Grathia Pitaloka
http://www.jurnalnasional.com/
Memaparkan pemandangan fisikal, mengurai pemaknaan hal-hal yang tidak kasat mata.
Keintiman manusia dengan Tuhan seringkali tercipta dalam balutan sunyi. Oleh para pujangga, suasana tersebut kerap diabadikan dalam puisi. Pada masa Pujangga Baru, Amir Hamzah mencoba mengartikulasikan sunyi menjadi bunyi dalam puisi Padamu Jua.
Pada era 1960-an, tradisi tersebut dilanjutkan oleh Sapardi Djoko Damono lewat kumpulan puisinya yang berjudul Dukamu Abadi. Dalam puisinya Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia ini mencoba berbincang mengenai religiusitas lewat larik-larik sunyi.
Tradisi tersebut kemudian dikembangkan kembali oleh penyair asal Tasikmalaya, Acep Zamzam Noor. Sajak-sajak lelaki kelahiran 28 Febuari 1960 ini seolah ingin mengabarkan jika puisi masih sanggup mencatat sunyi. “Acep menyempurnakan kembali sajak-sajak Amir Hamzah, sehingga membaca puisi Acep seperti membaca Amir Hamzah masa kini,” kata penyair Afrizal Malna kepada Jurnal Nasional, Senin (15/9).
Penyair yang mulai dikenal pada era 80-an ini sedari kecil memang telah mengakrabi displin ilmu agama. Tak heran mengingat ayahnya, KH.M.Ilyas Ruhiat adalah seorang tokoh Nahdatul Ulama sekaligus pimpinan Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. “Suasana kontemplasi di pesantren memungkinkan seorang santri menjadi seorang seniman,” kata Acep suatu ketika.
Penyair dan kritikus sastra Arief B Prasetyo mengatakan, kemunculan Acep memberikan warna tersendiri bagi dunia kepenyairan tanah air. Menurut Arief, kepiawaian lulusan Fakultas Seni Rupa Desain ITB itu mengemas tema religius dengan bahasa erotis melahirkan sesuatu hal yang unik.
Hal senada dituturkan penyair asal Bali Tan Lioe Ie. Menurut pria yang akrab disapa Yoki ini, Acep merupakan penyair yang selalu gelisah mencari sesuatu yang ‘maha’, lalu proses pencarian tersebut ia tuangkan dalam larik-larik puisi.
Tan Lioe Ie mengatakan, dalam proses penciptaan Acep tidak memotret secara fisik. Ia telah melampaui apa yang tampak oleh mata. “Sajak-sajak Acep didominasi tema-tema religius, tetapi jika tidak cermat membacanya maka yang ditangkap hanya kesan erotis,” kata Tan Lioe Ie.
Menurut Afrizal, ketika sajak Acep pembaca bisa merasakan humor ala kyai atau informalisme linier kyai di balik formalisme agama. “Ada forklore untuk membuat kenakalan, di mana Acep menghadirkannya dengan sangat personal dan verbal,” ujar penulis kumpulan puisi, Tak Ada Anjing Dalam Rahim Ibuku ini. Simak saja puisi berikut :
Sajak Nakal
Doa-doaku
Menyelinap ke dalam
Kutangmu. Seperti tangan
Tanganku
Nakal
Seperti doa
Meremas payudaramu
Di sorga
(Menjadi Penyair Lagi, hal. 74)
Radhar Panca Dahana menilai Acep sebagai penyair yang sukses mengangkat dunia yang selama ini teralienasi ke dalam infrastruktur. Hal itu tidak dilakukan Acep melalui hasil pengamatan orang lain, melainkan berdasar pada proses penyelaman secara pribadi. “Tidak semua penyair memiliki kemampuan itu,” kata Radhar.
Menurut Radhar, Acep dengan sadar memindahkan domisili kreatifnya dari kota besar seperti Bandung dan Jakarta ke daerah pinggir. “Ia mengangkat ruh pinggiran ke atas permukaan dengan bingkai mainstream,” ujar pria yang memulai karier kepenyairannya sejak usia 10 tahun ini.
Ia mengatakan, puisi Acep telah berhasil mempersatukan tema-tema pinggiran dengan tema-tema besar seperti nasionalisme atau korupsi. Perkawinan antara dua tema yang saling bertolak belakang tersebut melahirkan sebuah kegetiran dalam bentuk komedi atau parodi. “Komedi dalam puisi Acep mewakili keadaan masyarakat kecil. Hal serupa dapat dirasakan dalam novel Ahmad Tohari,” kata Radhar.
Radhar menambahkan, kematangan serta pengalaman Acep membuatnya dengan mudah menciptakan diksi-diksi yang mengejutkan. “Acep memasukkan nilai baru berupa imajinasi-imajinasi alternatif,” ujar Radhar.
Pencapaian artistik
Tan Lioe Ie memandang Acep sebagai seorang penyair yang matang menggunakan bahasa dan kata. Menurut dia, Acep tidak terjebak pada penggunaan kata-kata yang bombastis, bahkan lebih sering memakai bahasa sederhana yang biasa digunakan sehari-hari. Namun demikian paduan kata yang dirangkai Acep mampu membangun sebuah chemistry yang indah. “Imajinasi yang ingin ia sampaikan bisa ditangkap dengan sempurna oleh pembaca,” ujar Tan Lioe Ie.
Setali tiga uang dengan Tan Lioe Ie, Arief juga menilai, Acep sebagai penyair yang memiliki kemampuan teknis yang kuat dalam bermain kata, sehingga ketika menulis puisi ia tinggal melakukan eksplorasi tema. “Ia punya jurus silat yang lengkap, sehingga saat mau bertarung tinggal pilih mau memakai yang mana,” kata pria yang saat ini menetap di pulau dewata.
Lebih lanjut Arief menuturkan, kemampuan teknis tersebut didapatkan Acep melalui proses penggalian yang dilakukan secara terus-menerus dalam periode waktu yang panjang. “Sehingga kata-kata sederhana, di tangan Acep berubah menjadi berkilauan,” ujar Arief.
Sementara itu, Afrizal berpendapat beda dengan kedua rekannya. Menurut penyair berkepala plontos ini, puisi Acep dibangun oleh deret kalimat, sehingga dalam hal ini pilihan kata menjadi sesuatu yang tidak penting.
Pria berdarah Minang ini, mengkotakkan Acep sebagai penyair yang bermain dengan imajinasi, sehingga baginya ledakan yang diciptakan dalam dunia bayang-bayang jauh lebih penting. “Puisi Acep hampir tidak ada urusan dengan kekuatan kata-kata dan kedalaman tema, tujuan utamanya adalah membuat pukauan,” kata Afrizal.
Jika dilihat dari sudut pencapaian artistik, Acep memang tidak melahirkan sebuah tradisi baru dalam dunia kesusastraan Indonesia. Karya-karya yang ia buat cenderung melanjutkan tradisi lirisisme yang dilakukan oleh penyair sebelumnya seperti Amir Hamzah, Sapardi Joko Damono serta Goenawan Mohamad. “Acep meneruskan romantisisme Amir Hamzah. Bedanya ia menyisipkan kenakalan-kenakalan dalam sajaknya,” ujar Afrizal.
Pendapat tersebur diamini oleh Radhar. Menurutnya, pencapaian artistik bukan semata-mata melahirkan sebuah keunikan bahasa, melainkan harus dibarengi dengan doktrin pandangan hidup yang kuat. “Di Indonesia hanya karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar yang memiliki pandangan hidup yang kuat mewakili zamannya. Sutardji menyumbangkan keunikan bahasa tetapi pandangan hidup yang diusung belum begitu kuat,” kata Radhar.
Dulu dan sekarang
Afrizal mengatakan, keistimewaan lain dari sajak-sajak Acep dibanding dengan penyair seangkatannya adalah kekayaan visual yang terlihat jelas. Sebagai seorang pelukis, ia sadar betul terhadap komposisi warna, ruang serta cahaya. “Acep menggarap puisi dalam berbagai sudut, itu yang membuat puisinya tampak lebih kaya,” kata Afrizal yang kerap memasukkan keriuhan urban dalam karyanya.
Ia menangkap perbedaan pada sajak-sajak Acep ketika awal mulai berkarya hingga sekarang. Menurut Afrizal, di era 1980-an puisi yang diciptakan Acep tampak kaku. Hal itu dapat dilihat pada kumpulan puisi Tamparlah Mukaku (1981) yang terlihat begitu formal meski telah menggunakan bahasa sarkasme. “Sekarang Acep tampak lebih rileks dalam berkarya, ia seperti sudah menemukan rumahnya sendiri,” ujar Afrizal.
Di masa-masa awal kepenyairannya Acep hampir tidak pernah bercerita tentang patriotisme atau teknologi tinggi. Ia lebih suka bertutur mengenai cinta kepada Tuhan, meski ada satu dua sajak kepada perempuan. Nama Anne Rufaidah dan Ine Ratu Sabharini masuk dalam memori panjangnya. Ia (dalam puisinya) adalah seorang lelaki yang jatuh-bangun dan berulangkali mengembara untuk mendapatkan katarsis.
Sepulang dari Italia, tempatnya menempuh pendidikan beasiswa untuk seni lukis, Acep membawa oleh-oleh sejumlah puisi yang megah dan dibukukan dalam antologi Di Atas Umbria. Antologi tersebut memiliki warna yang sedikit berbeda dengan langgam pada karyanya yang lain. “Kumpulan puisi tersebut bisa dikatakan sebagai puncak pencapaian Acep,” kata Tan Lioe Ie.
Perbedaan lain yang tampak dalam puisi-puisi Acep sekarang adalah kecenderungan prosais serta bertutur dengan runut. Namun demikian bukan berarti ia kehilangan daya pikat saat menulis sajak ringkas.
Sementara itu bagi Radhar, jika pada awal kemunculannya sajak Acep cenderung rumit, kompleks, dan gelap, maka sajak yang dibuat Acep pada periode 2000-an lebih sederhana dan jernih. “Dengan bahasa yang cair Acep berambisi untuk mengkomunikasikan karya-karyanya dengan publik, langkah serupa juga dilakukan banyak penyair senior seperti Sutardji dan Afrizal,” kata Radhar.
Sebagai contoh coba tengok puisi Kematian Kecil yang dibuat tahun 1992: Tapi jika kecerdasan ibarat senja/Maka pengetahuan adalah cakrawala yang diwarnai/Semburat darahmu. Bandingkan dengan bait kelima sajak “Semenanjung” yang dibuat pada tahun 2003 saat ia membayangkan gadis keturunan Tionghoa: Ada ubur-ubur/Di susumu/Hutan lindung/Di bawah pusarmu. (2003)
Radhar mengatakan, layaknya sastrawan pada umumnya Acep juga melakukan pencarian terhadap bentuk-bentuk bahasa. Tetapi seperti para penulis lainnya, Acep juga mengalami benturan antara bahasa dengan produk kebudayaan baru. “Banyak istilah-istilah yang belum diadopsi dengan baik bahasa puitik, seperti misalnya browsing, gadget atau selular. Bahasa yang mengalami ketertindihan puitik tersebut dilawan mati-matian oleh Acep,” kata Radhar.
Ia memaparkan, kepekaan terhadap perubahan zaman wajib hukumnya bagi para penulis. Menurut Radhar, jika penulis masih mempertahankan gaya ortodok dengan bahasa yang agung ala 60-an, maka kemungkinan karyanya tidak akan diminati pembaca. “Kewajiban bagi pengarang untuk melihat reaksi zaman, kalau tidak ia akan menjadi arca yang dipajang di museum, secara teologis mati, secara kreatif jadi mayat. Acep termasuk penyair yang terus mengaktifkan diri,” ujar Radhar.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar