Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/
Saya bukan mempengaruhi dan bukan mendoktrin siapapun. Saat ini cobalah alihkan segala bentuk imajinasi dan logika pada satu arah sudut pandang yaitu kesusastraan. Sastra merupakan satu bentuk perwujudan agung dan suci yang terpancar dari kedalaman pribadi seorang manusia. Ia menjelma dalam hidup dan kehidupan sebagai cahaya kejujuran yang memancarkan sinar kemalanya yang berbinar-binar. Ini tak pandang bentuk dan tampilanya.
Walaupun kadang berbentuk rekaan maupun tampilan esensinya secara real terasa tersembunyi, ia pada dasarnya merupakan satu ungkapan kejujuran hati atau gambaran nyata dari kepribadian pengguratnya yang bertujuan agar mampu ditangkap, dipahami, dicerna, direfleksi, dan bahkan untuk diikuti oleh siapa saja yang berkenan membacanya.
Semua itu adalah keinginan yang mutlak yang timbul dari dalam diri seorang sastrawan. Semua satrawan pasti memiliki hasrat semacam itu. Hasrat agar karyanya dibaca, ditangkap, dipahami, dicerna, direfleksi, dan juga diikuti.
Di samping itu masih terdapat satu hasrat yang sangat fital dan menjadi landasan utama dalam karya yang di guratnya. Hasrat ini terkadang sama, namun kebanyakan berbeda sebab beracuan pada eksistensi logika dan daya imajinasi yang dipancarkan oleh seorang sastrawan dalam merefleksi sebuah fenomena yang sedang melintasi indra, hati, dan benaknya. Tentunya semua itu tidak lepas dari kedekatan pribadi sastrawan sendiri. Hasrat tersebut adalah hasrat pikiran dan keyakinan.
Hasrat pikiran merupakan hasrat yang terungkap dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh eksistensi logika mereka. Sedangkan hasrat keyakinan terkait erat dengan persoalan keimanan mereka yang merupakan pancaran hati sanubarinya. Keimanan tersebut merupakan suatu daya yang dahsyat yang dipancarkan oleh pribadi seseorang terhadap suatu hal yang dianggap memiliki nilai kebenaran yang mutlak bagi dirinya. Kedua hasrat ini tersugesti oleh realitas fisik maupun nonfisik yang telah menjadi pengalaman pribadi mereka.
Mari mencermati pancaran hasrat seorang Octavio Paz yang merupakan perefleksian diri atas realitras yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Hal ini merupakan salah satu bentuk dari pengalaman pribadi yang sempat ia temui dan menjadi ilham bagi terciptanya karya sastranya.
Mungkin aku bisa berbelok untuk hidup bersama satwa,
Mereka begitu lembut lagi percaya diri,
Aku berdiri memandang mereka begitu lama.
Gambaran hasrat yang terpancar dari kedalaman hati dan jiwa Paz memilki intensitas yang begitu dalam dan bahkan sangat jalang. Ungkapan tersebut muncul akibat adanya fenomena indrawi yang sedang melintasinya. Saat itu Paz dengan cukup lama serta dengan khusuknya memandang sekawanan satwa yang berada di depanya. Namun, ini bisa jadi tidak mengarah pada kegiatan memandang secara fisikal, memandang dapat berorientasi pada satu perenungan pengalaman masa lampau yang ia bangkitkan kembali pada masa kini. Ketika terjadi proses pengamatan tersebut, timbullah perefleksian diri yang ia bentur-benturkan dengan realitas kehidupan yang sedang terjadi di dunia sekitarnya saat itu.
Dalam realitas yang terpancar dari ungkapan tersebut, Paz memandang bahwa dunia yang berada di sekitarnya memiliki satu keganjilan tertentu. Ia merasakan satu keanehan sehingga ia tidak memiliki satu ketenangan, ketentraman, juga kelembutan perasaan saat menjalani realitas kehidupan yang ada. Dengan timbulnya perasaan semacam itu, ia berhasrat untuk mengubah pola hidup yang ada yang dimulai dari diri pribadinya terlebih dahulu. Ia bekeinginan untuk membelokkan diri untuk hidup bersama satwa.
Hasrat untuk hidup bersama satwa bukan berarti berorientasi pada pembauran diri bersama hewan-hewan. Bukan berarti harus bersosialisasi dengan hewan, namun bisa mengarah pada sikap hidup yang terpancar dari sekawanan satwa yang telah ia amati, rasakan, renungkan, serta ia refleksikan ke dalam realitas kehidupan manusia pada umumnya. Ia merasakan realitas kehidupan yang dijalin oleh sekawanan satwa mengandung nilai kehangatan, kelembutan, serta kasih sayang yang tinggi sehingga ia berpikir untuk mengubah kehidupan manusia yang penuh dengan kekerasan, penindasan, serta penganiayaan dengan pola hidup satwa yang penuh dengan cinta kasih. Tentunya pola hidup semacam ini akan ia awali dari diri pribadinya sendiri.
Mereka tidak berkeringat meratapi nasibnya,
Mereka tak berbaring dan mendelik dalam gelap
menangisi dosa-dosanya,
Mereka tidak memualkanku dengan berbicara kewajiban terhadap Tuhan,
Etape kedua yang ditunjukkan oleh Paz akan realitas kehidupan yang dijalani sekawanan satwa adalah berorientasi pada ketenangan jiwa. Kehidupan satwa ia rasakan memiliki satu pesona kedamaian dan ketenangan yang tinggi. Mereka tenang karena tak disibukkan dengan masalah-masalah dosa. Mereka dalam realitas hidupnya tidak terbebani kriteria-kriteria dosa sehingga tidak harus melakukan pertaubatan atau penebusan dosa. Semua itu tentunya tidak terlepas dari kodrati hewani yang bersifat ma’sum.
Selain itu, kehidupan satwa tidak pernah menuntut terhadap sesamanya dengan tuntutan-tuntutan yang berkaitan dengan kewajiban terhadap Tuhan. Kehidupanya lebih mengalir, yaitu tanpa adanya paksaan dan pengekangan-pengekangan tertentu yang berorientasi terhadap diri Tuhan. Hal itu dilandasi dengan satu keyakinan bahwa urusan dengan tuhan adalah urusan fundamental dari tiap-tiap personal. Sehingga hal ini tidak perlu dipaksa-paksakan pada sesamanya yang pada akhirnya memunculkan nilai ketulusan dan keikhlasan yang tinggi dan bukan malah mencipta pengekangan terhadap personalitas yang ada. Selain itu juga tidak pernah memperdebatkan atau mempertentangkan keyakinan antarsesama. Mereka cenderung mencipta satu kedamaian dan kebahagiaan, bukan malah menciptakan realitas perselisihan yang memualkan.
Yang paling mendasar dalam etape ini adalah sifat ikhlas menerima segala bentuk realitas kehidupan yang menimpa mereka. Tentunya dalam hal ini bukan sekedar tabah dan sabar dalam menerima realitas yang menimpa, tetapi mereka juga menelusuri dan menjalaninya. Sifat ikhlas menerima disamping sebagai salah satu bagian yang mendasar dalam tiap personal, ia juga merupakan bentuk tertinggi sebuah kepribadian. Mengapa demikian? Karena semuanya berawal dari sebuah peninjauan dari sisi mistikus. Sifat ini dalam tradisi mistikus menduduki tahap atau etape paling atas yang disimbolkan dengan ungkapan fana dari kefanahan. Dalam diri sudah lenyap akan sifat personalitas. Yang ada hanyalah sifat kesemestaan, yaitu segala orientasi hidup hanyalah tertuju kepada Tuhan dan bahkan kondisi fisikal dari individi akan terabaikan. Jiwa menjadi tenang karena seolah-olah tuhan telah bersamanya dan membaur dalam dirinya.
Dengan pola kehidupan semacam itu, bagi Paz dalam etape ini mendambakan satu bentuk ketenangan jiwa untuk segera melingkupi personalitas tiap manusia. Semua itu diharapkan agar tercipta suasana yang enjoi dan menyenangkan dalam menjalani realitas kehidupan yang bersifat fana ini. Tidak ada satu pengekangan, tidak ada lagi perbuatan dosa, tidak ada rasa was-was serta yang ada hanyalah kedamaian rasa dalam tiap-tiap manusia.
Lebih lanjut Paz juga mendambakan satu kehidupan dalam diri manusia untuk bersifat kaya. Yang dimaksud adalah adanya perasan cukup atau tidak merasa kurang yang selalu melingkupi hati dan pikiran manusia. Selain itu dambaan lain adalah tidak adanya orang yang bersifat melampaui batas dalam segala hal baik yang mengacu pada harta maupun perhiasan duniawi maupun lainya yang telah ditentukan Tuhan kepadanya. Semua itu tidak lain adalah pengaruh nafsiyah manusia yang selalu merincu dan selalu mengobarkan api “kewas-wisan” dalam diri seorang individu.
Tidak ada yang kekurangan, tidak ada yang jadi edan
Oleh nafsu memiliki benda-benda,
Tidak adanya sifat dan sikap penindasan maupun penghegemonian terhada sesama dalam realitas kehidupan tampaknya juga menjadi dambaan oleh seorang Octavio Paz. Penghegemonian ini bisa mengarah pada sebuah kekuasaan pemerintahan dan dapat bersifat ideologis yang telah ditelorkan atau didoktrinkan lampau hari oleh mereka yang telah hidup lebih awal. Oleh mereka yang telah mengantongi sekali atau beribu penghargaan. Oleh mereka yang diagung-agungkan, yang mampu menimbulkan pesona kedukaan yang begitu mendalam oleh penjuru dunia ketika mereka sudah tiada lagi hidup di dunia ini.
Penghegemonian ini memiliki dampak yang sangat besar dalam kreatifitas manusia. Ia mampu membunuh kreatifitas yang hendak tumbuh dan berkembang ketika ia mencoba untuk mengisi sejarah kehidupan umat manusia. Hal itu juga akan mencipta satu bentuk kehidupan yang statis dan monoton di dunia ini. Manusia-manusia seolah menjadi robot hidup yang hanya dikendalikan oleh orang-orang tertentu, oleh mereka yang berkuasa baik dari sisi pemerintahan maupun ideology
.
Tak ada yang berlutut pada yang lain, tak juga pada sesama
Yang hidup ribuan tahun silam,
Yang sekalipun dihargai atau berduka atas seluruh penjuru bumi
Ungkapan-ungkapan yang telah di ujarkan Paz mencerminkan hasrat pemberontak terhada realitas kehidupan yang begitu dahsyat. Ini akan menjadi wacana dan bahkan doktrin maupun ajaran yang begitu menyentuh hati seorang manusia yang khusuk melakukan perenungan akan realitas hidup yang sedang bergelora. Mengapa demikian? Hal tersebut disebabkkan oleh adanya perefeleksian diri di dalam hakekat dasar manusia. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang paling sempurna penciptaanya. Ia sempurna ketimbang makhluk-makhluk yang lain.
Tapi, mengapa di sini berbeda dan mengandung daya ironi, sehingga kehidupan manusia dianggap jauh lebih rendah ketimbang kehidupan satwa? Semuanya tidak terlepas dari konsepsi dasarnya. Manusia diciptakan sempurna bukan mengarah pada kesempurnaan hidupnya, melainkan kesempurnaan bentuk penciptaanya yang di tandai dengan adanya kemampuan berfikirnya yang lebih. Gambaran kehidupan yang hina ketimbang kehidupan satwa ini muncul apabila sugesti nafsu selalu melingkupi tiap gerak langkahnya. Logika berfikirnya tidak sanggup menetralisir serta membendung hal tersebut. Ia cenderung hanyut ke dalamnya. Saat itulah derajatnya akan turun. Dan realitas semacam itu kini muncul dalam logika berfikir Paz, sehingga ia ingin membalik keadaan lewat diri pribadinya dahulu untuk melakukan pola hidup seperti satwa yang dirasanya lebih banyak mengandung kedamaian, ketentraman dan juga cinta kasih.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar