Jumat, 03 April 2009

Kritik dalam Karya Sastra, Ketakutan Penguasa, dan Ketakutan Kepada Penguasa

Sunaryono Basuki Ks
http://www2.kompas.com/

KARYA seni meniru alam, begitu kira-kira kata Aristoteles. Inilah prinsip mimesis, meniru alam. Alam beserta isinya yang dihamparkan Allah adalah milik Allah semata (Surat Yunus, Ayat 55 dan 66), dan memang sangat layak menjadi sumber segala keindahan, dan menjadi satu-satunya sumber yang ditiru dalam seni. Alam yang dimaksud oleh Aristoteles tentu saja tidak terbatas pada pemandangan alam, tetapi termasuk juga manusia penghuni alam ini, perilakunya, pandangan hidupnya, wataknya, sikapnya. Ahli lain menyebutnya sebagai kehidupan.

Di dalam proses kreatif seni, seniman tergerak hatinya secara emosional dan intelektual oleh kehidupan, lantas daripadanya, didukung oleh imajinasi, membentuk suatu konsep yang diwujudkan ke dalam sosok tertentu yang menuntut suatu struktur tertentu. Struktur ini tunduk kepada sejumlah aturan berkesenian tertentu.

Karya sastra sebagai salah satu bentuk kesenian tidak bisa lepas dari proses kreatif ini. Orang Inggris menyebutkan, karya sastra sebagai refleksi masyarakatnya. Di dalam merefleksikan masyarakat itu, seorang sastrawan menerapkan suatu filter halus berdasarkan nuraninya. Dengan filter itu dia menyaring berbagai hal dalam masyarakat dan akan memberikan penilaiannya terhadap berbagai hal di dalam masyarakat yang dianggapnya melenceng dari standar kepatutan. Bisa juga sastrawan melihat keganjilan-keganjilan yang terjadi di dalam masyarakat dan menuliskannya di dalam karya sastranya. Coba kita dengar apa yang ditulis oleh penyair Taufiq Ismail yang pendidikan formalnya adalah kedokteran hewan. Dia melukiskan keadaan di Indonesia pada dua masa penting dalam peta perpolitikan negeri ini:

Takut ‘66, Takut ‘98

Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekat takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada
mahasiswa.

Di sini Taufiq yang haji tidak sekadar menunjuk ke arah kejenakaan ini, tetapi ingin pula menunjukkan, bahwa, bilamana manusia takut kepada manusia, hasilnya adalah sebuah lingkaran setan ketakutan, sebab sesungguhnya manusia hanya layak takut kepada Allah.

Di dalam melancarkan kritiknya, sastrawan bisa memilih cara yang dianggapnya tepat. Salah satu yang dipilih oleh penyair Taufiq Ismail ialah memakai sebuah bentuk puisi lama Indonesia yang sudah dikenal, yakni gurindam. Bukan Gurindam Duabelas yang dia tulis, tetapi Gurindam Satu, Gurindam Satu Setengah, Gurindam Dua, dan beberapa gurindam lain. Coba kita simak apa yang dia tulis dalam Gurindam-Gurindamnya:

Gurindam Satu

Secoret parafku memancarkan komisi seratus juta
Bertahun-tahun begitu sampai mataku buta

Gurindam Satu Setengah

Harimau mati meninggalkan belang
Pedagang mati meninggalkan hutang
Rakyat mati tinggal belulang

Gurindam Dua

Ada 100 orang teramat kaya betapa borosnya di negeri ini
Najisnya berlian berlumuran mengalir tiap hari
Ada 100 juta orang miskin luarbiasa di negeri saya
Minum mimpi, makan angan-angan, sudah sangat lama

Kritik dalam karya sastra tidak hanya ditujukan kepada karakter manusia secara umum, tetapi sering pula ditujukan kepada sejumlah penguasa yang merupakan sosok yang dianggap menyimpang dari standar kepatutan. Tokoh penguasa ini bisa merupakan tokoh yang korup, yang serakah, yang gila kekuasaan, tidak adil, sewenang-wenang, melaksanakan kronisme, penyelewengan seksual, dan sebagainya. Banyak orang tidak suka menerima kritik, bahkan tidak suka diingatkan, apalagi kalau dia menduduki posisi sebagai penguasa. Padahal, di dalam agama saya, menjadi kewajiban seorang mukmin untuk mengingatkan sesama mukmin untuk berjalan di jalan yang sudah ditunjukkan oleh Allah. Bentuk mengingatkan itu yang sering dianggap kritik dan tidak selalu menyenangkan hati pihak yang diingatkan.

Para penguasa, ketika menerima kritik, bukannya melancarkan kontra kritik atau berusaha mawas diri, namun justru mengambil tindakan yang dapat mematikan karir sastrawan yang melancarkan kritik. Untuk menghindari keadaan yang tidak menyenangkan ini, banyak sastrawan memilih sejumlah cara melancarkan kritik yang tidak akan dirasakan oleh pihak yang dikritik sebagai sebuah kritik yang diarahkan pada wataknya.

Pertama, sastrawan dapat memindahkan setting ceritanya, baik waktu maupun tempatnya. Sebuah karya sastra biasanya mengambil tempat dan waktu tertentu di dalam cerita. Sebuah kisah dapat mengambil tempat, misalnya di Timor Timur, pada masa kini, atau di Aceh, juga masa kini. Kekejaman yang terjadi di Timtim Pra-Kemerdekaan tidaklah menyenangkan bagi penguasa bilamana diceritakan sebagaimana adanya. Praktik-praktik kejam yang sudah terekam dalam kamera video dan disiarkan secara luas melalui saluran TV di luar negeri, tidak dapat begitu saja disampaikan kepada publik Indonesia. Kritik langsung, walaupun sudah dihaluskan di dalam sebuah laporan jurnalistik yang dilakukan oleh Majalah Jakarta-Jakarta membuat berang penguasa dan menyebabkan penulisnya “diistirahatkan” dari pekerjaannya. Seno Gumira Adjidarma, wartawan yang juga sastrawan yang melaporkan kejadian tersebut memilih sastra untuk melancarkan kritiknya. Dia memindahkan setting cerita ke sebuah negara di luar Indonesia, walaupun pembaca yang jeli tetap dapat melihat bahwa kisah-kisah yang ditulisnya sebenarnya terjadi di Indonesia. Sikapnya memilih sastra jelas di dalam bukunya berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997).

Kedua, sastrawan juga bisa memindahkan setting ceritanya ke masa lampau dengan setting tempat yang tetap, yakni Indonesia yang masih berbentuk kerajaan-kerajaan Nusantara. Pramoedya Ananta Toer melancarkan kritiknya terhadap makin berkuasanya angkatan darat dalam novel Arus Balik (1995), YB Mangunwijaya menulis Trilogi Genduk Duku, juga Roro Mendut serta Ikan-ikan Hiu, Ido, Homo yang semuanya bersetting Indonesia masa pra-kemerdekaan untuk melancarkan kritik-kritiknya.

Ketiga, sastrawan dapat memakai bentuk sastra atau seni yang sudah dikenal, misalnya Gurindam seperti yang sudah dicontohkan di atas. Wayang merupakan satu kerangka berkesenian yang sering dipinjam untuk melancarkan kritik. Emha Ainun Nadjib menulis novel Arus Bawah (1994) yang seluruh tokohnya diambil dari dunia pewayangan. Dengan memakai tokoh wayang dan kisah di dunia pewayangan, maka tersamarlah kritik yang dilancarkannya. Dalam kerangka yang sama Putu Wijaya menulis novel Perang (1990) yang mengedepankan tokoh-tokoh wayang yang merupakan representasi tokoh-tokoh Indonesia masa itu. Dalam bentuk yang sangat jenaka. N Riantiarno dengan Teater Komanya mementaskan Semar Gugat (1995) yang mengkritik pemerintahan Soeharto dengan tajam tapi kocak. Baru-baru ini, N Riantiarno masih mengkritik penguasa dengan mementaskan Republik Bagong yang akan disusul pula dengan Presiden Bagong.

Keempat, sastrawan memilih bentuk fabel, suatu bentuk kisah sastra dengan binatang sebagai tokoh-tokohnya. Sebagaimana dengan wayang, para binatang ini merupakan representasi watak manusia. Kita mengenal fabel dalam khasanah sastra berbagai budaya.

Kelima, sastrawan memakai fabel namun mencampurkannya dengan tokoh manusia, sebagaimana dalam dongeng-dongeng Sang Kancil. George Orwell mempraktikkannya dalam novel pendeknya berjudul Animal Farm yang melancarkan kritik tajam terhadap sistem pemerintahan komunis.

Keenam, sastrawan melancarkan kritik dalam kerangka cerita konvensional.

Cerita pendek atau novel dengan struktur konvensional dipakai pula untuk ajang melancarkan kritik. Mainstream novel ini mengikuti struktur plot yang sudah disepakati secara umum. Demikian banyak contoh karya sastra yang peduli masyarakatnya dengan memuat kritik-kritik sehat, baik dalam karya sastra di Indonesia maupun di luar negeri. Salah satu contoh dari Indonesia adalah novel Ladang Perminus karangan Ramadhan KH. Dalam novel ini kita pertama kali kenal dengan istilah “mark up” proyek seperti yang populer sekarang. Kisah yang mengedepankan korupsi di Pertamina cukup tajam bahkan sejak judulnya, yakni “Perusahaan Minyak Nusantara” yang kalau disingkat menjadi sangat ironis yakni Perminus. Suatu fenomena aneh bin ajaib, sebuah sumber dana yang melimpah namun menanggung rugi luar biasa besarnya.

Kritik dalam karya sastra ternyata tidak memberikan ketenteraman pada penguasa. Para penguasa biasanya melakukan sensor terhadap karya sastra, yang kemudian diikuti oleh pelarangan, bahkan penangkapan dan pemenjaraan pengarang. Apa yang diramalkan oleh George Orwell dalam novelnya berjudul 1948 (terbit tahun 1949) secara nyata terjadi di Rusia. Novel tersebut menurut Gilbert Phelps (1970) berhubungan dengan demam Perang Dingin. Diceritakan, penguasa mengawasi gerak-gerik semua warganya dengan memakai kamera yang dipasang dimana-mana. Pada kenyataannya, pemerintahan otoriter semacam ini memasang orang-orangnya untuk saling memata-matai. Hal ini pun pernah terjadi di Indonesia.

Ketakutan penguasa Rusia akan akibat dari karya sastrawannya yang dikhawatirkan dapat meracuni pikiran warganya, dan dengan demikian mungkin dapat menyulut pemberontakan, menyebabkan diambilnya tindakan keras berupa pelarangan karya, bahkan penangkapan sastrawannya dan mengirimnya ke Siberia. Indonesia pernah mengalami hal yang sama dengan sejumlah sastrawannya antara lain Pramoedya Ananta Toer, yang dianggap sebagai novelis Indonesia terbaik sampai saat ini. Gao Xingjian, penerima hadiah Nobel Sastra tahun 2000 harus meninggalkan negerinya dan bermukim di Prancis untuk membebaskan dirinya dari ketakutan penguasa Cina terhadap semangat kemanusiaannya.

Bukan hanya penguasa yang merasa takut pada karya sastra, tetapi juga para penerbit dan redaktur mengalami hal serupa, yakni takut pada penguasa. Sensor bukan hanya dilakukan oleh penguasa, tetapi sudah dilakukan lebih dahulu oleh para penerbit, dan para redaktur sastra. Pengarang Mayon Sutrisno di tahun 80an kehilangan pekerjaannya sebagai redaktur Majalah Sarinah karena “kesalahannya” menulis novelet berjudul Nyai Wonokromo yang dianggap mirip novel Bumi Manusia karya Pramoedya. Pada tahun 1997 cerpen saya berjudul Jenderal Perez tidak jadi dimuat di sebuah majalah sastra terkemuka karena isinya mengkritik penguasa. Cerpen yang sama disiarkan oleh Harian Bali Post pada tahun 2001.

Kritik dalam karya sastra sebenarnya merupakan kepedulian sastrawan akan keadaan masyarakatnya. Mereka menggambarkan keadaan sebenarnya dalam masyarakat dengan memberi fokus pada bagian-bagian tertentu dari kehidupan masyarakat yang dilihatnya tidak sesuai dengan nuraninya. Dengan pemberian fokus tersebut, diharapkan para pembacanya dapat mempertimbangkan untuk ikut memperbaiki keadaan tersebut untuk menuju kondisi kemasyarakatan yang lebih baik. Namun, bagaimanapun baiknya kritik dilancarkan, tidak selalu yang dikritik mau mendengarkan. Wajarlah kalau Prof Dr Sapardi Djoko Damono, yang juga penyair pernah mengatakan bahwa kritik dalam sastra Indonesia tidak punya gigi, bak kumbang kehilangan sengat.

* ) Novelis dan Guru Besar IKIP Negeri Singaraja.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae