Senin, 15 Juni 2009

Jalan Indah Mencari Tuhan

Grathia Pitaloka
http://www.jurnalnasional.com/

Memaparkan pemandangan fisikal, mengurai pemaknaan hal-hal yang tidak kasat mata.

Keintiman manusia dengan Tuhan seringkali tercipta dalam balutan sunyi. Oleh para pujangga, suasana tersebut kerap diabadikan dalam puisi. Pada masa Pujangga Baru, Amir Hamzah mencoba mengartikulasikan sunyi menjadi bunyi dalam puisi Padamu Jua.

Pada era 1960-an, tradisi tersebut dilanjutkan oleh Sapardi Djoko Damono lewat kumpulan puisinya yang berjudul Dukamu Abadi. Dalam puisinya Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia ini mencoba berbincang mengenai religiusitas lewat larik-larik sunyi.

Tradisi tersebut kemudian dikembangkan kembali oleh penyair asal Tasikmalaya, Acep Zamzam Noor. Sajak-sajak lelaki kelahiran 28 Febuari 1960 ini seolah ingin mengabarkan jika puisi masih sanggup mencatat sunyi. “Acep menyempurnakan kembali sajak-sajak Amir Hamzah, sehingga membaca puisi Acep seperti membaca Amir Hamzah masa kini,” kata penyair Afrizal Malna kepada Jurnal Nasional, Senin (15/9).

Penyair yang mulai dikenal pada era 80-an ini sedari kecil memang telah mengakrabi displin ilmu agama. Tak heran mengingat ayahnya, KH.M.Ilyas Ruhiat adalah seorang tokoh Nahdatul Ulama sekaligus pimpinan Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. “Suasana kontemplasi di pesantren memungkinkan seorang santri menjadi seorang seniman,” kata Acep suatu ketika.

Penyair dan kritikus sastra Arief B Prasetyo mengatakan, kemunculan Acep memberikan warna tersendiri bagi dunia kepenyairan tanah air. Menurut Arief, kepiawaian lulusan Fakultas Seni Rupa Desain ITB itu mengemas tema religius dengan bahasa erotis melahirkan sesuatu hal yang unik.

Hal senada dituturkan penyair asal Bali Tan Lioe Ie. Menurut pria yang akrab disapa Yoki ini, Acep merupakan penyair yang selalu gelisah mencari sesuatu yang ‘maha’, lalu proses pencarian tersebut ia tuangkan dalam larik-larik puisi.

Tan Lioe Ie mengatakan, dalam proses penciptaan Acep tidak memotret secara fisik. Ia telah melampaui apa yang tampak oleh mata. “Sajak-sajak Acep didominasi tema-tema religius, tetapi jika tidak cermat membacanya maka yang ditangkap hanya kesan erotis,” kata Tan Lioe Ie.

Menurut Afrizal, ketika sajak Acep pembaca bisa merasakan humor ala kyai atau informalisme linier kyai di balik formalisme agama. “Ada forklore untuk membuat kenakalan, di mana Acep menghadirkannya dengan sangat personal dan verbal,” ujar penulis kumpulan puisi, Tak Ada Anjing Dalam Rahim Ibuku ini. Simak saja puisi berikut :

Sajak Nakal

Doa-doaku
Menyelinap ke dalam
Kutangmu. Seperti tangan
Tanganku
Nakal
Seperti doa
Meremas payudaramu
Di sorga

(Menjadi Penyair Lagi, hal. 74)

Radhar Panca Dahana menilai Acep sebagai penyair yang sukses mengangkat dunia yang selama ini teralienasi ke dalam infrastruktur. Hal itu tidak dilakukan Acep melalui hasil pengamatan orang lain, melainkan berdasar pada proses penyelaman secara pribadi. “Tidak semua penyair memiliki kemampuan itu,” kata Radhar.

Menurut Radhar, Acep dengan sadar memindahkan domisili kreatifnya dari kota besar seperti Bandung dan Jakarta ke daerah pinggir. “Ia mengangkat ruh pinggiran ke atas permukaan dengan bingkai mainstream,” ujar pria yang memulai karier kepenyairannya sejak usia 10 tahun ini.

Ia mengatakan, puisi Acep telah berhasil mempersatukan tema-tema pinggiran dengan tema-tema besar seperti nasionalisme atau korupsi. Perkawinan antara dua tema yang saling bertolak belakang tersebut melahirkan sebuah kegetiran dalam bentuk komedi atau parodi. “Komedi dalam puisi Acep mewakili keadaan masyarakat kecil. Hal serupa dapat dirasakan dalam novel Ahmad Tohari,” kata Radhar.

Radhar menambahkan, kematangan serta pengalaman Acep membuatnya dengan mudah menciptakan diksi-diksi yang mengejutkan. “Acep memasukkan nilai baru berupa imajinasi-imajinasi alternatif,” ujar Radhar.

Pencapaian artistik

Tan Lioe Ie memandang Acep sebagai seorang penyair yang matang menggunakan bahasa dan kata. Menurut dia, Acep tidak terjebak pada penggunaan kata-kata yang bombastis, bahkan lebih sering memakai bahasa sederhana yang biasa digunakan sehari-hari. Namun demikian paduan kata yang dirangkai Acep mampu membangun sebuah chemistry yang indah. “Imajinasi yang ingin ia sampaikan bisa ditangkap dengan sempurna oleh pembaca,” ujar Tan Lioe Ie.

Setali tiga uang dengan Tan Lioe Ie, Arief juga menilai, Acep sebagai penyair yang memiliki kemampuan teknis yang kuat dalam bermain kata, sehingga ketika menulis puisi ia tinggal melakukan eksplorasi tema. “Ia punya jurus silat yang lengkap, sehingga saat mau bertarung tinggal pilih mau memakai yang mana,” kata pria yang saat ini menetap di pulau dewata.

Lebih lanjut Arief menuturkan, kemampuan teknis tersebut didapatkan Acep melalui proses penggalian yang dilakukan secara terus-menerus dalam periode waktu yang panjang. “Sehingga kata-kata sederhana, di tangan Acep berubah menjadi berkilauan,” ujar Arief.

Sementara itu, Afrizal berpendapat beda dengan kedua rekannya. Menurut penyair berkepala plontos ini, puisi Acep dibangun oleh deret kalimat, sehingga dalam hal ini pilihan kata menjadi sesuatu yang tidak penting.

Pria berdarah Minang ini, mengkotakkan Acep sebagai penyair yang bermain dengan imajinasi, sehingga baginya ledakan yang diciptakan dalam dunia bayang-bayang jauh lebih penting. “Puisi Acep hampir tidak ada urusan dengan kekuatan kata-kata dan kedalaman tema, tujuan utamanya adalah membuat pukauan,” kata Afrizal.

Jika dilihat dari sudut pencapaian artistik, Acep memang tidak melahirkan sebuah tradisi baru dalam dunia kesusastraan Indonesia. Karya-karya yang ia buat cenderung melanjutkan tradisi lirisisme yang dilakukan oleh penyair sebelumnya seperti Amir Hamzah, Sapardi Joko Damono serta Goenawan Mohamad. “Acep meneruskan romantisisme Amir Hamzah. Bedanya ia menyisipkan kenakalan-kenakalan dalam sajaknya,” ujar Afrizal.

Pendapat tersebur diamini oleh Radhar. Menurutnya, pencapaian artistik bukan semata-mata melahirkan sebuah keunikan bahasa, melainkan harus dibarengi dengan doktrin pandangan hidup yang kuat. “Di Indonesia hanya karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar yang memiliki pandangan hidup yang kuat mewakili zamannya. Sutardji menyumbangkan keunikan bahasa tetapi pandangan hidup yang diusung belum begitu kuat,” kata Radhar.

Dulu dan sekarang

Afrizal mengatakan, keistimewaan lain dari sajak-sajak Acep dibanding dengan penyair seangkatannya adalah kekayaan visual yang terlihat jelas. Sebagai seorang pelukis, ia sadar betul terhadap komposisi warna, ruang serta cahaya. “Acep menggarap puisi dalam berbagai sudut, itu yang membuat puisinya tampak lebih kaya,” kata Afrizal yang kerap memasukkan keriuhan urban dalam karyanya.

Ia menangkap perbedaan pada sajak-sajak Acep ketika awal mulai berkarya hingga sekarang. Menurut Afrizal, di era 1980-an puisi yang diciptakan Acep tampak kaku. Hal itu dapat dilihat pada kumpulan puisi Tamparlah Mukaku (1981) yang terlihat begitu formal meski telah menggunakan bahasa sarkasme. “Sekarang Acep tampak lebih rileks dalam berkarya, ia seperti sudah menemukan rumahnya sendiri,” ujar Afrizal.

Di masa-masa awal kepenyairannya Acep hampir tidak pernah bercerita tentang patriotisme atau teknologi tinggi. Ia lebih suka bertutur mengenai cinta kepada Tuhan, meski ada satu dua sajak kepada perempuan. Nama Anne Rufaidah dan Ine Ratu Sabharini masuk dalam memori panjangnya. Ia (dalam puisinya) adalah seorang lelaki yang jatuh-bangun dan berulangkali mengembara untuk mendapatkan katarsis.

Sepulang dari Italia, tempatnya menempuh pendidikan beasiswa untuk seni lukis, Acep membawa oleh-oleh sejumlah puisi yang megah dan dibukukan dalam antologi Di Atas Umbria. Antologi tersebut memiliki warna yang sedikit berbeda dengan langgam pada karyanya yang lain. “Kumpulan puisi tersebut bisa dikatakan sebagai puncak pencapaian Acep,” kata Tan Lioe Ie.

Perbedaan lain yang tampak dalam puisi-puisi Acep sekarang adalah kecenderungan prosais serta bertutur dengan runut. Namun demikian bukan berarti ia kehilangan daya pikat saat menulis sajak ringkas.

Sementara itu bagi Radhar, jika pada awal kemunculannya sajak Acep cenderung rumit, kompleks, dan gelap, maka sajak yang dibuat Acep pada periode 2000-an lebih sederhana dan jernih. “Dengan bahasa yang cair Acep berambisi untuk mengkomunikasikan karya-karyanya dengan publik, langkah serupa juga dilakukan banyak penyair senior seperti Sutardji dan Afrizal,” kata Radhar.

Sebagai contoh coba tengok puisi Kematian Kecil yang dibuat tahun 1992: Tapi jika kecerdasan ibarat senja/Maka pengetahuan adalah cakrawala yang diwarnai/Semburat darahmu. Bandingkan dengan bait kelima sajak “Semenanjung” yang dibuat pada tahun 2003 saat ia membayangkan gadis keturunan Tionghoa: Ada ubur-ubur/Di susumu/Hutan lindung/Di bawah pusarmu. (2003)

Radhar mengatakan, layaknya sastrawan pada umumnya Acep juga melakukan pencarian terhadap bentuk-bentuk bahasa. Tetapi seperti para penulis lainnya, Acep juga mengalami benturan antara bahasa dengan produk kebudayaan baru. “Banyak istilah-istilah yang belum diadopsi dengan baik bahasa puitik, seperti misalnya browsing, gadget atau selular. Bahasa yang mengalami ketertindihan puitik tersebut dilawan mati-matian oleh Acep,” kata Radhar.

Ia memaparkan, kepekaan terhadap perubahan zaman wajib hukumnya bagi para penulis. Menurut Radhar, jika penulis masih mempertahankan gaya ortodok dengan bahasa yang agung ala 60-an, maka kemungkinan karyanya tidak akan diminati pembaca. “Kewajiban bagi pengarang untuk melihat reaksi zaman, kalau tidak ia akan menjadi arca yang dipajang di museum, secara teologis mati, secara kreatif jadi mayat. Acep termasuk penyair yang terus mengaktifkan diri,” ujar Radhar.

Buku dan Pergerakan

A. Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/

Di pelbagai pagelaran seminar, pembicara andal sederhananya bisa dilirik dari kekayaan referensi dalam penyampaiannya. Tampak argumentasi kukuh yang dipancarkan tiap-tiap pembicara, tak luput seberapa lihai ia menyitir referensi. Dan, keampuhan pembicara meramu apa yang disampaikan hingga ia elegan menjawab pertanyaan penanya, pun tak lepas semesta referensi yang ia baca.

Berdaya referensial di pentas ilmiah seakan niscaya. Pertarungan pakar pengetahuan/akademisi demi memenangkan di arena keilmiahan tentu dipersenjatai referensi yang tak sedikit. Referensi dalam hal ini rupa-rupanya ditempatkan laiknya amunisi guna mengukuhkan teori. Dan, teorilah yang nantinya mewujud sebagai dasar pijakan menjalankan hidup di jagad lelaku keilmiahan. Misalnya, melakoni riset, dll.

Namun, amal referensial tak melulu digunakan saat kerja ilmiah. Aktivitas yang sangat menyehari sekalipun, bisa menunggangi referensi. Misalnya, menyitir referensi saat obrolan ringan bersama teman ataupun kawan sembari menyeruput kopi di café, dll. Sehingga, obrolan yang tadinya hanya terkesan biasa-biasa saja dengan referensi bisa memiliki kekuatan. Tentu, perilaku sang pengobrol tak serampangan menyitir referensi. Dengan kata lain, ia pas memilah referensi dalam mempertajam obrolannya.

Referensi dan Pergerakan

Tak sedikit yang alergi dari kawan-teman kita, bila dalam obrolan bersamanya dipijakkan pada referensi. Sebagai mahasiswa –untuk tidak menyebut aktivis mahasiswa— lazim membicarakan centang-perenang bangsa Indonesia pasca reformasi. Dalam presedennya, mahasiswa terbilang idealis saat ditandai dengan kemenangan memakzulkan rezim lalim Soeharto pada 1998. Sehingga, ada istilah khusus untuk menyebutkan hal ini: Gerakan Masif Aktivis 98. Gerakan aktivis 98 jika tidak berlebihan bisa dibilang asketisme idealis yang pernah dimiliki dalam sejarah pergerakan mahasiswa. Sebab, gerakan tersebut mengusung perubahan agung, reformasi. Mereka –seluruh elemen mahasiswa se-Indonesia— serempak, bersama-sama menyingsingkan lengan baju menangkis dan mengakhiri serangan represifitas Orde Baru. Mereka bergeliat dan bergerak maju membonceng demokratisasi, egalitarianisme, dan humanisme.

Monginsidi, Chairil, Kartini

Goenawan Mohamad
http://www.tempointeraktif.com/

Shot? so quick, so clean an ending?
Oh that was right, lad, that was brave
Yours was not an ill for mending,
’Twas best to take it to the grave
— A.E. Housman (1859-1936).

Mereka menembak mati Monginsidi di Pacinang, Makassar, tanggal 5 September 1949.

Ada yang mencatat bahwa beberapa menit sebelum dieksekusi, pemimpin gerilya yang ditakuti tentara pendudukan Belanda itu memberikan maaf kepada regu serdadu yang bertugas menghabisi nyawanya. Mungkin saat itu ia menukil Injil Lukas yang merekam apa yang dikatakan Yesus pada saat-saat penyaliban. Tapi mungkin juga ia—yang tak mau meminta grasi kepada pemerintah kolonial—sudah lama menerima apa yang datang bersama zamannya.

Dalam sepucuk surat untuk seorang gadis yang tinggal di Jakarta, Milly Ratulangi—sepucuk surat yang ditulisnya empat hari sebelum hukuman mati itu dijalaninya—ia menggambarkan, dengan kalimat puitis yang menggetarkan, anak-anak muda zamannya ”sebagai bunga yang sedang hendak mekar… digugurkan oleh angin yang keras”.

Tentu ia berbicara tentang generasinya. Umur Robert Wolter Monginsidi baru 24 tahun. Seorang bekas gurunya, Sugardo, menuliskan kenangannya tentang Si ”Woce” di majalah Mimbar Indonesia 17 September 1949, dan dari sana kita tahu ia terakhir bersekolah di Sekolah Pertama Nasional di Jalan Goa 56—sekolah yang ditinggalkannya sejak Juli 1946. Sejak itu ia menghilang. Sejak itu orang tahu, dan berbisik-bisik, ia ikut memimpin pasukan gerilya di daerah Polombangkeng, pusat yang dipilih para pejuang kemerdekaan untuk melawan pendudukan Belanda di Sulawesi Selatan.

Pada suatu hari ia luka. Pada suatu hari ia ditangkap. Ia melarikan diri. Ketika ia ditangkap lagi, hukuman mati pun dijatuhkan oleh ”Raad van Justitie”. Empat bulan sebelum Kerajaan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia yang telah dimaklumkan empat tahun sebelumnya, anak muda itu mati untuk Republik yang muda—untuk sebuah harapan yang belum punya kebimbangan.

Ia memang bagian dari apa yang digambarkan sebagai ”Revolusi Pemuda” oleh Benedict Anderson: babakan sejarah Indonesia ketika pemuda mengambil peran utama dan jadi mitos tersendiri. Ia termasuk sepucuk ”bunga yang sedang hendak mekar, [yang] digugurkan oleh angin yang keras”. Tapi ”angin yang keras itu” membuat yang dilakukannya dikenang, sebab pahlawan lebih cepat mati ketimbang tindakannya. Sejarah selalu menyimpan sesuatu yang menakjubkan pada laku manusia.

l l l

Penyair A.E. Housman pernah menulis sebuah sajak lain. Kali ini bukan untuk seorang anak muda yang tewas oleh senjata api, melainkan untuk seorang atlet yang mati muda: Dua baris yang selalu saya ingat dari To an Athlete Dying Young adalah kalimat ini:

Smart lad, to slip betimes away
From fields where glory does not stay

Sajak ini adalah sebuah tribut bagi sang atlet: ia anak pintar, smart lad, ia mati muda. Ia telah memenangi sebuah pertandingan, ia telah menerima tepuk tangan yang gemuruh, namanya telah jadi harum, dan pada saat itu ia pergi, meluputkan diri ”dari medan di mana kejayaan tak bertahan”, from fields where glory does not last. Seandainya ia hidup terus, akan ada atlet baru yang akan mengalahkannya dan mencopot kehormatannya sebagai sang johan. Kini dalam kematian ia selamat. Ia tak lagi tergabung ke dalam mereka yang pernah jaya tapi ”namanya mati sebelum orangnya”, ”the name died before the man”.

Tapi Housman tak seluruhnya benar. Nama tak selamanya mati sebelum yang empunya. Kejayaan tak selamanya gampang hilang. Harum nama Jesse Owens, pemenang empat medali emas di Olimpiade Berlin, tetap tak pudar meskipun Michael Johnson tercatat lebih unggul dalam Olimpiade Atlanta pada 1996 sebagai orang pertama dalam sejarah yang memenangi lomba lari 400 dan 200 meter sekaligus.

Memang, seperti tulis Housman dalam sajaknya, silence sounds no worse than cheers—diam yang menyertai mereka yang mati, sehabis ”bumi menutup kuping”—tak lebih buruk ketimbang tempik-sorak yang mengelu-elukan seorang juara yang hidup. Tapi itu karena di situ diam tak sendirian. Dalam kematian mereka yang telah melakukan sesuatu yang berarti, diam adalah sebuah sikap hormat. Tepuk tangan diberikan kepada sang hero—yang berubah, fana dan berdosa—tapi sikap hormat ditujukan buat tindakan yang heroik, dari mana inspirasi lahir dan tumbuh selama-lamanya.

Pahlawan adalah sesuatu yang berlebih. Sebuah komunitas tak dikukuhkan orang-orang hebat seperti dia, tapi oleh tindakan-tindakan hebat. Dengan kata lain: perbuatan baik. Monginsidi kekal bukan sebagai tokoh luar biasa, melain-kan sebagai kesediaan untuk berkorban bagi sebuah harapan bersama.

”Monginsidi”, dengan kata lain, jadi penanda sesuatu yang mengagumkan. The name does not die with the man.

l l l

Juga Chairil Anwar. Mungkin kebetulan, mungkin tidak, bahwa dialah yang menuliskan kalimatnya yang terkenal: ”sekali berarti, sudah itu mati”.

Ia menuliskan kata-kata itu dalam sajak Diponegoro, tapi tentu ia tak bermaksud merekam sebuah kejadian sejarah. Kita tahu Diponegoro, yang lahir pada tahun 1785, memimpin perang perlawanan ketika ia telah berusia 40 hingga ia dikalahkan Belanda lima tahun kemudian.

Kita memang bisa membayangkan maut hadir begitu rapat di sekitar sang pangeran di kancah perang abad ke-19 yang mengguncang kekuasaan Kompeni dan membawa korban 200 ribu manusia itu. Namun kata-kata ”sekali berarti (se)sudah itu mati”—kalimat dramatik yang menunjukkan dekatnya jarak antara perbuatan yang berarti dan hidup yang berakhir—agaknya tak berlaku buat riwayat hidup Diponegoro. Pemimpin perlawanan itu ditangkap dan dibuang ke Sulawesi dan baru wafat 25 tahun setelah itu. Ia sempat merampungkan otobiografinya dalam bentuk tembang. Usianya 70.

Mungkin ”sekali berarti, (se)-sudah itu mati” lebih tepat buat Chairil Anwar sendiri.

Ia meninggal pada usia 27 tahun. Ia tak memimpin gerilya dan ditembak mati regu eksekusi penguasa kolonial seperti Monginsidi. Tapi seperti anak muda yang aktif dalam perjuangan bersenjata di Polobangkeng itu, Chairil menimbulkan pertanyaan yang penting buat zaman ini: kenapa anak semuda itu bisa membuat sesuatu yang begitu berarti dan dikenang terus? Karena ”angin yang keras” tahun 1940-an?

Hanya dengan beberapa belas sajak, Chairil telah mengubah seluruh paradigma puisi Indonesia. Sejak karya-karyanya terbit, tak ada lagi penyair yang menulis seperti para sastrawan Pujanggga Baru pada tahun 1930-an menulis. Bagi saya sumbangannya untuk perombakan pandangan sastra dan dunia jauh lebih mendalam ketimbang sumbangan S. Takdir Alisjahbana, yang pernah mencemooh puisi Chairil sebagai ”rujak” belaka: segar tapi tanpa gizi.

Persoalan yang hendak dibawakan pandangan Chairil justru: apa salahnya ”segar”? Kenapa sesuatu harus dinilai dari segi ada atau tak ada ”gizi”? Tidakkah dalam ”segar” ada sesuatu yang lebih berarti—yakni hasrat untuk membuat hidup tak hanya dibebani Sabda dan Guna? Tidakkah dunia seharusnya selalu bagai ditemukan buat pertama kalinya, penuh kejutan yang menarik, seperti digambarkan Chairil dalam sajak pendek Malam di Pegunungan: sementara aku berpikir mencari jawab tentang sebab dan akibat, seorang ”bocah cilik” menemui hidup dengan ”main kejaran dengan bayangan”.

Kiranya memang hanya si ”bocah”—dan mereka yang masih punya ke-bocah-an dalam dirinya—yang tak takut untuk melakukan hal-hal yang ganjil: “main kejaran dengan bayangan”. Merekalah yang tahu akan sia-sia untuk berkejaran dengan hal-hal yang mustahil dikejar, tapi asyik. Mereka di luar batas.

Tak ada yang baru sebenarnya dalam soal ini—juga kece-masan orang tua dan para pendukung Sabda, Guna, dan Batas. Kita sering mendengar orang menyebut Sturm und Drang—yang berasal dari gerakan sastra Jerman abad ke-18, yang mengutamakan cetusan subyektif dan spontan dalam kreativitas untuk melawan kekuasaan nalar dan pengagungan sikap beradab pada masa itu—sebagai sebuah periode remaja. Dengan kata lain, sesuatu yang sementara dan tak serius.

Tapi kepada yang meremehkan yang muda itulah Werther, tokoh karya Goethe yang terkenal, Die Leiden des jungen Werthers (Kesedihan hati Werther Muda), membela diri: ia mengakui gairah dirinya selalu mendekati taraf tanpa nalar dan berlebihan, tapi ia tak malu. Ia percaya, banyak prestasi besar dihasilkan mereka yang dianggap mabuk dan edan (Wahnsinnige) oleh dunia.

Kreativitas memang memerlukan gairah dan satu dosis keedanan—itu sebabnya prosesnya bisa tampak tak tetap, melimpah ruah, penuh Sturm und Drang, deru dan desak, yang menyebabkan puisi Chairil—yang ditulis pada tahun 1940 ketika kekuasaan kolonial runtuh dan tentara pendudukan Jepang berakhir dan Indonesia baru berteriak sebagai bayi baru lahir—adalah bagian yang terkena ”angin yang keras”. Ia melampaui tata yang mati, meninggalkan apa yang disebut Rendra sebagai ”kebudayaan kasur tua”, mencetuskan imaji-imaji yang tak terkendali oleh adab, dan merupakan elan yang menjulang dan mengempas.

Memang hanya yang muda yang tak gentar hidup dalam gelombang.

l l l

Yang menarik dalam surat-surat Kartini bukanlah cuma isinya, melainkan juga gayanya. ”Gelombang” adalah kiasan yang tepat untuk gaya itu. Bahasanya tak datar, seperti ombak dengan badai yang terkadang tak segera kelihatan. Kita mendapatkan ekspresi hiperbolik di pelbagai sudut, terutama ketika ia dengan antusias melukiskan sesuatu atau menyanjung seseorang yang dicintai. Pelbagai kalimat seakan-akan harus berhenti dengan tanda seru.

Beberapa tahun setelah ia menuliskan surat-suratnya yang kemudian termasyhur itu—cerminan rasa gelisah dan protes perempuan yang hidup dalam masyarakat aristokrat Jawa pada akhir abad ke-19, observasi dan komentarnya tentang lingkungan kolonial yang timpang dan menekan, cita-cita pribadinya yang tak sampai—Kartini meninggal pada tahun 1904.

Umurnya baru 25.

Ia meninggal sebagai seorang ibu. Pada akhir hidupnya yang pendek ia istri kedua seorang bupati yang, betapapun terpelajar dan penuh kasih sayang kepadanya, tetap bagian yang jinak dari tata yang tertib.

Maka kisah Kartini jadi penting bukan karena heroismenya, melainkan karena kegagalannya: dialah perempuan yang mencoba menunggang gelombang—khas suara generasi muda—tapi terjebak dalam palung ke-tua-an. Dalam masyarakatnya, panutan adalah ingatan. Yang membentuk adalah pengulangan khazanah yang disusun generasi tua. Tradisi menentukan hampir segalanya.

Pandangan bahwa ”tua itu baik” itu bahkan berlanjut sampai hari ini. Dalam nyanyian nasional yang memujanya, Kartini dipanggil ”Ibu kita”, bukan ”sang pelopor”. Citranya tak lagi sebagai bagian dari sebuah pergerakan progresif, tapi sebagai pengayom struktur yang konservatif. Tak mengherankan bila Hari Kartini adalah hari ketika para perempuan berpakaian adat, bukan berpakaian pilot atau atlet angkat besi.

Dalam hal itu, nasibnya lebih buruk ketimbang Monginsidi. Pemimpin perjuangan bersenjata itu berakhir dalam mati, Kartini dalam ”tua”. Betapa menyedihkan: ia tak tampak sebagai seorang atlet yang mati muda. Simone de Beauvoir pernah mengatakan, lawan dari hidup bukanlah kematian, melainkan ketuaan. Jika kita ingin mengenang Kartini dengan baik, kita harus mengenang tragedinya.

22 Desember 2006

Bisikan Sastra Perang…

Binhad Nurrohmat
http://kompas-cetak/

Watak kesusastraan peka pada tragedi, dan di antara tragedi terbesar bagi umat manusia adalah perang. Perang merupakan tragedi yang tak sebatas membinasakan tubuh dan melenyapkan peradaban manusia. Ketika krisis dan kegundahan di Eropa merebak pada 1935 dan dihantui luka Perang Dunia I, Jean Girauduoux menyelipkan sebaris kalimat jitu tentang bahaya perang yang paling mengerikan ke dalam dramanya, La guerre de Troi n’aura pas lieu (Perang Troya Tak Bakal Meletus): “Kebenaran adalah korban pertama dalam perang.”

Pada berbagai zaman, perang gampang menggerakkan manusia menyelenggarakan kekerasan untuk penghancuran dan penaklukan. Perang merupakan bentuk tragedi primitif yang kerap mencabik-cabik riwayat umat manusia sejak mula hingga masa kininya. Tak mengejutkan bila ilham penciptaan kesusastraan agung abad silam—Mahabharata, Iliad, Odyssey—adalah perang. Juga, kesusastraan pada kurun mutakhir: Krawang-Bekasi saduran Chairil Anwar, Cerita dari Blora Pramoedya Ananta Toer, dan Saksi Mata Seno Gumira Ajidarma.

Sastra Perang bukan “liputan” permukaan belaka atas peristiwa atau suasana perang. Sastra Perang adalah pijar kedalaman empati tentang kehancuran tubuh dan pantulan warna-warni mental manusia dalam situasi konflik yang mampu menumbuhkan makna baru dan memperkaya pemahaman atas kenyataan, berdasarkan sudut pandang, visi, atau perspektif tertentu.

Virginia Woolf dalam Three Guineas (1938) membincang ihwal perang. Karya ini merefleksi foto kebengisan perang yang diedarkan Pemerintah Spanyol dua kali sepekan, dan Woolf menyimpulkan perang tak terpadamkan oleh edaran dokumentasi kekerasan itu.

Sastra Perang bukanlah risalah filsafat perang, meski di dalamnya bersemayam renungan filosofis. Sastra Perang mengambil jarak dan sekaligus intens terlibat dengan perang. Sastra Perang mengendus detak batin dan suara di benak pelaku atau mereka terkena dampak perang, tanpa berkhotbah.

Sastra Perang juga bukan kisah ulang gemuruh pertempuran. Novel Fateless Imre Kertesz (peraih Nobel Sastra 2002), misalnya. Novel berlatar Perang Dunia II ini bukan dokumentasi atas deru dan gelimang darah dalam perang ini. Novel ini mengarahkan kisah pada apa yang menyeruak dari derita jiwa raga manusia yang disekap dalam kamp konsentrasi Yahudi di Auschwitz dan Buchenwald.

Sastra Perang “menggemakan bisikan” pikiran dan jiwa manusia yang mengalami atau terpengaruh oleh perang, beserta keluhuran dan kebusukannya. Sastra Perang menyuarakan yang terabaikan dalam hiruk kekerasan, serupa kesaksian melankolis puisi Toto Sudarto Bachtiar Pahlawan Tak Dikenal: Wajah sunyi setengah tengadah/Menangkap sepi padang senja/Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu/Dia masih sangat muda.

Namun, ada Sastra Perang yang berfungsi sebagai “dokumentasi” peristiwa perang, misalnya sebagian Syair Perang Menteng yang mencatat serangan militer kolonial Belanda ke Kerajaan Palembang dan perlawanan rakyat Palembang. Syair ini digubah pada 1819, tak lama seusai perang ini meletus. Dan, juga ada Sastra Perang yang difungsikan untuk mengobarkan semangat perlawanan, contohnya Hikayat Perang Sabil saat rakyat Aceh mempertahankan wilayahnya dari agresi militer kolonial Belanda.

Pramoedya

Sastra Perang bagi pembaca yang hidup di dunia nan damai bisa menjadi sejenis “hiburan” pemantik naluri dramatik yang bisa mengusik atau menggundahkan lantaran sembulan kegetiran dan kengerian dari pergumulan batin dan pikiran manusia yang terlibat perang atau terpengaruh olehnya.

Cerita dari Blora Pramoedya Ananta Toer, misalnya. Karya yang ditulis semasa revolusi 1945-1949, ketika di dalam dan selepas dari penjara Belanda, ini menggambarkan sisi lain kehidupan manusia yang mengorbankan banyak hal demi cita-cita kemerdekaan, tetapi pengorbanan itu hanya menyebabkan penderitaan. Kisah-kisah yang diduga mengandung otobiografi pengarangnya ini menggambarkan manusia-manusia frustrasi akibat perang. Peristiwa perang dalam kisah-kisah ini cuma jadi latar yang muncul-hilang atau samar sama sekali.

Pram dan Chairil adalah manusia yang menghirup udara dan tumbuh pada masa perang. Penghayatan mereka atas perang dan dampaknya menjadi pengalaman pribadi yang natural. Perang adalah pengalaman empiris dan otentik mereka.

Namun, lewat data dan imajinasi, penghayatan terhadap perang atau dampaknya bisa terselenggara tanpa dialami oleh pengarang secara langsung, misalnya puisi Zagreb Goenawan Mohamad: Ibu itu datang, membawa sebuah bungkusan,/datang jauh dari Zagreb./Ibu itu datang, membawa bungkusan, berisi sepotong kepala, dan/berkata kepada petugas imigrasi yang memeriksanya:/”Ini anakku.”. Meski puisi dianggap realitas fiksional, bukanlah berarti puisi ini khayalan kosong yang tak bisa menautkan referensi pembaca ke peristiwa getir akibat keganasan perang, nun di sana.

Sedangkan Saksi Mata Seno Gumira Ajidarma adalah “berkah” dari pembatasan terhadap wartawan yang meliput konflik bersenjata di Timor Timur pada masa Orde Baru. Berita-berita Seno mengenai konflik berdarah ini dibungkam (off the record). Tetapi, “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara” kata Seno. Kisah-kisah dalam kumpulan cerpen ini merupakan berita (fakta) yang “menyamar” sebagai sastra (fiksi), sehingga “berhak” atau malah “dituntut” menyembulkan daya literer.

Inti dari Sastra Perang adalah konflik lahir batin, kekerasan, dan tragedi akibat perang sebagaimana juga konflik atau kekerasan massal di Tanah Air dalam satu-dua dasawarsa belakangan ini yang merenggut banyak korban manusia. Konflik-konflik ini terekam oleh jurnalisme dan secara signifikan belum muncul dalam kesusastraan. Berubahkah watak kesusastraan mutakhir?

Konon, kesusastraan dianggap berharga antara lain karena mencerap suara dan geliat zamannya. Unsur mutu atau capaian estetika kerap jadi kekuatan mendasar dan amat menonjol, tetapi unsur ini bukanlah satu-satunya yang membuat kesusastraan bisa gemilang atau menggugah pembaca dari masa ke masa.

Teater Kontemporer

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Sudah lama dunia ini dibedakan dengan Barat dan Timur. Masa lalu masa depan. Sudah lama nilai-nilai dipatok dalam dua gawang. Buruk dan baik. Hitam dan putih. Sudah lama arah disederhanakan menjadi kanan dan kiri. Depan dan belakang. Atas dan bawah.

Sudah lama wanita dikategorikan dengan jegeg dan bocok. Dan pada gilirannya juga sudah lama seni dikampling menjadi dua pulau. Tradisional dan modern. Pertunjukan tradisional dan pertunjukan kontemporer.

Menyederhanakan persoalan, biasanya selalu dirasionalisasi dengan alasan-alasan keren yang filosofis atau pun politis. Yaitu: menotok inti persoalannya, sehingga terjadi hantaman yang telak, mendalam dan tuntas menjawab seluruh persoalan.

Sebab dengan hanya dua kategori semacam hitam dan putih, segalanya dengan amat mudah diatur. Itu refleksi khas, spontan, mentalitas birokrat, yang menganggap semua adalah barang, yang harus disusun dengan teratur, agar memudahkan para tuan-tuan untuk memanfaatkannya. Walhasil pendewa-dewaan pada apa yang disebut: efisiensi.

Moderninasi semacam itu, mungkin amat berguna pada masyarakat tertentu, tatkala orang baru belajar untuk mepergunakan akal. Ketika orang berusaha memisahkan rasa dengan pikir. Waktu orang jatuh cinta untuk menguasai alam.

Ketika orang sedang memuja-muja logika/teknologi, sebagai instrumen yang paling menjamin sebagai kendaraan untuk memenangkan masa depan umat manusia. Ketika orang dengan membabi-buta mengaplikasi matematika dan mencoba menerapkannya pada segala sektor kehidupan, tak terkuali juga kesenian dan bahkan masalah-masalah yang sakral.

Maka terjadilah satu keseragaman berpikir, yang dikuntit oleh pemujaan kepada intelektualita, yang percaya bahwa semuanya sudah diberikan kerangka. Mereka yakin tidak ada fenomena yang tidak bisa dianalisa. Tidak ada sesuatu yang baru yang tidak dikenal.

Semua sudah terdeteksi. Semua sudah terangkum dalam sebuah peta agung yang bisa menerangkan segalanya. Semua bisa dilacak dengan struktur berpikir yang sudah ada.

Konsep kontemporer, menolak pembunuhan diri seperti itu. Manusia tidak perlu menciptakan kuburan-kuburan untuk manusia-manusia yang masih hidup. Tidak perlu mendirikan liang-liang mosolium yang tak lebih dari benteng kepala batu yang ngotot karena sudah malas untuk berpikir, mempertimbangkan sekali lagi segala keputusan untuk melihat kemungkinan baru.

Konsep dasar kontemporer adalah pembebasan dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah — bukan saja kedaluwarsa, akan tetapi juga bisa — berbalik menjadi dehumanisasi, akulturasi dan dekadensi.

Seni kontemporer sebagai bagian dari pelafalan konsep kontemporer, selalu membebaskan diri dari kemacatan pada satu nilai yang semula disangka sebagai sumber segalanya, padahal segala sesuatu itu ternyata sudah bergeser dan menjungkir-balik segala-galanya.

Karena semuanya tak tercegah, tak dapat disekap dari hukum kehidupan, untuk selalu bergerak mengikuti nafas waktu, ruang, serta kembang-kempis alam pikiran yang tak henti-hentinya, yang tak takut oleh apa pun, untuk terus tumbuh. Pertumbuhan yang abadi. Ketika kehidupan diupayakan oleh manusia untuk hadir lebih baik, mendarat lebih lentur, lebih berarti dan lebih menghayat, segalanya juga ikut bergulir.

Usaha untuk mengaktualisasi diri, agar jadi sinkron dan menyuarakan zamannya, agar kontekstual dengan konteksnya, agar “menjati diri”, dapat ditempuh dengan berbagai cara. Bisa mengejewantah dalam berbagai variasi bentuk.

Tergantung dari desa-kala-patra (tempat-waktu-kondisi). Tergantung dari bibit-bebet-bobot. Tergantung dari watak-perilaku-lingkungan-peradaban dan pendidikan yang bersangkutan. Tergantung dari derap dharma individu atau kelompok yang berkepentingan.

Bisa keras mengental bagaikan jotosan tangan yang terkepal. Bisa berupa pembrontakan spiritual dan konfrontasi argumen. Dapat juga lemah gemulai seperti tarian oleg tamulilingan atau gesekan rebab. Mungkin juga teror mental.

Berseloroh seperti badut-badut dalam adegan bebagrigan. Juga bukan tak mungkin ngepop seperti di dalam kesenian-kesenian kacangan atau jajanan yang dikemas khusus untuk para turis.

Pertunjukan Indonesia kontemporer, sebagai bagian dari seni Indonesia kontemporer, adalah anak dari konsep kontemporer. Segala tontonan yang mengandung arti, misi, gebrakan bahkan cukup percobaan, untuk membebaskan diri dari kungkungan waktu, tempat, situasi; gondelan nilai-nilai usang, mayat-mayat pengembaraan spiritual yang tidak relevan lagi — adalah pertunjukan kontemporer.

Karenanya, pertunjukan kontemporer, bukan hanya tontonan yang diciptakan dan dilaksanakan oleh manusia masa kini, tetapi harus tidak boleh kurang dari pertunjukan yang mencerminkan cita-rasa pembebasan.

Wujudnya bisa pertunjukan eksperimental, yang merupakan usaha untuk pencarian-pencarian idiom dan bahasa pengucapan yang baru/segar. Dapat berwujud pertunjukan konvensional, yang memanfaatkan semua konvensi pertunjukan yang sudah diterima oleh masyarakat, namun memberikan nuansa yang baru atau lain/lebih segar dari sebelumnya.

Dan — ini yang seringkali dilupakan — dapat juga merupakan pertunjukan seni tradisional yang baik karena kemasan-semangat-orientasinya, maupun saat dan tempat penampilannya, memungkinkan ia bersentuhan dengan manusia-manusia masa kini, sehingga menghadirkan pengalaman spiritual yang aktual.

Di masa yang akan datang, apa yang dipersoalkan sebagai perbedaan-perbedaan akan dibunuh atau terbunuh dalam interaksi dan adaptasi. Yang kemudian menonjol adalah nuansa-nuansa yang yang menggantikan istilah perbedaan-perbedaan.

Dan karena perbedaan berarti nuansa, maka perbedaan tidak lagi sesederhana hitam kontra putih, kiri versus kanan, buruk lawan baik, atau tradisi lawan kontemporer saja, tetapi akan hadir ribuan, jutaan atau tak terhingga nuansa yang memerlukan cara berpikir baru — baca kontemporer — untuk menguasainya. Nilai-nilai bertumpukan, tumpang-tindih, nyaris membingungkan, dalam satu susunan harmoni baru yang tak terbayangkan sebelumnya.

Akan diperlukan setiap saat cara memberikan kesaksian yang baru. Cara berekspresi baru untuk mengutarakan kebenaran-kebenaran yang terus tumbuh itu. Akan diperlukan bahasa yang baru, untuk memenangkan dan mengucapkan kenyataan-kenyataan yang terus bergerak itu. Apa pun bentuk, apa pun namanya, itu adalah bahasa kontemporer.

Desa-kala-patra adalah konsep yang mendasari selurup konsep kontemporer, termasuk konsep tontonan Indonesia kontemporer. Sesuatu yang pada dasarnya sudah terpraktekkan secara sehari-hari di Bali.

Desa-kala-patra adalah keterikatan pada desa-kala-patra yang aktual dan sekaligus pembebasan pada desa-kala-patra yang kedaluwarsa. Konsep dasar kontemporer, dengan sendirinya adalah juga konsep dasar pertunjukan Indonesia kontemporer.

Hampir semua penghuni seni tontonan tradisional Bali adalah seni kontemporer. Karena bukan saja dulu ketika ia diciptakan untuk pertama kalinya, ia merupakan ucapan keberadaan orang Bali, tapi sampai sekarang, ia tetap kukuh menjadi pengucapan diri orang Bali kini. Hujan parawisata, telah menolong seni pertunjukan Bali itu, tetap hidup menggebu-gebu.

Sementara kesinambungan seni pertunjukan itu dengan hal-hal yang bersifat sakral, sebagaimana yang ditulis oleh Doktor I Made Madem dalam buku “Kaje dan Kelod”, telah membuat hampir semua jenis pertunjukan itu tak pernah menjadi jerangkong tok. Tapi berdegup hidup. Berdarah, berdaging dan bernyawa.

Semua seni tontonan itu menjadi aktual, relevan dan mewakili zaman. Dia senantiasa bergerak sesuai dengan desa-kala-patra, sejalan dengan manusia-manusia Bali yang sedang ada.

Bahkan seni pertunjukan yang langka digeber, seperti gambuh, seperti topeng pajegan, misalnya, dalam kesepiannya di dalam peti, tetap berinteraksi dengan zaman, melalui/karena orang-orang Bali sendiri selalu bersentuhan dengan nilai-nilai aktual dan universal lewat konsep desa-kala-patra.

Begitu dia dapat kesempatan tampil, kita tidak usah terkejut, karena ia langsung memuncratkan ciri-ciri kontemporer.

Teater tradisi Bali, tak perlu susah-susah mempermasalahkan apa konsep-konsep pertunjukan kontemporer, karena sudah melaksanakannya. Memang orang-orang dari belahan yang menyebut dirinya pulau kontemporer, umumnya justru mempermasalahkan hubungannya dengan tradisi, karena tidak melihat kaitan dirinya secara langsung dengan bentuk-bentuk seni pertunjukan tradisional.

Sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak menyangkut hal-hal yang konsepsual, tetapi sekedar kemasan, yang dapat langsung diselesaikan dengan mengubah cara melihat “perbedaan” sebagai “nuansa”. Karena tiadanya hubungan yang bersifat phisikal, tidak berarti, ada jurang pemisah.

Justru tidak adanya persamaan-persamaan di dalam bentuk-bentuk pengucapan, sering akan mempertemukan yang saling kontra itu secara spiritual, karena lahirnya kebutuhan untuk saling mengisi. Walhasil, ketiadaan hubungan, otomatis adalah juga hubungan. Itu cara berpikir konsep kontemporer.

Tak pernah sungguh-sungguh ada pertentangan antara hitam dan putih. Tak pernah benar-benar ada konfrontasi antara buruk dan baik. Tak pernah ada jurang antara kawan dan lawan.

Dan tak pernah ada masalah antara tradisi dan ekspresi kontemporer. Yang ada adalah kealpaan untuk mengakui keberadaan nuansa-nuansa di antara kedua kutub tersebut, yang tak terhingga jumlahnya. Keterbatasan untuk menangkap yang ada, dari sesuatu yang selalu dianggap tidak ada, karena adanya usaha untuk membuat penyederhanaan — hitam-putih — yang kadangkala sedemikian keji dan semana-menanya.

Kesalahkaprahan dalam membuat peta, yang kemudian membuat kita menjadi benar-benar buta dan tuli, adalah bencana tetapi sekaligus hikmah yang telah melahirkan konsep kontemporer. Sebuah usaha untuk menangkap dengan lebih jujur, bulat, lengkap dan tuntas apa saja. Alhasil sebuah upaya, tetapi sama sekali bukan tujuan. Karena dia juga akan terus bergerak, sesuai dengan desa-kala-patra.

*) Makalah ini dibuat untuk memenuhi undangan seminar sehari STSI Denpasar 21 Oktober 1993 - dengan tema: KONSEP DASAR DALAM SENI PERTUNJUKAN KONTEMPORER INDONESIA.

Puisi-Puisi Pablo Neruda*

http://www.facebook.com/people/Nurel-Javissyarqi/1355886977
PUERTO RICO, PUERTO POBRE

Aku tahu semua sudah terlambat, tapi ku rasa ini perlu dilakukan: sekarang, sebelum aku berangkat untuk menyanyi atau untuk mati: sekarang ku mulai.

Tak ada kekuatan yang membungkamku tapi sesuatu yang besarkan hari kesedihan dan ini sekutu: mati dengan bajak lalu taburkan tulang-tulang.

Aku terpilih sebagai subyek mendidih dengan darah, dengan pohon-pohon palem dan kesunyian, kisah daratan yang dikelilingi banyak air dan kematian tak berujung: disana sungai meratapi darah dan duka mereka yang menanti gunung-gunung.

Kemiskinan ini, ulah penjarahan pulau hari-hari kelabu datang dan pergi, ketika cahaya melonjak dan sekarang dari atas pohon-pohon palem, ketika perjalanan malam di empat kapal hitam dia disana, sebagai tawanan sebuah pulau derita.

Dan darah kita menetes diatasnya, sebab cakar emas ikut menyobek pecinta-pecintanya dan hak asasinya.



MUNOZ MARIN

Disana cacing hidup melekat di air-air, cacing buas: dia lumat bendera-bendera yang ada dan naikkan panji para mandor, yang gizinya berasal dari darah tawanan kuburan pejuang-pejuang yang malang.

Cacing-cacing pun digemukkan diatas mahkota emas gandum Amerika, kesuksesan melindungi uang, buat darah dalam derita bersama tentara, bangun monumen-monumen semu, mengatur negeri dari warisan ayah ke ayah lalu memperbudak tanah, bentuk pulau terang dan gemerlap bagai bintang dalam kekangan suram untuk budak-budak, dan cacing pita hidup riang diantara penyair-penyair, ditaklukkan di pengasingan mereka sendiri, pesanan kepatuhan bagi para gurunya, membayar Pythagorian Peruvian-peruvian untuk meluaskan pemerintahannya dan tempat ini putih bersih luar dalam lebih dalam ada neraka laiknya Chicago, tempat hidup misai, hati, cakar-cakar seperti penghianat Luiz Munoz, Cacing, Munoz Marin untuk pendukungnya, daerah berdarah Judas, pemerintah pulau penindasan, makan daging saudara-saudara miskinnya menerjemah bilingual bagi penjagal-penjagal, mencicipi wiski Amerika Utara.



KEHADIRAN KUBA

Saat siksaan dan kemuraman terasa mempersempit kebebasan udara dan kamu tidak lihat gelombang harum dari darah diantara batu, tangan Fidel merebut benteng, dan masuk Kuba, murni membangun Karibia.

Kemudian sejarah dengan cahaya menuntun kita manusia dapat merubah yang sudah ada, dan jika ia membawa kesucian dalam perang kemuliaan sari bunga untuk kehormatannya: kiri belakang adalah malam tiran, kekejamannya, mata tidak merasakannya, semua emas dirampas oleh cakar-cakarnya, prajurit-prajurit upahannya, hakim-hakim kanibalnya, megahnya monumen-monumen terus-menerus lewat kesengsaraan, aib dan kejahatan: semua terjun ke abu pemain biola ketika rakyat mengangkat biola-biola mereka, wajah kedepan dan interupsi pun bernyanyi - interupsi kebencian menjelma bayangan para pengawal, nyanyikan bintang-bintang membangkitkan mereka – teka-teki kegelapan berhias tembakan.

Kemudian Fidel mengusir habis mimpi-mimpi jadi tiga melati mungkin lahir.

------
*) dijumput dari Nyanyian Revolusi, penerjemah Arief Rahman, Nur Kurnia N, Evan Wisastra. Penyunting Mujib Hermani (penerbit Jalasutra). Dari buku Epic Song, terjemahan Richard Schaaf (Azul Editions, New York, 1998).

Pujangga yang Feminis dan Humanis

Mengenang Seabad A.A. Panji Tisna

Gde Artawan
http://www.balipost.co.id/

PUJANGGA A.A. Panji Tisna dikenang dalam sebuah acara peringatan karena sebagai sang Pujangga, A.A. Panji Tisna telah menorehkan tinta emas dalam blantika perjalanan sastra Indonesia modern khususnya dalam bentuk novel. Karya-karyanya selain dinikmati dalam bentuk teks karya sastra, sebagian sudah ditransformasikan ke dalam media seni lain, di antaranya dalam bentuk sinetron dan pertunjukan teater tradisional (Arja). Sebagai sebuah sinetron karya A.A. Panji Tisna berjudul Sukreni Gadis Bali sudah pernah ditayangkan oleh salah satu media televisi swasta di Indonesia, dan terakhir Prof. Dr. Wayan Dibia mengangkat novel Sukreni Gadis Bali dalam bentuk arja doyong yang telah dipentaskan di Puri Gede Buleleng, Minggu, 10 Februari 2008.

Dalam acara serasehan seabad A.A. Panji Tisna di Singaraja 10 Februari 2008 lalu terungkap wacana untuk mensinergikan semua komponen guna memberi apresiasi positif terhadap A.A. Panji Tisna secara proporsional. Sebagai sebuah ”mutiara” yang dimiliki Bali, sepantasnyalah semua elemen masyarakat Bali menempatkan A.A. Panji Tisna sebagai pujangga yang memberi kontribusi memadai, khususnya sebagai spirit berkarya dan sosok yang memiliki visi kultural untuk dapat menjadi bahan renungan dari kerangka kekinian.

Kebesaran nama A.A. Panji Tisna tentu dapat dirunut dari berbagai pembicaraan atau pembahasan dalam berbagai ruang diskusi, seminar, serasehan, dan tentu saja karya telaah berupa esei dan kritik sastra serta beberapa penelitian. Pembahasan terhadap karya-karya Panji Tisna dilakukan diantaranya oleh Made Sukada, Jakob Sumardjo, Weda Kusuma, Merdhana, Ruba”I dllnya. Maya Liem (2003) dalam disertasinya yang dipertahankan di Universitas Leiden juga mengulas novel I Swasta Setahun di Bedahulu, namun dalam konteks identitas dan modernitas di Bali. Dalam desertasi ini, dia melihat perkembangan modernitas seperti tercermin dalam karya sastra penulis Bali, mulai dari pembaruan yang ditunjukkan Geguritan Nengah Jimbaran (1903) karya Raja Badung Tjokorda Made Denpasar, novel Panji Tisna (juga keturunan dan sempat menjadi Raja Buleleng), sampai karya-karya Nyoman Rastha Sindhu. Liem malah menyebut novel Panji Tisna sebagai novel yang bercirikan polyvocal dan bersifat hibrid karena dalam teks novel I Swasta terdapat pantun Melayu yang terkontruksi dalam deskripsi pokok naratif.

Sosok wanita dalam karya Panji Tisna diuraikan oleh Darma Putra (2003). Paling sedikit Darma Putra membicarakan Panji Tisna pada dua hal yang substantif, yaitu masalah bias gender, dan wanita Bali sebagai korban modernisasi dan tradisi. Dari segi bias gender Darma Putra mengungkapkan adanya citra wanita Bali yang negatif pada Ni Rawi Ceti Penjual orang dan tertindas karena perkosaan dalam Sukreni Gadis Bali. Ni Rawit digambarkan sebagai ceti, penjudi, penghisap madat, dan makelar budak. Tokoh Sukreni disebutkan sebagai korban kolusi antara pemilik warung yang rakus (Men Negara) dengan Mantri polisi yang amoral (I Gusti Made Tusan). Pada paparan Darma Putra inilah terlihat jelas fokus pembicaaan potret wanita Bali dalam sastra.

Perlu juga disebut dua tulisan tentang biografi Panji Tisna, yaitu yang disusun oleh seorang sejarawan dari Australia Ian Celdwell (1085) berjudul ”Anak Agung Panji Tisna, Balinese Raja and Indonesia Novelist, 1908-78” dan buku karya seorang guru besar ekonomi sekaligus budayawan Bali, I Gusti Ngurah Gorda (2005) berjudul Biografi Anak Agung Pandji Tisna. Keduanya memberikan informasi yang cukup detil atas kisah hidup Panji Tisna, termasuk beberapa poin tentang hubungan dan pandangan Panji Tisna tentang perempuan dan nilai-nilai budaya Bali.

Di tengah ”keraguan” sebagai orang akan eksistensi Panji Tisna sebagai manusia kultural (akibat perpindahan agama dari Hindu ke Kristen), Artawan (1993) menemukan kentalnya sensibilitas Panji Tisna terhadap budaya Bali sebagaimana terefleksi dalam ketiga novelnya: Sukreni Gadis Bali, Ni Rawit Ceti Penjual Orang, dan I Swasta Setahun di Bedahulu. Pergulatan secara kultural yang intens dilakukan Panji Tisna sebagai masyarakat biasa dengan lingkungannya mampu terekonstruksinya teks dengan muatan sosiokultural. Kontribusinya bagi wacana pemahaman sosiokultural suatu etnis tidak saja bertolak dari teks nonfiksi — sebagaimana lazimnya — tetapi melalui teks fiksipun sebuah perjalanan dan kandungan material sebuah kultural dapat dirunut.

Panji Tisna: Feminis dan Humanis

Seringkali sebuah peringatan suatu peristiwa atau tokoh ”berhenti” pada euforia yang setelah itu tak ada gemanya dan miskin pengendapan terhadap substansi mengapa kita memperingati peristiwa atau tokoh. Peringatan satu abad Panji Tisna tentu saja dilandasi muatan misi untuk menempatkan kapasitas sang Pujangga secara proporsional sebagai milik publik sastra yang sejatinya harus dipahami secara komprehensif bahwa keberadaan Panji Tisna dalam jagat sastra khususnya di Bali merupakan kebanggaan dan spirit yang memiliki ”roh” untuk menciptakan atmosfir bagi tumbuh dan berkembangnya kehidupan bersastra di masyarakat. Panji Tisna tidaklah semata-mata sebuah fenomena masa lalu yang berhenti pada peristiwa yang menomental bahwa ada putra Bali yang menorehkan catatan emas dalam blantika perjalanan sastra Indonesia sebagai salah satu tokoh Pujangga Baru.

Feminis. Panji Tisna adalah fenomena yang secara terus menerus menunjukkan interelasi dengan zaman. Ia menjadi inspirasi dan motivasi kreatif bagi pengarang selanjutnya di Bali khususnya pengarang novel. Pembicaraan terhadap Panji Tisna terkadang luput untuk melihat bahwa Panji Tisna adalah seorang feminis yang merekonstruksi tokoh-tokoh wanitanya melakukan perjuangan kultural dengan cara yang lain. Sesudah zamannya Panji Tisna — era Putu Wijaya, Oka Rusmini misalnya –, tokoh-tokoh wanita melakukan perjuangan kultural secara reaktif berupa pemberontakan dan perlawanan budaya, khususnya soal adanya upaya mensubordinasikan peran wanita, kasta, peran domestik, dan bahkan upaya marginalisasi eksistensi wanita. Ketika tokoh Sukreni tidak melakukan perlawanan terhadap perlakuan biadab yang dilakukan oleh Tokoh Gusti Made Tusan yang telah memperkosanya akibat upaya persekongkolan tokoh-tokoh lain, Panji Tisna dicurigai melakukan tindakan penistaan terhadap wanita. Namun ketika ada upaya memahami teks secara menyeluruh, khususnya ketika Panji Tisna menyusupkan konsep Karma Phala dalam konstruksi tematisnya, sesungguhnya keberpihakan Panji Tisna kepada wanita sangat jelas. Panji Tisna melalui tokoh novelnya telah melakukan sebuah perjuangan kultural untuk mematahkan dominasi paham patriarki yang dalam beberapa hal banyak mengeliminasi peran wanita bahkan mencabik-cabiknya.

Karya-karya Panji Tisna mendapat tempat di hati masyarakat, salah satu Sukreni Gadis Bali (yang telah disinetronkan dan diadopsi menjadi pertunjukan Arja Doyong). Pilihan mengangkat novel ini karena Panji Tisna mengkronstuksi tokoh wanitanya bernama Sukreni sebagai sosok korban kecongkakan kaum laki-laki. Sesungguhnya rasa simpati kepada nasib Sukreni ini secara kreatif mampu dibangun oleh Panji Tisna dalam alur yang mengalir amat memikat. Panji Tisna tidak sekadar memberi kesaksian bahwa ada kaum hawa yang termarginalisasi dan diposisikan tersubordinat dari peran laki-laki, tetapi melalui kerangka konsep Karma Phala akhirnya pelaku kekerasan seksual dan kroninya mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Sebagai feminis, sesungguhnya Panji Tisna memberi kesaksian atas realita nasib wanita ketika karya itu diciptakan, bahkan masih ada wujud marginalisasi dan kekerasan terhadap wanita sampai kini. Di sisi lain, Panji Tisna dalam penaruh simpati pada nasib wanita tidak saja terkonstruksi melalui tokoh Sukreni, tetapi juga pada tokoh Ida Gde Swamba, pacar Sukreni yang mau menerima Sukreni apa adanya sekalipun sudah menjadi korban pemerkosaan. Hal ini terlihat dalam dialog:

”Ah, Aseman! Boleh jadi begitu kata perempuan itu, tetapi engkau tidak boleh bersembunyi-sembunyi kepadaku. Ingat, kalau ia mendapat sengsara, siapa yang akan menolong dia? Aku kira, aku patut sekali… Sebab itu hendaklah engkau tunjukkan, dimana dia sekarang. Aseman. Walaupun ia telah… rusak, tidak berbeda padaku sekarang dengan dahulu. Sudah nasibnya demikian, tidak dapat disalahkan kepadanya. Jika ia tahu apa yang akan terjadi atas dirinya pada malam celaka itu…” kata Ide Gde. (Sukreni, 1965: 112).

Humanis. Dengan spirit kasih; salah satu bagian dari sikap humanis, tokoh laki-laki dalam novel Sukreni Gadis Bali tersebut di atas, Panji Tisna ingin menggambarkan interelasi yang teramat personal dari dua manusia berlainan jenis. Demikian juga terefleksi dari sikap Sukreni pasca pemerkosaan atas dirinya ditunjukkan dengan kearifan tanpa perlawanan yang reaksioner. Di beberapa novelnya, filosofi kasih diembuskan Panji Tisna melalui konstruksi tokoh-tokoh cerita novelnya. Hal ini menunjukkan eksistensi manusia sebagai mahluk ilahi memang sepantasnya dihargai secara proporsional dalam kondisi dan level apapun.

Sebagai manusia personal, Panji Tisna merupakan fenomena yang mengajarkan komunitas sesudah eranya untuk bersikap sederhana dan berani mengambil sikap dengan segala konsekuensinya. Ke luar dari ruang puri kemudian hidup dalam komunitas ”jelata” bernama kawasan Tukad Cebol 10 km dari kota Singaraja yang sekarang dikenal dengan nama Lovina merupakan pilihan hidup yang lahir dari pertimbangan intelektualitas humanisme seorang Panji Tisna. Dalam konstruksi teks sastra Panji Tisna menampilkan wajah kejelatan masyarakat sekitarnya, dan menyindir secara sateris kaum ningrat (terkonstruksi melalui tokoh Gusti Made Tusan) menistakan kejelataan dengan arogansi melakukan pemerkosaan terhadap Sukreni. Dan Panji Tisna mengkonstruksi tokoh Ni Rawit yang memainkan peranan antagonik di ruang geria dengan permainannya sebagai ceti mendeskonstruksi kemapanan dengan strategi kejelataannya.

Panji Tisna yang ningrat memilih hidup sebagai sastrawan dan memilih hidup dalam komunitas masyarakat kebanyakan merupakan fenomena yang sangat inspiratif bagi komunitas yang terkadang secara instan ingin mencapai kualitas hidup pada tataran lebel atau status sosial tertentu. Dalam perspektif kekinian sang Pujangga tidak saja menorehkan catatan keteladanan dalam konteks kesastraan, tetapi dalam kerangka mendesain personal untuk menjadi manusia kultural secara sederhana.

Bertolak dari fakta real tentang sosok sang pujangga dalam blantika jagat sastra Indonesia, sebagai ”mutiara” yang dimiliki Bali, sebaiknya kita perlu merekonstruksi persepsi dan sensibilitas kita terhadap Panji Tisna sebagai salah satu simbol kebanggaan milik kita yang sepantasnya tidak saja diwarisi karya dan semangat kulturalnya, tetapi bagaimana mendesain daya impresi kita untuk menghargai Sang Pujangga secara proporsional.

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae