Sutirman Eka Ardhana
http://www.suarakarya-online.com/
KALIAN tentu tak percaya dengan cerita ini. Bahkan, aku sendiri pun ketika pertama kali diberitahu tentang hal itu, menganggapnya sebagai sesuatu yang mengada-ada. Sebagai cerita lelucon belaka.
“Aku tidak sedang bercanda. Aku mengatakan hal yang sesungguhnya. Sungguh! Karena aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri. Aku melihatnya secara langsung. Karena itulah aku lantas meneleponmu untuk datang kemari, ke rumahku, ke desaku di kaki pegunungan Karangsambung ini. Kupikir, apa yang terjadi di desaku ini, bisa kaujadikan bahan untuk laporan atau tulisan yang menarik di koranmu. Tulisan yang ekslusif. Apalagi, kejadiannya baru tiga hari ini. Jadi, belum banyak yang tahu,” ujar Bambang ketika aku baru saja sampai sekitar setengah jam lebih di rumahnya, di kawasan Karangsambung, sekitar 19 kilometer di sebelah utara kota Kebumen.
Bambang, teman sekelasku ketika sekolah di Kebumen dulu. Setamat sekolah belasan tahun lalu, kami berpisah. Dia ke Jakarta, aku ke Yogya. Beberapa hari sebelum ia menelepon dan memintaku untuk datang ke desanya di kawasan Karangsambung, kami bertemu di Yogya. Ketika itu ia bersama isteri dan anak-anaknya sedang jalan-jalan di Malioboro. Menurutnya, ia sedang memanfaatkan hari-hari cutinya di desa untuk jalan-jalan ke Yogya. Kami saling berbagi nomor hand-phone, dan ia pun berjanji secepatnya akan meneleponku bila sudah sampai di Kebumen lagi. Benar. Sehari kemudian ia meneleponku. Memintaku untuk segera datang ke desanya.
“Kautahu Fir, aku sempat tertawa ketika ayah dan adik-adikku menceritakan hal itu. Kukira mereka hanya bercanda saja. Tapi, setelah aku datang ke lokasi yang diceritakan ayahku, di Gunung Parang, dan menyaksikan semuanya dengan mata kepalaku sendiri, barulah aku mengakui kebenaran cerita itu. Aku benar-benar menyaksikan sesuatu yang menakjubkan. Aku melihat, melihatnya dengan jelas bahwa tubuh para penggali batu itu seperti dipenuhi bongkahan-bongkahan batu yang mengeras. Untuk membuktikan kebenaran ceritaku, sebaiknya besok kita ke sana. Ke lokasi penggalian batu-batu itu,” jelas Bambang lagi. Bambang benar. Ia memang tidak mengada-ada. Ia menceritakan yang sesungguhnya.
Aku menyaksikan sendiri kebenaran itu setelah datang ke Gunung Parang. Para penggali batu, puluhan jumlahnya, sebagian besar lelaki dan sejumlah perempuan, yang menggali bebatuan di hamparan pegunungan Karangsambung itu tidak lagi lazimnya sebagai manusia biasa. Mereka manusia batu! Sekujur tubuh mereka telah berubah menjadi bongkahan-bongkahan batu yang mengental dan mengeras. Tangan, kaki, lutut, punggung, dada, wajah dan kepala, semua mengeras menjadi batu.
Bongkahan batu-batu gunung yang keras dan membaja itu seperti telah berpindah ke tubuh mereka. Wajah, hidung, mulut, telinga dan mata mereka semuanya telah berubah menjadi bongkahan batu hijau keperakan. Wajah mereka mengeras. Membatu! Tak ada lagi senyuman. Tak ada kata-kata. Tak ada desahan napas. Semua membatu. Sorot mata keras, tajam dan berkilau. Kilauannya setajam hamparan bebatuan gunung yang hitam kehijauan terkena sinar matahari. Bongkahan batu yang keras dan membaja terlihat jelas di dada-dada mereka. Dan, bukan tidak mungkin pula jantung, paru-paru, hati, serta segenap yang ada di rongga dada dan perut mereka juga ikut membatu.
Tapi, sekalipun tangan, kaki, dada, wajah dan semua anggota tubuh membatu, mereka tetap bisa bergerak. Berjalan. Bekerja. Penggali yang laki-laki tetap menggali dan memecahkan batu-batu dengan cangkul, kapak, palu, linggis dan lainnya. Para perempuan memindahkan, mengangkut dan mengumpulkan bongkahan batu-batu yang sudah dipecah itu ke tempat penimbunan. Tidak sedikit pula para perempuan yang ikut mengayunkan palu memecahkan batu-batu. Gerakan-gerakan tubuh mereka dalam bekerja memang terlihat aneh dan lucu. Gerakannya kaku. Seperti robot. Sungguh, mereka bagaikan manusia-manusia robot yang sedang bekerja.
Kenapa para penggali batu-batu itu bisa membatu? Sebagai wartawan yang ingin mendapatkan informasi serta data selengkap-lengkapnya, aku pun lalu menemui dan mewawancarai banyak pihak. Aku ke kantor kecamatan, ke kelurahan, ke warung-warung, dan bertanya kepada siapapun yang kutemui di jalanan. Dari tukang ojek, penjual dawet sampai pencari rumput.
Dari berbagai keterangan yang kuperoleh, kusimpulkan semuanya bermula dari suatu pertemuan di aula kantor kecamatan. Ketika itu segenap warga, terutama para kepala keluarga, yang tinggal di kawasan sekitar pegunungan Karangsambung, sebagian besar di antaranya para penggali batu, dikumpulkan. Beberapa orang pejabat dari Kabupaten hadir. Salah seorang dari pejabat Kabupaten itu menjelaskan tentang dijadikannya kawasan pegunungan Karangsambung sebagai cagar alam geologi.
Karena telah dijadikan cagar alam geologi maka semua areal di pegunungan bebatuan itu dijadikan milik negara, yang akan digunakan sebagai tempat pendidikan dan penelitian geologi. Sebagai cagar alam geologi maka semua jenis bebatuan yang ada dilindungi. Tidak boleh lagi ada pengrusakan. Tidak boleh lagi ada penghancuran dan penggalian batu-batu. Dan, warga yang bekerja sebagai penggali batu diperingatkan untuk menghentikan kegiatan penggalian.
Seusai pertemuan gejala-gejala perubahan itu sudah terlihat. Setidaknya hal itu terlihat pada delapan orang dari mereka yang hadir. Dalam perjalanan pulang, gerak dan cara mereka berjalan terkesan kaku dan aneh. Tangan-tangan terkepal. Keras. Wajah-wajah mereka tampak mengeras. Membatu. Tak ada senyum. Tak ada kata-kata. Mereka membisu. Membatu. Sehari setelah pertemuan jumlah mereka yang berubah bertambah drastis. Semuanya berubah. Ya, semua penggali batu-batu gunung itu berubah, membatu.
Dari informasi yang kudapat, kawasan Karangsambung memiliki struktur geologi yang banyak dan kaya dengan beragam jenis bebatuan. Jenis bebatuan yang ada itu tergolong langka dan tidak ditemukan di wilayah Indonesia lainnya. Bebatuan yang berasal dari kerak bumi, lempeng samudra dan lempeng benua itu diperkirakan muncul kepermukaan bumi sekitar 120 juta tahun lampau. Dan, di sini terdapat 30 situs bebatuan. Namun dari sekian banyak situs bebatuan, ternyata baru delapan situs saja yang menjadi milik negara. Selebihnya belum dimiliki negara. Sebagai cagar alam geologi, maka situs-situs yang belum dimiliki negara akan segera dibebaskan. Padahal, situs-situs yang belum terbebaskan itulah yang selama ini menjadi lokasi penggalian batu. Salah satu lokasi penggalian itu adalah kawasan Gunung Parang. Menurut penelitian, batuan beku di Gunung Parang berasal dari gagalnya sebuah gunung menjadi gunung api.
“Mungkin mereka terkena amarah pemilik-pemilik bebatuan itu,” kata Pak Sarman, ayah Bambang, ketika kami duduk-duduk di ruang tamu seusai makan malam, setelah hampir seharian aku bersama Bambang keliling desa mengumpulkan informasi. “Lho, pemiliknya siapa, Pak?” tanyaku serius. “Masyarakat di sini banyak yang percaya bahwa gunung-gunung batu itu dimiliki oleh makhluk-makhluk halus, makhluk-makhluk gaib. Makhluk-makhluk yang tidak terlihat secara kasat mata. Mungkin makhluk-makhluk halus itu marah karena hak milik mereka dirusak, digali dan dihancurkan. Akibatnya ya seperti yang terjadi sekarang.” “Ah, Bapak mengada-ada saja,” potong Bambang.
“Lantas, kalau menurutmu dikarenakan apa mereka bisa menjadi manusia batu seperti itu?” Pak Sarman cepat-cepat melontarkan tanya.
“Mungkin, mereka terkena virus?” jawab Bambang.
“Virus? Virus apa,” giliranku yang bertanya.
“Virus batu.” “Virus batu?!”
“Ya, virus batu.
Bukankah bebatuan itu bebatuan tua? Bebatuan yang sudah berusia ratusan juta tahun. Bebatuan yang berasal dari dasar bumi, yang kemudian menyembul ke permukaan akibat terjadinya proses geologi. Nah, bukan tidak mungkin, di bebatuan itu terdapat virus-virus purba. Virus-virus yang berusia ratusan juta tahun. Virus-virus yang bisa merubah tubuh manusia mengeras seperti batu. Mungkin, virus-virus itu masuk ke tubuh para penggali batu sedikit demi sedikit. Para penggali batu itu hampir sepanjang hidupnya bergelut dengan batu. Hidup dengan batu. Makan dari batu. Pendek kata, batu adalah kehidupan mereka. Dan kini, virus-virus batu itu sudah memenuhi tubuh mereka. Merubah apa saja yang ada ditubuh mereka menjadi batu.”
“Pendapatmu mungkin benar, mungkin juga salah. Untuk mengetahui apa penyebabnya, menurutku harus segera dilakukan penelitian. Pihak-pihak terkait harus segera melakukan penelitian yang terpadu. Penelitian yang sungguh-sungguh,” kataku.
“Aku setuju. Secepatnya harus ada penelitian. Siapa tahu, benar-benar disebabkan oleh virus batu. Bahayanya lagi, virus batu itu menular,” ujar Bambang. “Menular?”
“Ya, menular. Nah gawat, kan?” Keesokan harinya, ketika aku sedang berkemas-kemas untuk pulang, Bambang datang mendekat, tergopoh-gopoh. “Gawat! Gawat! Wah, gawat, Fir,” katanya dengan napas tersengal-sengal.
“Gawat, apanya?”
“Virus itu! Virus batu itu benar-benar menular! Virus itu sudah menjalar ke mana-mana. Sekarang virus batu itu sudah menyerang ke warga yang lain.” “Maksudmu?!”
“Sekarang tidak hanya para penggali batu itu saja yang tubuhnya membatu. Warga yang lain juga sudah mulai ikut membatu. Aku baru saja menyaksikan bagaimana warga-warga yang lain tubuhnya telah membatu dan berjalan bagaikan robot. Dan, aku yakin, sebentar lagi segenap warga di sini akan tertular semua. Hah, aku mau ikut pulang hari ini juga! Aku tak mau menunda-nunda lagi. Aku takut virus batu itu nanti menyerang diriku, isteri dan anak-anakku. Aku tak mau menjadi batu seperti mereka.”
Sehabis berkata begitu, Bambang langsung bergegas memanggil isteri dan anak-anaknya, menyuruh mereka berkemas-kemas untuk pulang. “Ayo, kita harus pulang sekarang! Kalau tidak, nanti kita ikut-ikutan menjadi manusia batu semua!” teriaknya.
“Apa tidak bisa ditunda sampai besok pulangnya, Bang?” terdengar suara Pak Sarman. Ternyata ia juga ikut mendengar apa yang baru saja dikatakan Bambang.
“Pak, kami harus pulang sekarang juga. Virus batu itu sudah menjalar ke mana-mana. Dan, Bapak, Ibu serta adik-adik, saya harapkan ikut sekalian ke Jakarta. Kita tinggalkan desa ini. Sebentar lagi semua orang di sini akan menjadi manusia batu. Ayo Pak, cepat bersiap-siap,” seru Bambang. Pak Sarman terdiam sesaat.
Tapi kemudian terdengar suaranya, “Biarkan Bapak, Ibu dan adik-adikmu tetap di sini. Tetap bertahan di desa. Kalau nantinya memang harus menjadi manusia batu. Ya, Bapak ikhlas menerimanya. Bapak rela dan siap.”
Kalian tahu, apa yang kemudian berputar-putar di benakku sepanjang perjalanan pulang ke Yogya? Ya, pertanyaan-pertanyaan seputar virus penyebab manusia batu itu. Apa benar penyebabnya virus batu? Apa tidak ada virus yang lain? Virus kemiskinan misalnya? Atau virus kekuasaan? Bisa jadi karena virus kemiskinan! Virus kemiskinan telah menyebabkan mereka rela menjadi manusia batu, daripada hidup menderita dan mati pelan-pelan karena kelaparan.
Virus kekuasaan? Mungkin juga. Karena jiwa serta mental mereka telah ditekan dan diteror oleh virus kekuasaan itu. Teror dan tekanan virus kekuasaan itu menyebabkan para penggali batu rela membatu seperti batu-batu gunung yang selama ini telah menghidupi mereka.***
* Yogya, 2007-2009
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar