gus Mus boleh jadi sekadar berpretensi menggambarkan terjadinya pergeseran peran kiai. Atau, sangat mungkin ia sekadar menulis cerpen sambil menyentil ke sana ke mari. Tetapi di situlah fungsi sastra. Ia mengungkapkan problem individual yang maknanya sering kali bersifat universal. Di balik itu, misteri lukisan yang tidak dapat difoto dan lukisan itu dihargai begitu mahal, dalam banyak kasus spiritual, hal itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Selalu ada peristiwa aneh dan mengejutkan. Selalu ada faktor kebetulan yang diyakini sebagai campur tangan Tuhan. Maka kejutan dalam peristiwa itu dimungkinkan oleh adanya sejumlah faktor kebetulan (possibility), yang berbuah menjadi keniscayaan ketika keyakinan tetap bergeming. Bukankah dalam cerpen itu kita dapat menemukan beberapa faktor kebetulan: si pelukis Hardi melihat rajah di depan pintu; dia akan menyelenggarakan pameran kaligrafi; cat yang tersisa hanya dua warna, putih dan silver; dan letak huruf alif berada di tengah kanvas. Beberapa faktor kebetulan itulah yang pada akhirnya membawa Ustadz Bachri berhasil menyelesaikan sebuah lukisan alif.

Faktor kebetulan yang dalam pemikiran strukturalisme kerap dimasalahkan ketika hubungan kausalitas terkesan dipaksakan, dalam cerpen-cerpen Gus Mus justru menjadi bagian penting jika dikaitkan dengan perkara keyakinan. Maka, faktor kebetulan yang dalam pemikiran strukturalisme ditempatkan sebagai bagian dari rangkaian peristiwa, dalam cerpen-cerpen Gus Mus malah menjadi bagian dari tema cerita. Di sinilah pentingnya teks tidak dilepaskan dari konteksnya, dari kultur yang mendekam di belakang yang tersurat dalam teks. Dengan pemahaman itu, faktor kebetulan punya dasar kultural, bahkan ideologis. Bukankah faktor kebetulan itu diyakini masih berada dalam lingkaran campur tangan Tuhan?

Cermati saja cerpen “Ngelmu Sigar Rasa”. Kesediaan Mbah Joned menemui tokoh aku; kondisi Mbah Joned yang sedang murah hati; kemudahan tokoh aku memperoleh ijazah dari kiai sepuh itu; dan lancarnya proses penerimaan ilmu sigar rasa, adalah rangkaian peristiwa yang serba kebetulan. Segalanya mengalir begitu saja lantaran Tuhan telah mengaturnya demikian. Bukankah itu masih berada dalam lingkaran sistem kepercayaan. Bukankah itu juga diyakini hanya akan hadir jika di sana ada keimanan yang tidak tergoyahkan, yang tetap bergeming?

Bagaimana pula kita memperoleh penjelasan rasional ketika si tokoh aku mempraktikkan ilmunya? Bagaimana roh tiba-tiba melayang meninggalkan jasad dan sekejap berdialog sebelum roh itu pergi entah ke mana? “Mus, aku pergi ya, kamu tinggal saja di rumah!” Kulihat diriku mengangguk dan melambaikan tangan. Aku pun pergi meninggalkan diriku. Itulah dialog yang terjadi antara roh dan tubuh. Sejumlah pustaka filsafat yang membincangkan hubungan roh, tubuh, dan jiwa, kerap gagal menjawab persoalan itu ketika segalanya hendak diuraikan lewat pendekatan rasional. Selalu ada wilayah yang tidak dapat disentuh rasio. Manusia adalah misteri bagi manusia. Lalu bagaimana pula kita hendak menjelaskan peristiwa dalam cerpen itu. Apakah peristiwa itu termasuk wilayah dunia jungkir balik, kisah supernatural atau justru potret real atas realitas sosiologis kehidupan para kiai?

Itulah salah satu kekhasan cerpen-cerpen Gus Mus. Ia tidak hendak menawarkan dunia jungkir balik dengan semangat eksperimentasi model cerpen-cerpen tahun 1970-an. Ia juga tidak bermaksud mengangkat kisah supernatural. Ia justru sekadar memotret sebuah realitas sosiologis yang sengaja hendak ditempatkan sebagai bagian dari tema cerita. Maka yang terjadi adalah sebuah kritik sosial ketika peran kiai mulai bergeser lantaran kemewahan melimpahinya; ketika nafsu duniawi menghilangkan jati dirinya.

Jika di akhir cerita digambarkan, terjadi pertemuan antara lelaki berpakaian putih-putih dan tokoh aku yang dikatakannya: orang itu memandangku seperti melihat hantu; dan sang ibu memperlakukan anaknya itu dengan segala keheranannya, itu bermakna bahwa tokoh aku secara spiritual tidak lagi memperlihatkan kesalehannya sebagaimana dulu ketika ia menerima ijazah dari Kiai Sepuh, Mbah Joned. Pertanyaan-pertanyaan ibunya menegaskan terjadinya perubahan itu: “Lo, Mus, apa-apaan kau ini?”/”Kapan kau datang dan akan terus pergi ke mana malam-malam begini”/ Itu pakaian siapa yang kau pakai? Kayak orang kota saja…”/Hei, Mus, kesambet di mana kau ini?”/ … “Mus, Mus, aneh-aneh saja kau!”

Begitulah, ketika tokoh aku menikmati buah kesuksesannya: jabatan, penghormatan, kemewahan, kekayaan, fasilitas, bahkan juga wanita, ia telah kehilangan keauliaannya, kehilangan kesalehannya, dan secara metaforis, berubah menjadi hantu. Meski begitu, ilmu sigar rasa yang diperoleh dari Mbah Joned, tetap tidak meninggalkan jasad si tokoh aku. Jadi, di sana ada dua jiwa yang berbeda. Lalu, bagaimana kita menjelaskan secara rasional tentang dua jiwa yang berbeda yang mendekam dalam satu tubuh?

Dalam kehidupan para aulia, perkara itu bukanlah sesuatu yang mustahil, bukan pula kisah supernatural, tetapi sesuatu yang niscaya ketika dikaitkan dengan kehendak Tuhan. Apa pun bisa terjadi atas kehendak-Nya. Kun fa ya kun diyakini sebagai keniscayaan. Jadi, kisah itu tidak datang dari dunia entah-berantah, tidak sekadar fiksi yang diambil dari dunia lain. Ia real sebagai realitas sosial yang dipercaya sebagai kebenaran ketika keimanan tentang itu diyakini datang atas kehendak-Nya. Bukankah apa pun dapat terjadi dan serba mungkin jika Tuhan berkehendak?

Kembali, dengan semangat sekadar memotret realitas sosial di persekitarannya, Gus Mus sesungguhnya juga menyampaikan pesan ideologisnya atas terjadinya pergeseran peran kiai. Bukankah pola ini berbeda dengan pesan spiritualitas Kuntowijoyo, Muhammad Diponegoro, Fudoli Zaini, atau Danarto, meskipun semuanya berada dalam wawasan estetik yang berakar pada sumber yang sama: pada Quran.

Dalam cerpen “Gus Jakfar” dikisahkan, bahwa tokoh Gus Jakfar adalah kiai yang pandai membaca tanda-tanda seseorang. Tentu saja kepandaian ini tidak sama dengan peramal, dukun, atau cenayang. Ia kiai yang mempunyai kelebihan tertentu. Suatu saat, ia menghilang selama beberapa minggu. Dan ketika datang kembali di tengah masyarakatnya, orang-orang melihat Gus Jakfar seperti tak punya keistimewaan lagi. Satu-dua orang yang penasaran, bertanya, ke manakah ia menghilang selama beberapa minggu itu. Kiai itu kemudian bercerita: Bermula dari mimpi berjumpa ayahnya. Sang ayah menyuruhnya mencari Kiai Tawakkal. Ia lalu berkelana mencarinya. Dan terjadilah perjumpaan dengan Kiai Tawakkal, Mbah Jogo. Ituilah realitas lain yang terjadi dalam kehidupan para kiai. Di sana, dalam cerpen itu, ada peristiwa tentang tanda pada kening kiai itu yang bertuliskan, ahli neraka; ada peristiwa sang kiai dikerubuti perempuan menor di warung remang-remang; berjalan di atas permukaan air sungai; dan akhirnya Kiai Jogo, menghilang entah ke mana. Sosok misterius Kiai Jogo tetap menyimpan misteri.

Apakah peristiwa itu cuplikan dari kisah supernatural? Bagi kiai, santri atau kalangan pesantren, kisah sejenis itu kerap diyakini sebagai kebenaran yang hanya dapat dialami oleh orang-orang tertentu yang dianggap pantas mengalaminya. Kisah seperti itu berada dalam garis tipis peristiwa faktual bagi mereka yang mempercayainya, dan peristiwa irasional bagi mereka yang tidak mempercayainya. Tetapi ia tetap hidup dan diyakini sebagai fakta sosiologis dalam komunitas pesantren.

Begitulah, ia bukan peristiwa jungkir balik, bukan pula fakta yang direkayasa menjadi fiksi. Peristiwa itu berkaitan dengan sistem kepercayaan. Oleh karena itu, ia diyakini pernah terjadi, atau akan terjadi suatu saat kelak dan dialami hanya oleh orang-orang pilihan. Dengan demikian, Gus Mus sengaja menampilkan sisi lain dalam kehidupan para kiai. Dan di sana, berbagai peristiwa rasional dan irasional, berkelindan dan hidup sebagai fakta sosial. Apa yang melatarbelakangi penempatan peristiwa irasional menjadi fakta sosial? Segalanya bersumber pada satu hal: keyakinan pada kuasa Tuhan. Dengan keyakinan itu, dengan kehendak Tuhan, apa pun bisa terjadi. Batas yang mungkin dan yang tidak mungkin berada dalam garis yang sangat tipis. Bukankah kekuasaan Tuhan tidak mengenal yang mungkin dan yang tidak mungkin. Bukankah yang mungkin dan yang tidak mungkin hanya ada dalam paradigma logika manusia yang terbatas dan terikat pada dimensi ruang dan waktu?

Bagaimana kita menjelaskan tanda yang menempel di kening Kiai Jogo yang bertuliskan: ahli neraka? Bagaimana pula kita menjelaskan langkah kaki kiai itu di atas permukaan air sungai?

Kembali, rangkaian peristiwa itu sengaja dihadirkan dalam kaitannya untuk mendukung tema cerita. Dengan cara itu, Gus Mus berhasil menyelusupkan pesannya tentang peran kiai dan sikapnya dalam menghadapi anugerah. Perhatikan kutipan berikut yang mengungkapkan pesan Kiai Jogo pada Kiai Jakfar:

“Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda ‘Ahli Neraka’ di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka, terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan diriku ke sorga atau ke neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnya Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung tadi yang kau pandang sebelah mata, pasti masuk neraka? … Kau harus berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi, kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabur, ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan, godaan untuk takabur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.”

Itulah sesungguhnya pesan yang hendak disampaikan Gus Mus. Peristiwa irasional yang diangkatnya menjadi bagian penting dari tema cerita. Oleh karena itu, kembali, teks itu tidak hanya mempunyai akar kultural-sosiologis, tetapi juga bersifat ideologis. Dengan demikian, tidak dapat lain, cerpen-cerpen Gus Mus, hanya mungkin dapat mengungkap kekayaannya, jika kita melakukan pendekatan terhadapnya berdasarkan kondisi sosio-budaya dan sistem kepercayaan yang melatarbelakanginya.

***

Pembicaraan tiga cerpen Gus Mus tadi, tentu saja baru mengungkapkan sebagian kecil dari persoalan besar yang terjadi dalam kehidupan dunia pesantren dan berbagai persoalan yang melingkari kehidupan para kiainya. Bagaimanapun juga, Gus Mus telah berhasil mengungkapkan sisi lain dari kehidupan persekitarannya. Dalam perjalanan cerpen Indonesia sejak kelahirannya sampai kini, cerpen-cerpen Gus Mus berdiri tegak sendirian. Itulah salah satu sumbangan penting Gus Mus dalam memperkaya khazanah cerpen Indonesia. Jelas di sini, Gus Mus tampak tak berpretensi melanjutkan semangat Angkatan 70-an, tidak juga coba menawarkan tasawuf atau pesan sufistik. Ia sekadar coba memotret masyarakatnya sambil sekalian –dalam beberapa kasus—mempertanyakan kembali peranan kiai.

Akhirnya, harus saya sampaikan: membaca cerpen-cerpen Gus Mus, rasanya saya jadi ingin segera bertobat, kembali ke jalan yang benar, dan memperbanyak istigfar!

msm/1 April 2009

[1] Abdul Hadi WM, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 6.

[2] Buku antologi cerpen Bidadari Sigar Rasa ( Dewan Kesenian Jakarta, 2005, 226 halaman) sebenarnya memuat 34 cerpen karya tujuh cerpenis Jawa Tengah (A. Mustofa Bisri, Eko Tunas, Herlino Soleman, Ratih Kumalasari, SN Ratmana, S Prasetyo Utomo, dan Triyanto Triwikromo). Diterbitkan dalam program Cakrawala Sastra Indonesia yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, 13—15 September 2005. Dari 34 cerpen yang dimuat dalam antologi ini, lima cerpen di antaranya karya A Mustofa Bisri, yaitu “Lukisan Kaligrafi,” “Ngelmu Sigar Rasa,” “Bidadari itu Dibawa Jibril,” “Mubalig Kondang,” dan “Gus Jakfar.” Untuk kepentingan tulisan ini, saya hanya membicarakan tiga cerpen, yaitu “Lukisan Kaligrafi,” “Ngelmu Sigar Rasa,” dan “Gus Jakfar.” Pertimbangannya semata-mata hanya karena ketiga cerpen itu menampilkan kesejajaran tematik.

[3] Kisah ini mengingatkan saya pada anekdot tentang pelukis abstrak dan anjing. Dikisahkan, lantaran kehabisan salah satu cat dengan warna tertentu, seorang pelukis abstrak terpaksa menunda pekerjaannya. Ia pergi ke toko cat dan meninggalkan lukisannya yang baru dikerjakan dalam beberapa sapuan warna. Anjingnya ditinggalkan di studio lukisnya. Tiba-tiba, seekor tikus lari ke sana. Si anjing terperanjat dan segera mengejar tikus itu. Berantakanlah studio itu, termasuk lukisan yang baru digarap. Ketika pelukis itu datang, tentu saja dia terperanjat, lantaran kanvas yang baru dilukisnya tergeletak di bawah; penuh tumpahan cat dan acak-acakan oleh bekas kaki anjing dan tikus. Bersamaan dengan itu, datang pula seorang kolektor lukisan. Begitu kolektor itu melihat lukisan yang tadi hendak digarap si pelukis penuh dengan cat yang tumpah ke sana, serta-merta si kolektor memungutnya. “Inikah karya terbaru Anda? Luar biasa! Saya baru melihat, ekspresi Anda begitu liar dan mengagumkan,” ujarnya sambil matanya terus memandangi kanvas penuh goresan yang tadi diacak-acak anjing ketika memburu tikus.

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae