Grathia Pitaloka
http://www.jurnalnasional.com/
Memaparkan pemandangan fisikal, mengurai pemaknaan hal-hal yang tidak kasat mata.
Keintiman manusia dengan Tuhan seringkali tercipta dalam balutan sunyi. Oleh para pujangga, suasana tersebut kerap diabadikan dalam puisi. Pada masa Pujangga Baru, Amir Hamzah mencoba mengartikulasikan sunyi menjadi bunyi dalam puisi Padamu Jua.
Pada era 1960-an, tradisi tersebut dilanjutkan oleh Sapardi Djoko Damono lewat kumpulan puisinya yang berjudul Dukamu Abadi. Dalam puisinya Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia ini mencoba berbincang mengenai religiusitas lewat larik-larik sunyi.
Tradisi tersebut kemudian dikembangkan kembali oleh penyair asal Tasikmalaya, Acep Zamzam Noor. Sajak-sajak lelaki kelahiran 28 Febuari 1960 ini seolah ingin mengabarkan jika puisi masih sanggup mencatat sunyi. “Acep menyempurnakan kembali sajak-sajak Amir Hamzah, sehingga membaca puisi Acep seperti membaca Amir Hamzah masa kini,” kata penyair Afrizal Malna kepada Jurnal Nasional, Senin (15/9).
Penyair yang mulai dikenal pada era 80-an ini sedari kecil memang telah mengakrabi displin ilmu agama. Tak heran mengingat ayahnya, KH.M.Ilyas Ruhiat adalah seorang tokoh Nahdatul Ulama sekaligus pimpinan Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. “Suasana kontemplasi di pesantren memungkinkan seorang santri menjadi seorang seniman,” kata Acep suatu ketika.
Penyair dan kritikus sastra Arief B Prasetyo mengatakan, kemunculan Acep memberikan warna tersendiri bagi dunia kepenyairan tanah air. Menurut Arief, kepiawaian lulusan Fakultas Seni Rupa Desain ITB itu mengemas tema religius dengan bahasa erotis melahirkan sesuatu hal yang unik.
Hal senada dituturkan penyair asal Bali Tan Lioe Ie. Menurut pria yang akrab disapa Yoki ini, Acep merupakan penyair yang selalu gelisah mencari sesuatu yang ‘maha’, lalu proses pencarian tersebut ia tuangkan dalam larik-larik puisi.
Tan Lioe Ie mengatakan, dalam proses penciptaan Acep tidak memotret secara fisik. Ia telah melampaui apa yang tampak oleh mata. “Sajak-sajak Acep didominasi tema-tema religius, tetapi jika tidak cermat membacanya maka yang ditangkap hanya kesan erotis,” kata Tan Lioe Ie.
Menurut Afrizal, ketika sajak Acep pembaca bisa merasakan humor ala kyai atau informalisme linier kyai di balik formalisme agama. “Ada forklore untuk membuat kenakalan, di mana Acep menghadirkannya dengan sangat personal dan verbal,” ujar penulis kumpulan puisi, Tak Ada Anjing Dalam Rahim Ibuku ini. Simak saja puisi berikut :
Sajak Nakal
Doa-doaku
Menyelinap ke dalam
Kutangmu. Seperti tangan
Tanganku
Nakal
Seperti doa
Meremas payudaramu
Di sorga
(Menjadi Penyair Lagi, hal. 74)
Radhar Panca Dahana menilai Acep sebagai penyair yang sukses mengangkat dunia yang selama ini teralienasi ke dalam infrastruktur. Hal itu tidak dilakukan Acep melalui hasil pengamatan orang lain, melainkan berdasar pada proses penyelaman secara pribadi. “Tidak semua penyair memiliki kemampuan itu,” kata Radhar.
Menurut Radhar, Acep dengan sadar memindahkan domisili kreatifnya dari kota besar seperti Bandung dan Jakarta ke daerah pinggir. “Ia mengangkat ruh pinggiran ke atas permukaan dengan bingkai mainstream,” ujar pria yang memulai karier kepenyairannya sejak usia 10 tahun ini.
Ia mengatakan, puisi Acep telah berhasil mempersatukan tema-tema pinggiran dengan tema-tema besar seperti nasionalisme atau korupsi. Perkawinan antara dua tema yang saling bertolak belakang tersebut melahirkan sebuah kegetiran dalam bentuk komedi atau parodi. “Komedi dalam puisi Acep mewakili keadaan masyarakat kecil. Hal serupa dapat dirasakan dalam novel Ahmad Tohari,” kata Radhar.
Radhar menambahkan, kematangan serta pengalaman Acep membuatnya dengan mudah menciptakan diksi-diksi yang mengejutkan. “Acep memasukkan nilai baru berupa imajinasi-imajinasi alternatif,” ujar Radhar.
Pencapaian artistik
Tan Lioe Ie memandang Acep sebagai seorang penyair yang matang menggunakan bahasa dan kata. Menurut dia, Acep tidak terjebak pada penggunaan kata-kata yang bombastis, bahkan lebih sering memakai bahasa sederhana yang biasa digunakan sehari-hari. Namun demikian paduan kata yang dirangkai Acep mampu membangun sebuah chemistry yang indah. “Imajinasi yang ingin ia sampaikan bisa ditangkap dengan sempurna oleh pembaca,” ujar Tan Lioe Ie.
Setali tiga uang dengan Tan Lioe Ie, Arief juga menilai, Acep sebagai penyair yang memiliki kemampuan teknis yang kuat dalam bermain kata, sehingga ketika menulis puisi ia tinggal melakukan eksplorasi tema. “Ia punya jurus silat yang lengkap, sehingga saat mau bertarung tinggal pilih mau memakai yang mana,” kata pria yang saat ini menetap di pulau dewata.
Lebih lanjut Arief menuturkan, kemampuan teknis tersebut didapatkan Acep melalui proses penggalian yang dilakukan secara terus-menerus dalam periode waktu yang panjang. “Sehingga kata-kata sederhana, di tangan Acep berubah menjadi berkilauan,” ujar Arief.
Sementara itu, Afrizal berpendapat beda dengan kedua rekannya. Menurut penyair berkepala plontos ini, puisi Acep dibangun oleh deret kalimat, sehingga dalam hal ini pilihan kata menjadi sesuatu yang tidak penting.
Pria berdarah Minang ini, mengkotakkan Acep sebagai penyair yang bermain dengan imajinasi, sehingga baginya ledakan yang diciptakan dalam dunia bayang-bayang jauh lebih penting. “Puisi Acep hampir tidak ada urusan dengan kekuatan kata-kata dan kedalaman tema, tujuan utamanya adalah membuat pukauan,” kata Afrizal.
Jika dilihat dari sudut pencapaian artistik, Acep memang tidak melahirkan sebuah tradisi baru dalam dunia kesusastraan Indonesia. Karya-karya yang ia buat cenderung melanjutkan tradisi lirisisme yang dilakukan oleh penyair sebelumnya seperti Amir Hamzah, Sapardi Joko Damono serta Goenawan Mohamad. “Acep meneruskan romantisisme Amir Hamzah. Bedanya ia menyisipkan kenakalan-kenakalan dalam sajaknya,” ujar Afrizal.
Pendapat tersebur diamini oleh Radhar. Menurutnya, pencapaian artistik bukan semata-mata melahirkan sebuah keunikan bahasa, melainkan harus dibarengi dengan doktrin pandangan hidup yang kuat. “Di Indonesia hanya karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar yang memiliki pandangan hidup yang kuat mewakili zamannya. Sutardji menyumbangkan keunikan bahasa tetapi pandangan hidup yang diusung belum begitu kuat,” kata Radhar.
Dulu dan sekarang
Afrizal mengatakan, keistimewaan lain dari sajak-sajak Acep dibanding dengan penyair seangkatannya adalah kekayaan visual yang terlihat jelas. Sebagai seorang pelukis, ia sadar betul terhadap komposisi warna, ruang serta cahaya. “Acep menggarap puisi dalam berbagai sudut, itu yang membuat puisinya tampak lebih kaya,” kata Afrizal yang kerap memasukkan keriuhan urban dalam karyanya.
Ia menangkap perbedaan pada sajak-sajak Acep ketika awal mulai berkarya hingga sekarang. Menurut Afrizal, di era 1980-an puisi yang diciptakan Acep tampak kaku. Hal itu dapat dilihat pada kumpulan puisi Tamparlah Mukaku (1981) yang terlihat begitu formal meski telah menggunakan bahasa sarkasme. “Sekarang Acep tampak lebih rileks dalam berkarya, ia seperti sudah menemukan rumahnya sendiri,” ujar Afrizal.
Di masa-masa awal kepenyairannya Acep hampir tidak pernah bercerita tentang patriotisme atau teknologi tinggi. Ia lebih suka bertutur mengenai cinta kepada Tuhan, meski ada satu dua sajak kepada perempuan. Nama Anne Rufaidah dan Ine Ratu Sabharini masuk dalam memori panjangnya. Ia (dalam puisinya) adalah seorang lelaki yang jatuh-bangun dan berulangkali mengembara untuk mendapatkan katarsis.
Sepulang dari Italia, tempatnya menempuh pendidikan beasiswa untuk seni lukis, Acep membawa oleh-oleh sejumlah puisi yang megah dan dibukukan dalam antologi Di Atas Umbria. Antologi tersebut memiliki warna yang sedikit berbeda dengan langgam pada karyanya yang lain. “Kumpulan puisi tersebut bisa dikatakan sebagai puncak pencapaian Acep,” kata Tan Lioe Ie.
Perbedaan lain yang tampak dalam puisi-puisi Acep sekarang adalah kecenderungan prosais serta bertutur dengan runut. Namun demikian bukan berarti ia kehilangan daya pikat saat menulis sajak ringkas.
Sementara itu bagi Radhar, jika pada awal kemunculannya sajak Acep cenderung rumit, kompleks, dan gelap, maka sajak yang dibuat Acep pada periode 2000-an lebih sederhana dan jernih. “Dengan bahasa yang cair Acep berambisi untuk mengkomunikasikan karya-karyanya dengan publik, langkah serupa juga dilakukan banyak penyair senior seperti Sutardji dan Afrizal,” kata Radhar.
Sebagai contoh coba tengok puisi Kematian Kecil yang dibuat tahun 1992: Tapi jika kecerdasan ibarat senja/Maka pengetahuan adalah cakrawala yang diwarnai/Semburat darahmu. Bandingkan dengan bait kelima sajak “Semenanjung” yang dibuat pada tahun 2003 saat ia membayangkan gadis keturunan Tionghoa: Ada ubur-ubur/Di susumu/Hutan lindung/Di bawah pusarmu. (2003)
Radhar mengatakan, layaknya sastrawan pada umumnya Acep juga melakukan pencarian terhadap bentuk-bentuk bahasa. Tetapi seperti para penulis lainnya, Acep juga mengalami benturan antara bahasa dengan produk kebudayaan baru. “Banyak istilah-istilah yang belum diadopsi dengan baik bahasa puitik, seperti misalnya browsing, gadget atau selular. Bahasa yang mengalami ketertindihan puitik tersebut dilawan mati-matian oleh Acep,” kata Radhar.
Ia memaparkan, kepekaan terhadap perubahan zaman wajib hukumnya bagi para penulis. Menurut Radhar, jika penulis masih mempertahankan gaya ortodok dengan bahasa yang agung ala 60-an, maka kemungkinan karyanya tidak akan diminati pembaca. “Kewajiban bagi pengarang untuk melihat reaksi zaman, kalau tidak ia akan menjadi arca yang dipajang di museum, secara teologis mati, secara kreatif jadi mayat. Acep termasuk penyair yang terus mengaktifkan diri,” ujar Radhar.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 15 Juni 2009
Buku dan Pergerakan
A. Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/
Di pelbagai pagelaran seminar, pembicara andal sederhananya bisa dilirik dari kekayaan referensi dalam penyampaiannya. Tampak argumentasi kukuh yang dipancarkan tiap-tiap pembicara, tak luput seberapa lihai ia menyitir referensi. Dan, keampuhan pembicara meramu apa yang disampaikan hingga ia elegan menjawab pertanyaan penanya, pun tak lepas semesta referensi yang ia baca.
Berdaya referensial di pentas ilmiah seakan niscaya. Pertarungan pakar pengetahuan/akademisi demi memenangkan di arena keilmiahan tentu dipersenjatai referensi yang tak sedikit. Referensi dalam hal ini rupa-rupanya ditempatkan laiknya amunisi guna mengukuhkan teori. Dan, teorilah yang nantinya mewujud sebagai dasar pijakan menjalankan hidup di jagad lelaku keilmiahan. Misalnya, melakoni riset, dll.
Namun, amal referensial tak melulu digunakan saat kerja ilmiah. Aktivitas yang sangat menyehari sekalipun, bisa menunggangi referensi. Misalnya, menyitir referensi saat obrolan ringan bersama teman ataupun kawan sembari menyeruput kopi di café, dll. Sehingga, obrolan yang tadinya hanya terkesan biasa-biasa saja dengan referensi bisa memiliki kekuatan. Tentu, perilaku sang pengobrol tak serampangan menyitir referensi. Dengan kata lain, ia pas memilah referensi dalam mempertajam obrolannya.
Referensi dan Pergerakan
Tak sedikit yang alergi dari kawan-teman kita, bila dalam obrolan bersamanya dipijakkan pada referensi. Sebagai mahasiswa –untuk tidak menyebut aktivis mahasiswa— lazim membicarakan centang-perenang bangsa Indonesia pasca reformasi. Dalam presedennya, mahasiswa terbilang idealis saat ditandai dengan kemenangan memakzulkan rezim lalim Soeharto pada 1998. Sehingga, ada istilah khusus untuk menyebutkan hal ini: Gerakan Masif Aktivis 98. Gerakan aktivis 98 jika tidak berlebihan bisa dibilang asketisme idealis yang pernah dimiliki dalam sejarah pergerakan mahasiswa. Sebab, gerakan tersebut mengusung perubahan agung, reformasi. Mereka –seluruh elemen mahasiswa se-Indonesia— serempak, bersama-sama menyingsingkan lengan baju menangkis dan mengakhiri serangan represifitas Orde Baru. Mereka bergeliat dan bergerak maju membonceng demokratisasi, egalitarianisme, dan humanisme.
http://indonimut.blogspot.com/
Di pelbagai pagelaran seminar, pembicara andal sederhananya bisa dilirik dari kekayaan referensi dalam penyampaiannya. Tampak argumentasi kukuh yang dipancarkan tiap-tiap pembicara, tak luput seberapa lihai ia menyitir referensi. Dan, keampuhan pembicara meramu apa yang disampaikan hingga ia elegan menjawab pertanyaan penanya, pun tak lepas semesta referensi yang ia baca.
Berdaya referensial di pentas ilmiah seakan niscaya. Pertarungan pakar pengetahuan/akademisi demi memenangkan di arena keilmiahan tentu dipersenjatai referensi yang tak sedikit. Referensi dalam hal ini rupa-rupanya ditempatkan laiknya amunisi guna mengukuhkan teori. Dan, teorilah yang nantinya mewujud sebagai dasar pijakan menjalankan hidup di jagad lelaku keilmiahan. Misalnya, melakoni riset, dll.
Namun, amal referensial tak melulu digunakan saat kerja ilmiah. Aktivitas yang sangat menyehari sekalipun, bisa menunggangi referensi. Misalnya, menyitir referensi saat obrolan ringan bersama teman ataupun kawan sembari menyeruput kopi di café, dll. Sehingga, obrolan yang tadinya hanya terkesan biasa-biasa saja dengan referensi bisa memiliki kekuatan. Tentu, perilaku sang pengobrol tak serampangan menyitir referensi. Dengan kata lain, ia pas memilah referensi dalam mempertajam obrolannya.
Referensi dan Pergerakan
Tak sedikit yang alergi dari kawan-teman kita, bila dalam obrolan bersamanya dipijakkan pada referensi. Sebagai mahasiswa –untuk tidak menyebut aktivis mahasiswa— lazim membicarakan centang-perenang bangsa Indonesia pasca reformasi. Dalam presedennya, mahasiswa terbilang idealis saat ditandai dengan kemenangan memakzulkan rezim lalim Soeharto pada 1998. Sehingga, ada istilah khusus untuk menyebutkan hal ini: Gerakan Masif Aktivis 98. Gerakan aktivis 98 jika tidak berlebihan bisa dibilang asketisme idealis yang pernah dimiliki dalam sejarah pergerakan mahasiswa. Sebab, gerakan tersebut mengusung perubahan agung, reformasi. Mereka –seluruh elemen mahasiswa se-Indonesia— serempak, bersama-sama menyingsingkan lengan baju menangkis dan mengakhiri serangan represifitas Orde Baru. Mereka bergeliat dan bergerak maju membonceng demokratisasi, egalitarianisme, dan humanisme.
Monginsidi, Chairil, Kartini
Goenawan Mohamad
http://www.tempointeraktif.com/
Shot? so quick, so clean an ending?
Oh that was right, lad, that was brave
Yours was not an ill for mending,
’Twas best to take it to the grave
— A.E. Housman (1859-1936).
Mereka menembak mati Monginsidi di Pacinang, Makassar, tanggal 5 September 1949.
Ada yang mencatat bahwa beberapa menit sebelum dieksekusi, pemimpin gerilya yang ditakuti tentara pendudukan Belanda itu memberikan maaf kepada regu serdadu yang bertugas menghabisi nyawanya. Mungkin saat itu ia menukil Injil Lukas yang merekam apa yang dikatakan Yesus pada saat-saat penyaliban. Tapi mungkin juga ia—yang tak mau meminta grasi kepada pemerintah kolonial—sudah lama menerima apa yang datang bersama zamannya.
Dalam sepucuk surat untuk seorang gadis yang tinggal di Jakarta, Milly Ratulangi—sepucuk surat yang ditulisnya empat hari sebelum hukuman mati itu dijalaninya—ia menggambarkan, dengan kalimat puitis yang menggetarkan, anak-anak muda zamannya ”sebagai bunga yang sedang hendak mekar… digugurkan oleh angin yang keras”.
Tentu ia berbicara tentang generasinya. Umur Robert Wolter Monginsidi baru 24 tahun. Seorang bekas gurunya, Sugardo, menuliskan kenangannya tentang Si ”Woce” di majalah Mimbar Indonesia 17 September 1949, dan dari sana kita tahu ia terakhir bersekolah di Sekolah Pertama Nasional di Jalan Goa 56—sekolah yang ditinggalkannya sejak Juli 1946. Sejak itu ia menghilang. Sejak itu orang tahu, dan berbisik-bisik, ia ikut memimpin pasukan gerilya di daerah Polombangkeng, pusat yang dipilih para pejuang kemerdekaan untuk melawan pendudukan Belanda di Sulawesi Selatan.
Pada suatu hari ia luka. Pada suatu hari ia ditangkap. Ia melarikan diri. Ketika ia ditangkap lagi, hukuman mati pun dijatuhkan oleh ”Raad van Justitie”. Empat bulan sebelum Kerajaan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia yang telah dimaklumkan empat tahun sebelumnya, anak muda itu mati untuk Republik yang muda—untuk sebuah harapan yang belum punya kebimbangan.
Ia memang bagian dari apa yang digambarkan sebagai ”Revolusi Pemuda” oleh Benedict Anderson: babakan sejarah Indonesia ketika pemuda mengambil peran utama dan jadi mitos tersendiri. Ia termasuk sepucuk ”bunga yang sedang hendak mekar, [yang] digugurkan oleh angin yang keras”. Tapi ”angin yang keras itu” membuat yang dilakukannya dikenang, sebab pahlawan lebih cepat mati ketimbang tindakannya. Sejarah selalu menyimpan sesuatu yang menakjubkan pada laku manusia.
l l l
Penyair A.E. Housman pernah menulis sebuah sajak lain. Kali ini bukan untuk seorang anak muda yang tewas oleh senjata api, melainkan untuk seorang atlet yang mati muda: Dua baris yang selalu saya ingat dari To an Athlete Dying Young adalah kalimat ini:
Smart lad, to slip betimes away
From fields where glory does not stay
Sajak ini adalah sebuah tribut bagi sang atlet: ia anak pintar, smart lad, ia mati muda. Ia telah memenangi sebuah pertandingan, ia telah menerima tepuk tangan yang gemuruh, namanya telah jadi harum, dan pada saat itu ia pergi, meluputkan diri ”dari medan di mana kejayaan tak bertahan”, from fields where glory does not last. Seandainya ia hidup terus, akan ada atlet baru yang akan mengalahkannya dan mencopot kehormatannya sebagai sang johan. Kini dalam kematian ia selamat. Ia tak lagi tergabung ke dalam mereka yang pernah jaya tapi ”namanya mati sebelum orangnya”, ”the name died before the man”.
Tapi Housman tak seluruhnya benar. Nama tak selamanya mati sebelum yang empunya. Kejayaan tak selamanya gampang hilang. Harum nama Jesse Owens, pemenang empat medali emas di Olimpiade Berlin, tetap tak pudar meskipun Michael Johnson tercatat lebih unggul dalam Olimpiade Atlanta pada 1996 sebagai orang pertama dalam sejarah yang memenangi lomba lari 400 dan 200 meter sekaligus.
Memang, seperti tulis Housman dalam sajaknya, silence sounds no worse than cheers—diam yang menyertai mereka yang mati, sehabis ”bumi menutup kuping”—tak lebih buruk ketimbang tempik-sorak yang mengelu-elukan seorang juara yang hidup. Tapi itu karena di situ diam tak sendirian. Dalam kematian mereka yang telah melakukan sesuatu yang berarti, diam adalah sebuah sikap hormat. Tepuk tangan diberikan kepada sang hero—yang berubah, fana dan berdosa—tapi sikap hormat ditujukan buat tindakan yang heroik, dari mana inspirasi lahir dan tumbuh selama-lamanya.
Pahlawan adalah sesuatu yang berlebih. Sebuah komunitas tak dikukuhkan orang-orang hebat seperti dia, tapi oleh tindakan-tindakan hebat. Dengan kata lain: perbuatan baik. Monginsidi kekal bukan sebagai tokoh luar biasa, melain-kan sebagai kesediaan untuk berkorban bagi sebuah harapan bersama.
”Monginsidi”, dengan kata lain, jadi penanda sesuatu yang mengagumkan. The name does not die with the man.
l l l
Juga Chairil Anwar. Mungkin kebetulan, mungkin tidak, bahwa dialah yang menuliskan kalimatnya yang terkenal: ”sekali berarti, sudah itu mati”.
Ia menuliskan kata-kata itu dalam sajak Diponegoro, tapi tentu ia tak bermaksud merekam sebuah kejadian sejarah. Kita tahu Diponegoro, yang lahir pada tahun 1785, memimpin perang perlawanan ketika ia telah berusia 40 hingga ia dikalahkan Belanda lima tahun kemudian.
Kita memang bisa membayangkan maut hadir begitu rapat di sekitar sang pangeran di kancah perang abad ke-19 yang mengguncang kekuasaan Kompeni dan membawa korban 200 ribu manusia itu. Namun kata-kata ”sekali berarti (se)sudah itu mati”—kalimat dramatik yang menunjukkan dekatnya jarak antara perbuatan yang berarti dan hidup yang berakhir—agaknya tak berlaku buat riwayat hidup Diponegoro. Pemimpin perlawanan itu ditangkap dan dibuang ke Sulawesi dan baru wafat 25 tahun setelah itu. Ia sempat merampungkan otobiografinya dalam bentuk tembang. Usianya 70.
Mungkin ”sekali berarti, (se)-sudah itu mati” lebih tepat buat Chairil Anwar sendiri.
Ia meninggal pada usia 27 tahun. Ia tak memimpin gerilya dan ditembak mati regu eksekusi penguasa kolonial seperti Monginsidi. Tapi seperti anak muda yang aktif dalam perjuangan bersenjata di Polobangkeng itu, Chairil menimbulkan pertanyaan yang penting buat zaman ini: kenapa anak semuda itu bisa membuat sesuatu yang begitu berarti dan dikenang terus? Karena ”angin yang keras” tahun 1940-an?
Hanya dengan beberapa belas sajak, Chairil telah mengubah seluruh paradigma puisi Indonesia. Sejak karya-karyanya terbit, tak ada lagi penyair yang menulis seperti para sastrawan Pujanggga Baru pada tahun 1930-an menulis. Bagi saya sumbangannya untuk perombakan pandangan sastra dan dunia jauh lebih mendalam ketimbang sumbangan S. Takdir Alisjahbana, yang pernah mencemooh puisi Chairil sebagai ”rujak” belaka: segar tapi tanpa gizi.
Persoalan yang hendak dibawakan pandangan Chairil justru: apa salahnya ”segar”? Kenapa sesuatu harus dinilai dari segi ada atau tak ada ”gizi”? Tidakkah dalam ”segar” ada sesuatu yang lebih berarti—yakni hasrat untuk membuat hidup tak hanya dibebani Sabda dan Guna? Tidakkah dunia seharusnya selalu bagai ditemukan buat pertama kalinya, penuh kejutan yang menarik, seperti digambarkan Chairil dalam sajak pendek Malam di Pegunungan: sementara aku berpikir mencari jawab tentang sebab dan akibat, seorang ”bocah cilik” menemui hidup dengan ”main kejaran dengan bayangan”.
Kiranya memang hanya si ”bocah”—dan mereka yang masih punya ke-bocah-an dalam dirinya—yang tak takut untuk melakukan hal-hal yang ganjil: “main kejaran dengan bayangan”. Merekalah yang tahu akan sia-sia untuk berkejaran dengan hal-hal yang mustahil dikejar, tapi asyik. Mereka di luar batas.
Tak ada yang baru sebenarnya dalam soal ini—juga kece-masan orang tua dan para pendukung Sabda, Guna, dan Batas. Kita sering mendengar orang menyebut Sturm und Drang—yang berasal dari gerakan sastra Jerman abad ke-18, yang mengutamakan cetusan subyektif dan spontan dalam kreativitas untuk melawan kekuasaan nalar dan pengagungan sikap beradab pada masa itu—sebagai sebuah periode remaja. Dengan kata lain, sesuatu yang sementara dan tak serius.
Tapi kepada yang meremehkan yang muda itulah Werther, tokoh karya Goethe yang terkenal, Die Leiden des jungen Werthers (Kesedihan hati Werther Muda), membela diri: ia mengakui gairah dirinya selalu mendekati taraf tanpa nalar dan berlebihan, tapi ia tak malu. Ia percaya, banyak prestasi besar dihasilkan mereka yang dianggap mabuk dan edan (Wahnsinnige) oleh dunia.
Kreativitas memang memerlukan gairah dan satu dosis keedanan—itu sebabnya prosesnya bisa tampak tak tetap, melimpah ruah, penuh Sturm und Drang, deru dan desak, yang menyebabkan puisi Chairil—yang ditulis pada tahun 1940 ketika kekuasaan kolonial runtuh dan tentara pendudukan Jepang berakhir dan Indonesia baru berteriak sebagai bayi baru lahir—adalah bagian yang terkena ”angin yang keras”. Ia melampaui tata yang mati, meninggalkan apa yang disebut Rendra sebagai ”kebudayaan kasur tua”, mencetuskan imaji-imaji yang tak terkendali oleh adab, dan merupakan elan yang menjulang dan mengempas.
Memang hanya yang muda yang tak gentar hidup dalam gelombang.
l l l
Yang menarik dalam surat-surat Kartini bukanlah cuma isinya, melainkan juga gayanya. ”Gelombang” adalah kiasan yang tepat untuk gaya itu. Bahasanya tak datar, seperti ombak dengan badai yang terkadang tak segera kelihatan. Kita mendapatkan ekspresi hiperbolik di pelbagai sudut, terutama ketika ia dengan antusias melukiskan sesuatu atau menyanjung seseorang yang dicintai. Pelbagai kalimat seakan-akan harus berhenti dengan tanda seru.
Beberapa tahun setelah ia menuliskan surat-suratnya yang kemudian termasyhur itu—cerminan rasa gelisah dan protes perempuan yang hidup dalam masyarakat aristokrat Jawa pada akhir abad ke-19, observasi dan komentarnya tentang lingkungan kolonial yang timpang dan menekan, cita-cita pribadinya yang tak sampai—Kartini meninggal pada tahun 1904.
Umurnya baru 25.
Ia meninggal sebagai seorang ibu. Pada akhir hidupnya yang pendek ia istri kedua seorang bupati yang, betapapun terpelajar dan penuh kasih sayang kepadanya, tetap bagian yang jinak dari tata yang tertib.
Maka kisah Kartini jadi penting bukan karena heroismenya, melainkan karena kegagalannya: dialah perempuan yang mencoba menunggang gelombang—khas suara generasi muda—tapi terjebak dalam palung ke-tua-an. Dalam masyarakatnya, panutan adalah ingatan. Yang membentuk adalah pengulangan khazanah yang disusun generasi tua. Tradisi menentukan hampir segalanya.
Pandangan bahwa ”tua itu baik” itu bahkan berlanjut sampai hari ini. Dalam nyanyian nasional yang memujanya, Kartini dipanggil ”Ibu kita”, bukan ”sang pelopor”. Citranya tak lagi sebagai bagian dari sebuah pergerakan progresif, tapi sebagai pengayom struktur yang konservatif. Tak mengherankan bila Hari Kartini adalah hari ketika para perempuan berpakaian adat, bukan berpakaian pilot atau atlet angkat besi.
Dalam hal itu, nasibnya lebih buruk ketimbang Monginsidi. Pemimpin perjuangan bersenjata itu berakhir dalam mati, Kartini dalam ”tua”. Betapa menyedihkan: ia tak tampak sebagai seorang atlet yang mati muda. Simone de Beauvoir pernah mengatakan, lawan dari hidup bukanlah kematian, melainkan ketuaan. Jika kita ingin mengenang Kartini dengan baik, kita harus mengenang tragedinya.
22 Desember 2006
http://www.tempointeraktif.com/
Shot? so quick, so clean an ending?
Oh that was right, lad, that was brave
Yours was not an ill for mending,
’Twas best to take it to the grave
— A.E. Housman (1859-1936).
Mereka menembak mati Monginsidi di Pacinang, Makassar, tanggal 5 September 1949.
Ada yang mencatat bahwa beberapa menit sebelum dieksekusi, pemimpin gerilya yang ditakuti tentara pendudukan Belanda itu memberikan maaf kepada regu serdadu yang bertugas menghabisi nyawanya. Mungkin saat itu ia menukil Injil Lukas yang merekam apa yang dikatakan Yesus pada saat-saat penyaliban. Tapi mungkin juga ia—yang tak mau meminta grasi kepada pemerintah kolonial—sudah lama menerima apa yang datang bersama zamannya.
Dalam sepucuk surat untuk seorang gadis yang tinggal di Jakarta, Milly Ratulangi—sepucuk surat yang ditulisnya empat hari sebelum hukuman mati itu dijalaninya—ia menggambarkan, dengan kalimat puitis yang menggetarkan, anak-anak muda zamannya ”sebagai bunga yang sedang hendak mekar… digugurkan oleh angin yang keras”.
Tentu ia berbicara tentang generasinya. Umur Robert Wolter Monginsidi baru 24 tahun. Seorang bekas gurunya, Sugardo, menuliskan kenangannya tentang Si ”Woce” di majalah Mimbar Indonesia 17 September 1949, dan dari sana kita tahu ia terakhir bersekolah di Sekolah Pertama Nasional di Jalan Goa 56—sekolah yang ditinggalkannya sejak Juli 1946. Sejak itu ia menghilang. Sejak itu orang tahu, dan berbisik-bisik, ia ikut memimpin pasukan gerilya di daerah Polombangkeng, pusat yang dipilih para pejuang kemerdekaan untuk melawan pendudukan Belanda di Sulawesi Selatan.
Pada suatu hari ia luka. Pada suatu hari ia ditangkap. Ia melarikan diri. Ketika ia ditangkap lagi, hukuman mati pun dijatuhkan oleh ”Raad van Justitie”. Empat bulan sebelum Kerajaan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia yang telah dimaklumkan empat tahun sebelumnya, anak muda itu mati untuk Republik yang muda—untuk sebuah harapan yang belum punya kebimbangan.
Ia memang bagian dari apa yang digambarkan sebagai ”Revolusi Pemuda” oleh Benedict Anderson: babakan sejarah Indonesia ketika pemuda mengambil peran utama dan jadi mitos tersendiri. Ia termasuk sepucuk ”bunga yang sedang hendak mekar, [yang] digugurkan oleh angin yang keras”. Tapi ”angin yang keras itu” membuat yang dilakukannya dikenang, sebab pahlawan lebih cepat mati ketimbang tindakannya. Sejarah selalu menyimpan sesuatu yang menakjubkan pada laku manusia.
l l l
Penyair A.E. Housman pernah menulis sebuah sajak lain. Kali ini bukan untuk seorang anak muda yang tewas oleh senjata api, melainkan untuk seorang atlet yang mati muda: Dua baris yang selalu saya ingat dari To an Athlete Dying Young adalah kalimat ini:
Smart lad, to slip betimes away
From fields where glory does not stay
Sajak ini adalah sebuah tribut bagi sang atlet: ia anak pintar, smart lad, ia mati muda. Ia telah memenangi sebuah pertandingan, ia telah menerima tepuk tangan yang gemuruh, namanya telah jadi harum, dan pada saat itu ia pergi, meluputkan diri ”dari medan di mana kejayaan tak bertahan”, from fields where glory does not last. Seandainya ia hidup terus, akan ada atlet baru yang akan mengalahkannya dan mencopot kehormatannya sebagai sang johan. Kini dalam kematian ia selamat. Ia tak lagi tergabung ke dalam mereka yang pernah jaya tapi ”namanya mati sebelum orangnya”, ”the name died before the man”.
Tapi Housman tak seluruhnya benar. Nama tak selamanya mati sebelum yang empunya. Kejayaan tak selamanya gampang hilang. Harum nama Jesse Owens, pemenang empat medali emas di Olimpiade Berlin, tetap tak pudar meskipun Michael Johnson tercatat lebih unggul dalam Olimpiade Atlanta pada 1996 sebagai orang pertama dalam sejarah yang memenangi lomba lari 400 dan 200 meter sekaligus.
Memang, seperti tulis Housman dalam sajaknya, silence sounds no worse than cheers—diam yang menyertai mereka yang mati, sehabis ”bumi menutup kuping”—tak lebih buruk ketimbang tempik-sorak yang mengelu-elukan seorang juara yang hidup. Tapi itu karena di situ diam tak sendirian. Dalam kematian mereka yang telah melakukan sesuatu yang berarti, diam adalah sebuah sikap hormat. Tepuk tangan diberikan kepada sang hero—yang berubah, fana dan berdosa—tapi sikap hormat ditujukan buat tindakan yang heroik, dari mana inspirasi lahir dan tumbuh selama-lamanya.
Pahlawan adalah sesuatu yang berlebih. Sebuah komunitas tak dikukuhkan orang-orang hebat seperti dia, tapi oleh tindakan-tindakan hebat. Dengan kata lain: perbuatan baik. Monginsidi kekal bukan sebagai tokoh luar biasa, melain-kan sebagai kesediaan untuk berkorban bagi sebuah harapan bersama.
”Monginsidi”, dengan kata lain, jadi penanda sesuatu yang mengagumkan. The name does not die with the man.
l l l
Juga Chairil Anwar. Mungkin kebetulan, mungkin tidak, bahwa dialah yang menuliskan kalimatnya yang terkenal: ”sekali berarti, sudah itu mati”.
Ia menuliskan kata-kata itu dalam sajak Diponegoro, tapi tentu ia tak bermaksud merekam sebuah kejadian sejarah. Kita tahu Diponegoro, yang lahir pada tahun 1785, memimpin perang perlawanan ketika ia telah berusia 40 hingga ia dikalahkan Belanda lima tahun kemudian.
Kita memang bisa membayangkan maut hadir begitu rapat di sekitar sang pangeran di kancah perang abad ke-19 yang mengguncang kekuasaan Kompeni dan membawa korban 200 ribu manusia itu. Namun kata-kata ”sekali berarti (se)sudah itu mati”—kalimat dramatik yang menunjukkan dekatnya jarak antara perbuatan yang berarti dan hidup yang berakhir—agaknya tak berlaku buat riwayat hidup Diponegoro. Pemimpin perlawanan itu ditangkap dan dibuang ke Sulawesi dan baru wafat 25 tahun setelah itu. Ia sempat merampungkan otobiografinya dalam bentuk tembang. Usianya 70.
Mungkin ”sekali berarti, (se)-sudah itu mati” lebih tepat buat Chairil Anwar sendiri.
Ia meninggal pada usia 27 tahun. Ia tak memimpin gerilya dan ditembak mati regu eksekusi penguasa kolonial seperti Monginsidi. Tapi seperti anak muda yang aktif dalam perjuangan bersenjata di Polobangkeng itu, Chairil menimbulkan pertanyaan yang penting buat zaman ini: kenapa anak semuda itu bisa membuat sesuatu yang begitu berarti dan dikenang terus? Karena ”angin yang keras” tahun 1940-an?
Hanya dengan beberapa belas sajak, Chairil telah mengubah seluruh paradigma puisi Indonesia. Sejak karya-karyanya terbit, tak ada lagi penyair yang menulis seperti para sastrawan Pujanggga Baru pada tahun 1930-an menulis. Bagi saya sumbangannya untuk perombakan pandangan sastra dan dunia jauh lebih mendalam ketimbang sumbangan S. Takdir Alisjahbana, yang pernah mencemooh puisi Chairil sebagai ”rujak” belaka: segar tapi tanpa gizi.
Persoalan yang hendak dibawakan pandangan Chairil justru: apa salahnya ”segar”? Kenapa sesuatu harus dinilai dari segi ada atau tak ada ”gizi”? Tidakkah dalam ”segar” ada sesuatu yang lebih berarti—yakni hasrat untuk membuat hidup tak hanya dibebani Sabda dan Guna? Tidakkah dunia seharusnya selalu bagai ditemukan buat pertama kalinya, penuh kejutan yang menarik, seperti digambarkan Chairil dalam sajak pendek Malam di Pegunungan: sementara aku berpikir mencari jawab tentang sebab dan akibat, seorang ”bocah cilik” menemui hidup dengan ”main kejaran dengan bayangan”.
Kiranya memang hanya si ”bocah”—dan mereka yang masih punya ke-bocah-an dalam dirinya—yang tak takut untuk melakukan hal-hal yang ganjil: “main kejaran dengan bayangan”. Merekalah yang tahu akan sia-sia untuk berkejaran dengan hal-hal yang mustahil dikejar, tapi asyik. Mereka di luar batas.
Tak ada yang baru sebenarnya dalam soal ini—juga kece-masan orang tua dan para pendukung Sabda, Guna, dan Batas. Kita sering mendengar orang menyebut Sturm und Drang—yang berasal dari gerakan sastra Jerman abad ke-18, yang mengutamakan cetusan subyektif dan spontan dalam kreativitas untuk melawan kekuasaan nalar dan pengagungan sikap beradab pada masa itu—sebagai sebuah periode remaja. Dengan kata lain, sesuatu yang sementara dan tak serius.
Tapi kepada yang meremehkan yang muda itulah Werther, tokoh karya Goethe yang terkenal, Die Leiden des jungen Werthers (Kesedihan hati Werther Muda), membela diri: ia mengakui gairah dirinya selalu mendekati taraf tanpa nalar dan berlebihan, tapi ia tak malu. Ia percaya, banyak prestasi besar dihasilkan mereka yang dianggap mabuk dan edan (Wahnsinnige) oleh dunia.
Kreativitas memang memerlukan gairah dan satu dosis keedanan—itu sebabnya prosesnya bisa tampak tak tetap, melimpah ruah, penuh Sturm und Drang, deru dan desak, yang menyebabkan puisi Chairil—yang ditulis pada tahun 1940 ketika kekuasaan kolonial runtuh dan tentara pendudukan Jepang berakhir dan Indonesia baru berteriak sebagai bayi baru lahir—adalah bagian yang terkena ”angin yang keras”. Ia melampaui tata yang mati, meninggalkan apa yang disebut Rendra sebagai ”kebudayaan kasur tua”, mencetuskan imaji-imaji yang tak terkendali oleh adab, dan merupakan elan yang menjulang dan mengempas.
Memang hanya yang muda yang tak gentar hidup dalam gelombang.
l l l
Yang menarik dalam surat-surat Kartini bukanlah cuma isinya, melainkan juga gayanya. ”Gelombang” adalah kiasan yang tepat untuk gaya itu. Bahasanya tak datar, seperti ombak dengan badai yang terkadang tak segera kelihatan. Kita mendapatkan ekspresi hiperbolik di pelbagai sudut, terutama ketika ia dengan antusias melukiskan sesuatu atau menyanjung seseorang yang dicintai. Pelbagai kalimat seakan-akan harus berhenti dengan tanda seru.
Beberapa tahun setelah ia menuliskan surat-suratnya yang kemudian termasyhur itu—cerminan rasa gelisah dan protes perempuan yang hidup dalam masyarakat aristokrat Jawa pada akhir abad ke-19, observasi dan komentarnya tentang lingkungan kolonial yang timpang dan menekan, cita-cita pribadinya yang tak sampai—Kartini meninggal pada tahun 1904.
Umurnya baru 25.
Ia meninggal sebagai seorang ibu. Pada akhir hidupnya yang pendek ia istri kedua seorang bupati yang, betapapun terpelajar dan penuh kasih sayang kepadanya, tetap bagian yang jinak dari tata yang tertib.
Maka kisah Kartini jadi penting bukan karena heroismenya, melainkan karena kegagalannya: dialah perempuan yang mencoba menunggang gelombang—khas suara generasi muda—tapi terjebak dalam palung ke-tua-an. Dalam masyarakatnya, panutan adalah ingatan. Yang membentuk adalah pengulangan khazanah yang disusun generasi tua. Tradisi menentukan hampir segalanya.
Pandangan bahwa ”tua itu baik” itu bahkan berlanjut sampai hari ini. Dalam nyanyian nasional yang memujanya, Kartini dipanggil ”Ibu kita”, bukan ”sang pelopor”. Citranya tak lagi sebagai bagian dari sebuah pergerakan progresif, tapi sebagai pengayom struktur yang konservatif. Tak mengherankan bila Hari Kartini adalah hari ketika para perempuan berpakaian adat, bukan berpakaian pilot atau atlet angkat besi.
Dalam hal itu, nasibnya lebih buruk ketimbang Monginsidi. Pemimpin perjuangan bersenjata itu berakhir dalam mati, Kartini dalam ”tua”. Betapa menyedihkan: ia tak tampak sebagai seorang atlet yang mati muda. Simone de Beauvoir pernah mengatakan, lawan dari hidup bukanlah kematian, melainkan ketuaan. Jika kita ingin mengenang Kartini dengan baik, kita harus mengenang tragedinya.
22 Desember 2006
Bisikan Sastra Perang…
Binhad Nurrohmat
http://kompas-cetak/
Watak kesusastraan peka pada tragedi, dan di antara tragedi terbesar bagi umat manusia adalah perang. Perang merupakan tragedi yang tak sebatas membinasakan tubuh dan melenyapkan peradaban manusia. Ketika krisis dan kegundahan di Eropa merebak pada 1935 dan dihantui luka Perang Dunia I, Jean Girauduoux menyelipkan sebaris kalimat jitu tentang bahaya perang yang paling mengerikan ke dalam dramanya, La guerre de Troi n’aura pas lieu (Perang Troya Tak Bakal Meletus): “Kebenaran adalah korban pertama dalam perang.”
Pada berbagai zaman, perang gampang menggerakkan manusia menyelenggarakan kekerasan untuk penghancuran dan penaklukan. Perang merupakan bentuk tragedi primitif yang kerap mencabik-cabik riwayat umat manusia sejak mula hingga masa kininya. Tak mengejutkan bila ilham penciptaan kesusastraan agung abad silam—Mahabharata, Iliad, Odyssey—adalah perang. Juga, kesusastraan pada kurun mutakhir: Krawang-Bekasi saduran Chairil Anwar, Cerita dari Blora Pramoedya Ananta Toer, dan Saksi Mata Seno Gumira Ajidarma.
Sastra Perang bukan “liputan” permukaan belaka atas peristiwa atau suasana perang. Sastra Perang adalah pijar kedalaman empati tentang kehancuran tubuh dan pantulan warna-warni mental manusia dalam situasi konflik yang mampu menumbuhkan makna baru dan memperkaya pemahaman atas kenyataan, berdasarkan sudut pandang, visi, atau perspektif tertentu.
Virginia Woolf dalam Three Guineas (1938) membincang ihwal perang. Karya ini merefleksi foto kebengisan perang yang diedarkan Pemerintah Spanyol dua kali sepekan, dan Woolf menyimpulkan perang tak terpadamkan oleh edaran dokumentasi kekerasan itu.
Sastra Perang bukanlah risalah filsafat perang, meski di dalamnya bersemayam renungan filosofis. Sastra Perang mengambil jarak dan sekaligus intens terlibat dengan perang. Sastra Perang mengendus detak batin dan suara di benak pelaku atau mereka terkena dampak perang, tanpa berkhotbah.
Sastra Perang juga bukan kisah ulang gemuruh pertempuran. Novel Fateless Imre Kertesz (peraih Nobel Sastra 2002), misalnya. Novel berlatar Perang Dunia II ini bukan dokumentasi atas deru dan gelimang darah dalam perang ini. Novel ini mengarahkan kisah pada apa yang menyeruak dari derita jiwa raga manusia yang disekap dalam kamp konsentrasi Yahudi di Auschwitz dan Buchenwald.
Sastra Perang “menggemakan bisikan” pikiran dan jiwa manusia yang mengalami atau terpengaruh oleh perang, beserta keluhuran dan kebusukannya. Sastra Perang menyuarakan yang terabaikan dalam hiruk kekerasan, serupa kesaksian melankolis puisi Toto Sudarto Bachtiar Pahlawan Tak Dikenal: Wajah sunyi setengah tengadah/Menangkap sepi padang senja/Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu/Dia masih sangat muda.
Namun, ada Sastra Perang yang berfungsi sebagai “dokumentasi” peristiwa perang, misalnya sebagian Syair Perang Menteng yang mencatat serangan militer kolonial Belanda ke Kerajaan Palembang dan perlawanan rakyat Palembang. Syair ini digubah pada 1819, tak lama seusai perang ini meletus. Dan, juga ada Sastra Perang yang difungsikan untuk mengobarkan semangat perlawanan, contohnya Hikayat Perang Sabil saat rakyat Aceh mempertahankan wilayahnya dari agresi militer kolonial Belanda.
Pramoedya
Sastra Perang bagi pembaca yang hidup di dunia nan damai bisa menjadi sejenis “hiburan” pemantik naluri dramatik yang bisa mengusik atau menggundahkan lantaran sembulan kegetiran dan kengerian dari pergumulan batin dan pikiran manusia yang terlibat perang atau terpengaruh olehnya.
Cerita dari Blora Pramoedya Ananta Toer, misalnya. Karya yang ditulis semasa revolusi 1945-1949, ketika di dalam dan selepas dari penjara Belanda, ini menggambarkan sisi lain kehidupan manusia yang mengorbankan banyak hal demi cita-cita kemerdekaan, tetapi pengorbanan itu hanya menyebabkan penderitaan. Kisah-kisah yang diduga mengandung otobiografi pengarangnya ini menggambarkan manusia-manusia frustrasi akibat perang. Peristiwa perang dalam kisah-kisah ini cuma jadi latar yang muncul-hilang atau samar sama sekali.
Pram dan Chairil adalah manusia yang menghirup udara dan tumbuh pada masa perang. Penghayatan mereka atas perang dan dampaknya menjadi pengalaman pribadi yang natural. Perang adalah pengalaman empiris dan otentik mereka.
Namun, lewat data dan imajinasi, penghayatan terhadap perang atau dampaknya bisa terselenggara tanpa dialami oleh pengarang secara langsung, misalnya puisi Zagreb Goenawan Mohamad: Ibu itu datang, membawa sebuah bungkusan,/datang jauh dari Zagreb./Ibu itu datang, membawa bungkusan, berisi sepotong kepala, dan/berkata kepada petugas imigrasi yang memeriksanya:/”Ini anakku.”. Meski puisi dianggap realitas fiksional, bukanlah berarti puisi ini khayalan kosong yang tak bisa menautkan referensi pembaca ke peristiwa getir akibat keganasan perang, nun di sana.
Sedangkan Saksi Mata Seno Gumira Ajidarma adalah “berkah” dari pembatasan terhadap wartawan yang meliput konflik bersenjata di Timor Timur pada masa Orde Baru. Berita-berita Seno mengenai konflik berdarah ini dibungkam (off the record). Tetapi, “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara” kata Seno. Kisah-kisah dalam kumpulan cerpen ini merupakan berita (fakta) yang “menyamar” sebagai sastra (fiksi), sehingga “berhak” atau malah “dituntut” menyembulkan daya literer.
Inti dari Sastra Perang adalah konflik lahir batin, kekerasan, dan tragedi akibat perang sebagaimana juga konflik atau kekerasan massal di Tanah Air dalam satu-dua dasawarsa belakangan ini yang merenggut banyak korban manusia. Konflik-konflik ini terekam oleh jurnalisme dan secara signifikan belum muncul dalam kesusastraan. Berubahkah watak kesusastraan mutakhir?
Konon, kesusastraan dianggap berharga antara lain karena mencerap suara dan geliat zamannya. Unsur mutu atau capaian estetika kerap jadi kekuatan mendasar dan amat menonjol, tetapi unsur ini bukanlah satu-satunya yang membuat kesusastraan bisa gemilang atau menggugah pembaca dari masa ke masa.
http://kompas-cetak/
Watak kesusastraan peka pada tragedi, dan di antara tragedi terbesar bagi umat manusia adalah perang. Perang merupakan tragedi yang tak sebatas membinasakan tubuh dan melenyapkan peradaban manusia. Ketika krisis dan kegundahan di Eropa merebak pada 1935 dan dihantui luka Perang Dunia I, Jean Girauduoux menyelipkan sebaris kalimat jitu tentang bahaya perang yang paling mengerikan ke dalam dramanya, La guerre de Troi n’aura pas lieu (Perang Troya Tak Bakal Meletus): “Kebenaran adalah korban pertama dalam perang.”
Pada berbagai zaman, perang gampang menggerakkan manusia menyelenggarakan kekerasan untuk penghancuran dan penaklukan. Perang merupakan bentuk tragedi primitif yang kerap mencabik-cabik riwayat umat manusia sejak mula hingga masa kininya. Tak mengejutkan bila ilham penciptaan kesusastraan agung abad silam—Mahabharata, Iliad, Odyssey—adalah perang. Juga, kesusastraan pada kurun mutakhir: Krawang-Bekasi saduran Chairil Anwar, Cerita dari Blora Pramoedya Ananta Toer, dan Saksi Mata Seno Gumira Ajidarma.
Sastra Perang bukan “liputan” permukaan belaka atas peristiwa atau suasana perang. Sastra Perang adalah pijar kedalaman empati tentang kehancuran tubuh dan pantulan warna-warni mental manusia dalam situasi konflik yang mampu menumbuhkan makna baru dan memperkaya pemahaman atas kenyataan, berdasarkan sudut pandang, visi, atau perspektif tertentu.
Virginia Woolf dalam Three Guineas (1938) membincang ihwal perang. Karya ini merefleksi foto kebengisan perang yang diedarkan Pemerintah Spanyol dua kali sepekan, dan Woolf menyimpulkan perang tak terpadamkan oleh edaran dokumentasi kekerasan itu.
Sastra Perang bukanlah risalah filsafat perang, meski di dalamnya bersemayam renungan filosofis. Sastra Perang mengambil jarak dan sekaligus intens terlibat dengan perang. Sastra Perang mengendus detak batin dan suara di benak pelaku atau mereka terkena dampak perang, tanpa berkhotbah.
Sastra Perang juga bukan kisah ulang gemuruh pertempuran. Novel Fateless Imre Kertesz (peraih Nobel Sastra 2002), misalnya. Novel berlatar Perang Dunia II ini bukan dokumentasi atas deru dan gelimang darah dalam perang ini. Novel ini mengarahkan kisah pada apa yang menyeruak dari derita jiwa raga manusia yang disekap dalam kamp konsentrasi Yahudi di Auschwitz dan Buchenwald.
Sastra Perang “menggemakan bisikan” pikiran dan jiwa manusia yang mengalami atau terpengaruh oleh perang, beserta keluhuran dan kebusukannya. Sastra Perang menyuarakan yang terabaikan dalam hiruk kekerasan, serupa kesaksian melankolis puisi Toto Sudarto Bachtiar Pahlawan Tak Dikenal: Wajah sunyi setengah tengadah/Menangkap sepi padang senja/Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu/Dia masih sangat muda.
Namun, ada Sastra Perang yang berfungsi sebagai “dokumentasi” peristiwa perang, misalnya sebagian Syair Perang Menteng yang mencatat serangan militer kolonial Belanda ke Kerajaan Palembang dan perlawanan rakyat Palembang. Syair ini digubah pada 1819, tak lama seusai perang ini meletus. Dan, juga ada Sastra Perang yang difungsikan untuk mengobarkan semangat perlawanan, contohnya Hikayat Perang Sabil saat rakyat Aceh mempertahankan wilayahnya dari agresi militer kolonial Belanda.
Pramoedya
Sastra Perang bagi pembaca yang hidup di dunia nan damai bisa menjadi sejenis “hiburan” pemantik naluri dramatik yang bisa mengusik atau menggundahkan lantaran sembulan kegetiran dan kengerian dari pergumulan batin dan pikiran manusia yang terlibat perang atau terpengaruh olehnya.
Cerita dari Blora Pramoedya Ananta Toer, misalnya. Karya yang ditulis semasa revolusi 1945-1949, ketika di dalam dan selepas dari penjara Belanda, ini menggambarkan sisi lain kehidupan manusia yang mengorbankan banyak hal demi cita-cita kemerdekaan, tetapi pengorbanan itu hanya menyebabkan penderitaan. Kisah-kisah yang diduga mengandung otobiografi pengarangnya ini menggambarkan manusia-manusia frustrasi akibat perang. Peristiwa perang dalam kisah-kisah ini cuma jadi latar yang muncul-hilang atau samar sama sekali.
Pram dan Chairil adalah manusia yang menghirup udara dan tumbuh pada masa perang. Penghayatan mereka atas perang dan dampaknya menjadi pengalaman pribadi yang natural. Perang adalah pengalaman empiris dan otentik mereka.
Namun, lewat data dan imajinasi, penghayatan terhadap perang atau dampaknya bisa terselenggara tanpa dialami oleh pengarang secara langsung, misalnya puisi Zagreb Goenawan Mohamad: Ibu itu datang, membawa sebuah bungkusan,/datang jauh dari Zagreb./Ibu itu datang, membawa bungkusan, berisi sepotong kepala, dan/berkata kepada petugas imigrasi yang memeriksanya:/”Ini anakku.”. Meski puisi dianggap realitas fiksional, bukanlah berarti puisi ini khayalan kosong yang tak bisa menautkan referensi pembaca ke peristiwa getir akibat keganasan perang, nun di sana.
Sedangkan Saksi Mata Seno Gumira Ajidarma adalah “berkah” dari pembatasan terhadap wartawan yang meliput konflik bersenjata di Timor Timur pada masa Orde Baru. Berita-berita Seno mengenai konflik berdarah ini dibungkam (off the record). Tetapi, “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara” kata Seno. Kisah-kisah dalam kumpulan cerpen ini merupakan berita (fakta) yang “menyamar” sebagai sastra (fiksi), sehingga “berhak” atau malah “dituntut” menyembulkan daya literer.
Inti dari Sastra Perang adalah konflik lahir batin, kekerasan, dan tragedi akibat perang sebagaimana juga konflik atau kekerasan massal di Tanah Air dalam satu-dua dasawarsa belakangan ini yang merenggut banyak korban manusia. Konflik-konflik ini terekam oleh jurnalisme dan secara signifikan belum muncul dalam kesusastraan. Berubahkah watak kesusastraan mutakhir?
Konon, kesusastraan dianggap berharga antara lain karena mencerap suara dan geliat zamannya. Unsur mutu atau capaian estetika kerap jadi kekuatan mendasar dan amat menonjol, tetapi unsur ini bukanlah satu-satunya yang membuat kesusastraan bisa gemilang atau menggugah pembaca dari masa ke masa.
Teater Kontemporer
Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/
Sudah lama dunia ini dibedakan dengan Barat dan Timur. Masa lalu masa depan. Sudah lama nilai-nilai dipatok dalam dua gawang. Buruk dan baik. Hitam dan putih. Sudah lama arah disederhanakan menjadi kanan dan kiri. Depan dan belakang. Atas dan bawah.
Sudah lama wanita dikategorikan dengan jegeg dan bocok. Dan pada gilirannya juga sudah lama seni dikampling menjadi dua pulau. Tradisional dan modern. Pertunjukan tradisional dan pertunjukan kontemporer.
Menyederhanakan persoalan, biasanya selalu dirasionalisasi dengan alasan-alasan keren yang filosofis atau pun politis. Yaitu: menotok inti persoalannya, sehingga terjadi hantaman yang telak, mendalam dan tuntas menjawab seluruh persoalan.
Sebab dengan hanya dua kategori semacam hitam dan putih, segalanya dengan amat mudah diatur. Itu refleksi khas, spontan, mentalitas birokrat, yang menganggap semua adalah barang, yang harus disusun dengan teratur, agar memudahkan para tuan-tuan untuk memanfaatkannya. Walhasil pendewa-dewaan pada apa yang disebut: efisiensi.
Moderninasi semacam itu, mungkin amat berguna pada masyarakat tertentu, tatkala orang baru belajar untuk mepergunakan akal. Ketika orang berusaha memisahkan rasa dengan pikir. Waktu orang jatuh cinta untuk menguasai alam.
Ketika orang sedang memuja-muja logika/teknologi, sebagai instrumen yang paling menjamin sebagai kendaraan untuk memenangkan masa depan umat manusia. Ketika orang dengan membabi-buta mengaplikasi matematika dan mencoba menerapkannya pada segala sektor kehidupan, tak terkuali juga kesenian dan bahkan masalah-masalah yang sakral.
Maka terjadilah satu keseragaman berpikir, yang dikuntit oleh pemujaan kepada intelektualita, yang percaya bahwa semuanya sudah diberikan kerangka. Mereka yakin tidak ada fenomena yang tidak bisa dianalisa. Tidak ada sesuatu yang baru yang tidak dikenal.
Semua sudah terdeteksi. Semua sudah terangkum dalam sebuah peta agung yang bisa menerangkan segalanya. Semua bisa dilacak dengan struktur berpikir yang sudah ada.
Konsep kontemporer, menolak pembunuhan diri seperti itu. Manusia tidak perlu menciptakan kuburan-kuburan untuk manusia-manusia yang masih hidup. Tidak perlu mendirikan liang-liang mosolium yang tak lebih dari benteng kepala batu yang ngotot karena sudah malas untuk berpikir, mempertimbangkan sekali lagi segala keputusan untuk melihat kemungkinan baru.
Konsep dasar kontemporer adalah pembebasan dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah — bukan saja kedaluwarsa, akan tetapi juga bisa — berbalik menjadi dehumanisasi, akulturasi dan dekadensi.
Seni kontemporer sebagai bagian dari pelafalan konsep kontemporer, selalu membebaskan diri dari kemacatan pada satu nilai yang semula disangka sebagai sumber segalanya, padahal segala sesuatu itu ternyata sudah bergeser dan menjungkir-balik segala-galanya.
Karena semuanya tak tercegah, tak dapat disekap dari hukum kehidupan, untuk selalu bergerak mengikuti nafas waktu, ruang, serta kembang-kempis alam pikiran yang tak henti-hentinya, yang tak takut oleh apa pun, untuk terus tumbuh. Pertumbuhan yang abadi. Ketika kehidupan diupayakan oleh manusia untuk hadir lebih baik, mendarat lebih lentur, lebih berarti dan lebih menghayat, segalanya juga ikut bergulir.
Usaha untuk mengaktualisasi diri, agar jadi sinkron dan menyuarakan zamannya, agar kontekstual dengan konteksnya, agar “menjati diri”, dapat ditempuh dengan berbagai cara. Bisa mengejewantah dalam berbagai variasi bentuk.
Tergantung dari desa-kala-patra (tempat-waktu-kondisi). Tergantung dari bibit-bebet-bobot. Tergantung dari watak-perilaku-lingkungan-peradaban dan pendidikan yang bersangkutan. Tergantung dari derap dharma individu atau kelompok yang berkepentingan.
Bisa keras mengental bagaikan jotosan tangan yang terkepal. Bisa berupa pembrontakan spiritual dan konfrontasi argumen. Dapat juga lemah gemulai seperti tarian oleg tamulilingan atau gesekan rebab. Mungkin juga teror mental.
Berseloroh seperti badut-badut dalam adegan bebagrigan. Juga bukan tak mungkin ngepop seperti di dalam kesenian-kesenian kacangan atau jajanan yang dikemas khusus untuk para turis.
Pertunjukan Indonesia kontemporer, sebagai bagian dari seni Indonesia kontemporer, adalah anak dari konsep kontemporer. Segala tontonan yang mengandung arti, misi, gebrakan bahkan cukup percobaan, untuk membebaskan diri dari kungkungan waktu, tempat, situasi; gondelan nilai-nilai usang, mayat-mayat pengembaraan spiritual yang tidak relevan lagi — adalah pertunjukan kontemporer.
Karenanya, pertunjukan kontemporer, bukan hanya tontonan yang diciptakan dan dilaksanakan oleh manusia masa kini, tetapi harus tidak boleh kurang dari pertunjukan yang mencerminkan cita-rasa pembebasan.
Wujudnya bisa pertunjukan eksperimental, yang merupakan usaha untuk pencarian-pencarian idiom dan bahasa pengucapan yang baru/segar. Dapat berwujud pertunjukan konvensional, yang memanfaatkan semua konvensi pertunjukan yang sudah diterima oleh masyarakat, namun memberikan nuansa yang baru atau lain/lebih segar dari sebelumnya.
Dan — ini yang seringkali dilupakan — dapat juga merupakan pertunjukan seni tradisional yang baik karena kemasan-semangat-orientasinya, maupun saat dan tempat penampilannya, memungkinkan ia bersentuhan dengan manusia-manusia masa kini, sehingga menghadirkan pengalaman spiritual yang aktual.
Di masa yang akan datang, apa yang dipersoalkan sebagai perbedaan-perbedaan akan dibunuh atau terbunuh dalam interaksi dan adaptasi. Yang kemudian menonjol adalah nuansa-nuansa yang yang menggantikan istilah perbedaan-perbedaan.
Dan karena perbedaan berarti nuansa, maka perbedaan tidak lagi sesederhana hitam kontra putih, kiri versus kanan, buruk lawan baik, atau tradisi lawan kontemporer saja, tetapi akan hadir ribuan, jutaan atau tak terhingga nuansa yang memerlukan cara berpikir baru — baca kontemporer — untuk menguasainya. Nilai-nilai bertumpukan, tumpang-tindih, nyaris membingungkan, dalam satu susunan harmoni baru yang tak terbayangkan sebelumnya.
Akan diperlukan setiap saat cara memberikan kesaksian yang baru. Cara berekspresi baru untuk mengutarakan kebenaran-kebenaran yang terus tumbuh itu. Akan diperlukan bahasa yang baru, untuk memenangkan dan mengucapkan kenyataan-kenyataan yang terus bergerak itu. Apa pun bentuk, apa pun namanya, itu adalah bahasa kontemporer.
Desa-kala-patra adalah konsep yang mendasari selurup konsep kontemporer, termasuk konsep tontonan Indonesia kontemporer. Sesuatu yang pada dasarnya sudah terpraktekkan secara sehari-hari di Bali.
Desa-kala-patra adalah keterikatan pada desa-kala-patra yang aktual dan sekaligus pembebasan pada desa-kala-patra yang kedaluwarsa. Konsep dasar kontemporer, dengan sendirinya adalah juga konsep dasar pertunjukan Indonesia kontemporer.
Hampir semua penghuni seni tontonan tradisional Bali adalah seni kontemporer. Karena bukan saja dulu ketika ia diciptakan untuk pertama kalinya, ia merupakan ucapan keberadaan orang Bali, tapi sampai sekarang, ia tetap kukuh menjadi pengucapan diri orang Bali kini. Hujan parawisata, telah menolong seni pertunjukan Bali itu, tetap hidup menggebu-gebu.
Sementara kesinambungan seni pertunjukan itu dengan hal-hal yang bersifat sakral, sebagaimana yang ditulis oleh Doktor I Made Madem dalam buku “Kaje dan Kelod”, telah membuat hampir semua jenis pertunjukan itu tak pernah menjadi jerangkong tok. Tapi berdegup hidup. Berdarah, berdaging dan bernyawa.
Semua seni tontonan itu menjadi aktual, relevan dan mewakili zaman. Dia senantiasa bergerak sesuai dengan desa-kala-patra, sejalan dengan manusia-manusia Bali yang sedang ada.
Bahkan seni pertunjukan yang langka digeber, seperti gambuh, seperti topeng pajegan, misalnya, dalam kesepiannya di dalam peti, tetap berinteraksi dengan zaman, melalui/karena orang-orang Bali sendiri selalu bersentuhan dengan nilai-nilai aktual dan universal lewat konsep desa-kala-patra.
Begitu dia dapat kesempatan tampil, kita tidak usah terkejut, karena ia langsung memuncratkan ciri-ciri kontemporer.
Teater tradisi Bali, tak perlu susah-susah mempermasalahkan apa konsep-konsep pertunjukan kontemporer, karena sudah melaksanakannya. Memang orang-orang dari belahan yang menyebut dirinya pulau kontemporer, umumnya justru mempermasalahkan hubungannya dengan tradisi, karena tidak melihat kaitan dirinya secara langsung dengan bentuk-bentuk seni pertunjukan tradisional.
Sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak menyangkut hal-hal yang konsepsual, tetapi sekedar kemasan, yang dapat langsung diselesaikan dengan mengubah cara melihat “perbedaan” sebagai “nuansa”. Karena tiadanya hubungan yang bersifat phisikal, tidak berarti, ada jurang pemisah.
Justru tidak adanya persamaan-persamaan di dalam bentuk-bentuk pengucapan, sering akan mempertemukan yang saling kontra itu secara spiritual, karena lahirnya kebutuhan untuk saling mengisi. Walhasil, ketiadaan hubungan, otomatis adalah juga hubungan. Itu cara berpikir konsep kontemporer.
Tak pernah sungguh-sungguh ada pertentangan antara hitam dan putih. Tak pernah benar-benar ada konfrontasi antara buruk dan baik. Tak pernah ada jurang antara kawan dan lawan.
Dan tak pernah ada masalah antara tradisi dan ekspresi kontemporer. Yang ada adalah kealpaan untuk mengakui keberadaan nuansa-nuansa di antara kedua kutub tersebut, yang tak terhingga jumlahnya. Keterbatasan untuk menangkap yang ada, dari sesuatu yang selalu dianggap tidak ada, karena adanya usaha untuk membuat penyederhanaan — hitam-putih — yang kadangkala sedemikian keji dan semana-menanya.
Kesalahkaprahan dalam membuat peta, yang kemudian membuat kita menjadi benar-benar buta dan tuli, adalah bencana tetapi sekaligus hikmah yang telah melahirkan konsep kontemporer. Sebuah usaha untuk menangkap dengan lebih jujur, bulat, lengkap dan tuntas apa saja. Alhasil sebuah upaya, tetapi sama sekali bukan tujuan. Karena dia juga akan terus bergerak, sesuai dengan desa-kala-patra.
*) Makalah ini dibuat untuk memenuhi undangan seminar sehari STSI Denpasar 21 Oktober 1993 - dengan tema: KONSEP DASAR DALAM SENI PERTUNJUKAN KONTEMPORER INDONESIA.
http://putuwijaya.wordpress.com/
Sudah lama dunia ini dibedakan dengan Barat dan Timur. Masa lalu masa depan. Sudah lama nilai-nilai dipatok dalam dua gawang. Buruk dan baik. Hitam dan putih. Sudah lama arah disederhanakan menjadi kanan dan kiri. Depan dan belakang. Atas dan bawah.
Sudah lama wanita dikategorikan dengan jegeg dan bocok. Dan pada gilirannya juga sudah lama seni dikampling menjadi dua pulau. Tradisional dan modern. Pertunjukan tradisional dan pertunjukan kontemporer.
Menyederhanakan persoalan, biasanya selalu dirasionalisasi dengan alasan-alasan keren yang filosofis atau pun politis. Yaitu: menotok inti persoalannya, sehingga terjadi hantaman yang telak, mendalam dan tuntas menjawab seluruh persoalan.
Sebab dengan hanya dua kategori semacam hitam dan putih, segalanya dengan amat mudah diatur. Itu refleksi khas, spontan, mentalitas birokrat, yang menganggap semua adalah barang, yang harus disusun dengan teratur, agar memudahkan para tuan-tuan untuk memanfaatkannya. Walhasil pendewa-dewaan pada apa yang disebut: efisiensi.
Moderninasi semacam itu, mungkin amat berguna pada masyarakat tertentu, tatkala orang baru belajar untuk mepergunakan akal. Ketika orang berusaha memisahkan rasa dengan pikir. Waktu orang jatuh cinta untuk menguasai alam.
Ketika orang sedang memuja-muja logika/teknologi, sebagai instrumen yang paling menjamin sebagai kendaraan untuk memenangkan masa depan umat manusia. Ketika orang dengan membabi-buta mengaplikasi matematika dan mencoba menerapkannya pada segala sektor kehidupan, tak terkuali juga kesenian dan bahkan masalah-masalah yang sakral.
Maka terjadilah satu keseragaman berpikir, yang dikuntit oleh pemujaan kepada intelektualita, yang percaya bahwa semuanya sudah diberikan kerangka. Mereka yakin tidak ada fenomena yang tidak bisa dianalisa. Tidak ada sesuatu yang baru yang tidak dikenal.
Semua sudah terdeteksi. Semua sudah terangkum dalam sebuah peta agung yang bisa menerangkan segalanya. Semua bisa dilacak dengan struktur berpikir yang sudah ada.
Konsep kontemporer, menolak pembunuhan diri seperti itu. Manusia tidak perlu menciptakan kuburan-kuburan untuk manusia-manusia yang masih hidup. Tidak perlu mendirikan liang-liang mosolium yang tak lebih dari benteng kepala batu yang ngotot karena sudah malas untuk berpikir, mempertimbangkan sekali lagi segala keputusan untuk melihat kemungkinan baru.
Konsep dasar kontemporer adalah pembebasan dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah — bukan saja kedaluwarsa, akan tetapi juga bisa — berbalik menjadi dehumanisasi, akulturasi dan dekadensi.
Seni kontemporer sebagai bagian dari pelafalan konsep kontemporer, selalu membebaskan diri dari kemacatan pada satu nilai yang semula disangka sebagai sumber segalanya, padahal segala sesuatu itu ternyata sudah bergeser dan menjungkir-balik segala-galanya.
Karena semuanya tak tercegah, tak dapat disekap dari hukum kehidupan, untuk selalu bergerak mengikuti nafas waktu, ruang, serta kembang-kempis alam pikiran yang tak henti-hentinya, yang tak takut oleh apa pun, untuk terus tumbuh. Pertumbuhan yang abadi. Ketika kehidupan diupayakan oleh manusia untuk hadir lebih baik, mendarat lebih lentur, lebih berarti dan lebih menghayat, segalanya juga ikut bergulir.
Usaha untuk mengaktualisasi diri, agar jadi sinkron dan menyuarakan zamannya, agar kontekstual dengan konteksnya, agar “menjati diri”, dapat ditempuh dengan berbagai cara. Bisa mengejewantah dalam berbagai variasi bentuk.
Tergantung dari desa-kala-patra (tempat-waktu-kondisi). Tergantung dari bibit-bebet-bobot. Tergantung dari watak-perilaku-lingkungan-peradaban dan pendidikan yang bersangkutan. Tergantung dari derap dharma individu atau kelompok yang berkepentingan.
Bisa keras mengental bagaikan jotosan tangan yang terkepal. Bisa berupa pembrontakan spiritual dan konfrontasi argumen. Dapat juga lemah gemulai seperti tarian oleg tamulilingan atau gesekan rebab. Mungkin juga teror mental.
Berseloroh seperti badut-badut dalam adegan bebagrigan. Juga bukan tak mungkin ngepop seperti di dalam kesenian-kesenian kacangan atau jajanan yang dikemas khusus untuk para turis.
Pertunjukan Indonesia kontemporer, sebagai bagian dari seni Indonesia kontemporer, adalah anak dari konsep kontemporer. Segala tontonan yang mengandung arti, misi, gebrakan bahkan cukup percobaan, untuk membebaskan diri dari kungkungan waktu, tempat, situasi; gondelan nilai-nilai usang, mayat-mayat pengembaraan spiritual yang tidak relevan lagi — adalah pertunjukan kontemporer.
Karenanya, pertunjukan kontemporer, bukan hanya tontonan yang diciptakan dan dilaksanakan oleh manusia masa kini, tetapi harus tidak boleh kurang dari pertunjukan yang mencerminkan cita-rasa pembebasan.
Wujudnya bisa pertunjukan eksperimental, yang merupakan usaha untuk pencarian-pencarian idiom dan bahasa pengucapan yang baru/segar. Dapat berwujud pertunjukan konvensional, yang memanfaatkan semua konvensi pertunjukan yang sudah diterima oleh masyarakat, namun memberikan nuansa yang baru atau lain/lebih segar dari sebelumnya.
Dan — ini yang seringkali dilupakan — dapat juga merupakan pertunjukan seni tradisional yang baik karena kemasan-semangat-orientasinya, maupun saat dan tempat penampilannya, memungkinkan ia bersentuhan dengan manusia-manusia masa kini, sehingga menghadirkan pengalaman spiritual yang aktual.
Di masa yang akan datang, apa yang dipersoalkan sebagai perbedaan-perbedaan akan dibunuh atau terbunuh dalam interaksi dan adaptasi. Yang kemudian menonjol adalah nuansa-nuansa yang yang menggantikan istilah perbedaan-perbedaan.
Dan karena perbedaan berarti nuansa, maka perbedaan tidak lagi sesederhana hitam kontra putih, kiri versus kanan, buruk lawan baik, atau tradisi lawan kontemporer saja, tetapi akan hadir ribuan, jutaan atau tak terhingga nuansa yang memerlukan cara berpikir baru — baca kontemporer — untuk menguasainya. Nilai-nilai bertumpukan, tumpang-tindih, nyaris membingungkan, dalam satu susunan harmoni baru yang tak terbayangkan sebelumnya.
Akan diperlukan setiap saat cara memberikan kesaksian yang baru. Cara berekspresi baru untuk mengutarakan kebenaran-kebenaran yang terus tumbuh itu. Akan diperlukan bahasa yang baru, untuk memenangkan dan mengucapkan kenyataan-kenyataan yang terus bergerak itu. Apa pun bentuk, apa pun namanya, itu adalah bahasa kontemporer.
Desa-kala-patra adalah konsep yang mendasari selurup konsep kontemporer, termasuk konsep tontonan Indonesia kontemporer. Sesuatu yang pada dasarnya sudah terpraktekkan secara sehari-hari di Bali.
Desa-kala-patra adalah keterikatan pada desa-kala-patra yang aktual dan sekaligus pembebasan pada desa-kala-patra yang kedaluwarsa. Konsep dasar kontemporer, dengan sendirinya adalah juga konsep dasar pertunjukan Indonesia kontemporer.
Hampir semua penghuni seni tontonan tradisional Bali adalah seni kontemporer. Karena bukan saja dulu ketika ia diciptakan untuk pertama kalinya, ia merupakan ucapan keberadaan orang Bali, tapi sampai sekarang, ia tetap kukuh menjadi pengucapan diri orang Bali kini. Hujan parawisata, telah menolong seni pertunjukan Bali itu, tetap hidup menggebu-gebu.
Sementara kesinambungan seni pertunjukan itu dengan hal-hal yang bersifat sakral, sebagaimana yang ditulis oleh Doktor I Made Madem dalam buku “Kaje dan Kelod”, telah membuat hampir semua jenis pertunjukan itu tak pernah menjadi jerangkong tok. Tapi berdegup hidup. Berdarah, berdaging dan bernyawa.
Semua seni tontonan itu menjadi aktual, relevan dan mewakili zaman. Dia senantiasa bergerak sesuai dengan desa-kala-patra, sejalan dengan manusia-manusia Bali yang sedang ada.
Bahkan seni pertunjukan yang langka digeber, seperti gambuh, seperti topeng pajegan, misalnya, dalam kesepiannya di dalam peti, tetap berinteraksi dengan zaman, melalui/karena orang-orang Bali sendiri selalu bersentuhan dengan nilai-nilai aktual dan universal lewat konsep desa-kala-patra.
Begitu dia dapat kesempatan tampil, kita tidak usah terkejut, karena ia langsung memuncratkan ciri-ciri kontemporer.
Teater tradisi Bali, tak perlu susah-susah mempermasalahkan apa konsep-konsep pertunjukan kontemporer, karena sudah melaksanakannya. Memang orang-orang dari belahan yang menyebut dirinya pulau kontemporer, umumnya justru mempermasalahkan hubungannya dengan tradisi, karena tidak melihat kaitan dirinya secara langsung dengan bentuk-bentuk seni pertunjukan tradisional.
Sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak menyangkut hal-hal yang konsepsual, tetapi sekedar kemasan, yang dapat langsung diselesaikan dengan mengubah cara melihat “perbedaan” sebagai “nuansa”. Karena tiadanya hubungan yang bersifat phisikal, tidak berarti, ada jurang pemisah.
Justru tidak adanya persamaan-persamaan di dalam bentuk-bentuk pengucapan, sering akan mempertemukan yang saling kontra itu secara spiritual, karena lahirnya kebutuhan untuk saling mengisi. Walhasil, ketiadaan hubungan, otomatis adalah juga hubungan. Itu cara berpikir konsep kontemporer.
Tak pernah sungguh-sungguh ada pertentangan antara hitam dan putih. Tak pernah benar-benar ada konfrontasi antara buruk dan baik. Tak pernah ada jurang antara kawan dan lawan.
Dan tak pernah ada masalah antara tradisi dan ekspresi kontemporer. Yang ada adalah kealpaan untuk mengakui keberadaan nuansa-nuansa di antara kedua kutub tersebut, yang tak terhingga jumlahnya. Keterbatasan untuk menangkap yang ada, dari sesuatu yang selalu dianggap tidak ada, karena adanya usaha untuk membuat penyederhanaan — hitam-putih — yang kadangkala sedemikian keji dan semana-menanya.
Kesalahkaprahan dalam membuat peta, yang kemudian membuat kita menjadi benar-benar buta dan tuli, adalah bencana tetapi sekaligus hikmah yang telah melahirkan konsep kontemporer. Sebuah usaha untuk menangkap dengan lebih jujur, bulat, lengkap dan tuntas apa saja. Alhasil sebuah upaya, tetapi sama sekali bukan tujuan. Karena dia juga akan terus bergerak, sesuai dengan desa-kala-patra.
*) Makalah ini dibuat untuk memenuhi undangan seminar sehari STSI Denpasar 21 Oktober 1993 - dengan tema: KONSEP DASAR DALAM SENI PERTUNJUKAN KONTEMPORER INDONESIA.
Puisi-Puisi Pablo Neruda*
http://www.facebook.com/people/Nurel-Javissyarqi/1355886977
PUERTO RICO, PUERTO POBRE
Aku tahu semua sudah terlambat, tapi ku rasa ini perlu dilakukan: sekarang, sebelum aku berangkat untuk menyanyi atau untuk mati: sekarang ku mulai.
Tak ada kekuatan yang membungkamku tapi sesuatu yang besarkan hari kesedihan dan ini sekutu: mati dengan bajak lalu taburkan tulang-tulang.
Aku terpilih sebagai subyek mendidih dengan darah, dengan pohon-pohon palem dan kesunyian, kisah daratan yang dikelilingi banyak air dan kematian tak berujung: disana sungai meratapi darah dan duka mereka yang menanti gunung-gunung.
Kemiskinan ini, ulah penjarahan pulau hari-hari kelabu datang dan pergi, ketika cahaya melonjak dan sekarang dari atas pohon-pohon palem, ketika perjalanan malam di empat kapal hitam dia disana, sebagai tawanan sebuah pulau derita.
Dan darah kita menetes diatasnya, sebab cakar emas ikut menyobek pecinta-pecintanya dan hak asasinya.
MUNOZ MARIN
Disana cacing hidup melekat di air-air, cacing buas: dia lumat bendera-bendera yang ada dan naikkan panji para mandor, yang gizinya berasal dari darah tawanan kuburan pejuang-pejuang yang malang.
Cacing-cacing pun digemukkan diatas mahkota emas gandum Amerika, kesuksesan melindungi uang, buat darah dalam derita bersama tentara, bangun monumen-monumen semu, mengatur negeri dari warisan ayah ke ayah lalu memperbudak tanah, bentuk pulau terang dan gemerlap bagai bintang dalam kekangan suram untuk budak-budak, dan cacing pita hidup riang diantara penyair-penyair, ditaklukkan di pengasingan mereka sendiri, pesanan kepatuhan bagi para gurunya, membayar Pythagorian Peruvian-peruvian untuk meluaskan pemerintahannya dan tempat ini putih bersih luar dalam lebih dalam ada neraka laiknya Chicago, tempat hidup misai, hati, cakar-cakar seperti penghianat Luiz Munoz, Cacing, Munoz Marin untuk pendukungnya, daerah berdarah Judas, pemerintah pulau penindasan, makan daging saudara-saudara miskinnya menerjemah bilingual bagi penjagal-penjagal, mencicipi wiski Amerika Utara.
KEHADIRAN KUBA
Saat siksaan dan kemuraman terasa mempersempit kebebasan udara dan kamu tidak lihat gelombang harum dari darah diantara batu, tangan Fidel merebut benteng, dan masuk Kuba, murni membangun Karibia.
Kemudian sejarah dengan cahaya menuntun kita manusia dapat merubah yang sudah ada, dan jika ia membawa kesucian dalam perang kemuliaan sari bunga untuk kehormatannya: kiri belakang adalah malam tiran, kekejamannya, mata tidak merasakannya, semua emas dirampas oleh cakar-cakarnya, prajurit-prajurit upahannya, hakim-hakim kanibalnya, megahnya monumen-monumen terus-menerus lewat kesengsaraan, aib dan kejahatan: semua terjun ke abu pemain biola ketika rakyat mengangkat biola-biola mereka, wajah kedepan dan interupsi pun bernyanyi - interupsi kebencian menjelma bayangan para pengawal, nyanyikan bintang-bintang membangkitkan mereka – teka-teki kegelapan berhias tembakan.
Kemudian Fidel mengusir habis mimpi-mimpi jadi tiga melati mungkin lahir.
------
*) dijumput dari Nyanyian Revolusi, penerjemah Arief Rahman, Nur Kurnia N, Evan Wisastra. Penyunting Mujib Hermani (penerbit Jalasutra). Dari buku Epic Song, terjemahan Richard Schaaf (Azul Editions, New York, 1998).
PUERTO RICO, PUERTO POBRE
Aku tahu semua sudah terlambat, tapi ku rasa ini perlu dilakukan: sekarang, sebelum aku berangkat untuk menyanyi atau untuk mati: sekarang ku mulai.
Tak ada kekuatan yang membungkamku tapi sesuatu yang besarkan hari kesedihan dan ini sekutu: mati dengan bajak lalu taburkan tulang-tulang.
Aku terpilih sebagai subyek mendidih dengan darah, dengan pohon-pohon palem dan kesunyian, kisah daratan yang dikelilingi banyak air dan kematian tak berujung: disana sungai meratapi darah dan duka mereka yang menanti gunung-gunung.
Kemiskinan ini, ulah penjarahan pulau hari-hari kelabu datang dan pergi, ketika cahaya melonjak dan sekarang dari atas pohon-pohon palem, ketika perjalanan malam di empat kapal hitam dia disana, sebagai tawanan sebuah pulau derita.
Dan darah kita menetes diatasnya, sebab cakar emas ikut menyobek pecinta-pecintanya dan hak asasinya.
MUNOZ MARIN
Disana cacing hidup melekat di air-air, cacing buas: dia lumat bendera-bendera yang ada dan naikkan panji para mandor, yang gizinya berasal dari darah tawanan kuburan pejuang-pejuang yang malang.
Cacing-cacing pun digemukkan diatas mahkota emas gandum Amerika, kesuksesan melindungi uang, buat darah dalam derita bersama tentara, bangun monumen-monumen semu, mengatur negeri dari warisan ayah ke ayah lalu memperbudak tanah, bentuk pulau terang dan gemerlap bagai bintang dalam kekangan suram untuk budak-budak, dan cacing pita hidup riang diantara penyair-penyair, ditaklukkan di pengasingan mereka sendiri, pesanan kepatuhan bagi para gurunya, membayar Pythagorian Peruvian-peruvian untuk meluaskan pemerintahannya dan tempat ini putih bersih luar dalam lebih dalam ada neraka laiknya Chicago, tempat hidup misai, hati, cakar-cakar seperti penghianat Luiz Munoz, Cacing, Munoz Marin untuk pendukungnya, daerah berdarah Judas, pemerintah pulau penindasan, makan daging saudara-saudara miskinnya menerjemah bilingual bagi penjagal-penjagal, mencicipi wiski Amerika Utara.
KEHADIRAN KUBA
Saat siksaan dan kemuraman terasa mempersempit kebebasan udara dan kamu tidak lihat gelombang harum dari darah diantara batu, tangan Fidel merebut benteng, dan masuk Kuba, murni membangun Karibia.
Kemudian sejarah dengan cahaya menuntun kita manusia dapat merubah yang sudah ada, dan jika ia membawa kesucian dalam perang kemuliaan sari bunga untuk kehormatannya: kiri belakang adalah malam tiran, kekejamannya, mata tidak merasakannya, semua emas dirampas oleh cakar-cakarnya, prajurit-prajurit upahannya, hakim-hakim kanibalnya, megahnya monumen-monumen terus-menerus lewat kesengsaraan, aib dan kejahatan: semua terjun ke abu pemain biola ketika rakyat mengangkat biola-biola mereka, wajah kedepan dan interupsi pun bernyanyi - interupsi kebencian menjelma bayangan para pengawal, nyanyikan bintang-bintang membangkitkan mereka – teka-teki kegelapan berhias tembakan.
Kemudian Fidel mengusir habis mimpi-mimpi jadi tiga melati mungkin lahir.
------
*) dijumput dari Nyanyian Revolusi, penerjemah Arief Rahman, Nur Kurnia N, Evan Wisastra. Penyunting Mujib Hermani (penerbit Jalasutra). Dari buku Epic Song, terjemahan Richard Schaaf (Azul Editions, New York, 1998).
Pujangga yang Feminis dan Humanis
Mengenang Seabad A.A. Panji Tisna
Gde Artawan
http://www.balipost.co.id/
PUJANGGA A.A. Panji Tisna dikenang dalam sebuah acara peringatan karena sebagai sang Pujangga, A.A. Panji Tisna telah menorehkan tinta emas dalam blantika perjalanan sastra Indonesia modern khususnya dalam bentuk novel. Karya-karyanya selain dinikmati dalam bentuk teks karya sastra, sebagian sudah ditransformasikan ke dalam media seni lain, di antaranya dalam bentuk sinetron dan pertunjukan teater tradisional (Arja). Sebagai sebuah sinetron karya A.A. Panji Tisna berjudul Sukreni Gadis Bali sudah pernah ditayangkan oleh salah satu media televisi swasta di Indonesia, dan terakhir Prof. Dr. Wayan Dibia mengangkat novel Sukreni Gadis Bali dalam bentuk arja doyong yang telah dipentaskan di Puri Gede Buleleng, Minggu, 10 Februari 2008.
Dalam acara serasehan seabad A.A. Panji Tisna di Singaraja 10 Februari 2008 lalu terungkap wacana untuk mensinergikan semua komponen guna memberi apresiasi positif terhadap A.A. Panji Tisna secara proporsional. Sebagai sebuah ”mutiara” yang dimiliki Bali, sepantasnyalah semua elemen masyarakat Bali menempatkan A.A. Panji Tisna sebagai pujangga yang memberi kontribusi memadai, khususnya sebagai spirit berkarya dan sosok yang memiliki visi kultural untuk dapat menjadi bahan renungan dari kerangka kekinian.
Kebesaran nama A.A. Panji Tisna tentu dapat dirunut dari berbagai pembicaraan atau pembahasan dalam berbagai ruang diskusi, seminar, serasehan, dan tentu saja karya telaah berupa esei dan kritik sastra serta beberapa penelitian. Pembahasan terhadap karya-karya Panji Tisna dilakukan diantaranya oleh Made Sukada, Jakob Sumardjo, Weda Kusuma, Merdhana, Ruba”I dllnya. Maya Liem (2003) dalam disertasinya yang dipertahankan di Universitas Leiden juga mengulas novel I Swasta Setahun di Bedahulu, namun dalam konteks identitas dan modernitas di Bali. Dalam desertasi ini, dia melihat perkembangan modernitas seperti tercermin dalam karya sastra penulis Bali, mulai dari pembaruan yang ditunjukkan Geguritan Nengah Jimbaran (1903) karya Raja Badung Tjokorda Made Denpasar, novel Panji Tisna (juga keturunan dan sempat menjadi Raja Buleleng), sampai karya-karya Nyoman Rastha Sindhu. Liem malah menyebut novel Panji Tisna sebagai novel yang bercirikan polyvocal dan bersifat hibrid karena dalam teks novel I Swasta terdapat pantun Melayu yang terkontruksi dalam deskripsi pokok naratif.
Sosok wanita dalam karya Panji Tisna diuraikan oleh Darma Putra (2003). Paling sedikit Darma Putra membicarakan Panji Tisna pada dua hal yang substantif, yaitu masalah bias gender, dan wanita Bali sebagai korban modernisasi dan tradisi. Dari segi bias gender Darma Putra mengungkapkan adanya citra wanita Bali yang negatif pada Ni Rawi Ceti Penjual orang dan tertindas karena perkosaan dalam Sukreni Gadis Bali. Ni Rawit digambarkan sebagai ceti, penjudi, penghisap madat, dan makelar budak. Tokoh Sukreni disebutkan sebagai korban kolusi antara pemilik warung yang rakus (Men Negara) dengan Mantri polisi yang amoral (I Gusti Made Tusan). Pada paparan Darma Putra inilah terlihat jelas fokus pembicaaan potret wanita Bali dalam sastra.
Perlu juga disebut dua tulisan tentang biografi Panji Tisna, yaitu yang disusun oleh seorang sejarawan dari Australia Ian Celdwell (1085) berjudul ”Anak Agung Panji Tisna, Balinese Raja and Indonesia Novelist, 1908-78” dan buku karya seorang guru besar ekonomi sekaligus budayawan Bali, I Gusti Ngurah Gorda (2005) berjudul Biografi Anak Agung Pandji Tisna. Keduanya memberikan informasi yang cukup detil atas kisah hidup Panji Tisna, termasuk beberapa poin tentang hubungan dan pandangan Panji Tisna tentang perempuan dan nilai-nilai budaya Bali.
Di tengah ”keraguan” sebagai orang akan eksistensi Panji Tisna sebagai manusia kultural (akibat perpindahan agama dari Hindu ke Kristen), Artawan (1993) menemukan kentalnya sensibilitas Panji Tisna terhadap budaya Bali sebagaimana terefleksi dalam ketiga novelnya: Sukreni Gadis Bali, Ni Rawit Ceti Penjual Orang, dan I Swasta Setahun di Bedahulu. Pergulatan secara kultural yang intens dilakukan Panji Tisna sebagai masyarakat biasa dengan lingkungannya mampu terekonstruksinya teks dengan muatan sosiokultural. Kontribusinya bagi wacana pemahaman sosiokultural suatu etnis tidak saja bertolak dari teks nonfiksi — sebagaimana lazimnya — tetapi melalui teks fiksipun sebuah perjalanan dan kandungan material sebuah kultural dapat dirunut.
Panji Tisna: Feminis dan Humanis
Seringkali sebuah peringatan suatu peristiwa atau tokoh ”berhenti” pada euforia yang setelah itu tak ada gemanya dan miskin pengendapan terhadap substansi mengapa kita memperingati peristiwa atau tokoh. Peringatan satu abad Panji Tisna tentu saja dilandasi muatan misi untuk menempatkan kapasitas sang Pujangga secara proporsional sebagai milik publik sastra yang sejatinya harus dipahami secara komprehensif bahwa keberadaan Panji Tisna dalam jagat sastra khususnya di Bali merupakan kebanggaan dan spirit yang memiliki ”roh” untuk menciptakan atmosfir bagi tumbuh dan berkembangnya kehidupan bersastra di masyarakat. Panji Tisna tidaklah semata-mata sebuah fenomena masa lalu yang berhenti pada peristiwa yang menomental bahwa ada putra Bali yang menorehkan catatan emas dalam blantika perjalanan sastra Indonesia sebagai salah satu tokoh Pujangga Baru.
Feminis. Panji Tisna adalah fenomena yang secara terus menerus menunjukkan interelasi dengan zaman. Ia menjadi inspirasi dan motivasi kreatif bagi pengarang selanjutnya di Bali khususnya pengarang novel. Pembicaraan terhadap Panji Tisna terkadang luput untuk melihat bahwa Panji Tisna adalah seorang feminis yang merekonstruksi tokoh-tokoh wanitanya melakukan perjuangan kultural dengan cara yang lain. Sesudah zamannya Panji Tisna — era Putu Wijaya, Oka Rusmini misalnya –, tokoh-tokoh wanita melakukan perjuangan kultural secara reaktif berupa pemberontakan dan perlawanan budaya, khususnya soal adanya upaya mensubordinasikan peran wanita, kasta, peran domestik, dan bahkan upaya marginalisasi eksistensi wanita. Ketika tokoh Sukreni tidak melakukan perlawanan terhadap perlakuan biadab yang dilakukan oleh Tokoh Gusti Made Tusan yang telah memperkosanya akibat upaya persekongkolan tokoh-tokoh lain, Panji Tisna dicurigai melakukan tindakan penistaan terhadap wanita. Namun ketika ada upaya memahami teks secara menyeluruh, khususnya ketika Panji Tisna menyusupkan konsep Karma Phala dalam konstruksi tematisnya, sesungguhnya keberpihakan Panji Tisna kepada wanita sangat jelas. Panji Tisna melalui tokoh novelnya telah melakukan sebuah perjuangan kultural untuk mematahkan dominasi paham patriarki yang dalam beberapa hal banyak mengeliminasi peran wanita bahkan mencabik-cabiknya.
Karya-karya Panji Tisna mendapat tempat di hati masyarakat, salah satu Sukreni Gadis Bali (yang telah disinetronkan dan diadopsi menjadi pertunjukan Arja Doyong). Pilihan mengangkat novel ini karena Panji Tisna mengkronstuksi tokoh wanitanya bernama Sukreni sebagai sosok korban kecongkakan kaum laki-laki. Sesungguhnya rasa simpati kepada nasib Sukreni ini secara kreatif mampu dibangun oleh Panji Tisna dalam alur yang mengalir amat memikat. Panji Tisna tidak sekadar memberi kesaksian bahwa ada kaum hawa yang termarginalisasi dan diposisikan tersubordinat dari peran laki-laki, tetapi melalui kerangka konsep Karma Phala akhirnya pelaku kekerasan seksual dan kroninya mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Sebagai feminis, sesungguhnya Panji Tisna memberi kesaksian atas realita nasib wanita ketika karya itu diciptakan, bahkan masih ada wujud marginalisasi dan kekerasan terhadap wanita sampai kini. Di sisi lain, Panji Tisna dalam penaruh simpati pada nasib wanita tidak saja terkonstruksi melalui tokoh Sukreni, tetapi juga pada tokoh Ida Gde Swamba, pacar Sukreni yang mau menerima Sukreni apa adanya sekalipun sudah menjadi korban pemerkosaan. Hal ini terlihat dalam dialog:
”Ah, Aseman! Boleh jadi begitu kata perempuan itu, tetapi engkau tidak boleh bersembunyi-sembunyi kepadaku. Ingat, kalau ia mendapat sengsara, siapa yang akan menolong dia? Aku kira, aku patut sekali… Sebab itu hendaklah engkau tunjukkan, dimana dia sekarang. Aseman. Walaupun ia telah… rusak, tidak berbeda padaku sekarang dengan dahulu. Sudah nasibnya demikian, tidak dapat disalahkan kepadanya. Jika ia tahu apa yang akan terjadi atas dirinya pada malam celaka itu…” kata Ide Gde. (Sukreni, 1965: 112).
Humanis. Dengan spirit kasih; salah satu bagian dari sikap humanis, tokoh laki-laki dalam novel Sukreni Gadis Bali tersebut di atas, Panji Tisna ingin menggambarkan interelasi yang teramat personal dari dua manusia berlainan jenis. Demikian juga terefleksi dari sikap Sukreni pasca pemerkosaan atas dirinya ditunjukkan dengan kearifan tanpa perlawanan yang reaksioner. Di beberapa novelnya, filosofi kasih diembuskan Panji Tisna melalui konstruksi tokoh-tokoh cerita novelnya. Hal ini menunjukkan eksistensi manusia sebagai mahluk ilahi memang sepantasnya dihargai secara proporsional dalam kondisi dan level apapun.
Sebagai manusia personal, Panji Tisna merupakan fenomena yang mengajarkan komunitas sesudah eranya untuk bersikap sederhana dan berani mengambil sikap dengan segala konsekuensinya. Ke luar dari ruang puri kemudian hidup dalam komunitas ”jelata” bernama kawasan Tukad Cebol 10 km dari kota Singaraja yang sekarang dikenal dengan nama Lovina merupakan pilihan hidup yang lahir dari pertimbangan intelektualitas humanisme seorang Panji Tisna. Dalam konstruksi teks sastra Panji Tisna menampilkan wajah kejelatan masyarakat sekitarnya, dan menyindir secara sateris kaum ningrat (terkonstruksi melalui tokoh Gusti Made Tusan) menistakan kejelataan dengan arogansi melakukan pemerkosaan terhadap Sukreni. Dan Panji Tisna mengkonstruksi tokoh Ni Rawit yang memainkan peranan antagonik di ruang geria dengan permainannya sebagai ceti mendeskonstruksi kemapanan dengan strategi kejelataannya.
Panji Tisna yang ningrat memilih hidup sebagai sastrawan dan memilih hidup dalam komunitas masyarakat kebanyakan merupakan fenomena yang sangat inspiratif bagi komunitas yang terkadang secara instan ingin mencapai kualitas hidup pada tataran lebel atau status sosial tertentu. Dalam perspektif kekinian sang Pujangga tidak saja menorehkan catatan keteladanan dalam konteks kesastraan, tetapi dalam kerangka mendesain personal untuk menjadi manusia kultural secara sederhana.
Bertolak dari fakta real tentang sosok sang pujangga dalam blantika jagat sastra Indonesia, sebagai ”mutiara” yang dimiliki Bali, sebaiknya kita perlu merekonstruksi persepsi dan sensibilitas kita terhadap Panji Tisna sebagai salah satu simbol kebanggaan milik kita yang sepantasnya tidak saja diwarisi karya dan semangat kulturalnya, tetapi bagaimana mendesain daya impresi kita untuk menghargai Sang Pujangga secara proporsional.
Gde Artawan
http://www.balipost.co.id/
PUJANGGA A.A. Panji Tisna dikenang dalam sebuah acara peringatan karena sebagai sang Pujangga, A.A. Panji Tisna telah menorehkan tinta emas dalam blantika perjalanan sastra Indonesia modern khususnya dalam bentuk novel. Karya-karyanya selain dinikmati dalam bentuk teks karya sastra, sebagian sudah ditransformasikan ke dalam media seni lain, di antaranya dalam bentuk sinetron dan pertunjukan teater tradisional (Arja). Sebagai sebuah sinetron karya A.A. Panji Tisna berjudul Sukreni Gadis Bali sudah pernah ditayangkan oleh salah satu media televisi swasta di Indonesia, dan terakhir Prof. Dr. Wayan Dibia mengangkat novel Sukreni Gadis Bali dalam bentuk arja doyong yang telah dipentaskan di Puri Gede Buleleng, Minggu, 10 Februari 2008.
Dalam acara serasehan seabad A.A. Panji Tisna di Singaraja 10 Februari 2008 lalu terungkap wacana untuk mensinergikan semua komponen guna memberi apresiasi positif terhadap A.A. Panji Tisna secara proporsional. Sebagai sebuah ”mutiara” yang dimiliki Bali, sepantasnyalah semua elemen masyarakat Bali menempatkan A.A. Panji Tisna sebagai pujangga yang memberi kontribusi memadai, khususnya sebagai spirit berkarya dan sosok yang memiliki visi kultural untuk dapat menjadi bahan renungan dari kerangka kekinian.
Kebesaran nama A.A. Panji Tisna tentu dapat dirunut dari berbagai pembicaraan atau pembahasan dalam berbagai ruang diskusi, seminar, serasehan, dan tentu saja karya telaah berupa esei dan kritik sastra serta beberapa penelitian. Pembahasan terhadap karya-karya Panji Tisna dilakukan diantaranya oleh Made Sukada, Jakob Sumardjo, Weda Kusuma, Merdhana, Ruba”I dllnya. Maya Liem (2003) dalam disertasinya yang dipertahankan di Universitas Leiden juga mengulas novel I Swasta Setahun di Bedahulu, namun dalam konteks identitas dan modernitas di Bali. Dalam desertasi ini, dia melihat perkembangan modernitas seperti tercermin dalam karya sastra penulis Bali, mulai dari pembaruan yang ditunjukkan Geguritan Nengah Jimbaran (1903) karya Raja Badung Tjokorda Made Denpasar, novel Panji Tisna (juga keturunan dan sempat menjadi Raja Buleleng), sampai karya-karya Nyoman Rastha Sindhu. Liem malah menyebut novel Panji Tisna sebagai novel yang bercirikan polyvocal dan bersifat hibrid karena dalam teks novel I Swasta terdapat pantun Melayu yang terkontruksi dalam deskripsi pokok naratif.
Sosok wanita dalam karya Panji Tisna diuraikan oleh Darma Putra (2003). Paling sedikit Darma Putra membicarakan Panji Tisna pada dua hal yang substantif, yaitu masalah bias gender, dan wanita Bali sebagai korban modernisasi dan tradisi. Dari segi bias gender Darma Putra mengungkapkan adanya citra wanita Bali yang negatif pada Ni Rawi Ceti Penjual orang dan tertindas karena perkosaan dalam Sukreni Gadis Bali. Ni Rawit digambarkan sebagai ceti, penjudi, penghisap madat, dan makelar budak. Tokoh Sukreni disebutkan sebagai korban kolusi antara pemilik warung yang rakus (Men Negara) dengan Mantri polisi yang amoral (I Gusti Made Tusan). Pada paparan Darma Putra inilah terlihat jelas fokus pembicaaan potret wanita Bali dalam sastra.
Perlu juga disebut dua tulisan tentang biografi Panji Tisna, yaitu yang disusun oleh seorang sejarawan dari Australia Ian Celdwell (1085) berjudul ”Anak Agung Panji Tisna, Balinese Raja and Indonesia Novelist, 1908-78” dan buku karya seorang guru besar ekonomi sekaligus budayawan Bali, I Gusti Ngurah Gorda (2005) berjudul Biografi Anak Agung Pandji Tisna. Keduanya memberikan informasi yang cukup detil atas kisah hidup Panji Tisna, termasuk beberapa poin tentang hubungan dan pandangan Panji Tisna tentang perempuan dan nilai-nilai budaya Bali.
Di tengah ”keraguan” sebagai orang akan eksistensi Panji Tisna sebagai manusia kultural (akibat perpindahan agama dari Hindu ke Kristen), Artawan (1993) menemukan kentalnya sensibilitas Panji Tisna terhadap budaya Bali sebagaimana terefleksi dalam ketiga novelnya: Sukreni Gadis Bali, Ni Rawit Ceti Penjual Orang, dan I Swasta Setahun di Bedahulu. Pergulatan secara kultural yang intens dilakukan Panji Tisna sebagai masyarakat biasa dengan lingkungannya mampu terekonstruksinya teks dengan muatan sosiokultural. Kontribusinya bagi wacana pemahaman sosiokultural suatu etnis tidak saja bertolak dari teks nonfiksi — sebagaimana lazimnya — tetapi melalui teks fiksipun sebuah perjalanan dan kandungan material sebuah kultural dapat dirunut.
Panji Tisna: Feminis dan Humanis
Seringkali sebuah peringatan suatu peristiwa atau tokoh ”berhenti” pada euforia yang setelah itu tak ada gemanya dan miskin pengendapan terhadap substansi mengapa kita memperingati peristiwa atau tokoh. Peringatan satu abad Panji Tisna tentu saja dilandasi muatan misi untuk menempatkan kapasitas sang Pujangga secara proporsional sebagai milik publik sastra yang sejatinya harus dipahami secara komprehensif bahwa keberadaan Panji Tisna dalam jagat sastra khususnya di Bali merupakan kebanggaan dan spirit yang memiliki ”roh” untuk menciptakan atmosfir bagi tumbuh dan berkembangnya kehidupan bersastra di masyarakat. Panji Tisna tidaklah semata-mata sebuah fenomena masa lalu yang berhenti pada peristiwa yang menomental bahwa ada putra Bali yang menorehkan catatan emas dalam blantika perjalanan sastra Indonesia sebagai salah satu tokoh Pujangga Baru.
Feminis. Panji Tisna adalah fenomena yang secara terus menerus menunjukkan interelasi dengan zaman. Ia menjadi inspirasi dan motivasi kreatif bagi pengarang selanjutnya di Bali khususnya pengarang novel. Pembicaraan terhadap Panji Tisna terkadang luput untuk melihat bahwa Panji Tisna adalah seorang feminis yang merekonstruksi tokoh-tokoh wanitanya melakukan perjuangan kultural dengan cara yang lain. Sesudah zamannya Panji Tisna — era Putu Wijaya, Oka Rusmini misalnya –, tokoh-tokoh wanita melakukan perjuangan kultural secara reaktif berupa pemberontakan dan perlawanan budaya, khususnya soal adanya upaya mensubordinasikan peran wanita, kasta, peran domestik, dan bahkan upaya marginalisasi eksistensi wanita. Ketika tokoh Sukreni tidak melakukan perlawanan terhadap perlakuan biadab yang dilakukan oleh Tokoh Gusti Made Tusan yang telah memperkosanya akibat upaya persekongkolan tokoh-tokoh lain, Panji Tisna dicurigai melakukan tindakan penistaan terhadap wanita. Namun ketika ada upaya memahami teks secara menyeluruh, khususnya ketika Panji Tisna menyusupkan konsep Karma Phala dalam konstruksi tematisnya, sesungguhnya keberpihakan Panji Tisna kepada wanita sangat jelas. Panji Tisna melalui tokoh novelnya telah melakukan sebuah perjuangan kultural untuk mematahkan dominasi paham patriarki yang dalam beberapa hal banyak mengeliminasi peran wanita bahkan mencabik-cabiknya.
Karya-karya Panji Tisna mendapat tempat di hati masyarakat, salah satu Sukreni Gadis Bali (yang telah disinetronkan dan diadopsi menjadi pertunjukan Arja Doyong). Pilihan mengangkat novel ini karena Panji Tisna mengkronstuksi tokoh wanitanya bernama Sukreni sebagai sosok korban kecongkakan kaum laki-laki. Sesungguhnya rasa simpati kepada nasib Sukreni ini secara kreatif mampu dibangun oleh Panji Tisna dalam alur yang mengalir amat memikat. Panji Tisna tidak sekadar memberi kesaksian bahwa ada kaum hawa yang termarginalisasi dan diposisikan tersubordinat dari peran laki-laki, tetapi melalui kerangka konsep Karma Phala akhirnya pelaku kekerasan seksual dan kroninya mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Sebagai feminis, sesungguhnya Panji Tisna memberi kesaksian atas realita nasib wanita ketika karya itu diciptakan, bahkan masih ada wujud marginalisasi dan kekerasan terhadap wanita sampai kini. Di sisi lain, Panji Tisna dalam penaruh simpati pada nasib wanita tidak saja terkonstruksi melalui tokoh Sukreni, tetapi juga pada tokoh Ida Gde Swamba, pacar Sukreni yang mau menerima Sukreni apa adanya sekalipun sudah menjadi korban pemerkosaan. Hal ini terlihat dalam dialog:
”Ah, Aseman! Boleh jadi begitu kata perempuan itu, tetapi engkau tidak boleh bersembunyi-sembunyi kepadaku. Ingat, kalau ia mendapat sengsara, siapa yang akan menolong dia? Aku kira, aku patut sekali… Sebab itu hendaklah engkau tunjukkan, dimana dia sekarang. Aseman. Walaupun ia telah… rusak, tidak berbeda padaku sekarang dengan dahulu. Sudah nasibnya demikian, tidak dapat disalahkan kepadanya. Jika ia tahu apa yang akan terjadi atas dirinya pada malam celaka itu…” kata Ide Gde. (Sukreni, 1965: 112).
Humanis. Dengan spirit kasih; salah satu bagian dari sikap humanis, tokoh laki-laki dalam novel Sukreni Gadis Bali tersebut di atas, Panji Tisna ingin menggambarkan interelasi yang teramat personal dari dua manusia berlainan jenis. Demikian juga terefleksi dari sikap Sukreni pasca pemerkosaan atas dirinya ditunjukkan dengan kearifan tanpa perlawanan yang reaksioner. Di beberapa novelnya, filosofi kasih diembuskan Panji Tisna melalui konstruksi tokoh-tokoh cerita novelnya. Hal ini menunjukkan eksistensi manusia sebagai mahluk ilahi memang sepantasnya dihargai secara proporsional dalam kondisi dan level apapun.
Sebagai manusia personal, Panji Tisna merupakan fenomena yang mengajarkan komunitas sesudah eranya untuk bersikap sederhana dan berani mengambil sikap dengan segala konsekuensinya. Ke luar dari ruang puri kemudian hidup dalam komunitas ”jelata” bernama kawasan Tukad Cebol 10 km dari kota Singaraja yang sekarang dikenal dengan nama Lovina merupakan pilihan hidup yang lahir dari pertimbangan intelektualitas humanisme seorang Panji Tisna. Dalam konstruksi teks sastra Panji Tisna menampilkan wajah kejelatan masyarakat sekitarnya, dan menyindir secara sateris kaum ningrat (terkonstruksi melalui tokoh Gusti Made Tusan) menistakan kejelataan dengan arogansi melakukan pemerkosaan terhadap Sukreni. Dan Panji Tisna mengkonstruksi tokoh Ni Rawit yang memainkan peranan antagonik di ruang geria dengan permainannya sebagai ceti mendeskonstruksi kemapanan dengan strategi kejelataannya.
Panji Tisna yang ningrat memilih hidup sebagai sastrawan dan memilih hidup dalam komunitas masyarakat kebanyakan merupakan fenomena yang sangat inspiratif bagi komunitas yang terkadang secara instan ingin mencapai kualitas hidup pada tataran lebel atau status sosial tertentu. Dalam perspektif kekinian sang Pujangga tidak saja menorehkan catatan keteladanan dalam konteks kesastraan, tetapi dalam kerangka mendesain personal untuk menjadi manusia kultural secara sederhana.
Bertolak dari fakta real tentang sosok sang pujangga dalam blantika jagat sastra Indonesia, sebagai ”mutiara” yang dimiliki Bali, sebaiknya kita perlu merekonstruksi persepsi dan sensibilitas kita terhadap Panji Tisna sebagai salah satu simbol kebanggaan milik kita yang sepantasnya tidak saja diwarisi karya dan semangat kulturalnya, tetapi bagaimana mendesain daya impresi kita untuk menghargai Sang Pujangga secara proporsional.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae