Kamis, 25 Februari 2010

Batu-Batu di Gunung Parang

Sutirman Eka Ardhana
http://www.suarakarya-online.com/

KALIAN tentu tak percaya dengan cerita ini. Bahkan, aku sendiri pun ketika pertama kali diberitahu tentang hal itu, menganggapnya sebagai sesuatu yang mengada-ada. Sebagai cerita lelucon belaka.

“Aku tidak sedang bercanda. Aku mengatakan hal yang sesungguhnya. Sungguh! Karena aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri. Aku melihatnya secara langsung. Karena itulah aku lantas meneleponmu untuk datang kemari, ke rumahku, ke desaku di kaki pegunungan Karangsambung ini. Kupikir, apa yang terjadi di desaku ini, bisa kaujadikan bahan untuk laporan atau tulisan yang menarik di koranmu. Tulisan yang ekslusif. Apalagi, kejadiannya baru tiga hari ini. Jadi, belum banyak yang tahu,” ujar Bambang ketika aku baru saja sampai sekitar setengah jam lebih di rumahnya, di kawasan Karangsambung, sekitar 19 kilometer di sebelah utara kota Kebumen.

Bambang, teman sekelasku ketika sekolah di Kebumen dulu. Setamat sekolah belasan tahun lalu, kami berpisah. Dia ke Jakarta, aku ke Yogya. Beberapa hari sebelum ia menelepon dan memintaku untuk datang ke desanya di kawasan Karangsambung, kami bertemu di Yogya. Ketika itu ia bersama isteri dan anak-anaknya sedang jalan-jalan di Malioboro. Menurutnya, ia sedang memanfaatkan hari-hari cutinya di desa untuk jalan-jalan ke Yogya. Kami saling berbagi nomor hand-phone, dan ia pun berjanji secepatnya akan meneleponku bila sudah sampai di Kebumen lagi. Benar. Sehari kemudian ia meneleponku. Memintaku untuk segera datang ke desanya.

“Kautahu Fir, aku sempat tertawa ketika ayah dan adik-adikku menceritakan hal itu. Kukira mereka hanya bercanda saja. Tapi, setelah aku datang ke lokasi yang diceritakan ayahku, di Gunung Parang, dan menyaksikan semuanya dengan mata kepalaku sendiri, barulah aku mengakui kebenaran cerita itu. Aku benar-benar menyaksikan sesuatu yang menakjubkan. Aku melihat, melihatnya dengan jelas bahwa tubuh para penggali batu itu seperti dipenuhi bongkahan-bongkahan batu yang mengeras. Untuk membuktikan kebenaran ceritaku, sebaiknya besok kita ke sana. Ke lokasi penggalian batu-batu itu,” jelas Bambang lagi. Bambang benar. Ia memang tidak mengada-ada. Ia menceritakan yang sesungguhnya.

Aku menyaksikan sendiri kebenaran itu setelah datang ke Gunung Parang. Para penggali batu, puluhan jumlahnya, sebagian besar lelaki dan sejumlah perempuan, yang menggali bebatuan di hamparan pegunungan Karangsambung itu tidak lagi lazimnya sebagai manusia biasa. Mereka manusia batu! Sekujur tubuh mereka telah berubah menjadi bongkahan-bongkahan batu yang mengental dan mengeras. Tangan, kaki, lutut, punggung, dada, wajah dan kepala, semua mengeras menjadi batu.

Bongkahan batu-batu gunung yang keras dan membaja itu seperti telah berpindah ke tubuh mereka. Wajah, hidung, mulut, telinga dan mata mereka semuanya telah berubah menjadi bongkahan batu hijau keperakan. Wajah mereka mengeras. Membatu! Tak ada lagi senyuman. Tak ada kata-kata. Tak ada desahan napas. Semua membatu. Sorot mata keras, tajam dan berkilau. Kilauannya setajam hamparan bebatuan gunung yang hitam kehijauan terkena sinar matahari. Bongkahan batu yang keras dan membaja terlihat jelas di dada-dada mereka. Dan, bukan tidak mungkin pula jantung, paru-paru, hati, serta segenap yang ada di rongga dada dan perut mereka juga ikut membatu.

Tapi, sekalipun tangan, kaki, dada, wajah dan semua anggota tubuh membatu, mereka tetap bisa bergerak. Berjalan. Bekerja. Penggali yang laki-laki tetap menggali dan memecahkan batu-batu dengan cangkul, kapak, palu, linggis dan lainnya. Para perempuan memindahkan, mengangkut dan mengumpulkan bongkahan batu-batu yang sudah dipecah itu ke tempat penimbunan. Tidak sedikit pula para perempuan yang ikut mengayunkan palu memecahkan batu-batu. Gerakan-gerakan tubuh mereka dalam bekerja memang terlihat aneh dan lucu. Gerakannya kaku. Seperti robot. Sungguh, mereka bagaikan manusia-manusia robot yang sedang bekerja.

Kenapa para penggali batu-batu itu bisa membatu? Sebagai wartawan yang ingin mendapatkan informasi serta data selengkap-lengkapnya, aku pun lalu menemui dan mewawancarai banyak pihak. Aku ke kantor kecamatan, ke kelurahan, ke warung-warung, dan bertanya kepada siapapun yang kutemui di jalanan. Dari tukang ojek, penjual dawet sampai pencari rumput.

Dari berbagai keterangan yang kuperoleh, kusimpulkan semuanya bermula dari suatu pertemuan di aula kantor kecamatan. Ketika itu segenap warga, terutama para kepala keluarga, yang tinggal di kawasan sekitar pegunungan Karangsambung, sebagian besar di antaranya para penggali batu, dikumpulkan. Beberapa orang pejabat dari Kabupaten hadir. Salah seorang dari pejabat Kabupaten itu menjelaskan tentang dijadikannya kawasan pegunungan Karangsambung sebagai cagar alam geologi.

Karena telah dijadikan cagar alam geologi maka semua areal di pegunungan bebatuan itu dijadikan milik negara, yang akan digunakan sebagai tempat pendidikan dan penelitian geologi. Sebagai cagar alam geologi maka semua jenis bebatuan yang ada dilindungi. Tidak boleh lagi ada pengrusakan. Tidak boleh lagi ada penghancuran dan penggalian batu-batu. Dan, warga yang bekerja sebagai penggali batu diperingatkan untuk menghentikan kegiatan penggalian.

Seusai pertemuan gejala-gejala perubahan itu sudah terlihat. Setidaknya hal itu terlihat pada delapan orang dari mereka yang hadir. Dalam perjalanan pulang, gerak dan cara mereka berjalan terkesan kaku dan aneh. Tangan-tangan terkepal. Keras. Wajah-wajah mereka tampak mengeras. Membatu. Tak ada senyum. Tak ada kata-kata. Mereka membisu. Membatu. Sehari setelah pertemuan jumlah mereka yang berubah bertambah drastis. Semuanya berubah. Ya, semua penggali batu-batu gunung itu berubah, membatu.

Dari informasi yang kudapat, kawasan Karangsambung memiliki struktur geologi yang banyak dan kaya dengan beragam jenis bebatuan. Jenis bebatuan yang ada itu tergolong langka dan tidak ditemukan di wilayah Indonesia lainnya. Bebatuan yang berasal dari kerak bumi, lempeng samudra dan lempeng benua itu diperkirakan muncul kepermukaan bumi sekitar 120 juta tahun lampau. Dan, di sini terdapat 30 situs bebatuan. Namun dari sekian banyak situs bebatuan, ternyata baru delapan situs saja yang menjadi milik negara. Selebihnya belum dimiliki negara. Sebagai cagar alam geologi, maka situs-situs yang belum dimiliki negara akan segera dibebaskan. Padahal, situs-situs yang belum terbebaskan itulah yang selama ini menjadi lokasi penggalian batu. Salah satu lokasi penggalian itu adalah kawasan Gunung Parang. Menurut penelitian, batuan beku di Gunung Parang berasal dari gagalnya sebuah gunung menjadi gunung api.

“Mungkin mereka terkena amarah pemilik-pemilik bebatuan itu,” kata Pak Sarman, ayah Bambang, ketika kami duduk-duduk di ruang tamu seusai makan malam, setelah hampir seharian aku bersama Bambang keliling desa mengumpulkan informasi. “Lho, pemiliknya siapa, Pak?” tanyaku serius. “Masyarakat di sini banyak yang percaya bahwa gunung-gunung batu itu dimiliki oleh makhluk-makhluk halus, makhluk-makhluk gaib. Makhluk-makhluk yang tidak terlihat secara kasat mata. Mungkin makhluk-makhluk halus itu marah karena hak milik mereka dirusak, digali dan dihancurkan. Akibatnya ya seperti yang terjadi sekarang.” “Ah, Bapak mengada-ada saja,” potong Bambang.

“Lantas, kalau menurutmu dikarenakan apa mereka bisa menjadi manusia batu seperti itu?” Pak Sarman cepat-cepat melontarkan tanya.
“Mungkin, mereka terkena virus?” jawab Bambang.
“Virus? Virus apa,” giliranku yang bertanya.
“Virus batu.” “Virus batu?!”
“Ya, virus batu.

Bukankah bebatuan itu bebatuan tua? Bebatuan yang sudah berusia ratusan juta tahun. Bebatuan yang berasal dari dasar bumi, yang kemudian menyembul ke permukaan akibat terjadinya proses geologi. Nah, bukan tidak mungkin, di bebatuan itu terdapat virus-virus purba. Virus-virus yang berusia ratusan juta tahun. Virus-virus yang bisa merubah tubuh manusia mengeras seperti batu. Mungkin, virus-virus itu masuk ke tubuh para penggali batu sedikit demi sedikit. Para penggali batu itu hampir sepanjang hidupnya bergelut dengan batu. Hidup dengan batu. Makan dari batu. Pendek kata, batu adalah kehidupan mereka. Dan kini, virus-virus batu itu sudah memenuhi tubuh mereka. Merubah apa saja yang ada ditubuh mereka menjadi batu.”

“Pendapatmu mungkin benar, mungkin juga salah. Untuk mengetahui apa penyebabnya, menurutku harus segera dilakukan penelitian. Pihak-pihak terkait harus segera melakukan penelitian yang terpadu. Penelitian yang sungguh-sungguh,” kataku.

“Aku setuju. Secepatnya harus ada penelitian. Siapa tahu, benar-benar disebabkan oleh virus batu. Bahayanya lagi, virus batu itu menular,” ujar Bambang. “Menular?”

“Ya, menular. Nah gawat, kan?” Keesokan harinya, ketika aku sedang berkemas-kemas untuk pulang, Bambang datang mendekat, tergopoh-gopoh. “Gawat! Gawat! Wah, gawat, Fir,” katanya dengan napas tersengal-sengal.
“Gawat, apanya?”

“Virus itu! Virus batu itu benar-benar menular! Virus itu sudah menjalar ke mana-mana. Sekarang virus batu itu sudah menyerang ke warga yang lain.” “Maksudmu?!”

“Sekarang tidak hanya para penggali batu itu saja yang tubuhnya membatu. Warga yang lain juga sudah mulai ikut membatu. Aku baru saja menyaksikan bagaimana warga-warga yang lain tubuhnya telah membatu dan berjalan bagaikan robot. Dan, aku yakin, sebentar lagi segenap warga di sini akan tertular semua. Hah, aku mau ikut pulang hari ini juga! Aku tak mau menunda-nunda lagi. Aku takut virus batu itu nanti menyerang diriku, isteri dan anak-anakku. Aku tak mau menjadi batu seperti mereka.”

Sehabis berkata begitu, Bambang langsung bergegas memanggil isteri dan anak-anaknya, menyuruh mereka berkemas-kemas untuk pulang. “Ayo, kita harus pulang sekarang! Kalau tidak, nanti kita ikut-ikutan menjadi manusia batu semua!” teriaknya.

“Apa tidak bisa ditunda sampai besok pulangnya, Bang?” terdengar suara Pak Sarman. Ternyata ia juga ikut mendengar apa yang baru saja dikatakan Bambang.

“Pak, kami harus pulang sekarang juga. Virus batu itu sudah menjalar ke mana-mana. Dan, Bapak, Ibu serta adik-adik, saya harapkan ikut sekalian ke Jakarta. Kita tinggalkan desa ini. Sebentar lagi semua orang di sini akan menjadi manusia batu. Ayo Pak, cepat bersiap-siap,” seru Bambang. Pak Sarman terdiam sesaat.

Tapi kemudian terdengar suaranya, “Biarkan Bapak, Ibu dan adik-adikmu tetap di sini. Tetap bertahan di desa. Kalau nantinya memang harus menjadi manusia batu. Ya, Bapak ikhlas menerimanya. Bapak rela dan siap.”

Kalian tahu, apa yang kemudian berputar-putar di benakku sepanjang perjalanan pulang ke Yogya? Ya, pertanyaan-pertanyaan seputar virus penyebab manusia batu itu. Apa benar penyebabnya virus batu? Apa tidak ada virus yang lain? Virus kemiskinan misalnya? Atau virus kekuasaan? Bisa jadi karena virus kemiskinan! Virus kemiskinan telah menyebabkan mereka rela menjadi manusia batu, daripada hidup menderita dan mati pelan-pelan karena kelaparan.

Virus kekuasaan? Mungkin juga. Karena jiwa serta mental mereka telah ditekan dan diteror oleh virus kekuasaan itu. Teror dan tekanan virus kekuasaan itu menyebabkan para penggali batu rela membatu seperti batu-batu gunung yang selama ini telah menghidupi mereka.***

* Yogya, 2007-2009

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae