Senin, 15 Juni 2009

Jalan Indah Mencari Tuhan

Grathia Pitaloka
http://www.jurnalnasional.com/

Memaparkan pemandangan fisikal, mengurai pemaknaan hal-hal yang tidak kasat mata.

Keintiman manusia dengan Tuhan seringkali tercipta dalam balutan sunyi. Oleh para pujangga, suasana tersebut kerap diabadikan dalam puisi. Pada masa Pujangga Baru, Amir Hamzah mencoba mengartikulasikan sunyi menjadi bunyi dalam puisi Padamu Jua.

Pada era 1960-an, tradisi tersebut dilanjutkan oleh Sapardi Djoko Damono lewat kumpulan puisinya yang berjudul Dukamu Abadi. Dalam puisinya Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia ini mencoba berbincang mengenai religiusitas lewat larik-larik sunyi.

Tradisi tersebut kemudian dikembangkan kembali oleh penyair asal Tasikmalaya, Acep Zamzam Noor. Sajak-sajak lelaki kelahiran 28 Febuari 1960 ini seolah ingin mengabarkan jika puisi masih sanggup mencatat sunyi. “Acep menyempurnakan kembali sajak-sajak Amir Hamzah, sehingga membaca puisi Acep seperti membaca Amir Hamzah masa kini,” kata penyair Afrizal Malna kepada Jurnal Nasional, Senin (15/9).

Penyair yang mulai dikenal pada era 80-an ini sedari kecil memang telah mengakrabi displin ilmu agama. Tak heran mengingat ayahnya, KH.M.Ilyas Ruhiat adalah seorang tokoh Nahdatul Ulama sekaligus pimpinan Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. “Suasana kontemplasi di pesantren memungkinkan seorang santri menjadi seorang seniman,” kata Acep suatu ketika.

Penyair dan kritikus sastra Arief B Prasetyo mengatakan, kemunculan Acep memberikan warna tersendiri bagi dunia kepenyairan tanah air. Menurut Arief, kepiawaian lulusan Fakultas Seni Rupa Desain ITB itu mengemas tema religius dengan bahasa erotis melahirkan sesuatu hal yang unik.

Hal senada dituturkan penyair asal Bali Tan Lioe Ie. Menurut pria yang akrab disapa Yoki ini, Acep merupakan penyair yang selalu gelisah mencari sesuatu yang ‘maha’, lalu proses pencarian tersebut ia tuangkan dalam larik-larik puisi.

Tan Lioe Ie mengatakan, dalam proses penciptaan Acep tidak memotret secara fisik. Ia telah melampaui apa yang tampak oleh mata. “Sajak-sajak Acep didominasi tema-tema religius, tetapi jika tidak cermat membacanya maka yang ditangkap hanya kesan erotis,” kata Tan Lioe Ie.

Menurut Afrizal, ketika sajak Acep pembaca bisa merasakan humor ala kyai atau informalisme linier kyai di balik formalisme agama. “Ada forklore untuk membuat kenakalan, di mana Acep menghadirkannya dengan sangat personal dan verbal,” ujar penulis kumpulan puisi, Tak Ada Anjing Dalam Rahim Ibuku ini. Simak saja puisi berikut :

Sajak Nakal

Doa-doaku
Menyelinap ke dalam
Kutangmu. Seperti tangan
Tanganku
Nakal
Seperti doa
Meremas payudaramu
Di sorga

(Menjadi Penyair Lagi, hal. 74)

Radhar Panca Dahana menilai Acep sebagai penyair yang sukses mengangkat dunia yang selama ini teralienasi ke dalam infrastruktur. Hal itu tidak dilakukan Acep melalui hasil pengamatan orang lain, melainkan berdasar pada proses penyelaman secara pribadi. “Tidak semua penyair memiliki kemampuan itu,” kata Radhar.

Menurut Radhar, Acep dengan sadar memindahkan domisili kreatifnya dari kota besar seperti Bandung dan Jakarta ke daerah pinggir. “Ia mengangkat ruh pinggiran ke atas permukaan dengan bingkai mainstream,” ujar pria yang memulai karier kepenyairannya sejak usia 10 tahun ini.

Ia mengatakan, puisi Acep telah berhasil mempersatukan tema-tema pinggiran dengan tema-tema besar seperti nasionalisme atau korupsi. Perkawinan antara dua tema yang saling bertolak belakang tersebut melahirkan sebuah kegetiran dalam bentuk komedi atau parodi. “Komedi dalam puisi Acep mewakili keadaan masyarakat kecil. Hal serupa dapat dirasakan dalam novel Ahmad Tohari,” kata Radhar.

Radhar menambahkan, kematangan serta pengalaman Acep membuatnya dengan mudah menciptakan diksi-diksi yang mengejutkan. “Acep memasukkan nilai baru berupa imajinasi-imajinasi alternatif,” ujar Radhar.

Pencapaian artistik

Tan Lioe Ie memandang Acep sebagai seorang penyair yang matang menggunakan bahasa dan kata. Menurut dia, Acep tidak terjebak pada penggunaan kata-kata yang bombastis, bahkan lebih sering memakai bahasa sederhana yang biasa digunakan sehari-hari. Namun demikian paduan kata yang dirangkai Acep mampu membangun sebuah chemistry yang indah. “Imajinasi yang ingin ia sampaikan bisa ditangkap dengan sempurna oleh pembaca,” ujar Tan Lioe Ie.

Setali tiga uang dengan Tan Lioe Ie, Arief juga menilai, Acep sebagai penyair yang memiliki kemampuan teknis yang kuat dalam bermain kata, sehingga ketika menulis puisi ia tinggal melakukan eksplorasi tema. “Ia punya jurus silat yang lengkap, sehingga saat mau bertarung tinggal pilih mau memakai yang mana,” kata pria yang saat ini menetap di pulau dewata.

Lebih lanjut Arief menuturkan, kemampuan teknis tersebut didapatkan Acep melalui proses penggalian yang dilakukan secara terus-menerus dalam periode waktu yang panjang. “Sehingga kata-kata sederhana, di tangan Acep berubah menjadi berkilauan,” ujar Arief.

Sementara itu, Afrizal berpendapat beda dengan kedua rekannya. Menurut penyair berkepala plontos ini, puisi Acep dibangun oleh deret kalimat, sehingga dalam hal ini pilihan kata menjadi sesuatu yang tidak penting.

Pria berdarah Minang ini, mengkotakkan Acep sebagai penyair yang bermain dengan imajinasi, sehingga baginya ledakan yang diciptakan dalam dunia bayang-bayang jauh lebih penting. “Puisi Acep hampir tidak ada urusan dengan kekuatan kata-kata dan kedalaman tema, tujuan utamanya adalah membuat pukauan,” kata Afrizal.

Jika dilihat dari sudut pencapaian artistik, Acep memang tidak melahirkan sebuah tradisi baru dalam dunia kesusastraan Indonesia. Karya-karya yang ia buat cenderung melanjutkan tradisi lirisisme yang dilakukan oleh penyair sebelumnya seperti Amir Hamzah, Sapardi Joko Damono serta Goenawan Mohamad. “Acep meneruskan romantisisme Amir Hamzah. Bedanya ia menyisipkan kenakalan-kenakalan dalam sajaknya,” ujar Afrizal.

Pendapat tersebur diamini oleh Radhar. Menurutnya, pencapaian artistik bukan semata-mata melahirkan sebuah keunikan bahasa, melainkan harus dibarengi dengan doktrin pandangan hidup yang kuat. “Di Indonesia hanya karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar yang memiliki pandangan hidup yang kuat mewakili zamannya. Sutardji menyumbangkan keunikan bahasa tetapi pandangan hidup yang diusung belum begitu kuat,” kata Radhar.

Dulu dan sekarang

Afrizal mengatakan, keistimewaan lain dari sajak-sajak Acep dibanding dengan penyair seangkatannya adalah kekayaan visual yang terlihat jelas. Sebagai seorang pelukis, ia sadar betul terhadap komposisi warna, ruang serta cahaya. “Acep menggarap puisi dalam berbagai sudut, itu yang membuat puisinya tampak lebih kaya,” kata Afrizal yang kerap memasukkan keriuhan urban dalam karyanya.

Ia menangkap perbedaan pada sajak-sajak Acep ketika awal mulai berkarya hingga sekarang. Menurut Afrizal, di era 1980-an puisi yang diciptakan Acep tampak kaku. Hal itu dapat dilihat pada kumpulan puisi Tamparlah Mukaku (1981) yang terlihat begitu formal meski telah menggunakan bahasa sarkasme. “Sekarang Acep tampak lebih rileks dalam berkarya, ia seperti sudah menemukan rumahnya sendiri,” ujar Afrizal.

Di masa-masa awal kepenyairannya Acep hampir tidak pernah bercerita tentang patriotisme atau teknologi tinggi. Ia lebih suka bertutur mengenai cinta kepada Tuhan, meski ada satu dua sajak kepada perempuan. Nama Anne Rufaidah dan Ine Ratu Sabharini masuk dalam memori panjangnya. Ia (dalam puisinya) adalah seorang lelaki yang jatuh-bangun dan berulangkali mengembara untuk mendapatkan katarsis.

Sepulang dari Italia, tempatnya menempuh pendidikan beasiswa untuk seni lukis, Acep membawa oleh-oleh sejumlah puisi yang megah dan dibukukan dalam antologi Di Atas Umbria. Antologi tersebut memiliki warna yang sedikit berbeda dengan langgam pada karyanya yang lain. “Kumpulan puisi tersebut bisa dikatakan sebagai puncak pencapaian Acep,” kata Tan Lioe Ie.

Perbedaan lain yang tampak dalam puisi-puisi Acep sekarang adalah kecenderungan prosais serta bertutur dengan runut. Namun demikian bukan berarti ia kehilangan daya pikat saat menulis sajak ringkas.

Sementara itu bagi Radhar, jika pada awal kemunculannya sajak Acep cenderung rumit, kompleks, dan gelap, maka sajak yang dibuat Acep pada periode 2000-an lebih sederhana dan jernih. “Dengan bahasa yang cair Acep berambisi untuk mengkomunikasikan karya-karyanya dengan publik, langkah serupa juga dilakukan banyak penyair senior seperti Sutardji dan Afrizal,” kata Radhar.

Sebagai contoh coba tengok puisi Kematian Kecil yang dibuat tahun 1992: Tapi jika kecerdasan ibarat senja/Maka pengetahuan adalah cakrawala yang diwarnai/Semburat darahmu. Bandingkan dengan bait kelima sajak “Semenanjung” yang dibuat pada tahun 2003 saat ia membayangkan gadis keturunan Tionghoa: Ada ubur-ubur/Di susumu/Hutan lindung/Di bawah pusarmu. (2003)

Radhar mengatakan, layaknya sastrawan pada umumnya Acep juga melakukan pencarian terhadap bentuk-bentuk bahasa. Tetapi seperti para penulis lainnya, Acep juga mengalami benturan antara bahasa dengan produk kebudayaan baru. “Banyak istilah-istilah yang belum diadopsi dengan baik bahasa puitik, seperti misalnya browsing, gadget atau selular. Bahasa yang mengalami ketertindihan puitik tersebut dilawan mati-matian oleh Acep,” kata Radhar.

Ia memaparkan, kepekaan terhadap perubahan zaman wajib hukumnya bagi para penulis. Menurut Radhar, jika penulis masih mempertahankan gaya ortodok dengan bahasa yang agung ala 60-an, maka kemungkinan karyanya tidak akan diminati pembaca. “Kewajiban bagi pengarang untuk melihat reaksi zaman, kalau tidak ia akan menjadi arca yang dipajang di museum, secara teologis mati, secara kreatif jadi mayat. Acep termasuk penyair yang terus mengaktifkan diri,” ujar Radhar.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae