Senin, 15 Juni 2009

Monginsidi, Chairil, Kartini

Goenawan Mohamad
http://www.tempointeraktif.com/

Shot? so quick, so clean an ending?
Oh that was right, lad, that was brave
Yours was not an ill for mending,
’Twas best to take it to the grave
— A.E. Housman (1859-1936).

Mereka menembak mati Monginsidi di Pacinang, Makassar, tanggal 5 September 1949.

Ada yang mencatat bahwa beberapa menit sebelum dieksekusi, pemimpin gerilya yang ditakuti tentara pendudukan Belanda itu memberikan maaf kepada regu serdadu yang bertugas menghabisi nyawanya. Mungkin saat itu ia menukil Injil Lukas yang merekam apa yang dikatakan Yesus pada saat-saat penyaliban. Tapi mungkin juga ia—yang tak mau meminta grasi kepada pemerintah kolonial—sudah lama menerima apa yang datang bersama zamannya.

Dalam sepucuk surat untuk seorang gadis yang tinggal di Jakarta, Milly Ratulangi—sepucuk surat yang ditulisnya empat hari sebelum hukuman mati itu dijalaninya—ia menggambarkan, dengan kalimat puitis yang menggetarkan, anak-anak muda zamannya ”sebagai bunga yang sedang hendak mekar… digugurkan oleh angin yang keras”.

Tentu ia berbicara tentang generasinya. Umur Robert Wolter Monginsidi baru 24 tahun. Seorang bekas gurunya, Sugardo, menuliskan kenangannya tentang Si ”Woce” di majalah Mimbar Indonesia 17 September 1949, dan dari sana kita tahu ia terakhir bersekolah di Sekolah Pertama Nasional di Jalan Goa 56—sekolah yang ditinggalkannya sejak Juli 1946. Sejak itu ia menghilang. Sejak itu orang tahu, dan berbisik-bisik, ia ikut memimpin pasukan gerilya di daerah Polombangkeng, pusat yang dipilih para pejuang kemerdekaan untuk melawan pendudukan Belanda di Sulawesi Selatan.

Pada suatu hari ia luka. Pada suatu hari ia ditangkap. Ia melarikan diri. Ketika ia ditangkap lagi, hukuman mati pun dijatuhkan oleh ”Raad van Justitie”. Empat bulan sebelum Kerajaan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia yang telah dimaklumkan empat tahun sebelumnya, anak muda itu mati untuk Republik yang muda—untuk sebuah harapan yang belum punya kebimbangan.

Ia memang bagian dari apa yang digambarkan sebagai ”Revolusi Pemuda” oleh Benedict Anderson: babakan sejarah Indonesia ketika pemuda mengambil peran utama dan jadi mitos tersendiri. Ia termasuk sepucuk ”bunga yang sedang hendak mekar, [yang] digugurkan oleh angin yang keras”. Tapi ”angin yang keras itu” membuat yang dilakukannya dikenang, sebab pahlawan lebih cepat mati ketimbang tindakannya. Sejarah selalu menyimpan sesuatu yang menakjubkan pada laku manusia.

l l l

Penyair A.E. Housman pernah menulis sebuah sajak lain. Kali ini bukan untuk seorang anak muda yang tewas oleh senjata api, melainkan untuk seorang atlet yang mati muda: Dua baris yang selalu saya ingat dari To an Athlete Dying Young adalah kalimat ini:

Smart lad, to slip betimes away
From fields where glory does not stay

Sajak ini adalah sebuah tribut bagi sang atlet: ia anak pintar, smart lad, ia mati muda. Ia telah memenangi sebuah pertandingan, ia telah menerima tepuk tangan yang gemuruh, namanya telah jadi harum, dan pada saat itu ia pergi, meluputkan diri ”dari medan di mana kejayaan tak bertahan”, from fields where glory does not last. Seandainya ia hidup terus, akan ada atlet baru yang akan mengalahkannya dan mencopot kehormatannya sebagai sang johan. Kini dalam kematian ia selamat. Ia tak lagi tergabung ke dalam mereka yang pernah jaya tapi ”namanya mati sebelum orangnya”, ”the name died before the man”.

Tapi Housman tak seluruhnya benar. Nama tak selamanya mati sebelum yang empunya. Kejayaan tak selamanya gampang hilang. Harum nama Jesse Owens, pemenang empat medali emas di Olimpiade Berlin, tetap tak pudar meskipun Michael Johnson tercatat lebih unggul dalam Olimpiade Atlanta pada 1996 sebagai orang pertama dalam sejarah yang memenangi lomba lari 400 dan 200 meter sekaligus.

Memang, seperti tulis Housman dalam sajaknya, silence sounds no worse than cheers—diam yang menyertai mereka yang mati, sehabis ”bumi menutup kuping”—tak lebih buruk ketimbang tempik-sorak yang mengelu-elukan seorang juara yang hidup. Tapi itu karena di situ diam tak sendirian. Dalam kematian mereka yang telah melakukan sesuatu yang berarti, diam adalah sebuah sikap hormat. Tepuk tangan diberikan kepada sang hero—yang berubah, fana dan berdosa—tapi sikap hormat ditujukan buat tindakan yang heroik, dari mana inspirasi lahir dan tumbuh selama-lamanya.

Pahlawan adalah sesuatu yang berlebih. Sebuah komunitas tak dikukuhkan orang-orang hebat seperti dia, tapi oleh tindakan-tindakan hebat. Dengan kata lain: perbuatan baik. Monginsidi kekal bukan sebagai tokoh luar biasa, melain-kan sebagai kesediaan untuk berkorban bagi sebuah harapan bersama.

”Monginsidi”, dengan kata lain, jadi penanda sesuatu yang mengagumkan. The name does not die with the man.

l l l

Juga Chairil Anwar. Mungkin kebetulan, mungkin tidak, bahwa dialah yang menuliskan kalimatnya yang terkenal: ”sekali berarti, sudah itu mati”.

Ia menuliskan kata-kata itu dalam sajak Diponegoro, tapi tentu ia tak bermaksud merekam sebuah kejadian sejarah. Kita tahu Diponegoro, yang lahir pada tahun 1785, memimpin perang perlawanan ketika ia telah berusia 40 hingga ia dikalahkan Belanda lima tahun kemudian.

Kita memang bisa membayangkan maut hadir begitu rapat di sekitar sang pangeran di kancah perang abad ke-19 yang mengguncang kekuasaan Kompeni dan membawa korban 200 ribu manusia itu. Namun kata-kata ”sekali berarti (se)sudah itu mati”—kalimat dramatik yang menunjukkan dekatnya jarak antara perbuatan yang berarti dan hidup yang berakhir—agaknya tak berlaku buat riwayat hidup Diponegoro. Pemimpin perlawanan itu ditangkap dan dibuang ke Sulawesi dan baru wafat 25 tahun setelah itu. Ia sempat merampungkan otobiografinya dalam bentuk tembang. Usianya 70.

Mungkin ”sekali berarti, (se)-sudah itu mati” lebih tepat buat Chairil Anwar sendiri.

Ia meninggal pada usia 27 tahun. Ia tak memimpin gerilya dan ditembak mati regu eksekusi penguasa kolonial seperti Monginsidi. Tapi seperti anak muda yang aktif dalam perjuangan bersenjata di Polobangkeng itu, Chairil menimbulkan pertanyaan yang penting buat zaman ini: kenapa anak semuda itu bisa membuat sesuatu yang begitu berarti dan dikenang terus? Karena ”angin yang keras” tahun 1940-an?

Hanya dengan beberapa belas sajak, Chairil telah mengubah seluruh paradigma puisi Indonesia. Sejak karya-karyanya terbit, tak ada lagi penyair yang menulis seperti para sastrawan Pujanggga Baru pada tahun 1930-an menulis. Bagi saya sumbangannya untuk perombakan pandangan sastra dan dunia jauh lebih mendalam ketimbang sumbangan S. Takdir Alisjahbana, yang pernah mencemooh puisi Chairil sebagai ”rujak” belaka: segar tapi tanpa gizi.

Persoalan yang hendak dibawakan pandangan Chairil justru: apa salahnya ”segar”? Kenapa sesuatu harus dinilai dari segi ada atau tak ada ”gizi”? Tidakkah dalam ”segar” ada sesuatu yang lebih berarti—yakni hasrat untuk membuat hidup tak hanya dibebani Sabda dan Guna? Tidakkah dunia seharusnya selalu bagai ditemukan buat pertama kalinya, penuh kejutan yang menarik, seperti digambarkan Chairil dalam sajak pendek Malam di Pegunungan: sementara aku berpikir mencari jawab tentang sebab dan akibat, seorang ”bocah cilik” menemui hidup dengan ”main kejaran dengan bayangan”.

Kiranya memang hanya si ”bocah”—dan mereka yang masih punya ke-bocah-an dalam dirinya—yang tak takut untuk melakukan hal-hal yang ganjil: “main kejaran dengan bayangan”. Merekalah yang tahu akan sia-sia untuk berkejaran dengan hal-hal yang mustahil dikejar, tapi asyik. Mereka di luar batas.

Tak ada yang baru sebenarnya dalam soal ini—juga kece-masan orang tua dan para pendukung Sabda, Guna, dan Batas. Kita sering mendengar orang menyebut Sturm und Drang—yang berasal dari gerakan sastra Jerman abad ke-18, yang mengutamakan cetusan subyektif dan spontan dalam kreativitas untuk melawan kekuasaan nalar dan pengagungan sikap beradab pada masa itu—sebagai sebuah periode remaja. Dengan kata lain, sesuatu yang sementara dan tak serius.

Tapi kepada yang meremehkan yang muda itulah Werther, tokoh karya Goethe yang terkenal, Die Leiden des jungen Werthers (Kesedihan hati Werther Muda), membela diri: ia mengakui gairah dirinya selalu mendekati taraf tanpa nalar dan berlebihan, tapi ia tak malu. Ia percaya, banyak prestasi besar dihasilkan mereka yang dianggap mabuk dan edan (Wahnsinnige) oleh dunia.

Kreativitas memang memerlukan gairah dan satu dosis keedanan—itu sebabnya prosesnya bisa tampak tak tetap, melimpah ruah, penuh Sturm und Drang, deru dan desak, yang menyebabkan puisi Chairil—yang ditulis pada tahun 1940 ketika kekuasaan kolonial runtuh dan tentara pendudukan Jepang berakhir dan Indonesia baru berteriak sebagai bayi baru lahir—adalah bagian yang terkena ”angin yang keras”. Ia melampaui tata yang mati, meninggalkan apa yang disebut Rendra sebagai ”kebudayaan kasur tua”, mencetuskan imaji-imaji yang tak terkendali oleh adab, dan merupakan elan yang menjulang dan mengempas.

Memang hanya yang muda yang tak gentar hidup dalam gelombang.

l l l

Yang menarik dalam surat-surat Kartini bukanlah cuma isinya, melainkan juga gayanya. ”Gelombang” adalah kiasan yang tepat untuk gaya itu. Bahasanya tak datar, seperti ombak dengan badai yang terkadang tak segera kelihatan. Kita mendapatkan ekspresi hiperbolik di pelbagai sudut, terutama ketika ia dengan antusias melukiskan sesuatu atau menyanjung seseorang yang dicintai. Pelbagai kalimat seakan-akan harus berhenti dengan tanda seru.

Beberapa tahun setelah ia menuliskan surat-suratnya yang kemudian termasyhur itu—cerminan rasa gelisah dan protes perempuan yang hidup dalam masyarakat aristokrat Jawa pada akhir abad ke-19, observasi dan komentarnya tentang lingkungan kolonial yang timpang dan menekan, cita-cita pribadinya yang tak sampai—Kartini meninggal pada tahun 1904.

Umurnya baru 25.

Ia meninggal sebagai seorang ibu. Pada akhir hidupnya yang pendek ia istri kedua seorang bupati yang, betapapun terpelajar dan penuh kasih sayang kepadanya, tetap bagian yang jinak dari tata yang tertib.

Maka kisah Kartini jadi penting bukan karena heroismenya, melainkan karena kegagalannya: dialah perempuan yang mencoba menunggang gelombang—khas suara generasi muda—tapi terjebak dalam palung ke-tua-an. Dalam masyarakatnya, panutan adalah ingatan. Yang membentuk adalah pengulangan khazanah yang disusun generasi tua. Tradisi menentukan hampir segalanya.

Pandangan bahwa ”tua itu baik” itu bahkan berlanjut sampai hari ini. Dalam nyanyian nasional yang memujanya, Kartini dipanggil ”Ibu kita”, bukan ”sang pelopor”. Citranya tak lagi sebagai bagian dari sebuah pergerakan progresif, tapi sebagai pengayom struktur yang konservatif. Tak mengherankan bila Hari Kartini adalah hari ketika para perempuan berpakaian adat, bukan berpakaian pilot atau atlet angkat besi.

Dalam hal itu, nasibnya lebih buruk ketimbang Monginsidi. Pemimpin perjuangan bersenjata itu berakhir dalam mati, Kartini dalam ”tua”. Betapa menyedihkan: ia tak tampak sebagai seorang atlet yang mati muda. Simone de Beauvoir pernah mengatakan, lawan dari hidup bukanlah kematian, melainkan ketuaan. Jika kita ingin mengenang Kartini dengan baik, kita harus mengenang tragedinya.

22 Desember 2006

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae