Senin, 15 Juni 2009

Pujangga yang Feminis dan Humanis

Mengenang Seabad A.A. Panji Tisna

Gde Artawan
http://www.balipost.co.id/

PUJANGGA A.A. Panji Tisna dikenang dalam sebuah acara peringatan karena sebagai sang Pujangga, A.A. Panji Tisna telah menorehkan tinta emas dalam blantika perjalanan sastra Indonesia modern khususnya dalam bentuk novel. Karya-karyanya selain dinikmati dalam bentuk teks karya sastra, sebagian sudah ditransformasikan ke dalam media seni lain, di antaranya dalam bentuk sinetron dan pertunjukan teater tradisional (Arja). Sebagai sebuah sinetron karya A.A. Panji Tisna berjudul Sukreni Gadis Bali sudah pernah ditayangkan oleh salah satu media televisi swasta di Indonesia, dan terakhir Prof. Dr. Wayan Dibia mengangkat novel Sukreni Gadis Bali dalam bentuk arja doyong yang telah dipentaskan di Puri Gede Buleleng, Minggu, 10 Februari 2008.

Dalam acara serasehan seabad A.A. Panji Tisna di Singaraja 10 Februari 2008 lalu terungkap wacana untuk mensinergikan semua komponen guna memberi apresiasi positif terhadap A.A. Panji Tisna secara proporsional. Sebagai sebuah ”mutiara” yang dimiliki Bali, sepantasnyalah semua elemen masyarakat Bali menempatkan A.A. Panji Tisna sebagai pujangga yang memberi kontribusi memadai, khususnya sebagai spirit berkarya dan sosok yang memiliki visi kultural untuk dapat menjadi bahan renungan dari kerangka kekinian.

Kebesaran nama A.A. Panji Tisna tentu dapat dirunut dari berbagai pembicaraan atau pembahasan dalam berbagai ruang diskusi, seminar, serasehan, dan tentu saja karya telaah berupa esei dan kritik sastra serta beberapa penelitian. Pembahasan terhadap karya-karya Panji Tisna dilakukan diantaranya oleh Made Sukada, Jakob Sumardjo, Weda Kusuma, Merdhana, Ruba”I dllnya. Maya Liem (2003) dalam disertasinya yang dipertahankan di Universitas Leiden juga mengulas novel I Swasta Setahun di Bedahulu, namun dalam konteks identitas dan modernitas di Bali. Dalam desertasi ini, dia melihat perkembangan modernitas seperti tercermin dalam karya sastra penulis Bali, mulai dari pembaruan yang ditunjukkan Geguritan Nengah Jimbaran (1903) karya Raja Badung Tjokorda Made Denpasar, novel Panji Tisna (juga keturunan dan sempat menjadi Raja Buleleng), sampai karya-karya Nyoman Rastha Sindhu. Liem malah menyebut novel Panji Tisna sebagai novel yang bercirikan polyvocal dan bersifat hibrid karena dalam teks novel I Swasta terdapat pantun Melayu yang terkontruksi dalam deskripsi pokok naratif.

Sosok wanita dalam karya Panji Tisna diuraikan oleh Darma Putra (2003). Paling sedikit Darma Putra membicarakan Panji Tisna pada dua hal yang substantif, yaitu masalah bias gender, dan wanita Bali sebagai korban modernisasi dan tradisi. Dari segi bias gender Darma Putra mengungkapkan adanya citra wanita Bali yang negatif pada Ni Rawi Ceti Penjual orang dan tertindas karena perkosaan dalam Sukreni Gadis Bali. Ni Rawit digambarkan sebagai ceti, penjudi, penghisap madat, dan makelar budak. Tokoh Sukreni disebutkan sebagai korban kolusi antara pemilik warung yang rakus (Men Negara) dengan Mantri polisi yang amoral (I Gusti Made Tusan). Pada paparan Darma Putra inilah terlihat jelas fokus pembicaaan potret wanita Bali dalam sastra.

Perlu juga disebut dua tulisan tentang biografi Panji Tisna, yaitu yang disusun oleh seorang sejarawan dari Australia Ian Celdwell (1085) berjudul ”Anak Agung Panji Tisna, Balinese Raja and Indonesia Novelist, 1908-78” dan buku karya seorang guru besar ekonomi sekaligus budayawan Bali, I Gusti Ngurah Gorda (2005) berjudul Biografi Anak Agung Pandji Tisna. Keduanya memberikan informasi yang cukup detil atas kisah hidup Panji Tisna, termasuk beberapa poin tentang hubungan dan pandangan Panji Tisna tentang perempuan dan nilai-nilai budaya Bali.

Di tengah ”keraguan” sebagai orang akan eksistensi Panji Tisna sebagai manusia kultural (akibat perpindahan agama dari Hindu ke Kristen), Artawan (1993) menemukan kentalnya sensibilitas Panji Tisna terhadap budaya Bali sebagaimana terefleksi dalam ketiga novelnya: Sukreni Gadis Bali, Ni Rawit Ceti Penjual Orang, dan I Swasta Setahun di Bedahulu. Pergulatan secara kultural yang intens dilakukan Panji Tisna sebagai masyarakat biasa dengan lingkungannya mampu terekonstruksinya teks dengan muatan sosiokultural. Kontribusinya bagi wacana pemahaman sosiokultural suatu etnis tidak saja bertolak dari teks nonfiksi — sebagaimana lazimnya — tetapi melalui teks fiksipun sebuah perjalanan dan kandungan material sebuah kultural dapat dirunut.

Panji Tisna: Feminis dan Humanis

Seringkali sebuah peringatan suatu peristiwa atau tokoh ”berhenti” pada euforia yang setelah itu tak ada gemanya dan miskin pengendapan terhadap substansi mengapa kita memperingati peristiwa atau tokoh. Peringatan satu abad Panji Tisna tentu saja dilandasi muatan misi untuk menempatkan kapasitas sang Pujangga secara proporsional sebagai milik publik sastra yang sejatinya harus dipahami secara komprehensif bahwa keberadaan Panji Tisna dalam jagat sastra khususnya di Bali merupakan kebanggaan dan spirit yang memiliki ”roh” untuk menciptakan atmosfir bagi tumbuh dan berkembangnya kehidupan bersastra di masyarakat. Panji Tisna tidaklah semata-mata sebuah fenomena masa lalu yang berhenti pada peristiwa yang menomental bahwa ada putra Bali yang menorehkan catatan emas dalam blantika perjalanan sastra Indonesia sebagai salah satu tokoh Pujangga Baru.

Feminis. Panji Tisna adalah fenomena yang secara terus menerus menunjukkan interelasi dengan zaman. Ia menjadi inspirasi dan motivasi kreatif bagi pengarang selanjutnya di Bali khususnya pengarang novel. Pembicaraan terhadap Panji Tisna terkadang luput untuk melihat bahwa Panji Tisna adalah seorang feminis yang merekonstruksi tokoh-tokoh wanitanya melakukan perjuangan kultural dengan cara yang lain. Sesudah zamannya Panji Tisna — era Putu Wijaya, Oka Rusmini misalnya –, tokoh-tokoh wanita melakukan perjuangan kultural secara reaktif berupa pemberontakan dan perlawanan budaya, khususnya soal adanya upaya mensubordinasikan peran wanita, kasta, peran domestik, dan bahkan upaya marginalisasi eksistensi wanita. Ketika tokoh Sukreni tidak melakukan perlawanan terhadap perlakuan biadab yang dilakukan oleh Tokoh Gusti Made Tusan yang telah memperkosanya akibat upaya persekongkolan tokoh-tokoh lain, Panji Tisna dicurigai melakukan tindakan penistaan terhadap wanita. Namun ketika ada upaya memahami teks secara menyeluruh, khususnya ketika Panji Tisna menyusupkan konsep Karma Phala dalam konstruksi tematisnya, sesungguhnya keberpihakan Panji Tisna kepada wanita sangat jelas. Panji Tisna melalui tokoh novelnya telah melakukan sebuah perjuangan kultural untuk mematahkan dominasi paham patriarki yang dalam beberapa hal banyak mengeliminasi peran wanita bahkan mencabik-cabiknya.

Karya-karya Panji Tisna mendapat tempat di hati masyarakat, salah satu Sukreni Gadis Bali (yang telah disinetronkan dan diadopsi menjadi pertunjukan Arja Doyong). Pilihan mengangkat novel ini karena Panji Tisna mengkronstuksi tokoh wanitanya bernama Sukreni sebagai sosok korban kecongkakan kaum laki-laki. Sesungguhnya rasa simpati kepada nasib Sukreni ini secara kreatif mampu dibangun oleh Panji Tisna dalam alur yang mengalir amat memikat. Panji Tisna tidak sekadar memberi kesaksian bahwa ada kaum hawa yang termarginalisasi dan diposisikan tersubordinat dari peran laki-laki, tetapi melalui kerangka konsep Karma Phala akhirnya pelaku kekerasan seksual dan kroninya mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Sebagai feminis, sesungguhnya Panji Tisna memberi kesaksian atas realita nasib wanita ketika karya itu diciptakan, bahkan masih ada wujud marginalisasi dan kekerasan terhadap wanita sampai kini. Di sisi lain, Panji Tisna dalam penaruh simpati pada nasib wanita tidak saja terkonstruksi melalui tokoh Sukreni, tetapi juga pada tokoh Ida Gde Swamba, pacar Sukreni yang mau menerima Sukreni apa adanya sekalipun sudah menjadi korban pemerkosaan. Hal ini terlihat dalam dialog:

”Ah, Aseman! Boleh jadi begitu kata perempuan itu, tetapi engkau tidak boleh bersembunyi-sembunyi kepadaku. Ingat, kalau ia mendapat sengsara, siapa yang akan menolong dia? Aku kira, aku patut sekali… Sebab itu hendaklah engkau tunjukkan, dimana dia sekarang. Aseman. Walaupun ia telah… rusak, tidak berbeda padaku sekarang dengan dahulu. Sudah nasibnya demikian, tidak dapat disalahkan kepadanya. Jika ia tahu apa yang akan terjadi atas dirinya pada malam celaka itu…” kata Ide Gde. (Sukreni, 1965: 112).

Humanis. Dengan spirit kasih; salah satu bagian dari sikap humanis, tokoh laki-laki dalam novel Sukreni Gadis Bali tersebut di atas, Panji Tisna ingin menggambarkan interelasi yang teramat personal dari dua manusia berlainan jenis. Demikian juga terefleksi dari sikap Sukreni pasca pemerkosaan atas dirinya ditunjukkan dengan kearifan tanpa perlawanan yang reaksioner. Di beberapa novelnya, filosofi kasih diembuskan Panji Tisna melalui konstruksi tokoh-tokoh cerita novelnya. Hal ini menunjukkan eksistensi manusia sebagai mahluk ilahi memang sepantasnya dihargai secara proporsional dalam kondisi dan level apapun.

Sebagai manusia personal, Panji Tisna merupakan fenomena yang mengajarkan komunitas sesudah eranya untuk bersikap sederhana dan berani mengambil sikap dengan segala konsekuensinya. Ke luar dari ruang puri kemudian hidup dalam komunitas ”jelata” bernama kawasan Tukad Cebol 10 km dari kota Singaraja yang sekarang dikenal dengan nama Lovina merupakan pilihan hidup yang lahir dari pertimbangan intelektualitas humanisme seorang Panji Tisna. Dalam konstruksi teks sastra Panji Tisna menampilkan wajah kejelatan masyarakat sekitarnya, dan menyindir secara sateris kaum ningrat (terkonstruksi melalui tokoh Gusti Made Tusan) menistakan kejelataan dengan arogansi melakukan pemerkosaan terhadap Sukreni. Dan Panji Tisna mengkonstruksi tokoh Ni Rawit yang memainkan peranan antagonik di ruang geria dengan permainannya sebagai ceti mendeskonstruksi kemapanan dengan strategi kejelataannya.

Panji Tisna yang ningrat memilih hidup sebagai sastrawan dan memilih hidup dalam komunitas masyarakat kebanyakan merupakan fenomena yang sangat inspiratif bagi komunitas yang terkadang secara instan ingin mencapai kualitas hidup pada tataran lebel atau status sosial tertentu. Dalam perspektif kekinian sang Pujangga tidak saja menorehkan catatan keteladanan dalam konteks kesastraan, tetapi dalam kerangka mendesain personal untuk menjadi manusia kultural secara sederhana.

Bertolak dari fakta real tentang sosok sang pujangga dalam blantika jagat sastra Indonesia, sebagai ”mutiara” yang dimiliki Bali, sebaiknya kita perlu merekonstruksi persepsi dan sensibilitas kita terhadap Panji Tisna sebagai salah satu simbol kebanggaan milik kita yang sepantasnya tidak saja diwarisi karya dan semangat kulturalnya, tetapi bagaimana mendesain daya impresi kita untuk menghargai Sang Pujangga secara proporsional.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae