Sabtu, 28 Maret 2009

MENGUSUNG KECENDERUNGAN DAN MAINSTREAM ESTETIK

Tentang Tiga Antologi Cerpen Creative Writing Institute

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Siapakah gerangan penggerak di balik layar Creative Writing Institute (CWI), sebuah lembaga baru yang konon bergiat di bidang pelatihan penulisan kreatif. Barangkali CWI ini semacam sanggar yang membina kaum muda agar menekuni bidang penulisan kreatif. Pertanyaannya: apakah mungkin penulisan kreatif dapat dilatihkan macam kegiatan olahraga? Bukankah –sebagaimana anggapan sebagian besar masyarakat— menjadi penulis –sastrawan—memerlukan talenta dan bakat yang luar biasa? Jawabannya ada pada tiga buku antologi cerpen yang diterbitkan CWI, yaitu (1) Lantaiku Penuh Darah yang menghimpun tujuh cerpen karya Poniran Kalasnikov, Pangeran Gunadi, Sarno Sensiby, dan Muslim Adi Pamungkas, (2) Membaca Perempuanku yang memuat enam cerpen karya Maya Wulan, dan (3) Keluarga Gila yang memuat tujuh cerpen karya Hudan Hidayat.

Dari nama-nama itu, hanya Hudan Hidayat yang sudah kita kenal sebagai cerpenis. Dengan begitu, niscaya Hudanlah tokoh penggeraknya. Tetapi sangat mungkin pula Ahmadun Yosi Herfanda –penyair dan salah seorang redaktur harian Republika—ikut bermain mengingat ia bertindak sebagai penyunting naskah. Kata Pengantar Irwan Kelana –Redaktur Senior Harian Umum Republika— dalam Lantaiku Penuh Darah menjelaskan duduk perkaranya. “Hudan Hidayat telah mengantarkan Poniran Kalasnikov, Pangeran Gunadi, Muslim Adi Pamungkas, Sarno Sensiby, Maya Wulan… ke pintu gerbang dunia kepengarangan, khususnya cerpen: (hlm. xii). Kecuali Maya Wulan, keempat nama itu adalah para pegawai honorer Diknas –office boy dan satpam—yang “disulap” menjadi cerpenis. Lalu, cukup pentingkah cerpen-cerpen mereka dibukukan dan diberi kata pengantar oleh seorang Irwan Kelana, redaktur senior Republika? Mari kita cermati!
***

Antologi Lantaiku Penuh Darah memuat tujuh cerpen karya Poniran Kalasnikov (dua cerpen), Pangeran Gunadi (dua cerpen), Sarno Sensiby (dua cerpen), dan satu cerpen Muslim Adi Pamungkas. Sebagai cerpenis pemula, keempatnya memperlihatkan keberanian yang sungguh. Barangkali, karena mereka berguru pada seorang Hudan Hidayat, maka gaya bertuturnya relatif mempunyai kecenderungan yang sama; mengangkat tema-tema yang mengandalkan keliaran imajinasi. Dari sanalah kita akan melihat, betapa gaya bertutur mereka begitu menjanjikan.

Bolehlah keempat cerpenis itu memperoleh sentuhan yang sama. Tetapi, tentu saja masing-masing memperlihatkan kekhasannya sendiri. Poniran Kalasnikov dalam cerpen “Lantaiku Penuh Darah” dan “Nenek Anjing” yang mengangkat latar di dunia entah-berantah dalam tataran surealisme cenderung memanfaatkan rangkaian penuturan yang berderap cepat. Kata-kata yang dirangkainya seperti berlompatan membangun sebuah dunia yang aneh. Jadilan realitas fiksional dalam cerpen itu seperti sengaja diselimuti oleh imajinasi liar yang berada di luar batas logika.

Pangeran Gunadi dalam cerpen “Ibu Pacarku” dan “Kucongkel Mata Ayah” juga berada dalam tataran antara realisme dan surealisme. Meskipun demikian, Gunadi seperti lebih menekankan pada detail deskriptif. Dengan cara itu, ia terkesan menggiring pembaca ke dunia realis. Belakangan, cara itu ternyata digunakan sebagai siasat untuk mengecoh.

Hal yang juga dilakukan Sarno Sensiby (“Sampan Kayu” dan “Titian Kayu di Tengah Rawa”). Gaya realis yang dirangkaikannya secara perlahan. Dan itu kemudian dimanfaatkan justru untuk mengulur-ulur tegangan (suspence). Dengan begitu, cerita yang dibangunnya seperti dibawa ke serangkaian teror yang menjerumuskan tokohnya ke dalam peristiwa tragis: masuk lumpur sungai (“Sampan Kayu”) dan dilahap buaya (“Titian…”). Sementara itu, Muslim Adi Pamungkas (“Kuburan”), mengawalinya dengan ledakan kuburan. Dari sanalah, tokoh aku digiring ke dunia mistik dengan cara mengaduk-aduk dunia mimpi, hayal, dan mistik dalam satu kesatuan peristiwa.

Secara keseluruhan, gaya bercerita keempat cerpenis itu masih senapas. Demikian juga tema-tema yang diangkatnya seperti sengaja mencampuradukkan realitas dengan mimpi dan hayalan yang justru malah mendatangkan serangkaian teror. Cara bertutur seperti itu tentu saja bukanlah hal yang baru. Demikian juga caranya menghadirkan rangkaian teror. Justru dalam hal itulah, keberanian keempat cerpenis itu mengangkat tema-tema inkonvensional, nyeleneh, dan tak lazim, menjadikan cerpen-cerpen mereka seperti hendak memotret fenomena dunia gaib yang kini banyak ditayangkan berbagai stasiun tv. Jika mereka lebih berhati-hati dan melakukan pendalaman yang intens, niscaya karya-karya mereka akan berhasil mengangkat peristiwa-peristiwa yang lebih mengerikan.
***

Antologi Membaca Perempuanku karya Maya Wulan memperlihatkan potensi seorang cerpenis pemula yang sungguh dahsyat. Cara memanfaatkan pencerita yang secara enteng ganti-berganti antara tokoh aku sebagai subjek dan tokoh aku sebagai objek, atau sebaliknya, tidak hanya menampilkan model penceritaan yang aneh, tetapi juga secara licik, menyelimuti pesan yang hendak disampaikan pengarangnya. Ideologisasi jender yang diperankan tokoh aku dalam berhadapan dengan tokoh ayah (“Membaca Perempuanku”) menjadi sesuatu yang wajar ketika duduk perkaranya ditampilkan dalam bentuk menolog-monolog reflektif. Kebencian tokoh aku kepada ayah tiri yang telah memperkosanya, diselimuti oleh protes tokoh aku kepada dirinya sendiri. Demikian juga perpindahan pencerita tokoh aku –subjek—pacar si perempuan— dan pencerita tokoh aku –objek—tokoh aku yang diperkosa ayah tirinya—seperti terus-menerus berhadapan dengan problem psikologis dunia perempuan yang tersisih dan tak berdaya. Sebuah cerpen yang menurut hemat saya berhasil mengangkat pelecehan jender secara ironis dan paradoksal.

Cerpen-cerpen lainnya dalam antologi itu (“Pisau”, “Matinya Seorang penulis Muda”, “Catatan Hati Seorang WIL”, “Tidur” dan “Permainan Tempat Tidur”) mengangkat realitas hayalan, mimpi, dan ilusi menjadi semacam peristiwa-peristiwa yang seolah-olah menerjang setiap tokohnya begitu saja. Imajinasi yang diselusupkan dalam setiap peristiwa, memang tidak liar. Tetapi, ketika ia menjelma menjadi tokoh cerita, ia bisa menjadi begitu liar. Bahkan begitu beringas dalam rentetan berbagai adegan yang aneh dan mendebarkan.

Mencermati tema-temanya, sadar atau tidak sadar, Maya Wulan terkesan seperti tidak dapat melepaskan diri dari bayang-bayang Hudan Hidayat –Sang Guru dan sekaligus inspirator. Di sana ada semacam perselingkuhan kreatif (psikis dan fisik?) yang lalu melahirkan sejumlah karya. Dalam beberapa hal, model keterpengaruhan seperti itu sangat mungkin dapat melahirkan style dan kecenderungan yang relatif paralel. Di situlah ancaman bahaya bagi Maya Wulan seperti menunggu waktu. Jika ia terus menikmati keterjebakan dan keterpukauannya pada bayang-bayang itu, ia akan mati muda seperti tokoh dalam cerpennya “Matinya Seorang penulis Muda” itu. Sebaliknya, jika ia mampu melepaskan diri dan bahkan berhasil membunuh bayang-bayang itu, niscaya ia akan tampil menjadi sosok cerpenis yang kokoh dan berpribadi.
Dalam deretan cerpenis perempuan, Maya Wulan sungguh patut mendapat tempat tersendiri. Gaya berceritanya penuh imaji, dan kadangkala sangat simbolik.Dalam hal ini, Wulan tampil dengan sangat meyakinkan mengusung problem perempuan dalam berhadapan dengan dirinya sendiri atau dengan kaum lelaki yang terus-menerus mengalahkannya. Sebuah cara yang licik dalam memprotes superioritas kaum lelaki.
***

Antologi Keluarga Gila karya Hudan Hidayat memang benar-benar menampilkan dunia gila. Berbagai peristiwa tentang kematian, seksualitas, dan naluri-naluri purba mendominasi keseluruhan cerpen-cerpen yang terhimpun dalam antologi ini. Apa yang dikatakan Karl Jaspers mengenai penolakan terhadap kematian yang disebutnya sebagai “situasi marjinal” seperti sengaja diledek dan diaduk-aduk menjadi alat permainan setiap tokoh yang dihadirnya. Penolakan terhadap kematian yang bagi masyarakat modern sebagai sesuatu yang penting –meskipun tak terelakkan—justru dicemooh melalui tokoh yang memburu kematian, bersetubuh dengan kematian, dan mencampakkan nyawa seperti barang tak berharga.

Berbeda dengan antologi sebelumnya, Orang Sakit (2000), kini Hudan Hidayat mengusung sebuah tema sejenis; naluri kepurbaan. Dalam konteks itu, tidak dapat lain, ia seperti sengaja menempatkan kematian sama berharganya atau sama tak berharganya dengan seksualitas. Di sinilah, Hudan Hidayat secara tersembunyi mengangkat problem manusia modern –yang mendewakan kehidupan di atas segalanya— sebagai manusia yang tidak dapat melepaskan diri dari naluri-naluri purba. Ketakutan manusia modern atas kematian dijurkirbalikkan dengan tampilnya tokoh-tokoh yang justru mengejar kematian.

Demikianlah, kehadiran antologi Keluarga Gila, harus diakui, tidak hanya telah berhasil menyemarakkan tema cerpen Indonesia kontemporer, tetapi juga telah berhasil menunjukkan sebuah style, bagaimana memotret dunia modern secara paradoksal. Di samping itu, sebuah estetika psikologis yang menjadi salah satu kekuatan antologi cerpen ini, telah ditanamkan Hudan Hidayat secara meyakinkan. Persoalannya tinggal, bagaimana pembaca menyikapinya dalam perspektif yang sama.
***

Bagi saya, ketiga antologi cerpen yang dibicarakan tadi, patutlah mendapat apresiasi yang proporsional. Ada potensi yang luar biasa di sana. Maka, jika para cerpenis itu menghasilkan karya-karya berikutnya, bolehlah kita menganggap: sebuah mainstream, sebuah kecenderungan estetik, telah dibangun Hudan Hidayat beserta murid-muridnya secara meyakinkan.. Jika ternyata mereka sudah cukup puas dengan antologinya masing-masing, itu artinya, sinyal kematian bakal menggilas mereka. Sebaliknya, jika mereka berkehendak menampilkan sejumlah monumen, maka kita tunggu saja karya berikutnya.

*) Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae