Jumat, 03 April 2009

Latar Indonesia dalam Karya Sastra Tionghoa

I Nyoman Suaka
http://www.balipost.com/

Karya-karya kesusastraan peranakan Tionghoa di era tahun 1920-an, kini bangkit kembali dan banyak beredar di pasaran. Bahkan tidak canggung-canggung, buku sastra itu terbit berseri (jilid satu sampai delapan) yang bertajuk ”Sastra Melalui Peranakan Tionghoa”. Buku itu membicarkan tentang karya sastra kaum penulis Tionghoa tempo dulu. Anehnya, ketika karya sastra itu terbit pertama kali, pernah dijuluki sebagai bacaan picisan, murahan dan bermutu rendah. Akibat julukan itu, maka hasil kesusastraan peranakan Tionggoa tergolong bacaan liar. Mengapa demikian?

KESUSASTRAAN peranakan ini di Indonesia lebih populer diistilahkan sebagai sastra Melayu Peranakan Tionghoa. Di golongkannya ke dalam sastra Melayu karena bahasa yang digunakan sebagai media ekspresi oleh pengarangnya adalah bahasa Melayu, bukan bahasa Cina. Pengarang-pengarang asal negeri Tirai Bambu itu sudah lama merantau di Indonesia. Mereka tidak memiliki ikatan yang kuat dengan kebudayaan leluhurnya, khususnya di bidang bahasa.

Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung. Ungkapan itulah yang pas untuk pengarang keturunan Cina ini. Bahasa yang digunakan dalam menuangkan ide dan gagasan terpolong bahasa Melayu Rendah. Maka dari itu, kesusastraan peranakan yang berkembang ketika itu disebut dengan kesusastraan Melayu Rendah Peranakan Tionghoa. Seperti diketahui, sebelum ikrar Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, bahasa Melayu dibagi menjadi bahasa Melayu Rendah dan bahasa Melayu Tinggi.

Bahasa Melayu Rendah adalah bahasa pasaran yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Nilai rasa bahasa itu agak kasar kedengaran. Berbeda dengan bahasa Melayu Tinggi yang merupakan bahasa Melayu halus dan kedudukannya cukup terhormat. Sayangnya, dilihat dari penutur bahasa itu, jauh lebih banyak dan luas penuturnya adalah bahasa Melayu Rendah. Ternyata kondisi ini sangat menguntungkan perkembangan sastra peranakan Tionghoa karena jumlah pembacanya jauh lebih besar dan merakyat.

Tema Cerita

Tema-tema cerita yang diangkat dalam syair, roman dan cerita pendek diambil dari permasalahan hidup orang kebanyakan. Setting cerita hanya terjadi di Sumatera, dan Jawa, baik di kalangan warga Tionghoa, Pribumi maupun Belanda. Topik penceritaan seperti perkawinan, pertentangan adat, kehidupan lelaki dalam memelihara gundik, dan sosial politik. Dari permasalahan-permasalahan itu, yang paling banyak digarap adalah percintaan dan pergundikan, seperti ”Nyai Sumirah” oleh Thio Tjin Boen (1917), ”Nyai Aisah” oleh Tan Boen Kim (1915) dan ”Nyai Marsinah” (1922).

Pengarang banyak menggunakan ”Nyai” dalam judul karyanya tiada lain untuk menarik perhatian pembaca sebab kata itu bertendensi wanita simpanan atau gundik. Tokoh seperti itu bermakna negatif karena dapat diajak kencan oleh laki-laki.

Tema pornografi ketika itu merupakan permasalahan yang amat subur di tengah masyarakat yang berhasil diamati oleh pengarang. Bahkan roman ”Bunga Berjiwa” oleh Tan Boen Kim mengungkapkan bobroknya moral manusia. Diceritakan Lie Keng Ien yang dengan kekayaannya selalu memburu wanita cantik, baik wanita yang sudah bersuami maupun belum. Ketika mengawini Merari, ia tega membunuh Prawiro (suami Menari). Sebaliknya Merari yang hanya ingin bersenang-senang, akhirnya bersedia meninggalkan suaminya (Prawiro), padahal suaminya sangat setia. Hanya karena harta Merari bersedia menjadi gundik. Tokoh Lie Keng Ien adalah seorang juragan yang tinggal di Kota Surabaya. Ia memiliki empat istri simpanan. Rata-rata gundiknya itu adalah wanita yang gila kekayaan, sedangkan sang juragan tidak sanggup berbuat adil. Keempat istrinya itu saling membenci dan tidak rukun, demikian pengarang Tan Boen Kim merekam realitas sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Latar atau daerah cerita masyarakat Indonesia menarik perhatian para pengarang peranakan Tionghoa. Hal ini menunjukkan bahwa golongan masyarakat Tionghoa mempunyai hubungan yang baik dengan daerah tempat tinggal mereka. Selain itu pengarang peranakan ini menyadari bahwa pembacanya bukan hanya masyarakat Tionghoa tetapi juga masyarakat pribumi. Menyadari kondisi ini, muncullah tema-tema perkawinan antarsuku bangsa seperti lelaki Tionghoa dengan wanita Indonesia dalam roman ”Bunga Roos dari Tjikembang” oleh Kwee Tak Hoay (1927), ”Bunga Roos Merah” oleh Chang Ming Tse (1939), ”Ular yang Cantik” oleh Soe Lie Piet (1929), ”Itu Bidadari dari Rawa Pening” oleh Tan Hoeng Boen (1929) dan lainnya. Dari karya-karya tersebut ternyata perkawinan campuran itu banyak mendapat tantangan, baik dari orang tua Tionghoa maupun di pihak orang tua pribumi. Perkawinan itu lebih banyak sengsaranya daripada nikmatnya.

Tentang politik dan sejarah Indonesia, juga tak luput dari pengamatan para pengarang keturunan Cina ini, seperti roman ”Darah dan Air Mata di Boven Digul” oleh Oen Bo Tik (1931), ”Merah” oleh Liem King Hoo (1937) dan ”Drama di Boven Digul” oleh Oen Bo Tik (1931). Ketiga roman tersebut berisi kisah tahanan kaum komunis Indonesia di Bovem Digul setelah pemberontakan mereka gagal. Sastrawan Tionghoa juga tertarik dengan kejadian-kejadian sejarah sehingga menjelma menjadi karya sastra yang berjudul ”Drama dari Merapi” oleh Kwee Tek Hoay (1931), ”Kembang Wijaya Kusuma” oleh Liem King Khoo (1930) serta ditulisnya kehidupan primitif masyarakat suku Badui dan Tengger.

Nota Rinkes

Karya sastra garapan pengarang Tionghoa seperti yang dipaparkan tersebut ternyata mendapat sorotan tajam dari pemerintah kolonial Belanda yang menjajah Indonesia ketika itu. Ceritanya dinilai tidak bermoral, bermutu rendah dan murahan. Kritiknya pedas yang menilai kesusastraan peranakan Tionghoa itu berselera murahan dan tergolong bacaan liar datangnya dari Direktur Volkslectuur, D.A. Rinkes. Lembaga yang dipimpinnya itu adalah semacam kantor komisi bacaan rakyat yang bertanggungjawab untuk mengawasi terbitnya buku-buku bacaan. Selanjutnya Volkslectuur yang didirikan pada tanggal 14 September 1908 ini berganti nama menjadi Balai Pustaka tahun 1917.

Tumbuhkembangnya sastra Melayu Peranakan Tionghoa ini sangat didukung oleh bermunculan penerbit-penerbit swasta yang siap mencetak dan memasarkan karya-karya para pengarang saat itu. Bisnis buku sastra ketika itu aman menggiurkan karena banyak mendatangkan keuntungan. Terbukti banyak penerbit swasta yang berdiri seperti Goan Hong (Jakarta), Economy (Bandung), Paragon (Malang), Swastika (Surakarta), Drukkerij (Semarang) dan Boekhandel Indishe (Medan).

Tentang kiprah penerbit swasta ini, D.A. Rinkes sempat pusing dan kembali mengecam bahwa penerbit itu adalah ”Saudagar kitab yang kurang suci hatinya” dan bersikap agitator. Untuk menerbitkan buku-buku, Kantor Bacaan Rakyat ini mengajukan tiga syarat pokok yaitu tidak mengandung unsur antipemerintah kolonial Belanda, tidak menyinggung perasaan dan etika golongan masyarakat tertentu dan tidak menyinggung perasaan agama tertentu. Tiga persyaratan tersebut dalam sejarah kesusastraan Indonesia dikenal dengan ”Nota Rinkes” — mengambil nama direktur Volkslectuur. Hasil-hasil kesusastraan peranakan Tinghoa digolongkan ke dalam bacaan liar dan bermutu rendah seperti di awal

tulisan ini, karena banyak mengungkapkan tema-tema pelacuran seperti pergundikan yang mengarah kepada ponografi. Hal ini dinilai mengganggu perasaan dan etika masyarakat, seperti persyaratan kedua Nota Rinkes. Selain itu, bahasa yang dieksploitasi pengarang keturunan Cina ini termasuk bahasa Melayu Rendah, yang sangat bertentangan dengan persyaratan naskah Volkslectuur yang harus menggunakan bahasa Melayu Tinggi.

Menjamurnya buku-buku sastra Melayu Tionghoa dan pengarang pribumi juga menjadi ancaman bagi pemerintah kolonial Belanda dalam melanggengkan kekuasaannya di Indonesia. berdasasrkan penelitian Claudion Salmon (1985), karya-karya pengarang Tionghoa jauh lebih banyak dibandingkan hasil karya pengarang pribumi maupun Belanda ketika itu. Salmon mencatat bahwa dari tahun 1870 sampai 1970 telah terbit 3005 karya sastra pengarang peranakan Tionghoa terdiri atas 73 sandiwara, 183 syair, 233 terjemahan sastra Barat, 759 terjemahan sastra cina dan 1398 karya roman dan cerpen asli. Angka-angka ini sangat mengkhawatirkan pemerintah Belanda, karena dapat menyusupi paham yang bertentangan dengan kebijakan penjajahan kolonial.

Kini zaman telah bergeser ke arah reformasi dengan arus informasi yang terbuka lebar. Sudah saatnya sastra Melayu peranakan Tionghoa mendapat tempat yang layak untuk dikaji dan dipelajari. Bisa jadi, julukan sebagai sastra murahan dan liar itu sebagai dampak kebijakan politis kolonial untuk mengekang kreativitas pengarang. Terlalu berlebihan menyebut predikat sebagai sastra liar karena tidak sedikit juga karya-karya pengarang keturunan cina ini yang bermutu untuk direnungkan. Selamat Tahun Baru Imlek 2555, Gong Xin Fa Chai!

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae